Anda di halaman 1dari 11

Analisis Stilistika Puisi “Kucing Hitam” Karya Joko Pinurbo

Oleh
Muhammad Mundir Hisyam
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Email: muhammad.mundir.2102116@students.um.ac.id

A. PENDAHULUAN

Puisi merupakan karya sastra yang indah pengungkapannya. Puisi selalu


menghadirkankan diksi yang indah sebagai simbol keunikan dan menggugah hati
untuk terhanyut dalam makna dari puisi tersebut. Senada dengan itu, Waluyo
(2003:1) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang
dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan
kata-kata kias (imajinatif). Dunia sangat mengenal puisi bahkan puisilah yang
menjadi sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia sehingga wajar pada
zaman sekarang puisi sangat semerbak dan membumi.

Dengan demikian, patutlah puisi dikaji dari berbagai teori, metode, pendekatan,
dan strategi untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya. Adapun
teori atau pendekatan yang akan diterapkan dalam tulisan ini adalah teori atau
pendekatan analisis stilistika yang dewasa ini merupakan salah satu teori sastra yang
dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Stilistika memiliki hal-hal
mendasar untuk dijadikan sebagai studi stilistik dalam konteks kajian sastra yang bisa
dihubungkan dengan kegiatan penelitian sastra, kritik sastra, dan apresiasi sastra.

Aminuddin (1997:64) menegaskan bahwa sesuai dengan terdapatnya kata


stilistik, studi tersebut ditinjau dari sasaran dan penjelasan yang dibuahkan hanya
berpusat pada aspek gayanya. Meskipun kajian yang dilakukan hanya berfokus pada
aspek gaya, patut disadari bahwa aspek gaya secara esensial berkaitan dengan wujud
pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya.
Deskripsi yang dibuahkan mempunyai peranan sangat penting dalam upaya
memahami karya sastra secara keseluruhan. Selain itu, perlu diketahui bahwa bahasa
sastra bukan sekadar referensial yang mengacu pada hal tertentu melainkan
mempunyai fungsi ekspresif, menunjukan nada, dan sikap pengarangnya. (Al-Ma’ruf,
2009: 68). Begitu pula halnya pada puisi “Kucing Hitam Karya Joko Pinurbo”.
Peneliti tertarik menganalisis puisi “Kucing Hitam” karya Joko Pinurbo dikarenakan
menurut peneliti puisi ini memiliki pesan moral yang sangat dalam bagi pemuda dan
sangat menarik sebab pesan yang terdapat di dalam puisi bisa terungkap hanya
dengan perenungan yang cukup dalam serta analisis stilistika.

Peneliti merasa bahwa puisi ini ditulis dengan latar belakang permasalahan
zaman yang semakin mengubah sikap, perilaku, dan norma yang dimiliki oleh
pertumbuhan seseorang. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengungkap
makna-makna yang terkandung dalam setiap larik dan bait puisi ”Kucing Hitam”
karya Joko Pinurbo melalui kajian Stilistika khususnya analisis gaya bahasa dalam
puisi.

Adapun manfaat praktis kajian ini adalah untuk : 1) memberikan wawasan bagi
akademisi linguistik dan kritikus sastra dalam melakukan analisis karya sastra; 2)
memberikan pemahaman kepada pemerhati sastra dalam mengapresiasi karya sastra;
3) memberikan alternatif bahan ajar bagi pengajar bahasa dan sastra baik di
perguruan tinggi dan sekolah dalam pengajaran stilistika.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian stilistika gaya bahasa dalam
puisi “Kucing Hitam” karya Joko Pinurbo diperoleh beberapa data dan analisis sebagai
berikut.

Kucing Hitam
Kucing hitam yang ia pelihara dengan kasih sayang
kini sudah besar dan buas.
Tiap malam dihisapnya darah lelaki perkasa itu
seperti mangsa yang pelan-pelan harus dihabiskan.

“Jangan anggap lagi aku si manis yang mudah terbuai


oleh belaianmu, hai lelaki malang.
Sekarang akulah yang berkuasa di ranjang.”

Lelaki perkasa itu sudah renta dan sakit-sakitan.


Tubuhnya makin hari makin kurus, sementara kucing hitam
yang bertahun-tahun disayangnya makin gemuk saja
dan sekarang sudah sebesar singa dan ngeongnya
sungguh sangat mengerikan.

Si tua yang penyabar itu lama-lama geram juga.


Tiap malam si hitam gemuk mengobrak-abrik ranjangnya
dan melukai tidurnya.

“Sebaiknya kita duel saja,” si kurus menantang.


“Boleh,” jawab si gemuk hitam. “Nanti
tulang-belulangmu kulahap sekalian.”

“Ayo kita tempur!”


“Ayo kita hancur!
“Jahanam besar kau!”
“Jerangkong hidup kau!”

Parah. Tubuh lelaki itu telah berwarna merah,


wajahnya bersimbah darah. Gemetaran ia berdiri
dan diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Hore, aku menang!” teriaknya lantang, lalu disepaknya
bangkai kucing maut itu berulang-ulang. “Jahanam besar kau!”
1. Gaya Kata (Diksi)
Gaya kata atau diksi bertujuan untuk menghidupkan puisi dan memberikan
gambaran yang jelas sesuai dengan gagasan yang ingin dikemukan penyair dalam
puisi “Kucing Hitam”. Pemilihan kata tentu dilakukan dalam rangka kepentingan
tertentu. Gaya kata atau diksi bisa dikelompokkan menjadi dua jenis kata, yaitu (1)
kata konkret dan (2) kata konotatif. Kata konkret disebut juga kata denotasi yang
berarti lugas dan sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi adalah arti kias, yang
diasosiasikan atau disarankannya.

Secara keseluruhan dalam puisi “Kucing Hitam” menggunakan kata-kata


konotatif. Artinya, terdapat kata kiasan untuk mewakili makna tertentu. Adapun kata-
kata konkret yang mewakili puisi “Kucing Hitam”, seperti kucing, malam, lelaki,
besar, tinggi, wajah, teriak, lantang, dan gemuk. Penggunaan kata-kata konotatif
dalam puisi itu terutama pemanfaatan simile, metafora, ironi, dan repetisi.
a. Bait 1 (Pertama)

Pada bait pertama, penyair memanfaatkan oksimoron pada kata-kata


memperjuangkan nasib saya yang keliru. Maksudnya, ada gabungan kata-kata yang
bertentangan untuk mencapai efek tertentu. Kata “memperjuangkan” seharusnya
digunakan untuk sesuatu hal yang positif atau baik, tetapi Joko Pinurbo memilih kata
“nasib yang keliru”. Ada makna tersirat, yaitu bentuk tindakan atau perasaan dari
penyair yang tidak bisa berubah atau lepas dari kondisi yang salah.

b. Bait 2 (Kedua)

Erotesis atau pertanyaan retoris dalam bait kedua tampak dari bentuk interogatif.
Kata-kata ingat Bambang kan? menunjukkan adanya efek yang lebih mendalam dan
penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Pertanyaan
retoris tersebut juga sebagai bentuk perbandingan antara waktu dulu dan sekarang.
Unsur alegori dalam puisi menceritakan bahwa Bambang yang dulu adalah sahabat
baik dan dekat dengan penyair kemudian seiringnya waktu ketika di dunia kerja atau
politik menjadi “lawan” yang menyebabkan adanya perselisihan. Hal tersebut tampak
pada kata-kata, seperti makan dan tidur di rumah, bentrok urusan politik dan uang,
lawan jadi kawan, serta kawan jadi lawan.
c. Bait 3 (Ketiga)

Pada bait ketiga, penyair menggunakan kata-kata bahagia bersama penyakit


yang menyayangi ibu menunjukkan adanya gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Jadi, kata-kata konotatif
tersebut memanfaatkan majas paradoks. Penyair mengibaratkan juga bahwa penyakit
yang sudah lama dirasakan ibunya sebagai bentuk wujud yang tidak selalu perlu
dikhawatirkan atau dikeluhkan. Kata-kata seperti, penyakit, menyayangi
menunjukkan bahwa penyair memberikan rasa tenang kepada ibunya bahwa penyakit
yang diderita sebagai teman atau diri sendiri yang wajib selalu disayangi agar tidak
menimbulkan rasa resah. Keseluruhan kata-kata dalam bait ini menunjukkan
kelanjutan cerita dari bait 1 dan 2 yang sudah pada proses pesan dan harapan penyair
kepada ibunya.

d. Bait 4 (Keempat)

Penyair sudah memakai makna konotatif bermajas metafora pada kata-kata


hatimu yang merdu berdentang nyaring. Penyair mengibaratkan hati ibunya selalu
memiliki merdu yang nyaring. Artinya, hati ibunya sangat baik untuknya. Pada bait
ini, penyair sudah menunjukkan pada tahap penutupan atau perpisahan dengan ibunya
dan memberikan ucapan “Natal” dan kata “sungkem. Kata “Natal” juga
menginterpretasikan setting waktu pada puisi ini atau kondisi puisi dengan penyair
saat itu.
2. Citraan

a. Citraan visual

Citraan visual pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama
bait kedua puisi yang berbunyi

Oh ya, ibu masih ingat Bambang kan?

Citraan visual yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat ”masih
ingat Bambang” . kata “ingat” merepresentasikan proses penyimpanan memori
manusia yang didapat melalui hasil olah pancaindera, yang dapat berupa indera
penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Pada baris ini, pancaindera yang
ditonjolkan adalah penglihatan, dengan mengacu pada seseorang bernama
“Bambang”, sehingga baris tersebut mengungkapkan citra visual dan dapat membuat
pembaca membayangkan seseorang bernama “Bambang” bergantung referensi
masing-masing pembaca mengenai ingatan tersebut.

b. Citraan kemarahan

Citraan kemarahan merupakan citraan yang menggambarkan rasa marah


dalam karya sastra, sehingga seolah-olah pembaca dapat merasakan kemarahan yang
terdapat dalam karya sastra. citraan kemaraahn pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan
melalui baris kedua sampai keempat bait kedua puisi yang berbunyi

Itu teman sekolah saya yang dulu sering


numpang Makan dan tidur di rumah kita. Saya
baru saja Bentrok dengannya gara-gara urusan
politik

Citraan kemarahan yang ditonjolkan pada baris ini diperlihatkan melalui kalimat
“saya baru saja bentrok dengannya gara-gara urusan politik” disini kemarahan penulis
diperlihatkan melalui kalimat tersebut. Kemarahan penyair pun diungkapkan karena
salah satu temannya yang sering makan dan tidur di rumah penyair, bentrok dengan
penyair hanya gara-gara masalah politik. Hal ini menjelaskan kemarahan penyair
kepada teamannya yang dianggap tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih
kepada penyair.

c. Citraan kekotaan

Citraan kekota-kotaan merupakan citraan yang menggambarkan suasana


maupun keadaan sosial perkotaan yang terdapat dalam karya sastra, sehingga
pembaca dapat merasakan bagaimana kondisi yang terjadi di kota. Citraan kekotaan
pada puisi surat untuk ibu ditunjukkan melalui baris kelima sampai dengan baris
keenam bait kedua yang berbunyi

dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa


mengubah kawan menjadi lawan, lawan
menjadi kawan

melalui baris tersebut diperlihatkan kondisi kota Jakarta yang begitu menakutkan.
Citra kota metropolitan yang sanggup mengubah segalanya diperlihatkan dengan jelas
melalui kalimat “bisa mengubah kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan”.
Baris ini berkaitan erat dengan baris sebelumnya yang menunjukkan kemarahan
penyair akibat berubahnya sikap temannya gara-gara kota Jakarta.

d. Citra auditori

Citra auditori atau pendengaran merupakan citraan yang menggambarkan


pendengaran yang terdapa dalam puisi. Citraan ini mampu membuat pembaca seolah-
olah mampu mendengar apa yang penyair dengar. Citraan auditori pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris pertama dan kedua pada bait keempat yang
berbunyi:
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang
merdu Berdentang nyaring dan malam
damaimu
Citraan auditori yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat “semoga
hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu”. Kalimat tersebut
seolah-olah membuat pembaca mampu mendengarkan suara merdu yang dimaksud
oleh penyair yang berasal dari suara hati ibunya. Suara denting tersebut berhubungan
dengan hari Natal, dimana suara merdu tersebut seolah-olah disamakan dengan suara
lonceng Natal.

e. Citra kesedihan

Citraan kesedihan meruppakan citraan yang menggambarkan suasana sedih


yang terdapat alam puisi. Citraan ini mampu membuat pembacca seolah-olah turut
merasakan kesedihan yang dialami oleh penyair. Citraan kesedihan pada puisi surat
untuk ibu ditunjukkan melalui baris terakhir pada bait keempat yang berbunyi:
Diberkati hujan. Sungkem buat bapak di kuburan

Citraan kesedihan yang ditonjolkan dalam baris ini ditunjukkan dalam kalimat
“sungkem buat bapak di kuburan”. Citraan ini menggambarkan suasana sedih penyair
yang sudah ditinggal mati ayahnya, kesedihan tersebut ditunjukkan penyair melalui
rasa rindu terhadap sang ayah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa. Solo : Cakra Books.

Aminnuddin. 1997. Stilistika, Pengantar Memahami Karya Sastra. Semarang: CV.


IKIP Semarang Press.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 2003. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga : Widyasari Press

Anda mungkin juga menyukai