Anda di halaman 1dari 23

Sebab biasanya, lebih mudah menyelipkan pesan-pesan mutiara lewat air mata disbanding lewat gelak tawa.

Orang yang gemar tertawa suka cepat lupa.

Tugas Feminisme Teori Sastra II


*Ria Agustina

Kesetaraan Gender dalam Naskah Sandiwara Sampek & Engtay

Naskah sandiwara Sampek & Engtay merupakan naskah drama yang ditulis oleh N.
Riantiarno. Ide Naskah ini diadaptasi dari kisah yang terkenal dari China yaitu
Sampek dan Engtay.
Naskah sandiwara yang tertulis sebanyak 281 halaman dan terdiri dari 28 bagian ini
memiliki tema tentang cinta, yaitu cinta antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Plot
yang digunakan dalam mengungkap cerita naskah drama ini adalah plot maju.
Bagian awal dari naskah drama ini dibuka dengan nyanyian dan prolog dari dalang,
agaknya dapat menjadi p bingkai yang merangkai kisah si tokoh utama dalam
naskah ini dari awal hingga akhir.
Cerita diawali dengan perkenalan kehidupan tokoh utama (Engtay) yang dilanjutkan
dengan berbagai konflik yang muncul, seperti dilarangnya Engtay untuk bersekolah
seperti halnya kaum lelaki, dilanjutkan dengan pertemuannya dengan Sampek yang
mengakibatkannya jatuh cinta dan perpisahannya dengan Engtay. Cerita ini diakhiri
dengan kematian tokoh utama tambahan, yaitu Sampek.
Dalam naskah drama ini tokoh utamanya adala perempuan, yaitu Engtay. Tokoh
Engtay adalah gadis yang berasal dari Serang. Ia anak tunggal dari keluarga Ciok
yang sangat kaya raya. Ia digambarkan sebagai seorang gadis yang sangat cantik
yang kurang lebih berumur 17 tahun. Engtay digambarkan sebagai seorang gadis
yang sempurna, pandai dalam segala hal. Berikut kutipan dialog yang
menggambarkan kecantikan dan kepandaian Engtay :
Sampek : Mungkin dia, bagaimana rupa nona kamu itu? Cantikkah dia?
Suhiang : Kalau dibilang cantik, di kota ini memang Nona kami adalah yang paling
cantik. Hanya cahaya bulan yang sanggup mengalahkan kecantikannya. Dan bukan
saja cantik, tetetapi juga pintar. Semua kepandaian rumah tanggan dia bisa. Sebut
saja apa! Menyulam, memasak, berdandan, bisa! Nona kami juga pintar surat
menyurat. Dia pandai menulis syair sindiran dan syair pasangan. Jika ada orang
bertanya siapakah perempuan muda di Serang ini yang memenuhi persyaratan

sebagai perempuan luar dalam, maka jawabannya hanya satu, Nona Engtay kami
itu.Paham? (hal. 186-187)
Engtay juga digambarkan sebagai gadis yang tak mau menyerah dengan keadaan.
Ia berusaha keras agar keinginannya bersekolah di Betawi dapat tercapai.Namun ia
tetap patuh terhadap orang tua dan tidak membantah ketika ia disuruh pulang oleh
orang tuanya untuk dijodohkan dengan Macun.
Dalam naskah drama ini, terdapat suatu pembicaraan tentang peran dan
kedudukan perempuan melalui tokoh perempuan utamanya yaitu Engtay.
Perjuangan Engtay melawan tradisi menunjukkan bahwa ia ingin mewujudkan sosok
perempuan yang memiliki harkat dan martabat setara dengan kaum laki laki
melaui pendidikan. Peranan Engtay sebagai seorang anak, peranan Engtay sebagai
seorang murid dan peranan Engtay sebagai kekasih Sampek menunjukkan sisi sisi
kefeminisan yang menonjol dalam naskah drama ini.
Naskah drama Sampek Engtay juga mengusung nilai patriarki , yaitu sosok lelaki
memiliki peran utama dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan harus
dipatuhi secara mutlak sedangkan perempuan hanya menjadi pelengkap, dalam
perspektif masyarakat Jawa perempuan hanya sebagai kanca wingking. Perempuan
tidak diizinkan memiliki pendidikan yang lebih tinggi atau sama dengan laki laki.
Jinsim : Heran, heran. Aneh bin ajaib. Dunia sudah kebalik balik. Langit bakal
ambruk. Mana ada anak gadis minta sekolah? Jauh lagi. Di Betawi. Dan di sekolah
campur sama sembarang lelaki. Heran , heran. Aneh bin ajaib. (hal 41)
Keluarga Engtay , menganggap bahwa bagaimanapun juga perempuan adalah
mahkluk nomor dua. Prestasi hebat apapun yang diraih perempuan tetap tidak akan
membuat perempuan setara dengan laki-laki. Hal itu terbukti ketika Engtay
mencurahkan hati kepada Suhiang tentang perasaannya yang sedih karena
orangtuanya kurang setuju anaknya bersekolah. Menurutnya, perempuan hanya
akan menunggu lamaran calon suami.
Kutipan dialog di bawah ini memberikan bukti.
Engtay : Habis sudah dayaku, Suhiang, rasanya tidak mungkin lagi aku membujuk
ayah ibu. Larangan mereka tidak bisa lagi diubah-ubah.
Suhiang : Masa?
Engtay : Aku akan menjadi gadis pingitan, menunggu lamaran calon suami. Aku
akan menjadi perempuan bodoh yang tidak tahu betapa luasnya dunia ini. (hal.
23)

Dialog lain yang menunjukkan bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap adalah :
Jinsim : Ya, boleh maju. Lalu kalau sudah sekolah, untuk apa? Mau apa? Apa
gunanya? Sudah takdir, biar pintar kayak Ken Dedes , tempat perempuan tetap di
bawah. Boleh maju, tapi apa ya kalau sudah maju perempuan boleh meminta laki
laki gatian bunting? (hal. 42)
Rasa sedih Engtay akan ketidakadilan hak laki laki dan perempuan membuatnya
bertekad agar dapat bersekolah seperti halnya kaum laki laki. Perjuangan Engtay
untuk menuntut kesamaan derajat perempuan dan laki laki dimulai saat ia
menyamar sebagai laki laki untuk mengelabuhi orang tuanya . Engtay ingin
menunjukkan pada orang tuanya bahwa perempuan juga pandai dan memiliki
kemampuan yang sama jika diberi kesempatan. Engtay merasa bahwa dirinya
sebagai perempuan juga memiliki hak untuk maju dan berperan sebagaimana yang
laki laki lakukan.
Engtay yang kemudian meneruskan sekolahnya, menunjukkan cara perempuan
untuk keluar dari penindasan, yaitu dengan pendidikan. Dengan pendidikan,
perempuan dapat mengasah intelektual dan kepribadiannya. Melaui sekolahnya ,
Engtay dididik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang menjadikannya
sebagai perempuan yang cerdas dan berkepribadian baik. Tidak hanya pintar dalam
hal pelajaran, tetapi ia juga pintar menyembunyikan identitas. Namun pada
akhirnya Engtay harus kembali merasakan penguasaan dirinya sebagai perempuan
yang dilakukan orang tuanya. Perhatikan kutipan di bawah ini
Engtay
: Ibu, betulkan perempuan dilahirkan untuk menjadi mahluk lemah,
dan tidak berdaya untuk memilih sendiri jalan nasibnya?
Nyonya Ciok : kita boleh memilih, tetapi keputusannya tidak di tangan kita. Itulah
kodrat.
Engtay

: Dan apa itu tidak bisa diubah?

Nyonya Ciok : banyak yang berusaha mengubahnya, tetapi tak ada yang
sanggup.
Engtay
: Betul tak ada yang sanggup. Tadinya kupikir aku sanggup. Aku
berhasil melewati masa-masa sekolah dan langsung menganggap diriku kuat. Tetapi
nyatanya aku tetap harus patuh terhadap keputusan orang tua dan tidak berani
melenceng dari garis kodrat. Selalu kalahkah kaum kita, ibu?
Nyonya Ciok : Tidak selalu,anakku. Jika kau memandangnya bukan dari segi
badaniyah, kemenangan kita adalah semacam kemenangan kecil-kecilan. Misalnya
berhasi membikin lelaki menyerah segala urusan dapur dan kamar tidur. Mengikat
mereka untuk betah di rumah sampai tua. Atau terkadang sesaat dua saat mereka
kita bikin bertekuk lutut lewat senjata rahasia kita. Menghiba-iba dan menjadi bayi
kembali.

Engtay

: Cuma itu?

Nyonya Ciok : Apa kau mau lebih dari itu? Lelaki memandang perkawinan ibarat
perang, sedang bagi perempuan perkawinan adalah sebuah karunia. Mengapa?
Kerena kitalah yang memberikan keturunan. Dan kita harus bangga dengan itu. Kau
tidak?
Engtay
: Tidak tahu, ibu. Tetapi aku sering meras nilai kita sebagai perempuan
tidak hanya itu. Aku sendiri tidak tahu apa kekurangannya, tetapi aku merasa ada
yang kurang. Dan aku tidak puas dengan hanya menjadi yang selalu kalah.
Nyonya Ciok : Bersedia kawin dengan Macun jangan kau pandang sebagai
kekalahan. Harus kau anggap sebaliknya. Kalau kau sebagi anak berhasil
mengangkat derajat orangtua, itulah kemenangan. Kalau kau berhasil membuat
dirimu patuh pada kehendak orangtua, itulah kemenangan. Dan hal itu sudah
dilakukan sejak berabad-abad lalu oleh para leluhur kita. Kau tidak bisa lari dari
kebiasaan turun-temurun ini.
Engtay

: Mungkin belum zamannya. aku dilahirkan terlalu cepat.

Nyonya Ciok : Ayo Engtay! Jangan coba menghujat takdir, nanti kamu kualat.
Engtay : (diam saja, hatinya gundah bagai diiris sembilu) (hal 216 - 219)
Kebersamaan Engtay dan Sampek membuat Engtay sangat mencintai Sampek,
meskipun ia dijodohkan dengan Macun. Rasa cintanya kepada Sampek,
memberanikan Engtay untuk menjatuhkan tubuhnya ke dalam makam sampek.
Engtay : Kau taruh tusuk kondeku di sini. Aku tahu apa yang kau harapkan dariku.
Sampek, kuambil tusuk konde ini. Akan kuketuk-ketuk di kuburanmu. Kalau kita
memang jodoh, kuburan ini pasti akan terbuka. Lalu aku akan masuk dan menjadi
satu dengan jasadmu untuk selama-lamanya. Tetapi kalau memang tidak berjoboh,
tentu aku akan terus dibawa Macun ke Rangkasbitung dan jadi isterinya seumur
hidup. Sampek, kau mati lantaran aku. Buktikan bahwa kematianmu tidak sia-sia.
Aku ketukkan tusuk konde ini tiga kali. Terbukalah... terbukalah kuburmu ini! (tibatiba setelah ketukan yang ketiga, terdengar gelegar guntur, padahal langit tak
sedang mendung. Lalu cahaya, bagai meteor jatuh dari langit. Cahaya tersebut
langsung membentur kuburan Sampek, sehingga kuburan menjadi terbelah dan
menganga) Engtay : kita memang berjodoh, tunggu aku Sampek, aku datang!
(Engtay masuk ke dalam kubur Sampek dengan gerakan yang sangat indah sekali)
(hal. 268-270)
Kutipan dialog diatas menunjukkan bahwa Perempuan juga bisa melakukan hal yang
berani, yang mempertaruhkan nyawanya sendiri demi orang lain. Perempuan
selayaknya diberi kebebasan untuk berinteraksi dengan dunia luar, memperoleh
pendidikan yang sama dengan kaum laki laki. Perempuan juga seharusnya diberi
kesempatan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Hal hal tersebut

merupakan deskonstruksi terhadap konsep perempuan ideal yang diidam-idamkan


oleh ayah dan ibu Engtay.
Penjelasan mengenai peran dan kedudukan Engtay sebagai tokoh utama dalan
naskah drama di atas menurut perspektif feminisme dapat dirinci sebagai berikut :
Perempuan zaman dahulu, (dalam naskah drama sampek Engtay) menyatakan
bahwa kedudukan perempuan adalah sebagai istri yang berperan sebagai kanca
wingking / pelengkap saja. Menurut ibu Engtay, hal hal seperti itu merupakan
gambaran perempuan ideal pada masanya dan dapat mengangkat derajat
suaminya. Sebagai anak perempuan, sejak kecil Engtay diajarkan dan dituntut
untuk mengikuti hal tersebut, tapi Engtay berusaha melakukan resistensi /
perlawanan.
Keinginan dan kemampuan perempuan untuk menuntut persamaan derajat
dibuktikan melalui pendidikan, pengalaman, dan kesempatan agar perempuan tidak
lagi dianggap sebagai nomor dua. Hal tersebut tampak saat Engtay sedang
menempuh pendidikan, ia bisa mengungguli kepandaian murid laki laki. Dengan
demikian, perempuan dianggap setara dengan jalan pendidikan. Peran dan
kedudukan laki-laki dan perempuan sejajar. Sampek menganggap bahwa Engtay
lebih pandai. Hal ini membuktikan bahwa tidak selamanya tingkat kecerdasan
perempuan lebih rendah dari lelaki.
Dari analisis yang telah diuraikan diatas, dalam naskah sandiwara Sampek &
Engtay terdapat hal-hal yang dianggap mengusung semangat feminisme, sehingga
dapat disimpulkan bahwa perempuan juga patut memperoleh pendidikan yang
setara dengan seorang seorang laki-laki. Dan sudah sepatutnya perempuan tidak
lagi dianggap sebagai nomor dua atau kanca wingking saja. Kisah Sampek & Engtay
ini dianggap sejalan dengan pemikiran feminisme bahwa seorang perempuan
haruslahlah mampu menentukan hidupnya untuk masa depan dan akan
melepaskan dirinya dari ketergantungan laki-laki. Selain hal tersebut, dapat di tarik
satu pemahaman bahwa hendaknya cinta dimaknai secara proporsional/seimbang
dan tidak berlebih-lebihan, karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Feminisme pada Sampek dan Engtay Karya Norbertus Riantiarno


Posted: 2 March 2011 in sastra
0
1.

Pendahuluan

Dewasa ini di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan


dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi.
Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan

marjinalisasi di dalam sistem tersebut, di berbagai bidang, termasuk di bidang


sastra. Dalam sejarah kesusastraan di berbagai wilayah, kita akan melihat berbagai
keadaan yang memiliki persamaan sehubungan dengan keberadaan perempuan di
bidang ini, yakni tersubordinasi dan termarjinalisasinya keberadaan mereka, baik
pada tataran proses kreatif, kesejarahan, maupun sosial.
Di Amerika, sejarah tidak pernah menulis tentang perempuan, karena penulisan
sejarah biasanya hanya menyebutkan keberhasilan orang-orang yang memiliki
kekuasaan, yang pada saat itu didominasi oleh laki-laki kulit putih. Menurut Saparie
(http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=113881), Di Indonesia, seperti
pernah dikatakan Nenden Lilis A, keterpojokan perempuan di dunia sastra juga
terjadi, meski tak seeksis di Amerika. Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat
nama-nama dan karya-karya perempuan. Namun, dalam penilaian terhadap karyakarya mereka banyak terjadi pengabaian. Kritik kesusastraan lebih banyak
difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik
hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah
dicapai perempuan, yang sebenarnya penting, tidak terjelaskan.

Sampai saat ini belum banyak kritikus sastra yang menggunakan perspektif
feminisme dalam melakukan kritik terhadap karya sastra. Pada awalnya karya
sastra perempuan di Amerika pun pernah dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu
muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa
menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan
dan kredibilitas pengarang laki-laki. Karena itu tidak mengherankan kalau pada
awalnya pengarang perempuan di Amerika pun pernah menggunakan nama
samaran laki-laki agar karya mereka bisa diterima masyarakat.
Kondisi-kondisi timpang di atas, seiring gerakan feminisme di berbagai belahan
dunia dan berkembangnya kajian-kajian perempuan, dipertanyakan para feminis.
Para feminis melihat perlu ada pengkajian dan penyusunan ulang terhadap kondisi
kesusastraan itu dengan apa yang kemudian dinamakan kritik sastra feminis.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada
dalam kritik sastra, Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika,
dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan
pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan
menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan
sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Makalah ini menyajikan teori, sejarah, serta tujuan dari kritik sastra feminisme.
Tidak hanya itu, makalah ini juga akan menyajikan aplikasi terhadap karya sastra.
Pengaplikasian teori ini dilakukan pada sebuah naskah drama N. Riantiarno yang
berjudul Sampek Engtay.

2.

Tinjuan Pustaka

2.1

Sejarah Gerakan Feminisme

Kritik ini berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis
wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulispenulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang ditekan,
disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan.
Hasrat pertama didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap penulispenulis wanita. Hasrat kedua didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Konvensi
Seneca Falls Tahun 1848 yang dipelopori oleh Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott,
dan Susan B. Anthony, berhasil menggalang dukungan bagi tuntutan mereka agar
wanita diberi hak yang sama (dalam bidang hukum, ekonomi, dan sosial). Usaha
mereka ini banyak mendapat tantangan dari nilai-nilai Victoria yaitu wanita harus
menjaga kesalehan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin
mengurus keluarga dan rumah tangga.
Tahun 1860-an melakukan upaya untuk memperoleh hak politik dan pendidikan
yang memunculkan perguruan tinggi khusus untuk perempuan seperti Vassar
College, Smith College, Wellesley College, dan Bryn Mawr College. Kemudian,
sebanyak 11.000 wanita muda terdaftar di 582 PT dan pada tahun 1900 tercatat
40% lulusan PT adalah wanita pada tahun 1870-an.
Tahun 1920 memperoleh hak memilih dan dipilih, setelah memperoleh pendidikan
yang baik, dan mengambil alih berbagai pekerjaan yang ditinggalkan laki-laki yang
pergi berperang pada PD I. Namun, di tahun 1920-1930 wanita Amerika cenderung
kembali ke lingkungan domestik, tidak ikut bersaing dengan kaum pria dalam
bidang politik maupun bisnis, dan mengalihkan perhatian ke bidang kesejahteraan
wanita dan anak yang meliputi bidang pendidikan dan kesehatan. Di tahun 1963
terbit buku The Feminine Mystique, karya Betty Friedan (Ahli sosiologi dan aktivis
Feminisme) yang menandai munculnya gerakan feminisme gelombng kedua di
Amerika.
Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme muncul di ketika terbitnya tulisan Habis
gelap terbitlah terang karya R. A. Kartini (Ibu Emansipasi). Dilanjutkan Dewi Sartika
Tahun 1904 mendirikan Sekolah Isteri kemudian namanya diganti dengan
Sekolah Keutamaan Isteri. Hingga tahun 1912, ia telah mendirikan 9 sekolah.
Selain itu, tahun 1912 lahirnya sebuah organisasi Perempuan bernama Poetri
Mardika kemudian mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.
Berbagai organisasi Perempuan muncul pada kurun waktu 1915-1925. Diantaranya
adalah: Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun

PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan


Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi
(Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito
Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920),
Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi
perempuan ini, menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk
membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke
dalam masyarakat luas. Kemudian dibentuklah Kongres Perempuan Indonesia I, II,
dan III guna menempatkan perempuan Indonesia menjadi lebih baik dari
sebelumnya
(http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1280&bih=619&q=sejarah+kritik
+sastra+feminisme&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=9798f548f006646a).

2.2

Landasan Gerakan Feminisme

Landasan terbentuknya gerakan feminisme, didasari oleh beberapa aspek. Aspekaspek tersebut antara lain, aspek politis, aspek evangelis, dan aspek sosialisme.
Aspek politis terlihat ketika terjadinya konferensi di Seneca Falls (USA) Tahun 1848,
sebagai awal timbulnya gerakan perempuan secara terorganisasi dan dianggap pula
sebagai Womens Great Rebellion. Para tokoh feminis memproklamasikan versi lain
dari Deklarasi kemerdekaan USA, yang awalnya berbunyi all men are created
equal(1776) menjadi all men and women are created equal.
Aspek keduan, aspek evangelis, dilihat dari sudut pandang agama (Katholik &
Protestan) menempatkan wanita pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
Aspek yang terakhir yaitu aspek sosialisme. Ideologi feminisme dipengaruhi oleh
konsep Sosialisme dan Marxis. Wanita Amerika sebagai kelas tertindas (proletar)
dalam masyarakat kapitalis tidak memiliki nilai ekonomis karena hanya mengurus
rumah tangga, berbeda dengan pekerjaan laki-laki yang menghasilkan uang
(borjuis)
(http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1280&bih=619&q=sejarah+kritik
+sastra+feminisme&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=9798f548f006646a).

2.3

Feminisme

Wolf dikutip Sofia (2009:13), mengartikan feminisme sebagai teori yang


mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. istilah
menjadi feminism, bagi Wolf harus diartikan dengan menjadi manusia. Pada
pemahamannya yang demikian, seorang permpuan akan percaya pada diri mereka
sendiri. Sementara itu, Budianto masih dikutip Sofia mengartikan permasalahan
ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas social
berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Istilah feminism berarti kesadaran akan

adanya ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga
maupun masyarakat. Kesadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang
dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan
tersebut.
Feminisme, dalam kamus bahasa Indonesia berarti mengenai (menyerupai seperti)
wanita, bersifat kewanitaan. Feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria. Dari wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, mengenemukakan bahwa feminisme adalah
sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan
keadilan hak dengan pria (http://id.wikipedia.org//w/index.php?
title=Feminisme&action=edit/).
Dengan demikian, dapat diartikan feminisme merupakan sebuah gerakan
perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan
pria. Emansipasi cenderung digunakan sebagai istilah yang berarti pembebasan
dari perbudakan yang sesungguhnya dan persamaan hak dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Perempuan dalam pendangan feminisme mempunyai
aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut
dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai manusia sepenuhnya.

2.4

Ragam Kritik Sastra Feminisme

Seperti yang kita ketahui, kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminism
untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masasilam dan untuk menunjukkan
citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai
makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan
oleh tradisi patriarchal yang dominan. Boleh dikatakan , hasrat yang pertama
didasarkan oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap penulis-penulis wanita
pada zaman dahulu, dan hasrat yang kedua didasari oleh perasaan prihatin dan
amarah.
Kedua hasrat ini menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadangkadang berpadu. Djajanegara (2003:2239) mengemukakan beberapa ragam kritik
sastra feminism yang muncul dari kedua hasrat di atas. Ragam tersebut antara lain,
kritik ragam idelogis, kritik ragam ginokritik, kritik ragam feminis-sosial, kritik
ragam lesbian, dan kritik ragam feminis-ras.

2.4.1 Kritik Ragam Ideologis


Kritik ragam ideologis merupakan kritik sastra feminis yang paling banyak dipakai.
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaun feminis sabagai
pembaca wanita adalah citra steriotipe wanita dalam karya sastra . kritik ini juga

meneliti nkesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab wanita sering tidak


diperhitungkan , bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Pada
dasarnya ragam kritik sastra ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu
di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekali
pun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga
membebaskan cara berpikir mereka.

2.4.2 Kritik Ragam Ginokritik


Kritik sastra feminis ragam lain adalah kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita.
dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya
penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita, profesi penulis wanita sebagai
suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis, serta
perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita. Jenis kritik sastra feminis ini
dinamakan gynocritics atau ginokritik dan berbeda dari kritik ideologis, karena yang
dikaji disini adalah maslah perbedaan. Ginokritik mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita
merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan tulisan
laki-laki.

2.4.3 Kritik Sastra Feminis-Sosialis


Kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra marxis meneliti tokoh-tokoh wanita
dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengrkritik feminis
mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang
tertindas. Gagasan ini memang mempunyai dasar kuat. Mary Wollstonecraft,
perintis gerakan feminis di Inggris mengemukakan dalam tulisannya bahwa kaun
wanita, khususnya dari kalangan menengah, merupakan kelas tertindas yang harus
bangkit dari belenggu rumah tangga. Pandangan feminis lain menyatakan bahwa
kaum wanita disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki modal tenagadan
tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi. Para penganut paham ini
mengaku adanya dua kubu yaitu kubu umum dan kubu rumah. Dalam masyarat
patriakal, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada
lingkungan serta kehiduppan an di rumah, sedangkan laki-laki mengusai kubu
umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Maka, kritik sastra feminissosial mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya sastra
lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk
kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran.

2.4.4 Kritik Ragam Lesbian

Kritik sastra feminis lesbian, ragam kritik ini hanya meneliti penulis dan tokoh
wanita saja. Ragam kritik ini masih terbatas kajiannya karena beberapa factor.
Factor pertama, rupa-rupanya para feminis pada umumnya kurang menyukai
kelompok wanita homoseksual dan memandang mereka sebagai kaum feminis
radikal. Sebaliknya, kelompok lesbian menyesalkan sikap kaum feminis moderat
yang hanya mengakui heteroseksual sebagai satu-satunya cara alami dalam
pengungkapan emosi dan hasrat seksual yang normal. Kedua, waktu tulisan-tulisan
tentang wanita bermunculan pada awal-awal tahun 1970-an, jurnal-jurnal kajian
wanita untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang
lesbianism. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang
definisi lesbianism. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan kritik sastra feminis-lesbian
adalah mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian.
Kemudian pengkritik satra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat
diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.

2.4.5 Kritik Ragam Feminis-Ras


Ragam kritik feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra
feminis-etnik. Kaum feminis etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dengan
kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi dari kaum lakilaki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari golongan
mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.pengkritik sastra ini ingin
membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-etnik beserta karyakaryanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisonal dan
sastra feminis.

3.

Pendekatan Feminisme Kekuasaan

Selain kelima ragam feminimis tersebut, terdapat dua jenis pendekatan yang
sangat menentukan sikap peneliti dalam menganalisis permasalahan perempuan
dalam karya satra. Wolf dikutip Sofia (2009:1719), membagi pendekatan feminism
dalam dua hal yaitu feminisme korban dan feminisme kekuasaan.

3.1

Feminisme Korban (victim feminism)

Feminisme korban melihat permpuanj dalam peran seksual yang murni dan mistis,
dipandu oleh burani untuk mengasuh dan memelihara, sertamenekankan
kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut
hak perempuan sebagai manusia biasa yang seksual, individual, tidak lebih baik
dan tidak lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan

mengklaim hak-hakna atas dasar logika yang sederhana, yaitu perempuan memang
memiliki hak.
Para pendekatan feminism korban, laki-laki menjadikan perempuan sebagai obejek
dan mengklaim bahwa perempuan tidak pernah melakukan sebaliknya kepada lakilaki. Selain itu, laki-laki dianggap suka berpoligami dan hanya menegjar sesuatu
yang tampak. Sementara itu, perempuan dipandang monogamy dan mementingkan
emosi. Dengan adanya gegar gender (genderquake), yaitu tumbuhlah kesadaran
bahwa perempuan bukanlah minoritas, perempuan tidak perlu mengemis kepada
siapa oun untuk melakukan sesuatu.

3.2

Feminisme Kekuasaan

Dekade 1990-an mulai muncul citra perempuan sebagai pemegang kekuasaan yang
telah membebaskan perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai
makhluk yang tidak hanya menarik dan memberikan perasaan ingin menyayangi,
melainkan juga dapat mendorong kea rah aksi adalah citra tentang agresivitas,
keahlian, dan tantangan, ketimbang pencitraann tentang korban. Oleh karena itu,
yang diperlukan untuk menganalisis perempuan-perempuan yang memahami
kekuatan dirinya adalah pendekatan feminism kekuasaan. Pendekatan feminisme
kekuasaan merupakan pendekatan yang luwes yang menggunakan dasar
perdamaian, bukan dasar perang dalam perjuangan meraih hak setara. Pendekatan
ini bersifat terbuka dan menghormati laki-laki serta dapat membedakan
ketidaksukaan pada laki-laki.
Prinsip pendekatan ini yang pertama adalah perempuan dan laki-laki mempunyai
arti yang sama dalam kehidupan wanita. Kedua, perempuan berhak menentukan
nasibnya sendiri. Ketiga, pengalaman-pengalaman mempunyai makna bukan
sekedar omong kosong. Keempat, perempuan berhak mengungkapkan kebenaran
tentang pengalaman-pengalaman mereka. Kelima, perempuan layak mendapatkan
lebih banyak segala sesuatu yang tidak mereka punya karena keperempuanan
mereka.

4.

Aplikasi

Sebagai pelengkap dari kajian feminisme ini, penulis mencoba mengaplikasikan


teori feminisme dengan menggunakan pendekatan feminisme kekuasaan pada
naskah drama Sampek Engtay karya Nobertus Riantiarno. Penulis memilih karya
sastra berupa naskah drama karena tertarikan terhadap kemenarika dan komedi
cerita serta hubungan yang erat terhadap kajian feminisme.

4.1

Nano Riantiarno

Lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949 atau biasa dipanggil Nano, adalah seorang
aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977).
Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno. Nano telah berteater sejak 1965, di
kota kelahirannya, Cirebon. Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah
di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Nano banyak menulis skenario film dan
televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film
Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia
pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.
Menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh
Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. Ranjang Bayi dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek,
diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.
Sampek Engtay merupakan lakon klasik Cina ini disadur dan dilahirkan tahun 1988
oleh N. Riantiarno dan dipindahkan peristiwanya ke daerah Banten. Struktur
ceriteranya tidak mengalami perubahan dari lakon aslinya, hanya ada beberapa
penambahan sebagai kembang lakon dengan mengingat bahwa kisah Sampek
Engtay banyak sekali versinya. Lakon itu dalam ludruk, misalnya, berbeda dengan
lakon yang dimainkan dalam drama gong di Bali. Juga berbeda dengan ketika lakon
ini dipanggungkan oleh Dardanella atau Opera Bangsawan pada awal abad ke-20.
Dalam lakon versi Teater Koma, Engtay adalah gadis kelahiran Banten yang tinggal
di Serang. Sampek asal Pandeglang dan Ma Tjoen, tunangan Engtay, anak Kapten
Cina dari Rangkasbitung. Musik pun digarap secara gado-gado. Unsur Cina, Sunda,
Betawi dan bunyi-bunyi masa kini berbaur dan menciptakan harmoni yang unik. Ini
sah saja. Sebagai contoh : ketika lakon ini di-Jawa-kan oleh sebuah grup (direkam
oleh Tio Tek Hong, Batavia, pada awal abad ke-20), musik yang dipakai adalah
musik gamelan Jawa. Sedang pada masa lakon ini dimainkan oleh Opera
Bangsawan, irama wals dan tango masuk pula. Itu bukti bahwa lakon ini memang
universal.
Inilah lakon melodramatis, disampaikan secara kocak dan dibungkus dengan tarian
dan musik. Sebuah gurauan pahit remaja bercinta yang juga masih bisa dinikmati
oleh para orang tua. Sebuah lakon tentang wanita yang menganggap sanggup
merubah citra dirinya, tetapi pada akhirnya tetap tidak bisa lari dari keputusan
keluarga. Namun, mampu menentukan nasibnya sendiri
(http://www.teaterkoma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=47:nriantiarno&catid=36:angkatan-pendiri&Itemid=63).

4.2

Sinopsis Sampek Engtay

Dengan berbagai cara Engtay berhasil meyakinkan kedua orangtuanya bahwa


sekolah itu baik bagi dirinya. Ia pun pergi ke Betawi dan bertemu Sampek. Engtay
ditempatkan dalam satu kamar dengan Sampek, karena tidak seorang pun
menyangka bahwa Engtay adalah perempuan. Maklum ia menyamar menjadi lakilaki.
Cinta pun tumbuh dan hampir saja Engtay menyerahkan dirinya kepada Sampek
yang akhirnya tahu juga ia perempuan. Engtay berterus terang kepada Sampek
lantaran ia geregetan terhadap kejujuran-yang disebutnya sebagai kebodohan-lelaki
muda itu. Bayangkan sudah hampir satu tahun Sampek tetap tidak mengira bahwa
selama ini ia tidur satu ranjang dengan seorang gadis.
Tapi cinta Sampek ditakdirkan tidak kesampaian karena tepat pada saat ia siap
bercumbu, Engtay dipanggil pulang untuk dinikahkan dengan tunangannya, Ma
Tjoen. Sampek pun merana dan sakit cinta menyebabkan ia mati. Ia dikubur dengan
tanda-tanda seperti yang diminta oleh Engtay yaitu kuburan di sebelah timur dan
menghadap ke barat, bongpay (batu nisan) warna biru dengan tulisan nama
pemuda itu tertatah jelas.
Ketika Ma Tjoen berhasil memboyong Engtay ke Rangkasbitung dengan tandu
pengantin, Engtay memohonkan sebuah permintaan : ziarah ke makam Sampek
untuk sembahyang. Dasar Jodoh, ketika upacara sembahyang itulah kubur Sampek
terbuka. Lalu Engtay melompat ke dalam kubur, menyatu bersama kekasihnya. Ma
Tjoen marah bukan main. Ia membongkar kuburan. Tapi baik jasad Sampek maupun
Engtay tidak terdapat dalam kuburan itu. Sebagai gantinya, di situ ada sepasang
batu biru, sepasang tawon kuning dan sepasang kupu-kupu yang langsung terbang
menuju langit.

4.3

Analisis

Analisis feminisme dalam Sampek Engtay ini dilakukan dalam beberapa dua tahap.
Tahap pertama mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita dalam sebuah
karya sastra. Tahap kedua, mengidentifikasi tokoh lain, terutama laki-laki yang
memiliki keterkaitan dengan perempuan yang sedang diamati (Djajanegara,
2003:51). Dalam masing-masing tahap akan dianalisis dan dikaitkan dengan
pendekatan kekuasaan. Hal ini dikarenakan pendekatan kekuasaan wanita dalam
cerita terlihat dominan bila dibandingkan dengan pendekatan atau ragam-ragam
feminisme lainnya. Tokoh-tokoh wanita dalam Sampek Engtay adalah Engtay,
Nyonya Tjiok, Nyonya Liang, Djien Sim, dll. Tokoh wanita yang akan diidentifikasi
dalam kajian ini adalah Engtay dan laki-laki yang berkaitan langsung dengan tokoh
wanita yaitu Sampek.

4.3.1 Analisis Tokoh Engtay


Berbagai asumsi laki-laki tenang perempuan menghasilkan ekspresi yang
merupakan tuntutan terhadap perempuan agar berada pada posisi sebagai pihak
yang dikuasai. Tuntutan tersebut terlihat dalam kata-kata dalam naskah drama
Sampek Engtay. Engtay merupakan perempuan kuasa yang menyadari bahwa ia
memiliki kuasa untuk menentukan hidupnya. Ia melakukan banyak cara agar sesuat
yang dikehendakinya terwujud. Namun, ia masih tetap dalam koridor anak berbakti
terhadap orang tua. Jika ia bukan perempuan kuasa tentulah ia akan menerima
apapun yang ditentukan atau diarahkan hidupnya tanpa beruasaha untuk
merubahnya atau memperbaikinya agar menjadi lebih baik. Deskripsi sikap-sikap
inilah yang merupakan kritik sastra feminisme, yaitu mengungkapkan harga diri
pribadi dan harga diri perempuan.

1)

Upaya memberikan pemahaman

Proses memberikan pemahaman merupakan langkah feminisme kekuasaan yang


memandang aksinya dapat mengubah dunia dengan mempengaruhi kehidupan
sekitarnya. Pada Sampek Engtay proses ini tampak jelas dari dialog-dialog Engtay
yang mendapatkan belum langsung mendapatkan respons positif dari kedua orang
tuanya sebagaimana kutipan berikut.
NYONYA CIOK : Engtay, apa kamu lupa kalau kamu ini perempuan? Sekolah hanya
untuk kaum lelaki. Mana kamu bisa tahan? Berapa lama? Pasti mereka akan tahu
juga kalau kamu itu lelaki jadi-jadian, lalu mereka akan kurang ajar. Apa daya
kamu?
ENGTAY : Tunggu, ibu. Ibu akan lihat bagaimana pandainya anakmu menyamar.
NYONYA CIOK : Engtay
ENGTAY : (LARI KE KAMARNYA) Tunggu saja, ibu harus lihat .
1988:13)

(Riantiarno,

Dialog Engtay tersebut merupakan suatu reaksi feminis kekuasaan yang


memperlihatkan kuatnya pendirian Engtay untuk belajar di Betawi meskipun di
sekolah Putra Bangsa hanya menerima siswa laki-laki bukan perempuan. Ia
mencoba membujuk kedua orang tuanya dengan cara menyamar menjadi laki-laki
dan kedua orang tuanya tidak mengetahuinya. Karena melihat tekad dan usaha
yang besar, akhirnya Engtay mendapat persetujuan kedua orang tuanya untuk
bersekolah di Putra bangsa dengan menyamar sebagai anak laki-laki. Perhatikan
kutipan berikut (Riantiarno, 1988:16).
ENGTAY : Mohon, ayah, aibu, izinkan aku pergi. Restui anakmu ini.
(MENANGISMANJA)

NYONYA CIOK : (TERPENGARUH. IKUT MENANGIS) Engtay, anakku. Apa boleh buat.
Ibu akan mengizinkan. Tapi kamu harus ekstra hati-hati. Waspada sama orang
asing. Jangan terlalu cepat percaya sama orang yang baru kamu kenal. Betawi itu
kota besar, jauh lebih gede dari Serang. Macam-macam orang berkumpul di kota
itu, campur aduk kayak cendol. Kamu harus jeli memilih teman. Hemat pangkal
pandai, rajin pangkal kaya. Harus patuh sama gurumu!
ENGTAY : (MASIH MENANGIS) Nasehat ibu, akan selalu aku turut. Ayah?
CIOK : Mau apa lagi? Kalau ibumu sudah setuju, masa aku tidak? Lebih baik kamu
siap-siap. Besok pagi kamu berangkat. Nanti ayah urus supaya kamu bias langsung
diantar kegedung sekolahan. Kebetulan ayah kenal baik guru kepala disana, ayah
akan surati dia.
Beradasarkan kutipan dialog di atas, terlihat sekali jika dihubungkan dengan
perjuanagan gerakan feminisme yanag menganjurkan kemandirian berpikir agar
menempati kedudukan yang sama dengan kedudukan laki-laki. Selain memberikan
pemahaman tentang pendidikan kepada orang tuanya, Engtay juga memberikan
pemahaman bahwa seorang wanita mampu melakukan sesuatu tanpa pertolongan
dari siapapun termasuk laki-laki. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut.
CIOK : Jangan kuatir. Kami berkenalan waktu ayah masih bujangan. Ah, seharusnya
kuantar kamu sampai Betawi. Tapi ayah sudah tidak kuat jalan jauh. Nanti
kalau encok dan darah tinggiku kumat, bagaimana? Atau Antong saja yang
mengawal kamu? Bagaimana? Antong
ENGTAY : Aku lebih suka pergi sendiri, ayah.
CIOK : Tuh, bu, sudah kuduga. Pergi sendirian. Anakmu rupanya ingin jadi pendekar
silat yang merantau, seperti dalam komik picisan itu.
NYONYA CIOK : Sudah, sudah, lebih baik kita kedalam siap-siap.
Walaupun Engtay memberikan pemahaman kepada orang tuanya jika ia akan pergi
sendiri saja, ia harus ditemani oleh Antong, suami dari dayang Engtay. Mereka pergi
berdua dengan Engtay telah menyamar menjadi laki-laki.
Dari upaya pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan
pemahaman yang sabar akan didapatkan tujuan yang akan kita capai. Selanjutnya,
akan dikaji kekuatan perempuan dalam mempertahankan dan melindungi dirinya.

2)

Mempertahankan dan Melindungi Diri

Setelah memberikan pemahaman dan mendapatkan tujuan awalnya, perempuan


harus tetap mampu mempertahankan dirinya dengan cara melindungi dirinya dari

kekuasaan laki-laki. Hal ini dilakukan oleh Engtay ketika ia berada di sekolah Putra
Bangsa dengan berani konsisten dan membuat peraturan-peraturan guna
melindungi dirinya. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut (Riantiarno, 1988:22).
SAMPEK : Adik Engtay, aku tidur dulu. Di sebelah mana adik mau pilih tempat? Di
sini atau di situ?
ENGTAY : Tunggu dulu. Aku punya sedikit permintaan Semua barang yang ada
dikamar ini boleh kita pakai berdua. Yang tetap menjadi milik pribadi adalah barangbarang yang memang tidak bisa dipakai berdua. Tapi, ehh .. tempat tidur ini .. ehh ..
barang kali, lebih baik kita bagi dua saja ..
SAMPEK

: Mengapa begitu?

ENGTAY : Tidurku suka berantakan.


SAMPEK

: Yaa, namanya juga lelaki. Tidur berantakan kan biasa.

ENGTAY
: Tidak. Kalau kakak tidurnya rapih, sedang aku tidak, itu kan tidak adil.
Baiknya begini saja .. (MENGAMBIL SEUTAS TALI DAN MEMBELAH RANJANG MENJADI
DUA. SAMPEK MELONGO SAJA)
ENGTAY : Tali ini akan menjadi batas. Sebelah sini milikku, dan sebelah siti milik
kakak. Siapa melanggar batas tali ini, harus didenda.
Dari kutipan di atas tampak bahwa Engtay melindungi dirinya ketika ia sekamar
dengan Sampek. Ia memberikan peraturan-peraturan agar Sampek tak
mendekatinya ketika ia tidur dan menegtahui ia adalah seorang wanita. Ia mencoba
memberikan alasan mengenai peraturan yang dibautnya agar terkesan tidak aneh
atau bahkan dicurigai. Selain itu, terdapat kutipan dalam dialog drama Sampek
Engtay yang mengungkapkan alasan-alasan Engtay agar mampu bertahan dan
melindungi dirinya di sekolah Putra Bangsa ((Riantiarno, 1988:26).
ENGTAY : (MENAHAN SENYUM) Maaf, guru. Saya kencing sambil jongkok sejak saya
kecil.
ENGTAY : Sudah kebiasaan. Kencing sambil berdiri, bukan saja menyalahi peraturan
sekolah kita tapi juga melanggar ujar kitab-kitab yang bunyinya : Jongkoklah Waktu
Buang Air Kecil dan Besar, Supaya Kotoran Tidak Akan Berceceran.
GURU : Itulah yang ingin kuutarakan pagi ini. Otakmu encer sekali Engtay dan
sungguh tahu aturan. Kamu betul-betul kutu buku. Apa lagi kalimat-kalimat dalam
kitab yang kamu baca perihal kencing? Katakan, biar kawan-kawanmu yang bebal
ini mendengar.
ENGTAY : (BERLAGAK MENGHAFAL) Yang Keluar Saat Buang Air Kecil Harus Air.
Kalau Darah, Itu Pertanda Kita Sakit. Segeralah Ke Dokter

Berdasarkan kutipan di atas tercerminlah bahwa Engtay memiliki kecerdasan yang


tinggi. Bahkan melebihi teman yang lainnya. Dialog ke-9 tersebut terjadi di sekolah
Putra Bangsa, ketika sang guru marah kepada muridnya karena wc sekolah
hitamnya terlihat kotor. Hal ini disebabkan murid-murid laki-laki yang buang air kecil
sambil berdiri bukan jongkok. Engtay yang memang kodratnya buang air kecil
sambil jongkok mencoba memberikan pengertian bahwa ia melakukannya dengan
jongkok sebagai upaya agar kesehatannya tetap terjaga. Pendapatnya itu,
membuat sang guru terkesan. Hal tersebut seperti yang diagungkan teori
feminisme bahwa perempuan harus mampu mempertahankan dirinya agar tidak
merendahkan derajatnya di mata laki-laki.

3)

Berfikir Cerdas dan Maju ke Depan

Riantiarno menggambarkan sosok Engtay sebagai gadis yang cantik, menawan


tanpa ada yang menandinginya kecuali cahaya bulan. Selai cantik, Riantiarno juga
menggambarkan sosok Engtay yang memiliki kecerdasan dalam bidang pendidikan
dan pergaulan. Berikut kutipannya (Riantiarno, 1988:47).
SUHIANG
: Kalau dibilang cantik, dikota ini memang nona kami adalah yang
paling cantik. Hanya cahaya bulan yang sanggup mengalahkan kecantikannya. Dia
bukan saja cantik tapi juga pintar. Semua kepandaian rumah tangga dia bisa. Sebut
saja apa! Menyulam, memasak, berdandan? Bisa.
SUHIANG : Nona kami juga pintar surat menyurat. Dia pandai menulis syair
sindiran dan syair pasangan. Jika ada orang bertanya, siapakah perempuan muda
di Serang ini yang memenuhi persyaratan sebagai perempuan luar dalam? Maka
jawabannya hanya satu : Nona Engtay kami itu. Paham?
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa Engtay adalah gadis yang cantik luar
dan dalam baik dari penampilan maupun pemikiran. Hal ini sesuai dengan
pemikiran feminisme yang menganjrkan seorang perempuan harus mampu
mengembangkan intelektual guna memiliki kesejajaran dengan laki-laki.
Riantiarno juga mengisahkan perilaku atau peikiran Engtay yang banyak
mempengaruhi hidupnya dengan cara dipikirkan matang-matang demi kebaikan
hidupnya kelak. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut (Riantiarno, 1988:51).
SAMPEK : Tidak. Tanya Sukiu. Waktu dia mengingatkanku aku pada hari ke-28, aku
bilang padanya, kita harus sampai di Serang saat hari sebelum hari yang dijanjikan.
Aku mohon padamu Engtay, jangan sampai kau tidak menepati janjimu.
ENGTAY : Berapa 2 ditambah 8, 3 ditambah 7, 4 ditambah 6? Sepuluh! Itulah hari
yang kujanjikan. Kuucapkan ketiganya hanya untuk penegasan.

SAMPEK : Kalau begitu, perkataanmu terlalu samar-samar. Aku jumlahkan


seluruhnya menjadi 30. Hari ini adalah hari yang ke-30.
ENGTAY : Tidak bisa begitu cara menghitung cinta. Kakak hanya bisa membaca
yang tersurat, tapi tidak sanggup memahami apa yang tersirat. Kakak hanya
mengerti apa yang terucap tapi tidak mampu menafsir apa yang ada di balik
ucapan. Kakak terlalu berpikir lurus.
SAMPEK : Bukankah cinta seharusnya lurus?
ENGTAY : Tidak. Cinta penuh liku-liku. Tak terbatas bagai langit.
Sebelum Engtay dijuempt pulang ke rumahnya, Engtay sempat berpesan kepada
Sampek agar segera datang ke rumahnya dengan lama atau perhitungan waktu 2
ditambah 8, 3 ditambah 7, 4 ditambah 6. Namun, Sampek berfikir bahwa semua
angka harus dihitung maka itulah waktu yang diberikan Engtay agar ia segera
melamarnya. Padahal seharusnya angka tersebut hanya permainan kata-kata yang
diucapkan oleh Engtay. Dengan kata lain tidak perlu dijumlahkan. Hal tersebut
sesuai dengan perhitungan Engtay yaitu sebelum 10 hari maka ia akan menerima
lamaran Sampek dahulu daripada lamaran tunangannya.
Berdasarkan kutipan dan penjelasan jelas sudah bahwa Engtay memiliki pemikiran
ke depan untuk kehidupannya. Hal ini sama hal dengan pemikiran feminisme bahwa
seorang perempuan haruslahlah mampu menentukan hidupnya untuk masa depan
dan akan melepaskan dirinya dari ketergantungan laki-laki. Berikut dikutip dialog
yang menegaskan bahwa Engtay telah mampu menentukan masa depannya sendiri
(Riantiarno, 1988:64).
SUKIU : Baik. (MEMBACA LAGI) Kalau kakak sampai meninggal, kuburlah jasad
kakak dipinggir jalan besar dipekuburan luar kota arah Rangkasbitung. Carilah
tanah dipekuburan sebelah timur dan kuburan kakak harus menghadap kebarat.
SUKIU : Pilihlah bongpay yang berwarna biru dan tatahlah nama kakak di batu nisan
itu dengan huruf-huruf yang jelas. Di belakang hari, aku tentu akan datang
bersembahyang dikuburan kakak. Sekian surat dariku. Dan harap jangan melupakan
pesanku. Salam. Engtay ...
SAMPEK
: Dengar semua pesanku! Kuburkan aku seperti apa yang ditulis Engtay
dalam surat itu. Aku yakin, Engtay pasti akan datang ke kuburku. (MENGAMBIL
TUSU KONDE DARI BALIK BANTALNYA) Ini tusuk konde, tanda mata dari Engtay.
Taruhlah diatas piring pedupan di depan kuburku. Jika dia datang, Dia pasti tahu apa
yang harus dilakukannya. Ibu, ayah, aku mohon maaf karena tidak bisa menjaga
sampai ayah, ibu tua. Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini. Aku merasa, ajalku
sudah dekat sekali. Ikhlaskan anakmu pergi, tapi ada satu permintaanku: jangan
benci sama Engtay, sebab dialah satusatunya gadis yang paling aku cintai. Selamat
tinggal semuanya (SAMPEK MATI. TANGISPUN MELEDAK)

Sampek yang patah hati terhadap keputusan Engtay yang menerima pernikahannya
dengan tunangannya Macun mendapatkan surat berupa amanat dari Engtay bahwa
Sampek akan segera mati. Engtay berpesan setelah Sampek mati ia harus
dikuburkan di pekuburan luar kota arah Rangkasbitung. Dikubur di tanah pekuburan
sebelah timur dan menghadap ke barat. Juga menggunakan nissan berwarna biru
dengan tatahan nama yang jelas. Maka, Engtay kemudian pasti datang dan mereka
pasti akan memperoleh kebaikan. Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat jelas
Engtay mampu memberikan pemikirannya untuk masa depannya. Bahkan, masa
depan Sampek.

4)

Mengakhiri Pernikahan dengan Strategi

Dalam kisah Sapek Engtay yang dihasilkan oleh Riantiarno, terdapat akhir cerita
yang tragis. Engtay merelakan dirinya menikah dengan Macun. Hal tersebut
merupakan permintaan sang ayah. Gerakan seperti itu sebenarnya bukanlah yang
diinginkan dalam gerakan feminisme. Tindakan seperti itu terkesan seperti wanita
lemah dan menerima nasib dengan pasrah. Namun, ternyata Riantiarno memiliki
akhir cerita yang mengembalikan citra dari kepribadiaan Engtay yaitu mampu
menentukan nasibnya sendiri. Ia memilih untuk terjun ke liang lahat bersama jasad
Sampek. Akhirnya mereka terbebas dari belenggu kehidupan, bebas terbang
menjadi kupu-kupu. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam kutipan berikut
(Riantiarno, 1988:66).
ENGTAY : Kau taruh tusuk kondeku disini. Aku tahu, apa yang kau harapkan dariku.
Sampek, kuambil tusuk konde ini. Akan kuketuk-ketuk di kuburanmy. Kalau kita
memang berjodoh, kuburan ini pasti akan terbuka. Lalu aku akan masuk dan
menjadi satu dengan jasadmu untuk selama-lamanya. Tapi kalau kita memang tidak
berjodoh, tentu aku akan terus dibawa Macun ke Rangkasbitung dan jadi isterinya
seumur hidup. Sampek, kau mati lantaran aku. Buktikan, bahwa kematianmu tidak
sia-sia. Aku ketukkan tusuk konde ini tiga kali. Terbukalah Terbukalah kuburmu ini
(MENGETUK-NGETUK TUSUK KONDE KEKUBUR SAMPEK, SEBANYAK TIGA KALI).
(TIBA-TIBA, SETELAH KETUKAN YANG KETIGA, TERDENGAR GELEGAR GUNTUR,
PADAJAL
LANGIT TIDAK SEDANG MENDUNG LALU SEBUAH CAHAYA, BAGAI METEOR, JATUH
DARI
LANGIT. CAHAYA ITU LANGSUNG MEMBENTUR KUBURAN SAMPEK, SEHINGGA
KUBURAN
JADI TERBELAH DAN MENGANGA)
(ENGTAY TERKESIMA. SEMUA TERKESIMA)

CIOK : Apa itu?


NYONYA CIOK

: Kuburan terbuka. Kuburan terbuka. Hantu!

ENGTAY
: (TERSENYUM) Kita memang berjodoh. Tunggu aku, Sampek! Aku
datang! (ENTAY MASUK KEDALAM KUBUR SAMPEK DENGAN GERAK YANG SANGAT
INDAH SEKALI)
Sangat jelaslah bahwa Engtay yang menerima pinangan Macun memiliki strategi
yang tersusun secara rapi untuk akhir kebahagiaannya kelak. Hal tersebut seperti
pemikiran para feminis bahwa seorang wanita yang kuat tidak perlu memikirkan
kepentingan orang lain, haruslah kepentingan diri sendiri dahulu yang diutamakan.

4.3.2 Analisis Tokoh Sampek


Selain Sampek masih banyak lagi tokoh laki-laki dalam naskah drama ini, antara
lain Macun, Jurangan Ciok, Nio, Sukiu, Kapten Liong, dan lain sebagainya. Namun,
penulis memilih Sampek sebagai bahan kajian karena Sampek merupakan salah
satu pemeran utama dalam cerita yang berhubungan langsung dengan Engtay.

1)

Pemikiran yang Lambat dan Lemah

Sampek merupakan anak laki-laki dari Nio dan Nyonya Nio. Sampek disekolahkan
oleh Nio dan ditemani oleh bujangnya Sukiu. Namun, Riantiarno menggambarkan
Sampeksebagai laki-laki yang memiliki pemikiran agak lambar dan lemah jika
dibandingkan dengan Engtay yang derajatnya sebagai wanita. Hal ini tergambar
dari kutipan berikut (Riantiarno, 1988:39).
SAMPEK : Kenapa tidak sejak dulu aku tahu kau itu perempuan?
ENGTAY

: Karena

SAMPEK : Ssstt, jangan diulang, aku tahu lantaran aku bego dan bodoo .. (BERBISIK)
kita ?
Kutipan di atas menceritakan selama hampir dua tahun bersekolah di Putra Bangsa
dan sekamar dengan Engtay, Sampek masih belum juga mengetahui bahwa Engtay
sebenarnya adalah perempuan. Beradasarkan kutipan di atas tercermin bahwa
Sampek memiliki pemikiran yang lambat dan cenderung lemah. Pemikiran ini
sebenarnya sangat didengungkan oleh para feminis bahwa kaum laki-laki tak
selamanya berada diposisi sempurna.

2)

Pemuja Cinta

Selain memiliki pemikiran yang lambat, tokoh laki-laki dalam cerita ini yaitu sampek
memiliki rasa cinta yang sangat besar sehingga membuatnya menjadi manusia
yang terkesan bodoh menurut penulis. Ia mampu melakukan apapun demi cinta
yang absurd. Perhatikan kutipan berikut (Riantiarno, 1988:58 ).
SAMPEK : Aduh, ibu, ayah, lebih aku mati saja. Tidak sanggup lagi.
NYONYA NIO : Apa sih hebatnya Engtay? Masa tidak bisa dibandingkan dengan
perempuan lain?
SAMPEK
: Ibu tidak pernah jumpa dengan dia sih. Pokoknya, untukku Engtay tak
bias digantikan oleh siapa pun.
Sampek yang sedang jatuh cinta dengan Engtay jatuh sakit ketika menegtahui
Engtay menolak lamarannya dan menerima lamaran Mancu. Ia rela mati akan itu.
Para feminis menganggap jika wanita memiliki kepribadian ini tidaklah
mencerminkan pemikiran feminisme yang mencoba mengembangkan dirinya agar
mampu hidup mandiri, baik secara intelektual maupun secara ekonomis.
Dilihat dari cara-cara penulis menyajikan lakon ini. Kesan yang didapat dari sikap
Riantiarno manampilkan Sampek dan Engtay. Bagaimana ia menokohkan Engtay.
Tampaknya ia ingin menyampaikan pandangan serta gagasan secara sungguhsungguh dan terus terang. Tidak adanya rasa sindiran dan cemoohan terhadap
penokohan Engtay. Tindakan dan ucapan Engtay tampak wajar-wajar saja, tidak
dibuat-buat, dan tidak pula berlebihan. Hal inilah yang diinginkan dari gerakan
feminisme yang senantiasa menghimbau wanita untuk memperjuangkan
kehidupannya agar lebih maju dan mampu mengembangkan dirinya. Namun,
berbeda dengan penokohan Sampek yang terkesan lebih dicemooh dibandingkan
dengan tokoh lain.

5.

Penutup

Feminisme adalah suatu kritik terhadap cara pandang yang mengabaikan


permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas
social berdasarkan jenis kelamin. Ini berarti kesadaran akan adanya ketidakadilan
gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga ataupun masyarakat.
Keasadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan untuk mengubah keadaan terdebut.
Analisis feminisme dalam Sampek Engtay ini dilakukan dalam beberapa dua tahap.
Tahap pertama mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita dalam sebuah
karya sastra. Tahap kedua, mengidentifikasi tokoh lain, terutama laki-laki yang
memiliki keterkaitan dengan perempuan yang sedang diamati.

Kesimpulan yang dapat ditarik kesimpulan bahwa Sampek Engtay memiliki unsure
yang dapat dikaji melalui kajian feminisme. Riantiarno sebagai penulis cerita
mampu menggambarkan sosok Engtay sebagai perempuan yang memiliki
kekuasaan dalam menentukan kehidupannya.

Daftar Pustaka

Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta:


Gramedia.

Saparie, Gunoto. 2007. Kritik Sastra dalam


Perspektif Feminisme. (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=113881).
Diakses 2 Oktober 2010.

Sofia, Abid. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis Perempuan dalam Karya-karya
Kuntowijoyo. Yogyakarta: Cipta Pustaka.

Riantiarno, N. 1988. Sampek Engtay. (www.google.com). Diakses 1 Oktober 2010.

________. 2010. N. Riantiarno. (http://www.teaterkoma.org/index.php?


option=com_content&view=article&id=47:n-riantiarno&catid=36:angkatanpendiri&Itemid=63). Diakses 9 Oktober 2010.

Anda mungkin juga menyukai