KELAS :D
NIM : 1801010154
SEMESTER :V
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Karya sastra terutama novel dan cerpen adalah salah satu media untuk
mengungkapkan fakta kemanusiaan, yakni segala hasil aktivitas atau perilaku
manusia baik yang verbal maupun yang fisik. Dengan cita rasa kemanusiaannya
yang tinggi, pengarang mengolaborasi berbagai aspek kehidupan untuk melahirkan
karya sastra. Pengarang yang pada suatu ketika meminati masalah sosial, akan
mengolaborasi berbagai fakta kemanusiaan dengan bidang sosiologi , demikian
pula dengan bidang-bidang lainnya seperti politik, religi, ekonomi, dan psikologi.
Salah satu pengarang Indonesia dengan kepekaan tentang kehidupan sosial adalah
Unu Ruben Paineon. Novel yang ia tulis berjudul Foek Susu.
1.2PERUMUSAN MASALAH
Untuk dapat mengkritik dengan pendekatan holistic dalam alur novel Foek
Susu , maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a) Komponen apa saja yang mendukung kritik holistic dalam novel Foek
Susu ?
b) Bukti teks apa saja yang mendukung penelitian kritik holistik dalam
novel Foek Susu ?
Manfaat penelitian mencakup dua dimensi, yakni keilmuan dan praktis. Manfaat
keilmuan dalam kasus ini bersifat pembuktian bahwa kritik holistik dapat
digunakan untuk mengkritik sastra, sesuai teori yang dilontarkan oleh para pakar
kritik sastra. Manfaat praktis merujuk pada nilai kegunaan bagi kehidupan sosial
kita sehari-hari.
BAB II
KAJIAN TEORI
Sumber nilai setiap karya seni, dalam hal ini karya sastra –pada dasarnya berkaitan
secara langsung dengan tiga komponen utama yang menunjang kehidupan seni
dalam masyarakat, yakni (1) pengarang; (2) karya seni sastra; dan (3) pembaca.
Tiga komponen tersebut saling berinteraksi dan menentukan setiap nilai karya
sastra. Karena itu, untuk memperoleh pemahaman makna yang utuh, penelitian
karya sastra tidak meninggalkan salah satu dari ketiga komponen sumber nilai
tersbut.
Prinsip pendekatan holistik dikutip secara langsung dari hasil kajian dan analisis
Al-Ma’ruf (2010). Dalam proses kerjanya, pendekatan holistik dilandasi oleh
kerangka kerja dengan perspektif fenomenologis dan juga tafsir hermeneutik
sehingga analisisnya bersifat induktif yang menjadi ciri khas penelitian kualitatif.
Oleh karena itu, setiap simpulan akhir selalu dalam sifatnya yang terbuka untuk
dapat diperbarui berdasarkan fenomena baru yang ditemukan kemudian, atau
berubah dengan interpretasi baru.
BAB III
1. ASPEK INTRINSIK
a) Tema
Tema sentral dalam novel Foek Susu adalah cinta adan pekerjaan
b) Tokoh / Penokohan
- Kolo, seorang sarjana lulusan dari Jogja, diberi gelar Kase di
kampung halamanya, seorang pemuda yang baik dan suka berbagi
ilmu dengan orang lain, seseorang yang jujur.
- Mega, seorang wanita yang menjadi kekasih hati Kolo, namun
akhirnya putus dengan Kolo karena jarak yang terlalu jauh diantara
keduanya.
- Ibu Kolo, seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, seorang
wanita bersahaja, sangat tulus, dan pemaaf. Ia memiliki fisik yang
tinggi, tidak terlalu gemuk,tidak terlalu kurus. Rambutnya lurus
dan panjang. Rambutnya sudah memutih sebagian dan selalu
dikonde saja di belakang.
- Naef Markus Eba, seorang lelaki tua yang berbadan tinggi ramping
yang dijuluki pemabuk sopan. Ia suka bercerita dengan Kolo dan
sesekali mencuri ilmu dari Kolo.
- Haki, Lipus dan Siuk, 3 orang pemuda yang bekerja sebagai
tukang ojek, suka minum sopi di Naef Obet Lasi.
- Rino dan Ria, adik-adik sepupu Kolo dari ayahnya. Rino seorang
anak lelaki kecil berkulit hitam yang agak pendiam dan pemalu.
Ria seorang anak kecil berumur tujuh tahun yang rewel, periang
tetapi manja.
- Agus, tukang ojek yang selalu dipercaya Kolo untuk mengantarnya
kemana-mana, ia lincah mengendarai sepeda motor , penurut dan
tidak menuntut bayaran lebih.
- Marsel dan Siktus, dua orang sarjana yang juga pernah kuliah di
Jogja, dua orang pemuda yang juga sedang mencari pekerjaan di
kampung halaman, namun berniat untuk merantau ke Kalimantan.
- Naef Titus Bona, seorang lelaki berumur empat puluhan tetapi
belum menika. Fisiknya berotot dan kekar, berwajah lebar,
berambut keriting dan memiliki brewok yang tebal. Ia biasa
dijuluki PPD karena ia selalu berdansa ketika lagu berjudul PPD
diputar.
- Naef Barnabas Boik, lelaki tua yang dijuluki pendekar, karena
kakinya yang pincang sehabis jatuh dari pohon tuak tujuh tahun
lalu.
- Pak David,seorang pegawai negeri yang masih berhubungan
keluarga dengan Kolo. Ia yang membantu Kolo mencari pekerjaan.
- Ika, Inda, dan Inri, 3 orang bidan yang bekerja di PUSKESMAS,
mereka bertiga cantik dan baik.
- Ibu Neldis, seorang pegawai PEMDA yang menjadi loby bagi
Kolo untuk mendapatkan pekerjaan.
c) Alur/Plot
Alu yanag digunakan dalam novel ini adalah alur maju namun
sesekali diselingi dengan alur flashback.
d) Latar / Setting
- Latar waktu : sore hari, pagi hari, siang hari, malam hari.
- Latar tempat : lopo, terminal kota, kantor bupati, lapangan bola
voli di bagian utara kampung, rumah Ibu Neldis.
- Latar suasana : tenang, damai, tegang.
e) Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Foek Susu adalah sudut
pandang orang pertama – sebagai pelaku utama.
f) Amanat
Ketika kita hendak mecari pekerjaan atau apapun tidak akan baik jika
dilakukan dengan cara nepotisme atau menggunakan orang dalam.
2. ASPEK EKSTRINSIK
a. Biografi penulis
Unu Ruben Paineon. Lahir di Oa’bikase, Timot Tengah Utara, Nusa
Tenggara Timur, 14 September 1980. Anak sulung dari empat bersaudara. Ia
aktif di Komunitas Lopo BIINMAFO.
b. Kisah dibalik layar
Novel Foek Susu ini pun merupakan salah satu ikhtiar Unu Ruben Paineon
menandai kehadirannya. Bagaimanapun juga, kita boleh berharap, jejak
aksara dalam wujud novel ini kelak akan menjadi catatan sejarah bagi
generasi kemudian. Paling tidak, di kemudian hari, karya sastra yang kental
dengan khazanah lokal suku Atoni Meto ini bisa dijadikan salah satu
referensi kesusatraan masyarakat Nusa Tenggara Timur.
c. Nilai yang ada dalam masyarakat
Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah nilai-nilai budaya Orang Timor,
sosial dan juga politik.
BAB IV
Foek Susu, tidak dapat dipisahkan dari latar sosiohistoris pengarang dan gagasan
yang ingin diungkapkan Unu Ruben Paineon yang akrab dengan alam pedesaan
dengan segala problemanya dan tradisinya, dengan pengalaman hidup masa
lalunya dan profesinya sebagai penulis, melatarbelakangi keunikan dan kekhasan
bahasa dalam Foek Susu.
2) Gaya Kalimat
Gaya Kalimat Klimaks
- Dahulu nenek moyang suku kami sudah pintar, sebab mereka lebih
memilih menetap di tempat yang berlimpah air, di tepi sungai. Di
tepi sungai itulah mereka bertahan hidup bersama binatang piaraan
dan cita-cita mereka. Di situlah kemudian mereka kawin dan
beranak cucu hingga jadilah sekampung. (hlm. 2)
- Seluruh isi kampung ; tua-muda, anak-anak, laki-laki-perempuan;
yang ompong dan yang bergigi utuh, dari ujung eno’kono’ di
bagian timur hingga ujung kampung di bagian utara, meyapaku
dengan predikat baru, Kase.
- “ iya, Kase. Yang penting tidak mengganggu hidup orang lain di
kampung kita, di kampung tetangga dan di seluruh Indonesia
ini,”(hlm.30)
Gaya Kalimat Antiklimaks
- Tiga pemuda tukang ojek itu, Haki si Rambo, Lipus dan Siuk
berjalan dari eno’ ‘kono. (hlm. 30)
- Kami memiliki empat pelita di rumah. Dua pelita ditempatkan
ditempatkan di dalam ume ‘naek, satunya di ume ‘suba dan lainnya
lagi di dalam lopo. (hlm. 35)
Gaya Kalimat Repetisi
- Tak ada yang bertanggungjawab atas cinta jarak jauh kami itu,
kecuali saling percaya,percaya pada angan dan angin.(hlm. 6)
- “ barangkali dia sedang selingkuh.”
“ Barangkali dia sedang bermesraan dengan lelaki lain.”
“ Barangkali dia sedang tidur dengan lelaki lain yang kesepian
juga.” (hlm. 15)
- “ Iya, Kase. Ini saya jujur. Ini saja jujur di depan Kase” (41)
3) Gaya Wacana
Gaya wacana repetitive
- Bayangan ku masih sama. Ada segumpal zat bernama cinta di
dalam hati. Cinta itu merangkak keluar susah-payah dari dalam
hati, mengeluh oeh…oeh…oeh. Angan membawanya terbang;
ngiung…ngiung…ngiung. Tak lama kemudian , pulang lagi;
ngiung…ngiung…ngiung.
Zat lain bernama rindu juga demikian . keluarlah rasa rindu susah
paya dari dalam hati; mengeluh oeh…oeh…oeh. Angin
membawanya terbang, ngeng…ngeng…ngeng. Tak lama
kemudian, pulang lagi; ngeng..ngeng…ngeng.(hlm.7)
- Memang aku malu. Aku malu jika harus meganggur berlama-lama
dengan ijazah sarjana di tangan. Aku malu jika harus terus
mengganggur dengan indeks prestasi komulatif tiga koma sekian.
Aku malu pada ibuku dan orang-orang seisi kampung.(hlm. 49)
Gaya Wacana Campur Kode
- Cahaya matahari pagi yang merah-merah menembus dinding-
dinding bebak ume’naek. Aku masih tetap berbaring di atas
hala’nesat sambil mengutak-atik handphone. Aku membuka akun
facebook-ku, memeriksa kotak pesan (hlm.17)
- Di ujung doa dengan mulutnya yang komat kamit itu om Tadeus
mengatakan juga sebuah kalimat permohonan agar aku cepat
mendapatkan pekerjaan; “He nait’an nlalek nane he, nlaloem nane
he ubi mat. He nait hek hit kanak, nafena hit kuan bale ma pah.”
(hlm. 54)
- “ Kita yang sarjana dan mahasiswa yang klub Kase. Anak-anak
muda di kampung sini yang klub Meto” (hlm. 69)
- “ Hao bae. E kasian. Saya senang berceritera dengan Kase,”
(hlm.76)
4) Bahasa Figuratif
Personifikasi
- “Cinta mampu membunuh jarak” (hlm. 6)
- ‘Sudah lama itu cinta dan rindu-rindu tersesat di mana mati
kedinginan?’ (hlm.15)
- Matahari merangkak semakin meninggi. (hlm.20)
- Bahwa nyala api sekecil apapun, bisa membunuh. (hlm.35)
- Malam seolah berjalan melamban, roda waktu seolah berputar
pelan. (hlm.43)
- Angan dan angina tentu sudah lama kelelahan di jalan-jalan,
cinta dan rindu-rindu tentu sudah tersesat di mana-mana. (hlm.
49)
Metafora
- Kita macam semut ramai-ramai masuk lubang. Seribu orang
hanya rampas satu lubang. (hlm. 59)
Metonimia
- Tanah Timor itu nusa harum Cendana, tanah air beta berlimpah
susu dan madu. (halm. 67)
Simile
- Daging bibir mereka merah-merah , seperti daging sapi yang
masih mentah. (hlm. 69)
5) Citraan
Citraan penglihatan
- Waktu itu, langit sudah merah-merah; merah kekuning-
kekuningan. (hlm.1)
- Air sungai yang bersih. Batu berwarna-warni di pinggir sungai.
Lubang-lubang batu yang dalam. Pasir biji besar. Pasir biji
kecil. Cemara-cemara menjulang tinggi. (hlm.2)
- Kaki langit waktu itu merah lembayung. (hlm.9)
Citraan pendengaran
- Samar-samar dari atas pohon lontar di padang sana, suara para
lelaki tukang iris tuak silih berganti koa’ loes lalu
mendengungkan nyanyian merdu elele elela. Sesekali mereka
bersiul-siul merdu. (hlm 10)
- Suara huli’ dari mulut para perempuan di kampung itu biasanya
melengking tinggi, melampaui bukit-bukit menembus ngarai.
B. FAKTOR GENETIK
Biografi
Nama : unu Ruben Paineon
Tanggal lahir : 14 September 1980
Tempat lahir : Oa’bikase, TTU,NTT
Pekerjaan : penulis
Anak sulung dari empat bersaudara. Ia aktif di Komunitas Lopo
BIINMAFO.
Karya-karyanya
UNU (2009)
BENANG MERAH (2015)
Latar Sosiohistoris dan Sosiokultural
Sebagai orang yang lahir dan besar di Tanah Timor, Unu Ruben Paineon
sangat mengenal betul adat-istiadat dan problematika yang sering terjadi
dalam masyarakat tempat ia tinggal, sehingga membuat dia dapat menulis
dengan sangat detail mengenai adat-istiadat yang ada di Pulau Timor.
Karakteristik Kepengarangan
Unu Ruben Painenon memiliki karakteristik dalam menulis yaitu, ia sering
mengangkat tema yang benar-benar sering terjadi di dalam masyarakat
sosial, sehingga membuat pembaca sangat memahami apa yang disampaikan
olehnya.
C. FAKTOR AFEKTIF
Novel ini merupakan rangkaian elaboratif dari dua novel sebelumnya
(Unu, 2009 dan Benang Merah, 2015). Pada novel pertama, Ruben
mengisahkan tentang Yanto/Unu (tokoh utama), putra sulung dari sebuah
keluarga sederhana di pedalaman Timor, yang bertekad melanjutkan
pendidikannya demi mengangkat harga diri keluarga dan kampungnya.
Sedangkan pada novel kedua, Ruben bercerita tentang perjuangan Kolo
(tokoh utama) menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta dengan kondisi
serba kekurangan.