Anda di halaman 1dari 12

PERSPEKTIF MAHASISWA

MENGENAI KEAMBISIUSAN PADA TOKOH SAYA


DALAM CERPEN “BOLA LAMPU” KARYA ASRUL SANI

ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH PSIKOLOGI SASTRA
Yang dibina oleh Fiyan Ilman Faqih, M.Pd.

Penulis: Fa’izatul Karimah


21601071097

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Juni 2018
PERSPEKTIF MAHASISWA
MENGENAI KEAMBISIUSAN PADA TOKOH SAYA
DALAM CERPEN “BOLA LAMPU” KARYA ASRUL SANI

ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH PSIKOLOGI SASTRA
Yang dibina oleh Fiyan Ilman Faqih, M.Pd.
Penulis: Fa’izatul Karimah
21601071097

ABSTRAK

Mahasiswa sebagai segelintir manusia yang tentu harus disibukkan dengan


kegiatan membaca buku. Termasuk buku-buku dan kisah sastra, yang saat ini akan
menjadi kajian kami dalam mengkuak psikis pembaca saat membaca cerpen “Bola
Lampu” karya Asrul Sani. Darinya ternyata ditemukan sebuah keambisiusan pada
tokoh “Saya”. Yang jika diteladani akan memberikan dampak yang buruk bagi
diri sendiri.

Maka dari menganalisis jawaban serta psikis pembaca mengenai cerpen ini,
pemahaman terhadap sastra tahun 45 ini dapat dengan mudah kita arahkan dan
tingkatkan agar tidak salah haluan menuju pemahaman sastra yang mengacu pada
aspek negatif. Karena setjatinya karya sastra memiliki selalu bersifat mengedukasi
dan memiliki pesan-pesan moral didalamnya.

1. PENDAHULUAN
1.1 Kajian Teori
Psikologi Pembaca merupakan salah satu jenis kajian psikologi sastra yang
memfokuskan titik analisis pada pembaca, yang ketika membaca dan
menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiwaan. Objek
kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca yang secara nyata membaca,
menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra (wiyatmi, 2011:57).
Seperti dikemukakan oleh Iser (1979) bahwa suatu karya sastra akan
menimbulkan kesan tertentu pada pembaca. Kesan ini didapat melalui “hakikat”
yang ada pada karya itu yang dibaca oleh pembacanya. Dalam proses pembacaan
ini aka ada interaksi antara hakikat karya itu dengan “teks luar” yang mungkin
memberikan kaidah yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaidah dan nilai
“teks luar” akan sangat menentukan kesan yang akan muncul pada seseorang
sewaktu membaca sebuah teks, karena fenomena ini akan menentukan imajinasi
pembaca dalam membaca teks itu.
Selain itu sastra dapat memberikan dampak psikis terhadap pembaca dalam
ranah kepribadian, karakter, dan lain sebagainya. Karena sastra ialah seni yang
mengedukasi dan memiliki pesan-pesan moral yang disampaikan melalui media
bahasa. Yang jika dibaca oleh seseorang, maka seseorang itu akan menemukan
titik persoalan sekaligus penyelesaian. Dari hal itu seakan pembaca mendapat
pengetahuan dan ilmu baru untuk mengatasi masalah dalam kehidupan yang
mungkin saja suatu saat akan ia alami atau bahkan sedang dialami. Sehingga dari
sastralah ia belajar bagaimana menyikapi persoalan.
Namun di sisi lain sastra juga dapat menjadi terapi sikologis seseorang
untuk menerbitkan rasa percaya diri dan motivasi tinggi. Namun tidak seluruh
bacaan sastra dapat dijadikan terapi. Sastra dapat dikonsumsi sesuai dengan
kebutuhan pembacanya. Pembaca bisa termotivasi oleh sastra ialah melalui tokoh
beserta persoalan dalam karya sastra. Bisa jadi pembaca tidak memiliki rasa
percaya diri, maka kemudian ia membaca cerpen yang mengisahkan tokoh yang
sama, atau bahkan mengalami kondisi yg lebih buruk dari si pembaca. Namun,
pada akhirnya tokoh dalam cerita tersebut mampu mendapat jalan keluar sehingga
ia percaya diri. Dari peristiwa kehidupan tokoh tersebut pembaca dapat
termotivasi atau bahkan terinspirasi.
Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman
sastra karena adnya beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi
sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan, kedua, dengan
pendekata ini dapat memberi umpan-balik kepada peneliti tentang masalah
perwatakan yang dikembangkan dan terakhir penelitian semacam ini sangat
membentuk untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah
psikologis (Endraswara, 2008:12).

1.2 Biografi Pengarang


Asrul Sani termasuk salah seorang sastrawan pelopor Angkatan '45.
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia dianggap sebagai trio pembaharu puisi
Indonesia. Di samping dikenal sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai penulis
esai yang andal pada tahun 1950-an. Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di
sebelah utara Sumatra Barat, tanggal 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11
Januari 2003. Dia anak kedua, dari dua bersaudara, seorang raja yang bergelar
Sultan Marah Sani Syair Alamsyah yang Dipertuan Rao Mapat. Saudara
tunggalnya bernama Chairul Basri. Sebagaimana orang Minang pada umumnya,
Asrul Sani juga berasal dari keluarga yang berlatar belakang agama Islam. Meski
Asrul tidak pernah dipukul jika tidak sembahyang, bukan berarti pendidikan
agama diabaikan dalam keluarganya. Asrul Sani, bahkan disekolahkan secara
khusus di sekolah agama yang bernama Dar el Ashar. Pendidikan formalnya
dimulai di Hollands Inlandsche School (HIS) Bukittinggi, tahun 1933. Pada usia
yang sangat muda ini ia sudah harus meninggalkan orang tuanya di Rao (berjarak
kira-kira 100 km dari Bukittinggi) untuk tinggal di asrama bersama kakaknya,
Chairul Basri. Setelah tamat dari HIS Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya ke
Jakarta. Dia masuk sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) yang
terletak di Jalan Budi Utomo dengan masa belajar lima tahun. Namun, ia gagal
menyelesaikan sekolahnya. Ia menderita inferiority complex karena ia sama sekali
tidak berbakat dalam hal teknik. Kegemarannya mengutak-ngatik gramafone,
yang dikira ayahnya sebagai tanda-tanda awal menggemari masalah teknik,
kiranya hanya gejala umum seorang anak yang serba ingin tahu. Tahun 1942
Asrul pindah ke SMP Taman Siswa, Jakarta. Di sekolah inilah ia berkenalan
dengan Pramoedya Ananta Toer dan bersama-sama menjadi anggota kelompok
"Penggemar Sastra" di sekolah mereka. Setelah tamat SMP, Asrul masuk ke
Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Kedokteran Hewan (sekarang Institut Pertanian Bogor, IPB) hingga meraih gelar
kesarjanaannya tahun 1955.
Pekerjaannya sangat beragam. Dia dikenal sebagai sastrawan, penulis
skenario film, sutradara seni pentas dan film, Direktur Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Lembaga
Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film
(BSF), Pengurus Pusat Nahdatul Ulama (NU), dan Anggota DPR-MPR (wakil
seniman) 1966—1982. Dari sekian banyak kegiatannya, hanya kegiatan yang
berhubungan dengan gelar kesarjanannya yang tidak terlihat. Asrul Sani menikah
dua kali. Pertama dengan Siti Nuraini, temannya sesama sastrawan, tanggal 29
Maret 1951, di Bogor. Dia dikaruniai tiga anak perempuan. Asrul Sani dan
Nuraini bercerai tahun 1961. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 29
Desember 1972, Asrul Sani menikah yang kedua kalinya dengan Mutiara
Sarumpaet. ia juga dikaruniai tiga anak, ketiga-tiganya laki-laki, yaitu Syauki,
Zaki, dan Gibran.
Minat Asrul pada bidang sastra bukanlah datang secara tiba-tiba. Bibitnya
sudah ditanamkan oleh ibu dan ayahnya sejak ia kecil. Bahkan, sebelum pandai
membaca, ia telah mendengar cerita "Surat kepada Radja" karangan Tagore yang
terkenal itu dari ibunya. Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuknya ketika
ia belum bisa membaca, sedangkan ayahnya kerap memanggil "tukang kaba"
(pendongeng yang menjajakan ceritanya berkeliling kampung) ke rumah mereka.
Setiap tukang kaba itu datang, Asrul merasa sangat senang dan mendengarkan
ceritanya dengan keingintahuan yang sangat besar. Minat Asrul dalam menulis
pertama kali muncul ketika ia membaca puisi yang ditulis oleh Sappho. Sappho
dalam puisinya itu menyanjung-nyanjung seorang courtisan yang berjalan dengan
sandal beludru. Sebagai pemula, tentu saja, Asrul belum bisa menangkap makna
puisi itu. Akan tetapi, kesan yang satu itu, "Courtisan yang berjalan dengan sandal
beludru", sangat terkesan di hatinya. Setelah selesai membaca puisi itu, ia merasa
ada dorongan yang kuat sekali di dalam dirinya untuk menulis. Tulisan
pertamanya yang berbentuk puisi yang berjudul "Kekasih Pradjurit", dimuat
dalam surat kabar Pemandangan tahun 1943, ketika Asrul duduk di kelas dua
SMP Taman Siswa. Sesuai dengan zamannya, sajak itu bercerita tentang prajurit
pembela tanah air. Setelah itu, bermunculan puisi dan cerpennya di berbagai
media massa, antara lain, di majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, dan Gema
Suasana serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja. Chairil Anwar
adalah nama yang selalu terkait erat dengan Asrul Sani. Mereka bersahabat.
Keakraban mereka membuat mereka, secara tidak sadar, saling mempengaruhi.
Pengaruh itu dapat dilihat dari puisi mereka yang berjudul "Cerita buat Dien
Tamaela" (Chairil Anwar) dan "Mantera" (Asrul Sani). Sumber inspirasi mereka
sama, yakni laut. Hanya bedanya, laut bagi Chairil Anwar merupakan "sesuatu
yang romantis", sedangkan bagi Asrul Sani merupakan "suatu misteri". Bersama
Chairil Anwar jugalah, ditambah dengan Rivai Apin, ia menerbitkan buku
kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1950). Judul Tiga Menguak
Takdir ditafsirkan orang bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai
usaha mereka memberontak "Takdir" (Sutan Takdir Alisjahbana), tokoh Pujangga
Baru yang dilambangkan sebagai satu tembok yang kokoh dan ada pula yang
menafsirkannya sebagai usaha mereka untuk mencoba membuka, memahami, dan
mengerti "takdir' (nasib) manusia.
Setelah menerbitkan buku kumpulan puisi bersama yang dirancang selama
satu setengah tahun itu, mereka bertiga mengeluarkan "Surat Kepercayaan
Gelanggang". Gelanggang itu sendiri sebenarnya adalah ruang budaya dalam
majalah Siasat yang mereka kelola. Melalui "Gelanggang" inilah, mereka banyak
menyatakan ide, gagasan, dan cita-cita kepengarangan. Meski lebih banyak
menggeluti film, terutama pertengahan tahun 1950-an, Asrul Sani mempunyai
peranan cukup penting di dalam peta kehidupan sastra di Indonesia. Prof. Dr. A.
Teeuw mengatakan bahwa Asrul Sani adalah salah seorang yang terpenting dan
menjadi harapan pada angkatan sesudah perang. Karya-karya yang dihasilkannya,
antara lain, Tiga Menguak Takdir (buku kumpulan puisi bersama Chairil Anwar
dan Rivai Apin, 1950), Mantera (kumpulan puisi, 1975), Dari Suatu Masa dari
Suatu Tempat (kumpulan cerpen, yang berisi, antara lain, cerpen "Museum" dan
"Sahabat Saya Coriaz", 1972), Mahkamah (drama, 1988), dan esai-esai yang
tersebar di berbagai media, antara lain berjudul "Catatan atas Kertas Merah
Jambu" yang kemudian dikumpulkan dan diedit Ajip Rosidi dengan kata
pengantar Taufik Abdullah. Selain itu, ia juga menulis ratusan karya terjemahan
yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, serta puluhan naskah skenario film.
Ajip Rosidi dalam kata pengantar untuk esai-esai Asrul Sani yang dieditnya
dengan judul Surat-Surat Kepercayaan menyatakan bahwa sumbangan Asrul
dalam dunia sastra lebih banyak berbentuk esai dan yang lebih nyata lagi adalah
posisi Asrul sebagai konseptor "Surat Kepercayaan Gelanggang". Karena
banyaknya esai yang ditulisnya, agar tidak muncul anggapan bahwa dasawarsa
1950-an penulis esai itu sedikit, Asrul menggunakan beberapa nama samaran
seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F.
Anwar. Taufik Abdullah menyebut Asrul sebagai salah seorang pemikir
kebudayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita.
(Fathurrohman, 2017).

2. PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Keambisiusan dalam Cerpen “Bola Lampu”


Menurut KBBI Ambisi diartikan sebagai keinginan, berkeinginan keras
mencapai sesuatu (harapan, cita-cita); penuh ambisi. Keambisiusan dalam cerpen
“Bola lampu” karya Asrul Sani dicerminkan atau ditampakkan melalui tokoh
Saya. Keambisiusannya tertuang dalam beberapa cuplikan naskah. Yakni:

“Akibatnya ialah lampu yang ada dalam kamar saya harus diperkecil,
diperkecil lagi, hingga jadinya terlalu amat kecil. Sudah itu timbul pula
semacam kemauan yang tidak tertahan-tahan: hendak membaca, hendak
menulis, hendak mengarang, pendeknya hendak segala-galanya, asal saja untuk
itu diperlukan lampu yang terang. Nah, sejak itulah saya mendapat penyakit cinta
lampu. Ada- ada saja.”

Dari cuplikan tersebut, tokoh Saya benar-benar memiliki keinginan untuk


memiliki lampu. karena lampu di rumahnya yang sangat kecil tidak memadai jika
digunakan membaca, menulis saat malam hari.

“Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil,
agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan, kalau-
kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah. Kalau dijawab
ada, saya terus iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia.”

Dari kalimat tersebut terdapat ungkapan keinginan yang disematkan dalam


kata “rindu-dendam-iri hati” yang benar-benar memperlihatkan bahwa tokoh Saya
memiliki keinginan yang sangat besar untuk memiliki lampu.

“Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya katakana kepadanya bahwa


saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu
benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka.
Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu
terang."

Dari kalimat tersebut ungkapan “iri” dipertegas lagi. Bahkan pada orang
yang bersangkutan. Hingga akhirnya tokoh Saya mendapat kesempatan untuk
sering-sering datang ke rumah pemilik lampu yang berbinar besar itu. Dan Ia
mengiyakannya dengan senang hati.
“Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin
cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali
datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca
sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke
rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di
situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah
senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."

Saat keinginannya sudah tercapai, tokoh Saya menemukan sesuatu yang


lain. Yakni bukan lampu yang dapat menyinari ruangan, namun “lampu” lai.
Yakni perempuan si pemilik lampu tersebut. Sehingga kedatangannya setiap kali
ialah tak lain untuk menemui perempuan pemilik lampu. Ambisi dan
keinginannya kini dialihkan kepada perempuan pemilik lampu. hal itu jelas
terungkap pada dialog "Ah, alangkah senangnya hati jika mempunyai lampu
seterang itu."

“Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu.
Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat
bersampul biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola
lampu 60 lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya?
Dalam suratnya tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim
engkau bola lampu ini".
Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan melihat
tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola
lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu".”

Disinilah letak runtuhnya segala ambisi yang dibangun. Bahwa


nyatanya si pemilik lampu mengirimkan sejumlah lampu kepada tokoh Saya.
Itu semua dikarenakan perempuan “mungkin” merasa risih dengan
keberadaan tokoh Saya yang ternyata tidak menginginkan lampu yang
berbinar besar dirumahnya, melainkan menginginkan dirinya. Sehingga
untuk penolakan dikirimkannyalah sejumlah lampu nyata kepada tokoh
Saya.

Maka benarlah jika berambisi sekuat tenaga jika tidak didasari dengan
tujuan yang jelas maka akan mengakibatkan kekecewaan kepada diri sendiri.
Sama juga artinya dengan berambisi terlalu tinggi dengan cara tidak baik
(modus) seperti yang dilakukan tokoh Saya akan memberikan dampak yang
memalukan terhadap diri sendiri.
2.2 Psikologi Mahasiswa Sebagai Pembaca

Kajian ini membatasi kelompok membaca pada mahasiswa. Berikut data faktual
tiga mahasiswa yang telah membaca cerpen “Bola Lampu” dan menyampaikan pesan
serta kesannya:

Nama: Vivin Avianti


Umur: 22th
Profesi: Mahasiswa Jurusan Keperawatan
Kegiatan sehari-hari: Kuliah
Kegemaran : Membaca Novel
Kesan membaca cerpen bola lampu: Kisahnya
bagus, namun bahasa yang digunakan terlalu tinggi
untuk orang awam yang tidak terlalu memahami sastra

Pesan yang dapat di teladani: Jangan berlebihan


dalam mencintai sesuatu Bagaimana Psikologi anda sebelum, saat, dan sesudah
membaca cerpen ini:
“sebelum membaca cerpen ini saya sempat ragu, bahkan tidak ingin membacanya.
Saat membaca, keraguan saya terjawab saya tidak mengerti sama sekali bahasanya.
Namun saya mencoba memanhami perlahan, saya mulai paham, kisahnya bagus.
Setelah membaca cerpen itu saya berpikir bahwa ternyata ada juga cerpen yang seperti
ini. Memberi pesan bahwa terlalu mencintai sesuatu itu tidak baik, karena kita bisa
kecewa pada akhirnya”.

Nama: Iin Indrawati


Umur: 21 th
Profesi : Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Kegiatan Sehari-hari: Kuliah
Kegemaran : Memasak
Kesan: Bahasanya berbelit-belit. Banyak kata yang
diulang-ulang, membuat bingung dan terdapat
kata-kata yang tidak efektif, selain itu, alurnya
campur-campur
Pesan yang dapat diteladani: lampu bukanlah segalanya dengan artian membuat kita
sampai iri hati atau apapun yg membuat hati kita terdapat
fikiran2 yg buruk kita harus lebih bersyukur terhadap apa
yang telah kita punya. Syukuri apa yang kita miliki saat
ini, sebelum kita mensyukuri apa yang akan datang
Bagaimana Psikologi anda sebelum, saat, dan sesudah membaca cerpen ini:
“Sebelum membaca cerpen ini sebenarnya saya sangat sibuk. Jadi sebenarnya
saya ogah membaca cerpen ini. Namun saya coba membacanya sedikit demi sediki.
Saya semakin pusing. Saya tidak mengerti bahasanya, alurnya, dan semuanya. Saya
membaca hingga yang ke 2 kalinya sampai ke 3 kalinya. Akhirnya saya sedikit mulai
mengerti bagaimana jalan ceritanya. Dan setelah membacanya, saya seperti melalui
tantangan besar. namun saya menemukan nilai moral bahwa kita harus mensyukuri apa
yang kita miliki. Tidak menginginkan segala sesuatu dengan ambisi yang sangat kuat
tanpa didaasari adanya hubungan dengan tuhan. Karena itu akan membuat kita kecewa
pada akhirnya.”

Nama: Sayyidatul Adkha


Umur: 21th
Profesi : Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Kegiatan Sehari-hari: Kuliah dan Kerja Sampingan
Kegemaran : Nonton dan Bernyanyi
Kesan: Awalnya sempat bingung, di paragraf2 awal kurg
mngerti mksud bahasa ny,tp smakin kebawah mulai
mngerti. Karena bahasanya yang berbelit-belit dan ulit
dipahami. Namun menurut saya Ceritanya menarik.
Pesan yang dapat diteladani: Mungkin jika si lelaki itu
jujur,bahwa alasan sbnrny kedatangannya k rumah itu
dengan ambisi yang kukat untuk melihat prmpuan yg
dcintainya,bukan lgi krn lampu, mungkin Keadaanya
jd brbeda. Si prmpuan tidak akan mngirimkan
kiriman yg mmbuat ny tdk bisa lg brkunjung. Jdi,
antara hati Dan penyampaian di mulut sama, itu bisa
mjd hal penting sewaktu2. Intinya disini harus jujur
sih.
Bagaimana Psikologi anda sebelum, saat, dan sesudah membaca cerpen ini:
“Sebelum membaca cerpen ini sedang berada di luar rumah. Keadaan saya merasa
sedikit pusing. Saat pulan saya mencoba membaca cerpen ini, dan saya mendapati
kondisi saya makin pusing. Akhirnya saya tinggalkan beberapa saat. Kemudian saya
membaca lagi saat pusing saya sedikit reda. Saya tidak mengerti isi cerpen itu hingga
saya membacanya lagi dan akhirnya saya mulai bisa menemukan pesan yang terdapat
dalam cerpen itu. Setelah membaca cerpen tersebut, saya merasa lega. Dan saya
menyadari bahwa benar. Jika tidak ingin kecewa, lebih baik jujur. Dan mengurangi rasa
ambisi yang tinggi.

Dari ketiga pendapat diatas, pembaca yang seluruhnya berprofesi sebagai


mahasiswa memiliki kesamaan dalam beberapa kegiatan sehari-hari dan memiliki
kesamaan dalam penyampaian kesan terhadap cerpen “Bola Lampu”. Meski ketiganya
memiliki perbedaan di jurusan, kegemaran dan umur namun rata-rata jawabannya
mengatakan bahwa cerpen”Bola Lampu karya Asrul Sani memiliki gaya bahasa yang
rumit, berbelit-belit, tidak efektif, bahkan ada yang mengatakan bahwa alur dalam
cerpen tidak teratur.
Hal ini sejalan dengan ciri-ciri saastra angkatan 45 yakni: terbuka, pengaruh unsur
sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya, bercorak isi realis dan
naturalis, meninggalkan corak romantis, sastrawan periode ini terlihat menonjol
individualismenya, dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan
sebelumnya, penghematan kata dalam karya, lebih ekspresif dan spontan, terlihat
sinisme dan sarkasme. (Rosidi: 1986)
Karenanya mahasiswa era milenial (yang berasal dari prodi selain sastra) merasa
kesulitan dan kebingungan saat membaca dan memahami cerpen “Bola Lampu” ini.
Jika dibandingkan dengan cerpen-cerpen zaman sekarang, cerpen ini sedikit diminati
karena bahasa yang digunakan jauh lebih rumit dibanding bahasa yang terdapat dalam
cerpen zaman sekarang. Membaca cerpen ini juga membutuhan waktu yang lebih lama
dibanding membaca cerpen karya sastrawan era milenial. Karena pola pikir dan gaya
kepenulisan juga menjadi tolak ukur diminatinya sebuah karya sastra. Terlebih saat ini
mahasiswa seringkali disibukkan dengan agenda-agenda lain. (bukan membaca)
buktinya ke 3 pembaca tersebut. Jika memang mereka memiliki daya terampil
berbahasa yang tinggi, amak mereka akan dengan mudah dan tidak perlu mengulang-
ulang memahami cerpen-cerpen genre 45 seperti ini.

2.2 Refleksi Ambisius yang Ditemukan Mahasiswa Sebagai Pembaca

Hal-hal ataupun pesan-pesan yang didapat dari sebuah karya sastra oleh pembaca
seringkali dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman masa lalu pembaca atau yang
tengah terjadi kepada pembaca. Seperti ungkap Alfred Adler. Menurut Adler, manusia
merupakan makhluk individual yang termotivasi oleh dorongan-dorongan sosial yang
memang sudah dibawa ketika lahir. Adler juga menerapkan teori urutan lahir untuk
memprediksi kepribadian seseorang. Adler yakin bahwa keturunan, lingkungan, dan
kreatifitas di dalam lingkungan mmampu membantuk kepribadian seseorang. Berikut ini
penggambaran sifat anak yang didasarkan pada urutan lahir (Dosen Psikologi.com).
Sehingga acuan kajian ini mengenai keteladanan yang telah dicetuskan pembaca ialah
bersumber dari latar belakangnya. Lingkungannya, sosialnya, bahkan pengalamannya.
Sehingga dari pemaparan serta pendapat diatas, terdapat 3 pesan yang berbeda dari 3
mahasiswa. Pesan-pesan ini identik dengan dunia masing-masing.

 Vivin Avianti 21th (Mahasiswa Keperawatan)


Dari hasil wawancara: pernah mencintai sesuatu dengan sangat dan terlalu yaitu
teman. Sehingga karenanya, ia ditinggalkan. Disisi lain ia telah berumur 21th. kedua
hal tersebut yakni pengalaman dan kedeawasaan umur. Bisa mempengaruhi sikologinya
saat membaca cerpen tersebut. Sehingga ia mampu menyimpulkan bahwa pesan yang
dapat diteladani adalah “Jangan mencintai segala sesuatu secara berlebihan.”
 Iin Indrawati 20th (Mahasiswa PAI)
Dari hasil wawancara: pernah memiliki tetangga yang sejak lama memiliki
penyakit dengki kepada dirinya. Apapun yang dipakainya atau yang dimilikinya seallau
menjadi bahan olokan dan akan ditiru. Maka dalam cerpen ini ia menyadari ada pesan
yang perlu disampaikan kepada seluruh manusia terutama dirinya sendiri bahwa lampu(
diibaratkan sebuah benda apapun itu) bukanlah segalanya (bersifat sementara). tidak
sepatutnya menjadi kita sampai iri dengki kepada yang lain. Cukup mensyukuri apa
yang kita punya. Jika selalu iri maka kita yang akan kecewa dan buruk dimata manusia.
Sesuai dengan teori Adler, apa yang telah disampaikan oleh Iin dipengaruhi oleh
pengalamannya, faktor umur yang dapat membuat dia brpikir dewasa, dan kemudian
juga pengaruh dari lingkungannya saat ini yang menjadi mahasiswa PAI.

 Sayyidatul Adkha 20th (Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris)


Dari hasil wawancara: Setiap hari selalu mendengarkan curhatan teman mengenai
percintaan. Selain itu juga senang menonton drama korea. Dan membaca webtoon atau
segala hal yang berbau remaja dan percintaan. Hal tersebut membuat apa yang
dituliskan mengenai pesan dalam cerpen ini lebih mengarah pada perasaan dan sikap
tokoh Saya pada Perempuan si pemilik lampu. Sehingga amanat yang disampaikan pun
juga berbunyi tentang seharusnya sikap lelaki yang memiliki ambisi ingin bertemu
dengan perempuan tidak perlu modus, malu dan lain-lain. Namun, jujur lebih baik agar
akhirnya tidak dipermalukan karena disangak modus dst.
Dari ketiga pesan mengenai ambisi di atas, dapat digaris bawahi bahwa
berambisilah dengan cara yang baik, jujur, tanpa perlu iri dengki dengan seseorang yang
memiliki apa yang kita inginkan.

3. KESIMPULAN
Mahasiswa era milenial (yang berasal dari prodi selain sastra) merasa kesulitan
dan kebingungan saat membaca dan memahami cerpen “Bola Lampu” ini. Jika
dibandingkan dengan cerpen-cerpen zaman sekarang, cerpen ini sedikit diminati karena
bahasa yang digunakan jauh lebih rumit dibanding bahasa yang terdapat dalam cerpen
zaman sekarang. Membaca cerpen ini juga membutuhan waktu yang lebih lama
dibanding membaca cerpen karya sastrawan era milenial. Karena pola pikir dan gaya
kepenulisan juga menjadi tolak ukur diminatinya sebuah karya sastra. Terlebih saat ini
mahasiswa seringkali disibukkan dengan agenda-agenda lain. (bukan membaca)
buktinya ke 3 pembaca tersebut. Jika memang mereka memiliki daya terampil
berbahasa yang tinggi, amak mereka akan dengan mudah dan tidak perlu mengulang-
ulang memahami cerpen-cerpen genre 45 seperti cerpen “Bola Lampu” karya Asrul
Sani. Refleksi ambisi yang dapat diteladani dari cerpen “Bola Lampu” menurut
mahasiswa ialah berambisilah dengan cara yang baik, jujur, tanpa perlu iri dengki
dengan seseorang yang memiliki apa yang kita inginkan. Sesederhana itu maka hidup
akan bahagia.
DAFTAR RUJUKAN

Endaswara Suwandi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Jakarta. PT.B KITA
Fathurrohman, M. N. (2017, Maret Senin, 6). Inseklopedi Sastra Indonesia. Biografi
Asrul Sani - Pelopor Sastrawan Angkatan 45 dan Sutradara Film.
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Asrul Sani
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra. Binacipta
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher
Psikologi Kepribadian. https://dosenpsikologi.com/teori-psikologi-kepribadian

Anda mungkin juga menyukai