Anda di halaman 1dari 9

PEMERANAN TOKOH Ketua RT

DALAM NASKAH MONOLOG DEMOKRASI


KARYA PUTU WIJAYA

Dosen Pengampu :
Andi Taslim Saputra, S.Pd.,M.Sn

Tri PutriHardiyanti Rasyid


Nim 17124512

PDD INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA


EMBRIO INSTITUT SENI DAN BUDAYA INDONESIA
SULAWESI SELATAN

TAHUN AJARAN 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Naskah monolog Demokrasi Karya Putu Wijaya dibuat sekitar tahun 1980an. Naskah ini
dibuat untuk mengkritik pemerintah di zaman orde baru. Putu wijaya menggambarkan
dengan lugas penyimpangan makna demokrasi oleh oknum tertentu serta kedangkalan
pemahaman rakyat akan makna demokrasi melalui penokohan dalam naskah drama tersebut.

Naskah ini pada dasarnya merupakan kritik Putu Wijaya dalam menyikapi persoalan
demokrasi di Indonesia. Kita berada dalam paradigma demokrasi yang salah kaprah,
demokrasi hanyalah sebuah jargon atas nama kepentingan oleh segelintir orang yang
berkuasa, ambisius, dan hipokrit, demokrasi menjadi sebuah kata yang dekat dengan politik
konspirasi. Kata demokrasi dalam perspektif Putu Wijaya hanyalah sebuah wacana belaka,
tidak ada implementasi yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai pondasi dalam melihat kepentingan
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian mampu dibayar dengan uang dan kekuasaan.
Siapa yang terpedaya dengan uang dan kekuasaan atas nama demokrasi, maka demokrasi
tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan, demokrasi sudah mati karena kita sendiri yang
telah membunuh kata demokrasi tersebut.

Kehidupan masyarakat yang adil dan makmur menjadi dasar warga RT Gang Gugus
depan menjunjung tinggi demokrasi sekaligus dalih para pejabat melegalkan
keserakahannya. Ketakutan akan kehilangan harta dan kekuasaan membuat direktur, para
petinggi bahkan ketua demokrasi tidak memihak rakyat kecil. Demokrasi runtuh di mata
warga. Semakin hai warga semakin mengabaikan demokrasi dan keputusan para petinggi
dan wakil rakyat.

Dilihat dari situasi sekarang, pejabat mengambil keputusan tanpa mekirkan rakyatnya,
alasan ini yang menjadi gagasan utama penciptaan karya Monolog ini. Pemerintah yang
sewenang-wenang dengan aturan yang harus di patuhi.

B. Tujuan
Dengan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya. Aktor membawakan ini, dengan
gagasan utama melihat situasi Indonesia, terutama lingkup sekitar aktor yang masih ada
sistem sogok menyogok tanpa memikirakan nasib manusia-manusia yang dirugikan.
Kebebasan yang seharusnya dirasakan oleh seluruh warga justru dimonopoli oleh para
penghianat demokrasi yang mengatasnamakan dirinya wakil rakyat, sehingga penderitaan
rakyat berbanding terbalik dengan kesejahteraan para wakilnya.
BAB II

KOMPONEN TEKNIS

A. Tim Produksi
Manajemen Produksi
Pimpinan Produksi : Nurul Hikmah Maharani
Bendahara Produksi : Tri PutriHardiyanti Rasyid
Sutradara : Andi Aryani Oktaviani, S.Sn
Asisten Sutradara : Nurul Hikmah Maharani
Aktor : Tri PutriHardiyanti Rasyid

- Penata Musik
Koordinator : Husban
Anggota : Rosuli

- Penata Artistik
Koordinator : Saipal
Anggota : indra
sahir
- Penata Lighting : Ihsan
- Konsumsi : Billa
- Publikasi : Muhammad Rais
dan Dokumentasi
- Desain Panggung : Muhammad Ashari
- Wardrobe : Nurul Hikmah Maharani
- Make Up : Nurul Hikmah Maharani

B. Judul Cerita Monolog


“Demokrasi”
C. Interpretasi Naskah Demokrasi
Monolog dengan naskah “Demokrasi” karya Putu Wijaya. Demokrasi itulah kalimat
pertama yang di serukan seorang warga saambil mengangkat plakat. Kemudian, ia
berbicara tentang perjuangan demokrasi dan berbicara lantang mengenai petugas yang
mengaku datang dari kelurahan dan akan melakukan pelebaran jalan dan sedikit
menggusur sepanjang gang RT gugus depan tempat dimana warga itu tinggal. Datanglah
petugas dan berkata, “walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat
penting artinya bagi pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan
datang. Atas nama kemanusiaan, kami harap saudara-saudara mengerti”. Dengan tegas,
warga tetap menolak karena rata-rata rumah warga di sekitar sudah sangat sempit. Jika
diambil lagi walau hanya dua meter, rumah mereka akan semakin sempit. Terjadi
perdebatan antara warga dan petugas itu, dan memanas ketika si petugas mengatakan
bahwa hal tersebut sudah disepekati bersama. Namun warga tetap membantah karena
mereka merasa hanya segelintir orang saja yang dilibatkan. Dengan keras kepala warga
tetap menolak. Lalu, tanpa ijin lagi sebuah bulldozer datang dan langsung mengeruk dua
meter wilayah RT gugus depan. Warga memohon dan melawan ramai-ramai lalu berdiri
depan bulldozer sambil berteriak menyampaikan aspirasinya. Batallah pergusurannya. Tak
lama dari peristiwa itu, Bu RT beranikan diri mengunjungi direktur dari pabrik yang ingin
mengambil hak warga-warganya. Setelah bertemu bu RT menyampaikan aspirasinya dan
bertekad tidak akan pergi dari kantor sebelum ada keputusan membatalkan perampokan
dua meter tanahnya untuk jalan, ia hanya mau pergi kalau ada keputusan yang
menguntungkan rakyat kecil. Akhirnya direktur ini mengangguk, kemudian direktur
menunduk membuka laci mejanya dan mengambil kertas. Ternyata amplop yang di berikan
berisi cek dan tertera tulisan Rp. 250.000.000. bu RT tersentak dan tak bisa bernafas,
langsung mengambil amplopnya. keesokan harinya, ketika para warga gang gugus depan
kembali mendatanginya untuk mendengarkan hasil rembukan ia dengan pak direktur untuk
selanjutnya menetapkan tindakan apa selanjutnya yang harus di lakukan. Saat bu RT
menyampaikan pidatonya, warga tak ada yang menjawab satu pun, satu per satu pergi.
Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT gugus depan
yang BU RT pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal bu rt sendiri, berdiri dan
teguh tegar tidak goyah dan tetap kukuh tegak siap mempertahankan demokrasi, sampai
titik darah penghabisan
D. Konsep Garap

tokoh Ketua RT gang gugus depan depan menjadi tokoh tunggal, Demokrasi Karya Putu Wijaya ini
disampaikan dengan nada suara yang fleksibel, yaitu tenor ketika menirukan suara warga agar amarah
tergambarkan, bass ketika menirukan suara petugas agar kesan menyeramkan muncul, dan bariton
ketika tokoh ketua RT gang Gugus Depan berperan dalam drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini.
Sedangkan ritme dalam memerankan tokoh ketua RT gang Gugus Depan adalah cepat teratur, karena
dalam rangkaian cerita sebagian besar adalah konflik yang menimbulkan amarah. Dialog monolog ini
dibawakan dengan nada dasar meyakinkan.

Naskah drama monolog berjudul Demokrasi Karya Putu Wijaya ini menceritakan masa lalu, namun
dengan cepat dalam ritmenya berjalan maju secara kronologis.

                        Naskah drama monolog berjudul Demokrasi Karya Putu Wijaya ini memiliki gaya modern,
terlihat jelas dalam semangat penulis mengkritisi sistem demokrasi yang terjadi pada zaman itu hingga
muncullah naskah drama ini. Penulis begitu menggambarkan ketidaknyamanannya menjalani
pemerintahan zaman

  Naskah drama berjudul demokrasi ini tergolong dalam dialog monolog, hal ini ditandai dengan tokoh
ketua RT gang Gugus Depan yang menceritakan kejadian yang sudah dialaminya. Penjabaran yang
dikemukakan oleh ketua RT gang Gugus Depan seluruhnya terjadi di masa yang sudah lalu, bahkan
seluruh percakapan baik antara warga dengan warga, ketua RT gang Gugus depan dengan direktur,
pertentangan Asep dengan pabrik tekstil, ia mengerti secara lengkap. Dalam naskah ini, tokoh ketua RT
ingin memberittahukan kepada penonton tentang segala hal yang telah ia ketahui.

                        Kemungkinan besar dialog monolog dalam naskah drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini
disampaikan dengan nada suara yang fleksibel, yaitu tenor ketika menirukan suara warga agar amarah
tergambarkan, bass ketika menirukan suara petugas agar kesan menyeramkan muncul, dan bariton
ketika tokoh ketua RT gang Gugus Depan berperan dalam drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini.
Sedangkan ritme dalam memerankan tokoh ketua RT gang Gugus Depan adalah cepat teratur, karena
dalam rangkaian cerita sebagian besar adalah konflik yang menimbulkan amarah. Dialog monolog ini
dibawakan dengan nada dasar

meyakinkan.

Struktur dan Tekstur dalam Drama Demokrasi Karya Putu Wijaya

 
                        Naskah drama berjudul demokrasi ini tergolong dalam dialog monolog, hal ini ditandai
dengan tokoh ketua RT gang Gugus Depan yang menceritakan kejadian yang sudah dialaminya.
Penjabaran yang dikemukakan oleh ketua RT gang Gugus Depan seluruhnya terjadi di masa yang sudah
lalu, bahkan seluruh percakapan baik antara warga dengan warga, ketua RT gang Gugus depan dengan
direktur, pertentangan Asep dengan pabrik tekstil, ia mengerti secara lengkap. Dalam naskah ini, tokoh
ketua RT ingin memberittahukan kepada penonton tentang segala hal yang telah ia ketahui.

                        Kemungkinan besar dialog monolog dalam naskah drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini
disampaikan dengan nada suara yang fleksibel, yaitu tenor ketika menirukan suara warga agar amarah
tergambarkan, bass ketika menirukan suara petugas agar kesan menyeramkan muncul, dan bariton
ketika tokoh ketua RT gang Gugus Depan berperan dalam drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini.
Sedangkan ritme dalam memerankan tokoh ketua RT gang Gugus Depan adalah cepat teratur, karena
dalam rangkaian cerita sebagian besar adalah konflik yang menimbulkan amarah. Dialog monolog ini
dibawakan dengan nada dasar meyakinkan.

 Petunjuk pementasan dalam drama monolog Demokrasi Karya Putu Wijaya ini dijabarkan dengan begitu
jelas, bahkan tanpa improvisasi atau pun perubahan sedikitpun sudah dapat menyampaikan makna
penulis pada penonton. Karena ini adalah drama monolog dengan tokoh tunggal, maka keberhasilan
suatu pertunjukan sangat ditentukan oleh lakon ketua RT gang Gugus Depan ini.

                        Hanya ada satu tokoh dalam drama Demokrasi Karya Putu Wijaya ini, yaitu ketua RT gang
Gugus Depan. Tokoh ini dapat diperankan oleh pria maupun wanita, namun usianya minimal 45 tahun.
Tokoh ini harus memiliki wibawa, akan lebih mudah jika ia gagah atau karismatik. Dari segi kepantasan
menduduki suatu status sosial, ia harus pantas ketika memakai pakaian-pakaian resmi, menggunakan
diksi yang mencerminkan status sosial yang dimilikinya.

                        Naskah drama monolog berjudul Demokrasi Karya Putu Wijaya ini menceritakan masa lalu,
namun dengan cepat dalam ritmenya berjalan maju secara kronologis.

                        Naskah drama monolog berjudul Demokrasi Karya Putu Wijaya ini memiliki gaya modern,
terlihat jelas dalam semangat penulis mengkritisi sistem demokrasi yang terjadi pada zaman itu hingga
muncullah naskah drama ini. Penulis begitu menggambarkan ketidaknyamanannya menjalani
pemerintahan zaman orde baru saat itu, sistem pemerintahan yang begitu kaku serta ketegasan satu sisi
saja.

A. Konsep Artistik
Capaian dari metode Keajaiban Jika ini adalah merangsang daya imajinasi dan pikiran aktor hingga
memunculkan laku yang natural. Karena laku pentas atau bisnis-bisnis akting akan yang natural
akan sangat memiliki hubungan yang erat untuk membangun emosi dari dalam.
Begitulah Tya Setiawati (sebut saja Tya) menampilkan naskah monolog “Demokrasi” karya Putu Wijaya
melalui pendekatan sosio-kultur dan dialek vokal yang berirama ke-Jawa-an. Melalui gaya akting yang
sedikit komikal, naskah ini mampu dikomunikasikan secara baik oleh Tya. Set dan properti yang
minimalis berupa kursi panjang, keranjang, dan kostum ganti yang terdapat di dalam keranjang tersebut
dapat dimanfaatkan secara efektif. Elemen pencahayaan yang ditata oleh Enrico Alamo tidak begitu
memilih efek warna secara dominan, hanya beberapa titik pencahayaan yang berfungsi untuk
menegaskan pola bloking, suasana dramatik lakon yang sedang dimainkan dan juga berfungsi sebagai
batas area permainan.

Kemampuan Tya dalam menjaga ritme permainan, kesadaran terhadap penggunaan set dan properti,
bisnis akting, gestur dan caranya menyikapi penonton teater malam itu, penulis sangat
mengapresiasinya dengan baik. Walaupun sebenarnya terdapat kecelakaan teknis diawal pertunjukan,
hal itu disebabkan oleh operator sound system yang begitu lama dalam mengaktifkan musik digital,
sehingga pertunjukan sempat tertunda sekitar tujuh menit. Jelas saja, kecelakan teknis yang disebabkan
oleh operator Sound System sangat mengganggu konsentrasi penonton yang akan menyaksikan
pertunjukan monolog ini.

Setelah lampu pertunjukan secara perlahan dihidupkan dan musik digital sudah bisa diaktifkan oleh
operator sound system, lalu seorang tokoh perempuan (Tya) masuk sambil membawa keranjang ke area
panggung, ia menari mengikuti irama musik sambil mengelilingi area permainan. Setelah musik berhenti
(fade out), perempuan itu duduk di kursi panjang. Sejenak suasana kembali hening, perempuan itu
menatap ke sekeliling penonton, menerawang ke langit-langit gedung pertunjukan, akhirnya ia
mengucapkan kalimat “Saya mencintai Demokrasi” dalam dialek Jawa. Sebuah teknik muncul yang
sederhana dan biasa namun mampu memberikan daya sugesti yang baik. Penonton telah membangun
impresi positif dalam pikirannya terhadap apa yang dilakukan oleh Tya diawal pertunjukan. Persoalan-
persoalan dalam pertunjukan mulai digulirkan kehadapan penonton. Tokoh perempuan tersebut
menceritakan kalau dia adalah pimpinan demonstrasi RT Gang Gusus Depan. Ia bersama penghuni RT
Gugus Depan menolak pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh petugas kelurahan yang telah bekerja
sama dengan pimpinan pabrik tekstil di kota itu. Pelebaran jalan tersebut dilakukan atas dasar
kepentingan bersama dan atas nama nilai-nilai demokrasi.

Pelebaran jalan dengan cara memangkas rumah warga yang berukuran enam meter kali empat
bertujuan untuk memudahkan akses para buruh pabrik menuju tempat kerja mereka. Hal ini dipahami
sebagai bentuk cita-cita demokrasi yang akan membantu masyarakat RT Gugus Depan secara ekonomi.
Jalan tersebut akan ramai dilalui, termasuk juga mobil-mobil, bajaj dan kendaran bermotor. Para
demonstran tetap melakukan penolakan terhadap eksekusi tanah seluas dua meter tersebut. Petugas
kelurahan mengerahkan Buldozer sebagai jawaban atas penolakan warga tersebut, warga terus
melakukan perlawanan, walaupun nyawa yang harus menjadi taruhannya, demokrasi harus tetap
ditegakkan.

Tokoh Perempuan yang berperan sebagai pimpinan para demonstran akhirnya tidak tega menghadapi
situasi yang begitu parah tersebut. Dengan sedikit melakukan pergantian kostum di atas panggung, Ia
berniat dan memberanikan diri untuk menemui pimpinan perusahaan tekstil itu sendirian. Berbagai
bujukan dan rayuan secara lisan oleh pimpinan perusahan tekstil tersebut tidak mudah menggoyahkan
sikap demokrasi yang sudah tertanam dalam dirinya. Namun, ketika uang disodorkan tepat dihadapan
matanya, ia mulai bertanya dalam hati “apakah ia benar-benar mencintai demokrasi?” ternyata tidak,
perempuan itu telah rapuh, goyah dan terpedaya. Matanya melotot memandang uang dalam amplop
yang bertuliskan angka sebesar satu milyar. Kata-kata demokrasi yang selalu ia kumandangkan akhirnya
hilang dan lenyap begitu saja waktu itu. Kemudian secara perlahan lampu mulai dipadamkan (fade out)
dan penonton bertepuk tangan. Maka selesai sudah pula

“Demokrasi” dalam pertunjukan malam itu.

Apa sih yg cocok kualifikasi dalam tokoh

Konsep penokohan, gagasan, bentuk yang baru

Konsep yang ada, misalnya kultural

Missal tallu cappa

Pemaparan konsep ruang artistik

Tinjau kembali konsep, ruang artistik

Perjelas bentuk ketubuhan monolog, apa sih yang kamu tawarkan di produksi monolog

Perbedaan suara

Mengkaji konsep penciptaannya tentang teori2 gtang di gali

Memahami konsep

Apa itu tenor bass dll?

Apasih demokrasi menurut sy dan menurut naskah?

Anda mungkin juga menyukai