Anda di halaman 1dari 4

NILAI MORAL DALAM CERPEN “MEREKA MENGEJA LARANGAN

MENGEMIS KARYA AHMAD TOHARI”


Oleh: 
Muhammad Mundir Hisyam
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang No.5. Malang. Jawa Timur. Indonesia
Email: muhammad.mundir.2102116@students.um.ac.id

Cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis karya Ahmad Tohari merupakan pemenang
dan menjadi judul dari Cerpen Pilihan Kompas 2019 yang diterbitkan oleh penerbit Buku Kompas,
cetak tahun 2020 tebal 240 halaman. Ahmad Tohari, sebagai sastrawan dan budayawan terkenal
Indonesia dengan karya-karya cerpen yang mengungkapkan realitas sosial, masalah sosial modern
dengan terampil, sehingga pembaca dapat merasakan makna karya tersebut dengan cara yang mudah
dipahami dan mampu diterima dengan baik. Namun, lebih jauh dalam ceritanya, lapisan-lapisan
makna yang lain juga tersampaikan. Tidak terkecuali cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis,
cerpen ini mengangkat masalah-masalah sosial yang dialami oleh anak jalanan.

Menurut Martin S. Weinberg, masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka
sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut dan secara umum masalah
sosial anak jalanan yang dapat ditemukan seperti tentang perlindungan hak anak, masalah keluarga
yang tidak sempurna berdampak negatif bagi anak, masalah sikap perilaku antar kelas sosial, dan
kemiskinan. Dalam cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis berkaitan dengan masalah sosial
anak jalanan, peristiwa dan kejadian yang dialami para tokoh menggambarkan banyak contoh
masalah sosial yang mereka alami. Bukti tekstual dilakukan dengan cara mengutip dari unit kejadian
tertentu dalam cerpen.

INTI

Cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis diawali dengan pemaparan pengarang


terhadap masalah sosial yang berkaitan dengan hak anak yang tidak didapatkan oleh kelima
tokoh dalam cerpen, yaitu hak mereka untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah.
Mereka lima anak tanggung dan hanya Gupris yang perempuan. Kelimanya jarang mandi, dan lebih jarang lagi
berganti pakaian. Di antara mereka, Gupris yang paling banyak bergerak dan usil, juga cerewet. Hanya Gupris
pula yang pernah bersekolah meski hanya sebentar. (MMLM Paragraf pertama)

Tulisannya hitam di atas papan kayu bercat putih. Berbeda dengan teman-temannya yang tidak tertarik karena
tidak bisa membaca, Gupris lain. Dia ingin membaca tulisan itu. Dia mulai mengeja. Teman-temannya
mendekat dan berdiri di belakangnya untuk menguping. (MMLM Paragraf keenam)

“Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis dan me-ng-a-men…di-pi-da-na… ku-ru-ng-an…”.


Gupris berhenti, lalu berbalik menghadap teman-teman.
“Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?” tanyanya.
Keempat anak laki-laki itu nyengir lalu bergantian menggeleng. Semua tidak tahu. Mereka hanya saling
pandang. Gupris kesal dan jadi merasa percuma. (MMLM Paragraf ketujuh)

“Seharusnya kalian bersekolah. Jadi kalian bisa seperti saya yang sekuriti dan tahu dipidana itu artinya apa.”
Gupris diam sejenak. Lalu berbalik lagi menghadap teman-teman. “Kalian dengar, kita seharusnya sekolah.”
(MMLM Paragraf 12)

Masalah sosial yang terjadi pada paragraf-paragraf tersebut dalam cerpen Mereka Mengeja
Larangan Mengemis merupakan proyeksi dari masalah sosial yang berkaitan dengan hak
seorang anak untuk mendapat pendidikan. Sangat jelas bahwa pembaca dapat menemukan
kalimat berupa dialog langsung maupun tak langsung dari para tokoh yang menunjukan
bahwa mereka tidak sedang menempuh pendidikan formal di usia wajib belajar. Seperti pada
kutipan pertama ketika pengarang menyebutkan jika hanya tokoh Gupris yang pernah
bersekolah meski sebentar. Kutipan kedua yang menyebutkan bahwa keempat teman Gupris
tidak bisa membaca. Kutipan ketiga membuktikan bahwa kelima tokoh tidak mengerti
kosakata umum yang tidak jarang disebutkan dalam bangku sekolah. Kutipan keempat Tokoh
Hansip mengatakan dalam dialognya bahwa Gupris dan temannya harusnya bersekolah.

Dalam cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis diungkap juga masalah sosial yang
dapat dialami oleh anak jalanan dan menjadi dampak mereka semakin keluar dari norma
masyarakat adalah masalah keluarga yang tidak sempurna berdampak negatif bagi anak.

Gupris tidak ikut tidur jadi gelandangan di pangkalan. Dia lain. Dia punya rumah kecil di belakang pangkalan.
Ada emak, tapi tidak ada ayah. (Paragraf kedua)

Jam tiga pagi adalah waktu yang paling dibenci Gupris. Dia sering terbangun oleh bau wangi. Dia sering
melihat emaknya dini hari sudah mandi, berdandan, pakai bedak, dan bergincu. Lalu mengambil keranjang
tenteng dan bilang mau belanja ke pasar. Pada mulanya Gupris tidak peduli. Tapi kemudian dia jadi benci
karena emaknya selalu pulang dengan keranjang kosong. Menornya sudah berantakan. Gupris benci dan makin
benci. Jadi sekarang tiap jam setengah tiga pagi dia bangun dan pergi ke pangkalan, bergabung dengan empat
teman sebelum emaknya pulang. (Paragagraf ketiga)

Kutipan tersebut menunjukkan masalah sosial berupa masalah keluarga yang tidak
sempurna yang berdampak pada keharmonisan keluarga tokoh Gupris. Pada kutipan kelima
dituliskan bahwa Gupris memiliki ibu namun tidak memiliki ayah. Ada kemungkinan jika
kedua orang tuanya bercerai dan berdampak negatif pada tokoh Gupris, seorang anak yang
masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Bahkan
diceritakan pada kutipan keenam Ibu Gupris seorang pramuria, meski tidak disebutkan secara
tersurat namun kutipan tersebut menggambarkan seorang wanita (Ibu Gupris) yang
berdandan menor dan selalu keluar rumah pada dini hari. Dapat disimpulkan dari kutipan
kelima dan keenam dalam cerpen ini, si Gupris adalah tokoh yang mengalami dampak
negatif dari keluarga tidak sempurna.

Dalam cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis, sikap dan perilaku antara si
hansip Karidun, para sopir dengan lima anak jalanan digambarkan oleh pengarang dengan
sangat berbeda.

Truk itu besar sekali, jumlah rodanya empat belas, baknya berlantai baja, tidak berdinding. Satu anak main
gendang kecil, satu anak main kecrek, dan satu lagi main gitar butut. Jadi ada panggung dangdut berjalan. Para
sopir truk tidak pernah marah meski pun lima anak jalanan itu sering bikin berisik dengan memukul-mukul
lantai bak. (Paragraf keempat)

“Nah, baca itu! Kalian anak-anak liar yang kerjanya keluyuran, harus baca itu. Harus!”
Gupris dan teman-temannya serentak menoleh ke samping. Ada seorang hansip keluar dari warung nasi sambil
membersihkan mulut dengan punggung tangan. Di atas saku kanan bajunya tersulam jelas nama Karidun.
(Paragraf kedelapan)

“Teruskan baca. Harus!” kata hansip Karidun. Tangannya menunjuk ke papan di sana dengan gaya komandan.
“Aku petugas keamanan, eh, sekuriti dari Dinas Sosial. Aku yang memasang papan itu tadi pagi. Untuk orang-
orang semacam kalian. Tahu? Ingat, aku sekuriti dari Dinas Sosial, tahu?” (Paragraf kesembilan)

“He, kenapa berhenti. Baca terus. Aku ini sekuriti. Dan menyuruh kamu membaca. Ayo terus,” seru hansip

Karidun, kali ini dengan suara lebih keras. (Paragraf kesepuluh)

Pada kutipan ketujuh hingga kesepuluh menggambarkan adanya masalah sosial yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh kelas sosial. Tokoh Hansip yang
bernama Karidun selalu bersikap galak dan bersuara keras saat berbicara dengan anak-anak
jalanan, para sopir truk selalu sabar dan simpati ketika membantu lima anak jalanan mencari
nafkah untuk bertahan hidup, sedangkan anak-anak jalanan yang bersikap dan berperilaku
lebih bebas, mereka tidak ingin terikat dengan apapun kecuali hubungan solidaritas dengan
sesama atau kelompoknya

Kemiskinan kerap kali menjadi masalah dan menjadi salah satu hal yang harus diatasi
oleh pemerintah. Masalah kemiskinan dalam cerpen Mereka Mengeja Larangan Mengemis
ini digambarkan oleh lima tokoh anak jalanan.

Empat anak laki-laki memang selalu tidur di situ, di lantai emper warung yang sudah tutup atau di mana saja
sesuka mereka. Di malam hari mereka sudah terbiasa dengan banyaknya nyamuk. Tetapi mereka sering tidak
bisa tidur ketika perut lapar. Gupris tidak ikut tidur jadi gelandangan di pangkalan. Dia lain. Dia punya rumah
kecil di belakang pangkalan. (Paragraf kedua)

Lima anak tanggung yang jarang mandi itu berjalan menyingkir dari perempatan. Yang satu dituntun menuju
tempat yang terlindung dan ditinggal sendiri di sana. Gupris mengajak tiga teman kembali ke sudut perempatan.
Gendang dari pipa pralon dengan membran karet ban mulai berdebam. Kecrek dan gitar butut mulai berbunyi.
Gupris siap dangdutan. (Paragraf keenam)

“Sekolah dapat uang apa tidak?” potong seorang anak.


“Ah, dasar! Sekolah, ya, tidak dapat uang, malah bayar,” jawab Gupris.
“Wah, susah kalau begitu? Tidak dapat uang? Lalu kita beli makan pakai apa?
Enakan ngamen terus, ngemis terus, bisa makan terus.” (Paragraf keduabelas)

Dari kutipan kesebelas hingga ketiga belas tersebut, dapat dilihat bahwa pengarang
sedang menggambarkan maslah sosial anak jalanan yang berkaitan dengan kemiskinan.
Kutipan-kutipan tersebut secara tersurat mengatakan bahwa keempat anak teman dari tokoh
Gupris tidak memiliki rumah, dan mereka memilih menjadi pengamen dibandingkan harus
bersekolah karena untuk menghasilkan uang dan membeli makan, berbeda dengan sekolah
yang membuat mereka harus membayar.

Anda mungkin juga menyukai