Anda di halaman 1dari 120

ANALISIS LINGUISTIK ANTROPOLOGI PADA TUTURAN MANTRA

CANNINRARA BAGI KOMUNITAS MAKASSAR


DI DESA BONTOMANAI, KABUPATEN MAROS

RAODAH
P0 500216001

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat,

hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

dengan judul “ Analisis Linguistik Antropologi pada Tuturan Mantra

Canninrara Komunitas Makassar Desa Bontomanai Kabupaten Maros”

sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada

Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, dan bimbingan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih atas
segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak selama proses

studi dan proses penyusunan tesis ini. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. selaku Ketua Komisi penasihat dan

pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

2. Dr. M Syafri Badaruddin, M.Hum. selaku Anggota Komisi penasihat II,

yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan

megarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

3. Prof. Dr. Nurhayati Rahman, M.S.; Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum.;dan

Dr. Hj. Munira Hasjim, S.S., M.Hum.’ selaku penguji yang telah banyak

memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Linguistik

Pascasarjana universitas Hasanuddin yang lama periode 2010/2018

atas pembinaan dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi.


iii

5. Dr. Ery Iswary, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Linguistik

Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang baru periode 2018/2022

yang telah mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Prof. Dr. Akin Duli, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin.

7. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah atas curahan ilmu

pengetahuannya selama studi dan seluruh staf yang telah banyak

membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan di Universitas Hasanuddin.

8. Kedua orang tua tercinta Haeruddin dan Hadoria, serta saudaraku

Bripda Arafah, salman, beserta keluarga atas semua kasih sayang,

doa, bimbingan, dan dukungannya. Terkhusus pula buat suami

tercinta Sertu Suparman yang telah memberi motivasi penulis dalam

menyelesaikan studi ini.

9. Sahabat-sahabat terbaik dan tercinta mahasiswa pascasarjana

Linguistik angkatan 2016 atas dukungan moral dan spiritualnya yang

selalu berbagi canda dan tawa, suka dukanya selama menempuh studi
hingga sekarang.

10. Teman-teman Program Studi ELS, dan Bahasa Indonesia serta

rekan-rekan sekalian yang lain atas bantuan, semangat dan

kebersamaan selama ini yang takkan terlupakan.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis

menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab

itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapakan untuk

perbaikan dimasa mendatang. Akhit kata, penulis berharap semoga

tesis ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para

pembaca. Semoga Allah senantiasa membimbing kita menuju jalan-


iv

Nya dan selalu melimpahkan rahmat-Nya bagi semua yang telah

membantu penyusunan tesis ini.

Makassar, 23 Juli 2018

Raodah
v

ABSTRAK

Raodah. Analisis Linguistik Antropologi Pada Tuturan Mantra Canninrara


Bagi Komunitas Makassar Desa Bontomanai, Kabupaten Maros (Dibimbing
oleh Tadjuddin Maknun dan M. Syafri Badaruddin)

Penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk, makna, dan fungsi yang


terkandung dalam mantra canninrara. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Data penelitian ini berupa tuturan atau ragam bahasa lisan
masyarakat komunitas Makassar di Desa Bontomanai, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten maros.
Metode yang digunakan ialah metode lapangan dengan teknik
observasi, wawancara, perekaman, dan pencatatan. Adapun metode analisis
data ialah deskriptif kualitatif. Model analisis data ialah dengan cara menulis
data yang dilafalkan oleh informan melalui teknik dikte, mentranskrifsi data ke
dalam bahasa latin, menerjemahkan data kedalam bahasa Indonesia,
mengklasifikasian data, menganalisis data dan menyimpulkan hasil penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam mantra canninrara
terdapat bentuk tema tentang kecantikan, ketampanan, menaklukan hati
lawan jenis, pujian, belas kasih, awet muda, dan kewibaan seorang laki-laki.
Berdasarkan bunyinya terdapat perulangan bunyi vokal /u/ dan vokal /a/ pada
salah satu mantra canninrara. Baris dalam mantra berdasarkan pada rima,
terdapat perulangan istilah Nabi Yusuf dan Baitullah.Bait-bait dalam mantra
kadang-kadang terdapat satu baris, dua baris, tiga baris, atau lima baris
dalam satu bait. Diksi mantra yaitu adanya penggunaan kata
Assalamualaikum sebagai pembuka mantra dan penggunaan nama-nama
yang dikeramatkan, sepeti Allah Taala, Nabi Muhammad, Nabi Yusuf,
Fatimah, dan Bagandaali. Makna mantra canninrara secara denotatif meliputi
segala perilaku penutur mantra untuk mendapatkan pujian, cinta, dan kasih
sayang serta rasa simpatik setiap orang sedangkan secara makna konotatif
yaitu meliputi penggunaan bahasa kiasan metafora, simile, dan efonim.
Fungsi mantra canninrara sebagai sarana kecantikan, ketampanan, daya
tarik, kewibawaan, awet muda, dan sarana untuk mendapatkan cinta, kasih
sayang, dan rasa simpatik orang.

Kata Kunci : Mantra, canninrara, Makassar


vi

ABSTRACT

Raodah. Antropology Linguistic Analisys to Canninrara Mantra Speech of


Makassar community in Bontomanai village, Tompobulu Subdistrict, Maros
Regency (Guided by Tadjuddin Maknun dan M. Syafri Badaruddin)

This study aims to explain the forms, functions, and meaning of


cannirara mantra. This research is a qualitative descriptive study. The data
were speech or verbal language of Makassar community in Bontomanai
village, Tompobulu Subdistrict, Maros Regency.
The research used field method with observation, interview, recording,
and note-taking tecniques. The data were analysed using descriptive
qualitative method. The model of data analysis was started with dictation
technique by writing the data uttered by informants and conntinued by
transcribing the data using latin alphabet. The next steps were translating the
data into Bahasa Indonesia, classifying the data, analyzing the data, and
concluding the research result.
The result indicate that canninrara mantra contain several themes
including beauty, handsomeness, willingness to make a man/woman like the
mantra user, praise,caring, young-looking, and authority of a man. In terms of
the sound, there is a repetition of vowel /u/ and /a/ in one of Canninrara
mantra. Lines in the mantra are based on rhyme. There is repetition of words
of Prophet Yusuf and Baitullah (The House of Allah). Stanzas in the mantra
may have one line, two lines, three lines, or five lines. In terms of diction, the
mantra uses Assalamualaikum as the opening of the mantra and sacred
names, such as Allah Taala, Prophet Muhammad, Prophet Yusuf, Fatimah,
and Bagandaali. The meaning of the Canninrara mantra denotatively includes
all behaviours of the mantra users to get praise, love, affection and sympathy
from everyone. Connotatively, the meaning includes the use of figurative
language (metaphor, simile, and eponym). The mantra functions as a means
of beauty, handsomeness, attractiveness, authority, and young-looking. It also
functions as the means to get love, affection, and sympathy.

Kata Kunci : Mantra, canninrara, Makassar


vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii


ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT...............................................................................................vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL........................................................xi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................1
B. Identifikasi Masalah..........................................................................10
C. Batasan Masalah .............................................................................10
D. Rumusan Masalah ...........................................................................11
E. Tujuan Penelitian .............................................................................11
F. Manfaat Penelitian ...........................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................13
A. Penelitian Terdahulu ........................................................................13
B. Konsep ............................................................................................14
1. Sastra Lisan ..................................................................................15
2. Mantra ..........................................................................................17
3. Canninrara ....................................................................................21
C. Landasan Teori ................................................................................23
1. Linguistik Antropologi ....................................................................23
2. Struktur Mantra .............................................................................29
3. Makna Mantra ...............................................................................32
4. Fungsi Mantra ...............................................................................43
D. Kerangka Pikir .................................................................................45
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................48
A. Metode Penelitian ............................................................................48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................48
C. Sumber Data ...................................................................................49
E. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................49
F. Teknik Analisis Data ........................................................................52
BAB IV BENTUK, MAKNA, dan FUNGSI MANTRA CANNINRARA pada
MASYARAKAT BONTOMANAI .................................................53
A. Pembahasan ....................................................................................53
viii

1. Bentuk Mantra Canninrara ...........................................................53


2. Makna Mantra Canninrara ............................................................63
3. Fungsi Mantra Canninrara ............................................................96
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 105
A. Simpulan ........................................................................................ 105
B. Saran ............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 107
ix

Daftar Singkatan dan Simbol

Konf = Konfiks

Pref = Prefiks

Suf = Sufiks

Pos.p1 = Posesif persona pertama

Pos.p3 = Posesif persona ketiga

Prok.p1 = Proklitika persona pertama

Prok.p2 = Proklitika persona kedua

Prok.p3 = Proklitika persona ketiga

Prep = Preposisi

Prt = Partikel

Det = Determinasi

Splt = Superlatif

Prt.p2 =Partikel persona kedua

Enk.p3 = Enklitika persona ketiga

// = bunyi fonemik
ML = Mantra Laki-laki

MP = Mantra Perempuan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sastra lisan sebagai produk budaya masyarakat baik dalam genre

prosa maupun puisi, dapat dijumpai hampir di seluruh daerah. Namun,

dewasa ini mulai menunjukkan gejala perubahan yang mengkhawatirkan,

yaitu ketidakpedulian masyarakat terhadap sastra lisan. Sastra lisan hanya

dipandang sebagai kisah-kisah yang tidak masuk akal dan berada di luar

jangkauan akal sehat. Hal itu tentu saja menjadi ancaman terhadap eksistensi

sastra lisan dalam kehidupan masyarakat.

Eksistensi sastra lisan dalam masyarakat menimbulkan pro dan kontra,

yakni pandangan ingin melestarikan dan pandangan ingin meninggalkannya.

Ketimpangan semacam ini sangat menggelisahkan, seolah-olah hanya sastra

tulis saja yang mempunyai nilai tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa sastra

lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur keindahan, tetapi juga

mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai kebudayaan yang

bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data budaya, sastra lisan

dapat diperlakukan sebagai pintu masuk untuk memahami salah satu atau

keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis memilih sastra lisan sebagai


fokus penelitian khususnya sastra lisan Makassar yang berwujud mantra.

Mantra berbentuk puisi lama dan bersifat anonim. Hal ini disebabkan karena

mantra merupakan milik masyarakat komunal. Mantra merupakan doa sakral

yang mengandung magis dan berkekuatan gaib yang dimanfaatkan sebagai

sarana untuk membantu masyarakat dalam mencapai keinginannya.

Kekuatan yang membangun sebuah mantra terletak pada kata-kata

atau kalimat penyusunnya. Kata-katanya dipilih secara cermat, kalimatnya


2

tersusun dengan rapi, begitu pula dengan iramanya. Isinya dipertimbangkan

sedalam-dalamnya. Ketelitian dan kecermatan memilih kata-kata, menyusun

larik, dan menetapkan iramanya itu sangat diperlukan, terutama untuk

menimbulkan tenaga gaib. Hal ini dapat dipahami bahwa suatu mantra yang

diucapkan tidak dengan semestinya, katanya kurang, tidak akan dapat

menimbulkan tenaga gaib lagi, sedangkan tujuan utama dari suatu mantra

ialah untuk menimbulkan kekuatan atau tenaga gaib.

Sebuah mantra mempunyai unsur pembentuk meliputi struktur mantra,

isi mantra, dan fungsi mantra. Struktur mantra pada umumnya terdiri atas

pembuka, isi, dan penutup. Pembuka pada mantra ada yang menggunakan

basmalah dan tidak menggunakan basmalah. Begitupun dengan penutup

mantra ada yang menggunakan barakka laa ilaaha illallaah dan ada yang

tidak menggunakannya. Hal ini, menandakan bahwa kehadiran suatu mantra

dapat dipengaruhi oleh sejarah persebaran agama Islam.

Selain struktur pada mantra, rima dan diksi juga sangatlah

berpengaruh terhadap tingkat keampuhan mantra itu sendiri. Rima adalah

pengulangan bunyi yang berselang, baik dalam larik sajak maupun pada akhir

larik sajak (Waluyo, 1987:7). Rima merupakan salah satu unsur penting

dalam puisi atau mantra. Melalui rima inilah, keindahan suatu puisi atau

mantra tercipta.

Rima dan diksi disusun dan digabungkan dengan berhati-hati,

sehingga diharapkan dapat menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib

yang dapat menyugesti pikiran sasaran mantra. Dengan demikian, sebuah

mantra memiliki kekuatan bukan hanya dari stuktur batinnya tetapi juga dari

stuktur rima dan diksinya. Diksi dalam mantra merupakan sebuah pilihan

kata. Kata dalam mantra bersifat konotatif. Para dukun atau pawang tidaklah

sembarang memilih kata dalam membuat mantra tertentu. Mereka


3

mempunyai pilihan kata tersendiri untuk membuat unsur magis dalam sebuah

mantra.

Dilihat dari wujud dan struktur suatu mantra terdapat nilai-nilai budaya

yang melatarbelakinginya. Koentjaraningrat (1984: 8) mengemukakan bahwa

nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal. Nilai budaya adalah

lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah

suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu

masyarakat. Mendukung pernyataan di atas, Djamaris (1996: 3)

mengungkapkan bahwa nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan

ideal, dan merupakan lapisan paling abstrak dengan ruang lingkup dalam

kehidupan masyarakat. Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada

di luar struktur karya itu sendiri, tetapi mengarah kepada makna sebuah teks

sastra itu sendiri.

Mantra umumnya tidak disebarkan secara bebas. Hanya orang-orang

tertentulah yang berhak mendapatkannya. Seperti, orang tua mewariskan

mantra-mantra yang dimilikinya kepada anak kandungnya, beserta cucu-

cucunya sendiri. Tidak dengan keluarga yang lain-lain. Hal tersebut terjadi,
karena mereka menganggap bahwa mantra sebagai teks sakral yang dapat

digunakan sebagai penjaga atau bekal diri dalam mengarungi bahtera

kehidupan.

Mantra yang dianut oleh masyarakat Makassar, penuturan atau

pengungkapannya menggunakan bahasa Makassar yang merupakan ciri

khas daerah tersebut. Di samping itu, bahasa Makassar juga merupakan

pendukung kebudayaan Makassar yang meliputi bidang kesenian, adat-

istiadat, agama, pengobatan, dan sebagainya. Dalam kedudukannya sebagai

bahasa daerah, bahasa Makassar berfungsi sebagai (1) lambang identitas


4

masyarakat suku Makassar, (2) lambang kebanggaan daerah Makassar, dan

(3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat Makassar.

Penuturan mantra sebagai salah satu kegiatan yang bersifat religius

dan sakral, memiliki syarat dan cara tertentu yang dilakukan agar tujuan

tercapai. Semua syarat-syarat dan cara tersebut merupakan aspek

pendukung penuturan mantra yang telah ditetapkan oleh pemilik mantra.

Penuturan mantra tidak selalu dilakukan oleh para dukun atau ketua adat

akan tetapi, dapat pula dilakukan oleh orang awam. Mantra-mantra yang

dapat dilakukan oleh orang awam biasanya berupa mantra yang risikonya

tergolong ringan dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penuturan mantra ini juga didukung oleh konteks yang melatarbelakanginya

baik konteks situasi maupun konteks kultural.

Mantra biasanya digunakan atau diucapkan pada waktu dan tempat

tertentu yang memiliki tujuan menimbulkan kekuatan gaib bagi orang yang

menggunakan atau mengucapkan mantra tersebut. Mantra diucapkan dengan

menggunakan bahasa yang kadang-kadang tidak dipahami maknanya karena

menggunakan kata-kata asing atau kuno. Namun demikian, kata-kata asing


dan kuno tersebutlah yang menjadi unsur terciptanya suasana gaib dan

keramat.

Konsep suatu mantra mencerminkan kepercayaan masyarakat pada

waktu itu. Mereka percaya bahwa mantra dapat membantu dalam

memecahkan suatu masalah yang dihadapinya serta digunakan sebagai

sarana untuk mencapai berbagai keinginan, misalnya untuk percintaan,

pekerjaan, kesehatan, tolak bala, perdagangan, dan sebagainya. Masyarakat

pengguna mantra telah berfikir bahwa mantra dapat membantu permasalahan

yang tidak dapat dipecahkan dengan cara yang logis. Pola pikir yang terjadi
5

adalah pralogis dimana masyarakat menggunakan mantra sebagai alat bantu

untuk memperlancar sesuatu yang diinginkan.

Mantra itu sendiri memiliki berbagai macam jenis, dan setiap mantra

tersebut memiliki khasiat dan kegunaan masing-masing. Contohnya seperti

mantra pakbongka setang (mantra pengusir setan), mantra kakabballang

(mantra kekebalan/kejantanan laki-laki), mantra papparampak nassu (mantra

peredam amarah), mantra pabbura (mantra pengobatan), mantra pakgalung

(mantra pertanian), dan mantra canninrara (mantra pekasih).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam


masyarakat Makassar terdapat fenomena penuturan mantra yang merupakan

bentuk karya sastra lisan yang harus dilestarikan. Selain itu, berdasarkan

jenis-jenis mantra yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis memilih tuturan

mantra canninrara (mantra pekasih) sebagai objek penelitian mengingat

fenomena besar yang berpengaruh pada kejiwaan masyarakat terkait

masalah cinta dan penampilan. Cinta dan penampilan adalah sesuatu yang

sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Terkait dengan persoalan

penampilan, perempuanlah yang paling nomor satu yang memerhatikan hal

tersebut. Namun, laki-laki pun tidak ketinggalan dalam hal penampilan semua

ingin tampil sesempurna mungkin di hadapan orang. Untuk mewujudkan

semua keinginan tersebut, masyarakat melakukan berbagai macam cara


salah satunya adalah dengan menggunakan mantra canninrara. Mantra

tersebut biasanya digunakan oleh semua kalangan dalam mencari pasangan

hidup. Hal yang melatarbelakangi penggunaan mantra tersebut kemungkinan

adanya unsur ketidakpercayaan diri atau memiliki unsur kekurangan dalam

diri pengamalnya sehingga membutuhkan hal-hal gaib untuk memecahkan

masalah yang dihadapinya. Unsur kekurangan tersebut dapat meliputi

berbagai hal seperti, kurang cantik, kurang gagah, atau dirinya kurang
6

sempurna (cacat). Sehingga, masyarakat menggagap bahwa dengan mantra

canninrara yang mereka amalkan dapat membantu kekurangan-kekurangan

tersebut.

Mantra canninrara mengandung unsur magis yang dapat digunakan

untuk memengaruhi atau mengontrol sesuatu hal untuk memenuhi keinginan

penuturnya. Antara lain, mantra merupakan ayat yang dibaca untuk

melakukan sihir, yaitu melakukan sesuatu secara kebatinan. Seperti memikat

wanita ataupun memikat laki-laki. Pengamalan mantra ini membutuhkan

suatu keyakinan yang keras, jika pengamalnya merasa kurang yakin, mantra

akan menjadi tawar/tidak bereaksi dan tidak efektif.


Berikut salah satu contoh mantra perempuan untuk memikat laki-laki:

Mantra paccillak (memakai cillak)

Kurengreng-rengrengmi anne rengreng bunganna dunia


Ammuriangmako erok anggulesamako cinna (sebut nama orang
yang dikehendaki)

Artinya:

Akan kutarik garis bungganna dunia


Maka bagunlah engkau dengan rasa mau, gelisahlah engkau
dengan rasa suka (sebut nama orang yang dikehendaki)

Konsep mantra di atas merupakan impian-impian dari dunia bawah

sadar atau nalar puitis untuk menyatakan sesuatu yang abstrak menjadi

nyata. Pemantra di atas mencoba membuat simulasi gadis tercantik di dunia

hal tersebut tergambar dalam kata bunganna dunia, ini melebur dalam diri si

pemantra agar aurah kecantikan terpancar dalam dirinya dengan tujuan

memikat hati laki-laki yang menjadi sasarannya dapat tercapai.

Penuturan mantra canninrara menggunakan perilaku-perilaku tertentu.

Perilaku-perilaku tersebutlah yang mendukung kesakralan dan keampuhan

mantra. Mantra ini dipakai pada saat memakai cillak ketika ingin bertemu
7

dengan orang yang ditujukan. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk

memikat hati sang laki-laki ketika ia memfokuskan pandangannya ke raut

wajah wanita tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam mantra

canninrara memiliki komponen tujuan yang tersirat atau tersurat, dan tidak

kalah menarik bahwa mantra tersebut bersifat “memaksakan kehendak” atau

dengan kata lain mantra canninrara berkarakter “egois”. Dalam mantra

canninrara terdapat tarik ulur antara sifat “egois” dan “belas kasih” akan

tetapi, di dalam keegoisan tersebut terdapat nilai-nilai mulia, yaitu untuk

mendapatkan cinta kasih diperlukan keberanian untuk menyatakan sifat

egoisme.
Mantra canninrara merupakan ilmu gaib yang berfungsi untuk menarik

perhatian seseorang demi mendapatkan perhatian, cinta, dan kasih sayang.

Mantra canninrara ini tidak hanya dijumpai pada masyarakat Makassar tetapi

juga dapat dijumpai pada masyarakat Jawa dengan sebutan mantra pekasih.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Hartarta ( 2010: 43) mantra pekasih yaitu

mantra yang memiliki kekuatan untuk memikat lawan jenis atau objek sasaran
tertentu yang menjadi sasarannya. Objek sasaran akan terpesona dengan

sang pengamal mantra. Fungsi mantra ini dapat memikat atau memengaruhi
alam bawah sadar seseorang agar tertanam cinta atau sayang yang dalam

kepada orang yang mengirim pekasih tersebut. Selain itu, mantra ini juga

digunakan untuk menarik rasa simpatik orang yang memandangnya atau

menambah gagah/cantik seorang laki-laki dan wanita, sehingga siapa saja

yang melihatnya akan merasa tertarik bahkan jatuh cinta.

Mantra canninrara merupakan tradisi masyarakat pada zaman dahulu

yang pengaplikasiannya dilakukan pada saat mereka ingin bepergian. Hal

tersebut dilakukan bukan hanya sekadar tradisi tetapi juga memiliki fungsi
8

dan tujuan tertentu. Di era globalisasi saat ini, mantra canninrara kurang

mendapat perhatian dari masyarakat, khususnya generasi muda. Mereka

sudah tidak tertarik lagi untuk mempelajari serta memanfaatkan tradisi ini

karena mereka menganggap bahwa mantra canninrara adalah tradisi kuno

yang bersifat animisme atau sama halnya dengan syirik. Hal ini terjadi pada

masyarakat Makassar Desa Bontomanai pengguna/penutur mantra

canninrara hampir punah sehingga eksistensinya dalam masyarakat

memudar bahkan hanya menjadi sebuah cerita belaka.

Mantra canninrara sebagai sastra lisan masyarakat Makassar

merupakan salah satu pintu masuk untuk memahami dan mengetahui seluk-

beluk kebudayaan suatu masyarakat. Memahami kebudayaan suatu

masyarakat berarti memahami bahasanya. Tanpa bahasa pada dasarnya

kebudayaan itu sendiri tidak ada. Bahasa menunjukkan cara-cara berpikir

budaya tertentu, dengan cara menyediakan istilah, konsep, proposisi, dan

sebagainya. Dengan demikian, keseluruhan aktivitas, baik tingkah laku

maupun pikiran dan perasaan, termasuk benda-benda kultural lainnya dapat

dipahami semata-mata melalui sistem simbol bahasa (Ratna, 2011:175).

Selain itu, mantra canninrara yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya

merupakan sistem tanda yang mempunyai makna. Ratna (2006:97)

mengemukakan bahwa, dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat


berkomunikasi dengan sesamanya bahkan dengan mahluk di luar dirinya

sebagai manusia.

Mantra canninrara merupakan wujud wacana kebudayaan yang

merupakan produk penggunaan bahasa yang mencerminkan bahasa sebagai

sumber daya yang memiliki bentuk, fungsi, dan makna tersendiri. Selain itu,

tuturan mantra canninrara juga mencerminkan nilai-nilai budaya, sikap dan

kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya. Mantra juga


9

menginformasikan budaya masa lampau yang dapat dijadikan landasan

dalam pembentukan budaya selanjutnya.

Keunikan dari sastra lisan berupa mantra seperti yang telah

dipaparkan di atas membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

tentang bahasa yang terdapat dalam mantra didasarkan dengan budaya

pendukungnya. Sebagaimana diketahui bahwa mantra merupakan produk

penggunaan bahasa yang mencerminkan bahasa sebagai sumber daya yang

memiliki bentuk, fungsi, dan makna.

Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk, fungsi, dan makna dalam

sebuah sastra lisan Makassar, tentu dibutuhkan ilmu bantu yang relevan, di

antaranya adalah linguistik dan antropologi. Kedua ilmu tersebut menyatu

dalam ilmu baru yang disebut dengan linguistik antropologi atau

antropolinguistik. Linguistik antropologi merupakan cabang ilmu linguistik

yang mengkaji bahasa dengan menggunakan sudut pandang antropologi.

Dari sudut pandang antropolinguistik, menganggap semua ragam bahasa

menggambarkan cara berpikir masyarakatnya dan berbicara sesuai dengan

berpikirnya termasuk cara dalam seluk beluk kebudayaannya (Sibarani,


2004:11).

Teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori

linguistik antropologi yang diperkenalkan oleh Duranti dalam bukunya (1997).

Linguistik antropologi yang ia gagas sebagai salah satu bentuk wilayah

interdisipliner yang mempelajari “bahasa” sebagai sumber budaya (cultural

resource) dan ujaran (speaking) sebagai bentuk kegiatan budaya. Kajian

linguistik antropologi mengambarkan mengenai inspirasi intelektual yang

berasal dari hubungan interaksional, berdasarkan pada prespektif aktivitas

dan pemikiran manusia. Aktivitas ujaran manusia berdasarkan pada aktivitas

budaya sehari-hari dan bahasa merupakan piranti yang paling kuat


10

dibandingkan dengan kaca pembanding lain (simbol) yang lebih sederharna

dalam kehidupan sosial masyarakat.


B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam mantra canninrara

masayarakat Makassar di Kabupaten Maros.

2. Kekuatan diksi mantra canninrara masayarakat Makassar di

Kabupaten Maros.

3. Simbol-simbol dalam mantra canninrara masayarakat Makassar di

Kabupaten Maros.

4. Bentuk mantra canninrara masayarakat Makassar di Kabupaten

Maros.

5. Makna yang terkandung dalam mantra canninrara masayarakat

Makassar di Kabupaten Maros.

6. Fungsi mantra canninrara masayarakat Makassar di Kabupaten

Maros.

7. Konteks sosial-budaya mantra canninrara masayarakat Makassar di

Kabupaten Maros.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penulis membatasi

masalah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan

karena keterbatasan waktu peneliti sehingga peneliti ini hanya berfokus pada

tiga titik fokus penelitian yaitu sebaga berikut:

1. Bentuk struktur mantra canninrara masayarakat Makassar di

Kabupaten Maros.
11

2. Makna yang terkandung dalam mantra canninrara masayarakat

Makassar di Kabupaten Maros.

3. Fungsi mantra canninrara masayarakat Makassar di Kabupaten

Maros.

D. Rumusan Masalah

Pentingnya melakukan penelitian terhadap mantra canninrara dalam

masyarakat suku Makassar tersebut tidak hanya demi mengembangkan

sastra daerah itu semata-mata, tetapi juga untuk menjawab sejumlah

masalah yang ada. Masalah pokok yang perlu diuraikan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk struktur mantra canninrara masyarakat

Makassar di Kabupaten Maros?

2. Bagaimanakah kandungan makna mantra canninrara masyarakat

Makassar di Kabupaten Maros?

3. Bagaimanakah fungsi mantra canninrara masyarakat Makassar di

Kabupaten Maros?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya memiliki tujuan pokok seperti halnya

tulisan-tulisan lain yang dilakukan secara ilmiah yaitu untuk mengetahui


gambaran kehidupan sosial-budaya masyarakat dengan mengkaji perilaku

dan konsep pikir yang tersirat maupun tersurat dalam mantra canninrara

(mantra pekasih) masyarakat Makassar. Secara garis besar tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan bentuk struktur mantra canninrara masyarakat Makassar

di Kabupaten Maros.
12

2. Menjelaskan makna yang terkandung pada tuturan mantra canninrara

masyarakat Makassar di Kabupaten Maros.

3. Mejelaskan fungsi mantra canninrara masyarakat Makassar di

Kabupaten Maros.
F. Manfaat Penelitian

Pengungkapan kehidupan sosial-budaya tradisional masyarakat

Makassar yang tersirat pada mantra canninrara (mantra pekasih) banyak

memberikan informasi khusus tentang pandangan dunia orang Makassar.

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber Informasi mengenai

keterkaitan ungkapan mantra canninrara (mantra pekasih) dengan

masyarakat yang melatarbelakanginya.

2. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang pemahaman mengenai

kandungan makna mantra canninrara masyarakat Makassar.

3. Dapat menjadi referensi yang relevan untuk penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1. Sarana pengembangan dan pelestarian kebudayaan daerah sebagai

kebudayaan nasional.
2. Pentingnya mendokumentasikan sastra lisan sebagai salah satu

bahagian dari warisan pengetahuan tradisional dan hasil kebudayaan,

sehingga terhindar dari kepunahan.

3. Menambah wawasan tentang bahasa dan kebudayaan yang masih

dimiliki oleh masyarakat Makassar di Desa Bontomanai Kabupaten

Maros.
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Mantra sebagai objek kajian kiranya telah menarik perhatian banyak

penulis. Terbukti dengan lahirnya beberapa tulisan atau tesis sebelumnya

yang menggunakan mantra-mantra sebagai objek kajiannya. Hal itu dapat

dilihat pada uraian berikut ini.

Hartarta (2010), dalam peneliitiannya membahas tentang “Mantra

Pengasihan: Rahasia Asmara “klenik” Jawa” . Penelitian ini bertujuan

mengetahui jenis-jenis mantra pengasihan Jawa, struktur mantra, dan prosesi

pengamalan mantra. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan

sosiologi sastra. Adapun hasil penelitian ini yaitu mengemukakan bahwa

pembangun struktur mantra adalah kepala mantra yang meliputi salam

pembuka, niat, dan nama mantra; tubuh mantra meliputi sugesti, visualisasi

dan simbol, nama sasaran, tujuan, dan harapan; serta unsur kaki yaitu

penutup. Prosesi pengamalan mantra itu sendiri meliputi rasa percaya penuh,

laku, konsentrasi, dan penelangsa sebagai wujud penyerahan diri manusia

kepada penguasa tertinggi.

Nurjamilah (2015), dalam penelitiannya membahasa tentang “ Mantra

Pengasihan: Telaah Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Prosesi

Pewarisannya”. Analisis penelilitian ini menggunakan analisis pendekatan

objektif yang mengandung kesesuain bunyi baik bunyi vokal maupun bunyi

konsonan, kesatuan sintaksis, terikat konteks penuturan, fungsi, dan proses

pewarisan secara turun temurun.

Badaruddin (2016), dalam penelitiannya membahas tentang “ The

Meaning of Tulembang and Tupakbiring Mantras in the Life OF Makassar


14

Etnic (Mantra Tulembang dan Tumpakbiring dalam Kehidupan Suku

Makassar)”. Penelitian ini bertujuan mengetahui makna yang terkandung

dalam mantra Tulembang serta bagaimana sistem pewarisannya. Analisis

penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yang mengedepankan

kualitatif interpretatif sehingga memberikan kesimpulan yang komprehensif

mengenai hasil penafsiran dan pemahaman yang telah dilakukan. Adapun

hasil penelitian ini menunjukkan kandungan makna pada teks mantra

Tulembang yaitu berisi pengakuan, pengharapan, kebersihan (kesucian) diri

dan hati, ketenangan, dan kepuasan batiniah. Sedangkan strategi

pewarisannya bersifat vertikal dan horisontal.

Berdasarkan uraian di atas dari beberapa penelitian relevan yang


ditemukan ditinjau dari segi tema, tulisan ini tidak jauh berbeda dengan karya-

karya terdahulu semuanya membahas tetang tuturan mantra. Bahkan kedua

dari penelitian tersebut memiliki kesamaan objek penelitian dengan penelitian

yang akan dilakukan oleh penulis yaitu mantra pekasih (mantra canninrara).

Walaupun demikian, penulis tetap memilih mantra pekasih (canninrara)

sebagai objek penelitian dengan alasan bahwa setiap masyarakat pada

setiap suku memiliki cara bertutur yang berbeda sehingga tuturan dalam

setiap mantra pun juga berbeda. Perbedaan itulah mencerminkan nilai-nilai

budaya yang berbeda atau paling tidak tataran nilai yang berbeda.
Kebaharuan dari penelitian ini juga dilihat dari pendekatan yang digunakan

yaitu pendekatan linguistik antropologi yang tidak menjadi teori dari penelitian

relevan yang dikemukakan sebelumnya. Penelitian ini juga berusaha

menggungkapkan bentuk, makna, dan fungsi mantra canninrara.

B. Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun

diluar bahasa, dan memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya


15

(Kridalaksana, 2008:132). Pengertian lain konsep adalah abstrak, entitas

mental yang universal yang menunjukkan pada kategori atau kelas dari suatu

entitas, kejadian atau hubungan (https://id.m.wikipedia.org/wiki/konsep

diakses 19/2/2018). Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat dirangkum

bahwa konsep berkaitan dengan aktivitas mental (akal budi) untuk

memahami dan mengategorisasi sesuatu atau kejadian. Beberapa konsep

yang menjadi piranti konseptual dalam penelitian ini perlu dijelaskan seperti

berikut:
1. Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan kesusatraan yang mencakup ekspresi

kesusastraan suatu kebudayaan diturun temurunkan secara lisan dari mulut

ke mulut (Danandjaja, 1997:19). Sastra lisan bersifat komunal, artinya milik

bersama anggota masyarakat tertentu dalam suatu daerah (Hutomo, 1991:1)

Hal inilah membuat sastra lisan lahir dalam suatu masyarakat di masa lampau

tersebut, memberikan ciri khas daerahnya sendiri karena di dalam sastra lisan

tertuang banyak nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang mengikat

masyarakatnya. Sastra lisan menjadi aset kebudayaan masyarakat yang


seyogyanya dilestarikan dan menjadi alamamater masyarakat itu sendiri,

sehingga membedakannya dengan komunitas lain.

Sande (1998:1) mengemukakan bahwa sastra lisan merupakan bagian

dari suatu kebudayaan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah

masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik

bersama. Pertumbuhan dan perkembangan sastra lisan suatu masyarakat

merupakan pertumbuhan dan gerak dinamis pewarisnya dalam melestarikan

nilai budaya leluhurnya. Dalam hal ini, sastra lisan berperan sebagai modal

apresiasi sastra yang telah membimbing anggota masyarakat ke arah

pemahaman gagasan-gagasan berdasarkan cerita yang ada. Apresiasi sastra


16

itu telah menjadi tradisi selama berabad-abad sebagai dasar komunikasi

antara pencipta dan masyarakat, dalam arti komunikasi ciptaan yang

berdasarkan sastra lisan. Adapun yang termasuk dalam genré sastra lisan

terdiri atas dua bagian besar, yaitu puisi dan prosa (Nebarth, 1985: 23). Puisi

dan prosa terus hidup dan berkembang subur dalam kehidupan masyarakat,

terutama pada masa lalu.

Sastra lisan memiliki kaitan erat dengan kebudayaan karena sastra

merupakan bagian integral kebudayaan. Berdasarkan medium bahasa

metaforis konotatif, sastra menyerap berbagai unsur kebudayaan,


membentuk suatu susunan baru, dengan totalitas yang baru. Puisi , cerita

pendek, novel, drama, dongeng, geguritan, dan sebagainya adalah hasil

penyusunan kembali sejumlah aspek-aspek kebudayaan (Ratna, 2005:466).

Adapun ciri-ciri sastra lisan di antaranya 1) lahir dari masyarakat yang

polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; 2) menggambarkan budaya

milik kolektif tertentu, tidak jelas siapa penciptanya; 3) lebih menekankan

aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; dan 4) sering

melukiskan tradisi kolektif tertentu (Rafiek, 2010:53).

Sastra lisan memiliki jenis-jenis atau corak yang beragam. Menurut

Hutomo (1991: 62) jenis-jenis sastra lisan yang dapat dikaji adalah sebagai

berikut:

1. Bahan bercorak cerita: (a) cerita-cerita biasa; (b) mitos; (c) legenda;

(d) epik; (e) cerita tutur; (f) memori.

2. Bahan bercorak bukan cerita: (a) ungkapan; (b) nyanyian; (c)

peribahasa; (d) teka-teki; (e) puisi lisan; (f) nyanyian sedih

pemakaman; (g) undang-undang atau peraturan adat.

3. Bahan bercorak tingkah laku (drama): (a) drama panggung; dan (b)

drama arena.
17

Berdasarkan deskripsi di atas, yang akan menjadi bahan kajian peneliti

adalah sastra lisan yang bercorak puisi lisan. Puisi lisan masyarakat

Makassar adalah mantra.

2. Mantra

Secara etimologi, mantra berasal dari kata man/manas dan tra/tri yang

berarti ‘berpikir atau melindungi, melindungi pikiran dari gangguan jahat’

(Hartarta, 2010: 36). Jadi, mantra tidak semuanya bersifat negatif.

Selanjuntanya Laelasari (2008: 153) berpendapat bahwa mantra merupakan


suatu perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (misalnya

dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya). Susunan

kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung

kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk

menandingi kekuatan gaib yang lain. Puisi yang diresapi oleh kepercayaan

dunia gaib, dipengaruhi oleh irama dalam bahasa itu sendiri untuk

menciptakan nuansa magis.

Koenjranigrat (1981:177) menyebutkan bahwa mantra merupakan

unsur penting dalam ilmu gaib (magic). Mantra berupa kata-kata dan suara-

suara yang sering tidak berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau

kekuatan. Mantra secara leksikal, berarti pembacaan bunyi atau kata sebagai

sarana ritual yang memiliki daya magis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Syam (2010:41) mantra adalah suatu ucapan atau ungkapan yang pada

dasarnya memiliki unsur kata yang ekspresif, berima dan berirama yang

isinya dianggap dapat mendatangkan daya gaib ketika dibacakan atau

dituturkan oleh dukun atau pawang.

Berdasarkan pengertian mantra yang telah dikemukakan di atas, dapat

dipahami bahwa mantra adalah suatu perkataan atau ucapan yang dapat
18

mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan gaib dalam mantra tercipta dari

keyakinan-keyakinan pengamalnya. Apabila, pengamal mantra kurang

meyakini apa yang dituturkan maka khasiat mantra tersebut akan hambar

atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Mantra bagian dari sastra lisan yang masih hidup di tengah rakyat di

pedesaan yang menggunakan bahasa sebagai media utama. Salah satunya

adalah pepata-petitih (mantra) yang menggunakan Bahasa sebagai

mediumnya untuk menampilkan makna budaya yang didalamnya terkadung

nilai (Oktavianus, 2006: 117). Mantra ini dituturkan, didengarkan dan dihayati

secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan

tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan

upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan

upacara yang bertujuan magis. Dalam hal ini, mantra sebagai karya sastra

lisan yang berbentuk puisi itu sendiri sebagai alat untuk meyampaikan

aspirasinya di pihak lain, maka jelas fungsi karya sastra adalah menampilkan

gambaran masyarakat pada zamannya.

Mantra berkaitan erat dengan kepercayaan magis karna mantra bukan


hanya kontruksi kata dalam larik saja, tetapi mengandung daya magis

tertentu. Daya magis tersebut dapat diaktivasi oleh pengamal mantra. Hal ini

terkait erat dengan penghayat mistik atau kebatinan yang telah dihayati oleh

masyarakat Makassar.

Mantra merupakan puisi tertua dalam sastra lisan Makassar. Mantra ini

diciptakan untuk mendapatkan kekuatan gaib dan sakti. Hal tersebut sejalan

yang dikemukakan oleh Maknun (2012:55) bahwa mantra adalah puisi yang

susunan kata-katanya dipercaya dapat mendatangkan daya gaib. Selain itu,

mantra mencerminkan pola pikir, perasaan, sikap dan pengalaman imajinatif

pendukungnya. Mantra dan masyarakat pendukungnya tidak dapat


19

dipisahkan sebab mantra tercipta dari masyarakat itu sendiri. Mantra tidak

mungkin hadir jika tidak ada masyarakat pewarisnya. Demikian pula yang

terjadi pada masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada adat

istiadatnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mantra. Kepercayaa akan

adanya kekuatan gaib selalu mendorong mereka untuk merealisasikan

kekuatan tersebut kedalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhannya.

Mantra dalam masyarakat Makassar tidak hanya digunakan dengan

tujuan positif akan tetapi, juga digunakan untuk hal-hal yang negatif. Mantra

mempunyai fungsi yang berbeda-beda bergantung pada tujuan yang hendak

dicapai. Oleh karena itu, terdapat banyak jenis mantra dalam masyarakat

pendukungnya. Misalnya mantra bepergian dipakai saat masyarakat

berpergian, mantra mandi untuk membersihkan badan dan diri, dan serta

mantra-mantra lainnya. Jenis-jenis mantra tersebut digolongkan dalam hal-hal

positif sebagai berikut:

1. Mantra Kakabballang (mantra kekebalan/kejantanan bagi laki-laki),

mantra ini digunakan khususnya kaum laki-laki untuk menambah

kekuatan dan katahanan fisiknya serta digunakan sebagai mantra

pemberani.

2. Mantra Papparampak nassu (mantra peredam amarah) dipakai

untuk meredakan amarah lawan, membuat orang lain menjadi

lemah, ciut nyali, takut, dan gemetar, tidak dapat bertindak sama

sekali;

3. Mantra Pabballe (mantra pengobatan), mantra ini digunakan untuk

menyembuhkan suatu penyakit tertentu;

4. Mantra Pagalung adalah mantra yang digunakan oleh para

pagalung untuk mendapatkan hasil panen yang banyak.

Penggunaan ungkapan-ungkapan mantra Pagalung berawal sejak


20

mulai turun membajak sawah sehingga selesainya panen. Mantra

Pagalung sangat erat kaitannya dengan nilai budaya mistik dan

religiositas;

5. Mantra Canninrara (mantra pekasih) digunakan untuk menarik rasa

simpatik orang yang memandangnya atau menambah gagah/cantik

seorang laki-laki dan wanita, sehingga siapa saja yang melihatnya

akan merasa tertarik bahkan jatuh cinta.

Mantra yang bertujuan negatif seperti mantra yang memerintah Tujua,

doti-doti dan lain sebagainya. Mantra-mantra tersebut dipercaya masyarakat

Makassar sebagai mantra yang mendatangkan marabahaya. Masyarakat

yang dikirimi mantra yang memerintah Tujua, dan doti-doti akan menderita

sakit yang tidak terdetiksi oleh medis. Banyak masyarakat yang kurang waras

karena terkena penyakit Tujua bahkan mereka kehilangan nyawanya.

Mantra sering dijadikan dasar kesaktian orang Makassar. Melalui

mantra, orang Makassar dapat lebih sakti jika diterapkan sebagaimana

mestinya. Mantra semacam rapal (ucapan) magis yang dapat digunakan

untuk tameng (menjaga) diri dari gangguan apa saja. Penggunaan mantra

tidak sekadar dihafalkan begitu saja. Namun, perlu disertai laku khusus,

seperti halnya duduk sila dan konsentrasi.

Menurut Soedjijono (1987:91), terdapat beberapa persyaratan dalam

membacakan mantra yaitu: waktu, tempat, peristiwa/kesempatan, pelaku,

perlengkapan, pakaian, dan cara membawakan mantra. Waktu membacakan

mantra merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam pembawaan

mantra. Dalam pembawaan mantra juga terdapat waktu-waktu yang dilarang

dan waktu yang manjur didalam membawakan mantra. Tempat membacakan

mantra menurut Soedjijono (1987:94), yaitu (1) tempat bebas, artinya dapat

dibacakan di mana saja, didekat objek, atau mungkin ditempat khusus;(2)


21

tempat khusus, artinya tempat tertentu yang dikhususkan untuk membacakan

mantra, baik tempat atau kamar yang sepi maupun tempat-tempat seperti di

depan pintu atau di halaman rumah;(3) ditempat keperluan, artinya ditempat

objek yang dituju.

Maknun (2012: 59-60) mengemukakan bahwa, terdapat beberapa

konteks yang melingkupi berlangsungnya suatu pengungkapan mantra di

antaranya: 1) Kontesk situasi yang digambarkan melalui medan wacana,

pelibat wacana, dan sarana wacana. Medan wacana merupakan proses

penyampaian harapan-harapan dan doa kepada Sang Pencipta. Pelibat

wacana merupakan orang yang menuturkan doa (teks) mantra. Sarana

Wacana merupakan wujud penyampian mantra. 2) Konteks kultural

didasarkan pada nilai budaya yang terkadung dalam mantra.

Mantra sering kali dikaitkan dengan puisi karena kesamaan bentuk

struktur yang dimiliki dan dikaitkan dengan doa karena kesamaan tujuannya.

Perbedaan mantra dan doa belum ada secara jelas, masih dalam perdebatan

parah ahli. Namun, menurut penulis bahwa antara mantra dan doa hanya

persoalan istilah dalam penggunaannya. Adapun perbedaan mendasar

lainnya tampak dalam pemakain bahasanya. Apabila ditinjau dari segi makna,

mantra dan doa mempunyai kesamaan yaitu sama-sama mengandung arti

permohonan terhadap kekuatan yang gaib untuk memenuhi harapan atau

keinginan pengamalnya. Namun demikian, kedua kata tersebut belum

digolongkan sebagai kata yang bersinonim.

3. Canninrara

Kata canninrara biasa diartikan oleh masyarakat makassar sebagai

“wajah manis”. Pengertian lainnya mantra canninrara bagi masyarakat Jawa

dikenal dengan sebutan mantra pekasih, yang berarti menyayangi. Pekasih


adalah sesuatu yang dipercaya memiliki kekuatan untuk membantu
22

seseorang menjadi disukai atau disayangi oleh orang lain (Nurjamilah,

2015:125). Berdasar kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa

mantra canninrara atau mantra pekasih adalah seseuatu tindakan yang

dilakukan untuk menarik rasa simpati orang yang kemudian tumbuh menjadi

benih-benih cinta dan kasih sayang.

Mantra canninrara merupakan salah satu contoh mantra yang terkenal

dikalangan masyarakat Makassar. Mantra canninrara ini banyak digunakan

masyarakat untuk mantra awet muda, dan sering juga digunakan untuk

memikat lawan jenis. Biasanya ritual cannning rara dibacakan dan ditiupkan

ke air sebagai bahan untuk mandi. Tujuannya adalah agar orang yang

menggunakan air tersebut untuk mandi akan kelihatan awet muda.

Selain fungsi di atas, mantra canninrara juga biasa dilakukan oleh

masyarakat untuk menaklukkan hati lawan jenis. Biasa dipakai oleh orang-

orang untuk mencari pasangan. Baik seorang laki-laki dalam mencari

pasangan maupun seorang perempuan dalam mencari pasangan hidup. Ada

beberapa mantra canninrara yang bersifat pelet. Bila seseorang

mengamalkan atau membacakan mantra canninrara yang bertujuan untuk

memelet perempuan atau laki-laki dengan cara bersungguh-sungguh dengan

penuh keyakinan begitu mendalam, bacaan itu akan menjadi sugesti dalam
diri untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan semangat dalam wujudkan

apa yang ada dalam hati dan pikiran pengamal mantra tersebut. Dengan hal

tersebut sugesti yang terwujud dalam mantra yang dibacakan adalah sugesti

diri dalam wujudkan hasratnya untuk meluluhkan hati seseorang hingga

tergila-gila kepadanya. Bila ini sudah tertanam pada diri si pengamal pasti

seberat apa pun usaha yang ia kerjakan akan terasa enteng ditempuh.

Ilmu mantra canninrara ini sangat kuat pengaruhnya. Orang yang

terkena pengaruh mantra canninrara ini akan terguncang jiwanya dipenuhi


23

cinta dan juga takluk kepada si pengamal mantra. Bahkan apabila si

pengamal mantra telah sangat menguasai ilmu ini secara sempurna,

jagankan manusia, makhluk lelembut hingga binatang buaspun dapat

dibuatnya bertekuk lutut.

Pengamal mantra canninrara yang bertujuan untuk memikat lawan

jenis dengan cara menggunakan media seperti bedak atau minyak rambut

bagi seorang laki-laki akan membuat wajah mereka bercahaya sehingga

setiap lawan jenis yang melihat akan terpesona dan jatuh hati lantaran

sukanya memandang wajah si pengamal mantra.


Konon katanya, terkadang tidak hanya kepada lawan jenis saja yang

suka memperhatikan atau memandang, namun kepada sesama jenis atau

yang merupakan teman-teman juga suka dekat, mereka seakan merasa

senang berteman. Begitulah keunikan dari mantra canninrara yang memiliki

daya tarik, reaksi mistiknya seperti magnet yang dapat memikat hati orang-

orang.
C. Landasan Teori

Landasan teori merupakan teori relevan digunakan dalam menjelaskan


variabel yang diteliti dan sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara

terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini. Teori yang digunakan bukan

sekadar pendapat dari para ahli, tetapi teori yang benar-benar telah teruji

kebenarannya. Berikut teori-teori yang digunakan dalam menganalisis atau

memecahkan permasalahan dalam penelitian ini:


1. Linguistik Antropologi

Bahasa bukan hanya sebagai mode berpikir akan tetapi, sebagai

pengembang budaya. Bahasa merupakan bagian dari unsur-unsur

kebudayaan. Sama seperti bahasa, kebudayaan dipelajari, ditransmisikan,


24

dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya melalui perbuatan

dalam bentuk tatap muka, dan tentu saja melalui komunikasi linguistis.

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, apabila

seseorang mempelajari suatu bahasa dalam masyarakat berarti ia telah

mempelajari kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Secara kognitif,

kebudayaan itu adalah pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pengetahuan itu dapat bersifat proposisional atau “mengetahui tentang” dan

pengetahuan prosedural atau “mengetahui bagaimana”. Berdasarkan hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa erat kaitannya dengan

kebudayaan, dan dengan masyarakat pemakai bahasa itu pada kelompok

budaya tertentu disertai cara-cara berpikir yang sesuai dengan aturan-aturan

perilaku dalam masyarakat itu (Sibarani, 2004: 49).

Hubungan bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat

erat. Hal yang paling mendasari hubungan tersebut adalah bahasa harus

dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui

bahasa. Kajian hubungan keduanya pada umumnya dilihat dari ilmu yang

mempelajarinya, yakni antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan


dan linguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik adalah ilmu

yang mempelajari tentang seluk beluk bahasa dan antropologi adalah ilmu

yang mempelajari tentang perilaku manusia. Ilnguistik dan antropologi bekerja

sama dalam mempelajari hubungan bahasa dengan aspek-aspek budaya.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut kajian tentang

hubungan antara bahasa dan budaya. Di Amerika, kajian hubungan antara

bahasa dan budaya disebut antropologi linguistis (dengan variannya lingusitik

antropologis). Kedua istilah ini, seringkali penggunaannya dipertuukarkan. Di

Eropa digunakan istilah “etnolinguistik”. Penggunaan istilah etnolinguistik di

Amerika hanya populer pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an
25

(Duranti, 1997: 2-4). Sementara di Indonesia, istiah lingusitik antropologis

lebih dikenal dengan linguistik budaya (Riana , 2003:8). Menurut Palmer

(1996:10-26) lingusitik budaya adalah salah satu perspektif teoretis dalam

lingusitik kognitif yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan

pada suatu masyarakat. Dalam prespektif linguistik budaya, bahasa dikaji

melalui prisma kebudayaan dengan tujuan untuk menyingkap makna budaya,

sebagaimana tertera dalam pengetahuan masyarakat bersangkutan. Ini

berarti, bahasa yang dipakai suatu kelompok etnik, baik dalam tataran

interaksional makro maupun dalam tataran interaksional mikro, seperti dalam

tutur atau tindak tutur tertentu, merupakan cerminan kebudayaan yang

dianutnya.

Duranti (1997:1-2), mengemukakan bahwa istilah antropologi linguistik

digunakan dengan pengertian yang sama dengan linguistik antropologi. Foley

(2001:3-5) menyatakan linguistik antropologis berupaya mengungkapkan

makna tersembunyi yang ada dibalik pemakaian bahasa, pemakain bentuk-

bentuk bahasa yang berbeda, pemakaian register dan gaya. Selain itu,tujuan

linguistik antropologis yaitu mencoba mencari makna tersembunyi yang ada


dibalik pemakaian bahasa, pemakaian bentuk-bentuk bahasa yang berbeda,

pemakaian register dan gaya. Selanjutnya, Foley (2001:1) mengatakan

bahwa, linguistik antropologi adalah bagian dari linguistik yang menaruh

perhatian pada bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas dan

juga peran bahasa dalam menempa dan memelihara praktik budaya dan

struktur sosial.

Sementara itu, Pastika (2004: 35-37) menyatakan perbedaan antara

Antropologi Linguistik (Linguistic Anthropology) dan Linguistik Antropologi

(Anthropological Linguistics) berkaitan dengan lingkup kajian, metode, dan

teori kedua ranah linguistik makro tersebut. Namun demikian, keduanya


26

tetap menjadikan aspek-aspek linguistik sebagai inti kajian. Lebih lanjut

dijelaskan, apabila arah kajiannya menjadikan linguistik sebagai titik tolak

kajian yang diikuti dengan persepsi Antropologi, disebut sebagai ”Linguistik

Antropologi”. Sebaliknya, apabila persepsi linguistik dimunculkan dari data

Antropologi, dipilihlah nama ”Antropologi Linguistik”. Linguistik antropologi

merupakan disiplin ilmu yang bersifat interpretatif yang lebih jauh mengupas

bahasa untuk mengemukakan pemahaman budaya.

Suhandono (2004:33) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan cara

kerja antara disiplin anthropological lingusitics (linguistik antropologis) dan

linguistic antropology (antropologi linguistis). Studi linguistik antropologis

bermula dari fakta kebahasaan, sementara antropologi linguistis tidak

bermula dari fakta kebahasaan , melainkan dari fakta kebudayaan.

Berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan istilah yang digunakan, penulis

dalam hal ini lebih cenderung menggunakan istilah linguistik antropologi

dengan maksud untuk menekankan bahwa penulis berlatarbelakang ilmu

linguistik.

Linguistik antropologi merupakan cabang ilmu dalam linguistik yang


melihat kebudayaan berdasarkan aspek kebahasaan suatu masyarakat

tertentu. Bahasa dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat

dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan

tersebut terlihat pada ketujuh unsur universalisme kebudayaan. Ketujuh unsur

universalisme kebudayaan tersebut menggambarkan bahwa bahasa adalah

bagian dari kebudayaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

Koenjraningrat (1983:182), bahwa bahasa dari perspektif antropologi

merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, mempelajari bahasa

berarti pula memahami kebudayaanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh


27

Duranti (1997:27), bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya

dengan mendeskripsikan bahasa.

Linguistik antropologis memandang bahasa dan kebudayaan berkaitan

satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan

satu sama lain. Dalam prespektif antropologi, bahasa merupakan bagian dari

kebudayaan (Koentjraningrat, 1984:182). Sebaliknya, kebudayaan pada

umumnya diwariskan secara seksama melalui bahasa. Jadi, bahasa

merupakan wahana utama bagi pewarisan dan pengembangan kebudayaan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Duranti (1997: 27) yang menyatakan bahwa

mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan

bahasa.

Linguistik antropologi merupakan cabang linguistik yang mepelajari

variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan

waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh

kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola-pola

kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 49--50).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Oktavianus (2006:116) bahwa


pendekatan antropologi linguistik yaitu mencermati apa yang dilakukan orang

dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi. Seperti halnya, peran

bahasa dalam mempelajari bagaimana cara seseorang berkomunikasi

dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana

cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan

konteks budayanya.

Anshori (2017: 26), mengungkapkan bahwa bagi antropologi bahasa

memegang peran penting, terutama dalam mengungkap data atau kode

budaya yang menjadi objek penelitian. Selain itu, bahasa sebagai salah satu

komponen budaya, yang secara spesifik dibangun dalam antropolinguistik.


28

Anropolinguistik melihat budaya dari sudut pandang atau kajian bahasa dalam

kaitannya dengan budaya. Dalam konteks ini, tuturan atau bahasa menjadi

hal fundamental bagi aktivitas manusia yang hadir berintegrasi dengan

budaya. Dalam konteks lintas budaya, variasi tuturan dan bahasa dapat

diajarkan melalui kaitan antara pandangan dunia dengan struktur sosial serta

kepribadian setiap individu dan kelompok pengguna bahasa.

Berdasarkan konsep-konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa

linguistik antropologi dan antropologi linguistik yaitu ilmu yang

memandang/mengkaji bahasa dari sudut pandang antropologi untuk

menemukan makna di balik pemakainya dalam konteks situasi sosial

budaya. Dalan mengkaji penggunaan bahasa, antropolinguis memegang dan

menerapkan tiga parameter, yakni (1) keterhubungan, (2) kebernilaian, (3)

keberlanjutan. Keterhubungan dimaksud dalam hal ini yaitu hubungan linear

yang secara vertikal atau hubungan formal yang horizontal. Hubungan formal

berkaitan dengan struktur bahasa atau teks dengan konteks (situasi, budaya,

sosial, ideologi) dan konteks (paralinguistik, gerak-isyarat, unsur-unsur

material) yang berkaitan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan


hubungan liner berkenaan dengan struktur alur seperti performasni.

Kebernilaian memperlihatkan makna dan fungsi, sampai ke nilai atau norma,

serta akhirnya sampai pada kearifan lokal aspek-aspek yang diteliti.

Keberlanjutan memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai

budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014:319).

Berdasarkan sudut pandang linguistik antropologis menjadikan bentuk,

makna, dan fungsi bahasa yang membentuk fenomena, gejala dan peristiwa

kebudayaan sebagai objek kajian materinya. Mengkaji bentuk, makna, dan

fungsi suatu karya sastra secara keseluruhan akan lebih bermakna jika

dikaitan dengan budaya yang melatarbelakanginya.


29

2. Struktur Mantra

Mantra merupakan karya sastra yang berbentuk puisi yang dibangun

secara koheren oleh berbagai unsur pembangunnya. Salah satunya adalah

struktur bentuk mantra. Berdasarkan struktur bentuknya mantra lebih sesuai

digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada

aspek baris ataupun bait, jumlah kata, dan jumlah baris setiap bait, ataupun

dari rima dan persajakan. Seperti dikatakan Jalil dan Elmustian (2002:49)

bentuk suatu mantra sama dengan puisi bebas yang lain, bahkan mantra

lebih bebas. Puisi bebas seperti mantra bisa saja dalam wacananya ada yang

berbentuk frasa, klausa ataupun kalimat.

Secara umum struktur puisi (mantra) terdiri atas dua unsur yang saling

mendukung yaitu struktur batin puisi dan struktur fisik puisi (Damayanti,

2013:21). Bentuk fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna

yang hendak disampaikan penyair. Bangun suatu bentuk puisi (mantra)

adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur

tersebut meliputi: (a) bunyi, (b) kata, (c) lirik atau barik, (d) bait, dan (e)

tipografi yang dikemukakan (Aminuddin, 2011:136). Adapun bentuk dalam


mantra terdiri dari: (a) tema; (b) bunyi; (c) baris; (d) bait; dan (e) diksi.

a) Tema (sense)

Tema adalah suatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair

lewat puisi (mantra) yang dihadirkannya. Terdapatnya tema suatu puisi pada

dasarnya akan berhubungan dengan gambaran atau makna puisi (mantra)

secara umum yang ingin diungkapkan (Aminuddin, 2011: 150). Tema

merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair, sehingga dengan

gagasan pokok inilah yang mendorong penyair untuk menciptakan dan


30

menjiwai isi puisi yang dilahirkannya. Tema puisi biasanya mengungkapkan

persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih, ketakutan,

kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran,

ketuhanan, kritik sosial, dan protes (Djojosuroto, 2006:24).

b) Bunyi dan irama dalam puisi

Bunyi merupakan salah satu unsur yang membangun salah satu puisi

akan memiliki keindahan dan maknanya serta kenikmatan akan didukung

oleh unsur bunyi atau irama yang membentuk puisi tersebut. Berbicara

tentang bunyi dalam puisi terlebih dahulu harus dipahami beberapa istilah

yang berkaitan dengan bunyi, meliputi:

1. rima, adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik dalam lirik

maupun pada akhir lirik puisi. Rima mengandung beberapa aspek,

yaitu: (a) asonansi (perulangan vokal), (b) aliterasi (perulangan bunyi

konsonan), (c) rima akhir (paduan bunyi pada setiap akhir), (d) rima

dalam (perulangan bunyi di antara kata-kata dalam satu lirik), (e) rima

identik (perulangan kata di antara bait-bait), (f) rima rupa (perulangan

hanya tanpa pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya


tidak sama).

2. irama adalah paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalisasi

(musikalitas), baik berupa alunan keras, lunak, tinggi, rendah, panjang,

pendek yang keseluruhannya maupun menumbuhkan kemerduan,

kesan suasana serta mampu memberikan nuansa dan makna tertentu.

c) Diksi

Diksi (diction) berarti pilihan kata-kata yang dipergunakan dalam puisi

pada umumnya sama dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari secara alamiah kata-kata yang digunakan dalam puisi (mantra)

dalam kehidupan sehari-hari memiliki makna yang sama bahkan ucapan


31

bunyi pun tidak ada perbedaan. Berdasarkan bentuk dan isi kata-kata dalam

puisi dapat dibedakan, antara lain: (1) lambang, yakni bila kata-kata itu

mengandung makna, seperti dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan

maknanya tidak mungkin menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain

(makna denotatif), (2) ulterence atau indice, yakni kata-kata yang

mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian,

(3) symbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna

konotatif) hingga untuk memahami seseorang harus menafsirkan

(interpretative) dengan melihat bagaimana kata tersebut dengan kata yang

lainnya (analisis kontekstual) seringkali berusaha menemukan fitur

semantisnya lewat kaidah proyeksi, mengembangkan kata ataupun bentuk


larik (kalimat) ke dalam bentuk yang sederhana lewat pendekatan parafratis

(Aminuddin, 2011: 140).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kata-kata

dalam puisi tidak diletakkan secara acak, akan tetapi ditata, diolah dan diatur

penyairnya secara cermat. Pemilihan kata untuk mengungkap suatu gagasan

disebut diksi. Diksi yang baik tentu berhubungan dengan pemilihan kata yang

tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna sehingga mampu


mengembangkan dan mengajak daya imajinasi pembaca dalam memahami

dan menikmati makna suatu puisi yang dibacanya.

d) Baris

Baris dalam puisi (mantra) seringkali mengalami pelesapan, yakni

pengulangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk

mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa (Aminuddin, 2011: 144). Baris

atau larik dalam puisi adalah satuan yang pada umumnya lebih besar dari

kata dan telah mendukung suatu makna tertentu. Baris dalam puisi pada

dasarnya adalah merupakan pemadu, penyatu dan pengembang ide penyair


32

yang diawali lewat kata. Akan tetapi sesuai dengan keberadaan baris dalam

puisi makna penataan baris harus memperhitungkan masalah rima serta

penataan pola persajakan. Dalam hal ini dikenal dalam istilah enjabemen,

yakni pemenggalan larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik suatu puisi

yang dilanjutkan pada larik berikutnya (Aminuddin, 2011: 154).

e) Bait dalam puisi

Peranan bait dalam puisi hampir sama dengan fungsi paragraf dalam

prosa, untuk menyatakan ide pokok. Satuan yang lebih besar dari larik bisa

disebut dengan bait, pengertian bait adalah kesatuan larik yang berada dalam

suatu kelompok dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran,

terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya (Aminuddin, 2011: 145). Akan

tetapi, sesungguhnya dalam bait yang terpenting adalah kesatuan makna,

bukan kesatuan baris. Keberadaan bait dalam puisi adalah membentuk satu

kesatuan makna dalam rangka mewujudkan ide pokok pikiran tertentu yang

berbeda dengan satuan makna dalam kelompok larik lainnya. Pada sisi lain,

bait juga berperan menciptakan tipografi puisi serta berperan menekankan

atau mementingkan suatu gagasan yang dituangkan penyairnya. Dengan


demikian, bait-bait dalam puisi dapat diibaratkan sebagai suatu paragraf atau

baitnya telah mengandung pokok-pokok pikiran tertentu.


3. Makna Mantra

Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam

semiotik. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang

mempergunakan medium bahasa. Preminger (1974: 981) mengatakan bahwa

bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah mempunyai

arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna

(significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat

kedua.
33

Saussure (1985) mengemukakan teori semiotik memusatkan perhatian

pada studi tentang tanda. Menurutnya, tanda sebagai pertemuan antara

bentuk dan makna. Bentuk merupakan sesuatu yang tercitra dalam kognisi

seseorang sedangkan makna atau isi adalah seseuatu yang dipahami oleh

manusia pemakai tanda. De Saussure menggunakan istilah signifiant

(penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signifie (petanda) untuk segi

maknanya. Hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi

sosial, yakni didasari oleh “kesepakatan” masyarakat pendukungnya.

Seperti sistem tanda dan proses penggunaannya dalam sebuah

tuturan mantra. Tanda dalam sebuah mantra yang terpenting adalah kata-
kata. Kata-kata dipakai sebagai tanda dari suatu konsep atau ide. Dalam hal

ini, ada satu tujuan komunikasi yang harus diingat, bahwa tanda “bermakna”

sesuatu (Berger, 2010: 1). Sejalan dengan ajaran Saussure, sistem tanda

dikatakannya sebagai “semiologi” yakni ilmu yang mengkaji tanda-tanda

dalam kehidupan masyarakat. Sistem tanda dimaksud terdiri atas bentuk dan

makna, baik internal maupun eksternal.

Semiotika pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang


digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia. Barthes, dalam karyanya

(1957) menggunakan pengembangan teori tanda di Saussure (penanda dan

petanda) sebagai upaya menjelaskan bagaimana manusia dalam

bermasyarakat didominasi oleh konotatif. Selain makna konotatif juga

terdapat makna denotatif.


a) Makna Denotatif

Chaer (2013: 65) menyatakan bahwa makna denotatif pada dasarnya

sama dengan makna referensial, sebab makna denotatif lazim diberi

penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut

penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.


34

Makna denotatif adalah makna yang bersifat langsung, dan dapat

disebut sebagai gambaran dari suatu petanda (Berger, 2010:65). Tanda

bukan hanya sesuatu yang bisa dibuat untuk menunjukkan sesuatu yang

lain, tetapi juga sering menunjukkan sesuatu yang tidak disadari namun

memiliki pengaruh yang sangat mendalam. Keraf (2010:28) mengemukakan

bahwa:

“Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti:


makna denotatifonal, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial, atau makna proposisional. Disebut
makna denotatifonal, referensial, konseptual, atau ideasional, karena
makna itu menunjuk kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu
dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian
dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara)
dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat
diserap pancaindera (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini
disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan
informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna
yang paling dasar pada suatu kata.

Jika mengikuti beberapa pengertian yang dikemukanan para ahli di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna denotatif adalah makna yang

sesuai dengan makna aslinya yaitu makna sesuai yang diacu oleh makna

yang paling dasar pada suku kata tersebut dan harus bersifat faktual atau

sesuai dengan faktanya.

Memilih makna denotatif yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah

dari memilih konotatif yang tepat. Seandainya ada kesalahan dalam denotatif,
maka hal itu mungkin disebabkan kekeliruan karena tidak jelas maksud dan

referennya. Kekeliruan pertama terjadi karena ejaan: gajih-gaji, darah-dara,

interferensi-intervensi, dan sebagainya. Kesalahan kedua karena bersifat

temporer, tetapi kesalahan ketiga adalah kesalahan yang paling berat. Makna

denotative dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi

antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua
35

relasi antara sebuah kata dengan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari

sesuatu yang diwakilinya (Keraf, 2010:29).


b) Makna Konotatif

Djajasudarma (1999: 9) menyatakan bahwa makna konotatif adalah

makna yang muncul dari makna kognitif ke dalam makna kognitif tersebut

ditambahkan komponen makna lain. Makna konotatif sering disebut dengan

istilah makna konotatif. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif

apabila kata tersebut mempunyai “nilai rasa”, baik yang bersifat positif

maupun negatif. Jika sebuah kata tidak memiliki nilai rasa, maka kata

tersebut tidak memiliki konotatif. Namun, kata tersebut dapat juga disebut

berkonotatif netral. Artinya, kata yang digunakan tidak memihak pada kata

yang lain.

Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali terjadi sebagai

akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika

digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai positif,

dan jika digunakan sebagai lambing sesuatu yang negatif maka akan bernilai

negatif. Misalnya burung garuda karena dijadikan lambang Negara Republik


Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif. Berbanding terbalik dengan

buaya, buaya yang dijadikan lambang kejahatan maka akan memiliki nilai

rasa yang negatif (Chaer, 2009:69).

Makna konotatif atau konotatif adalah suatu jenis makna stimulus dan

respons yang mengandung nilai-nilai emosional (Keraf, 2010:29). Konotatif

atau makna konotatif disebut juga makna konotatifonal, makna emotif, atau

makna evaluatif. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin

menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang,

dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lain kata yang dipilih itu

memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.


36

Makna konotatif sebenarnya adalah makna denotatif yang mengalami

penambahan.

Aminuddin (2001:88) berpendapat makna konotatif adalah makna kata

yang telah mengalami penambahan terhadap makna dasarnya. Makna

konotatif disebut juga dengan makna tambahan. Makna konotatif muncul

sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang

didengar atau dibaca. Zgusta (dalam Aminuddin, 2001:112) berpendapat

makna konotatif adalah makna semua komponen pada kata ditambah

beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai.

Menurut Barthes, konsep konotatif sebagai “pemaknaan kedua” yang

didasari oleh “pandangan budaya”, “pandangan politik”, atau “ideologi”

pemberi makna. Makna konotatif ini berubah-ubah mengikuti perkembangan

sejarah (Hoed,2014: 191). Konotatif bukan sekadar bahasa, melainkan

sebuah fenomena budaya.

Konotatif adalah segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh

pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya (Hoed, 2014:15). Makna

konotatif dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat atau tentang makna


yang terkandung di dalamnya. Makna tersebut akan dihubungkan dengan

kebudayaannya, tetang gambaran yang akan dipancarkan serta akibat yang

ditimbulkan dan lain-lain (Berger, 2010:65). Makna konotatif dari beberapa

tanda akan menjadi semacam mitos atau petunjuk mitos (yang menekankan

makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna) konotatif

menjadi perwujudan mitos yang berpengaruh dalam masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

makna konotatif adalah makna yang tidak sebenarnya, makna yang telah

mengalami penambahan pada makna dasarnya, yakni hanya tambahan yang

sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Makna konotatif atau
37

konotatif merupakan kata yang mengacu pada makna kias atau makna yang

tidak sebenarnya. Makna konotatif mengandung imajinasi, nilai rasa, dan

dimaksudkan untuk menggugah rasa.

Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

Menurut Barthes, medan pemaknaan konotatif memungkinkan orang

berbicara tetang metafora dan gaya bahasa kiasan (Cristomy, 2004: 255).

Hartarta (2010:29) mengemukakan bahwa gaya bahasa kiasan dilihat dari

segi makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang
membentuknya, atau dengan kata lain adalah menyimak dari makna

sebenranya. Adapun gaya bahasa kiasan yang penulis gunakan untuk

menganalisis data penelitian ini adalah:

a) Persamaan atau simile: menyatakan/membandingkan sesuatu sama

dengan hal lain. Biasanya dengan menggunakan kata penghubung;

seperti, sama, bagaikan, laksana.

b) Metafora: jenis kiasan yang membandingkan dua buah benda secara

singkat dan langsung atau dengan analogi benda lainnya secara

singkat tanpa memakai kata bantu.

c) Personifikasi: gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati

atau tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan

(hidup). Artinya, semua benda mati, binatang, dan tumbuhan yang

disebutkannya memiliki sifat penginsanan, seperti: bertindak, berbuat,

dan berbicara seperti layaknya manusia. Alusi, merupakan jenis gaya

bahasa kiasan yang memberikan semacam acuan referensi yang

eksplisit atau implisit.

d) Hiperbol: gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan,

dengan membesar-besarkan sesuatu.


38

e) Paradoks; gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata

dengan fakta-fakta lain.

f) Efonim: gaya bahasa dimana seseorang yang namanya begitu sering

dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk

menyatakan sifat itu.

Bertolak dari teori pemaknaan yang telah dipaparkan di atas Riffaterre

(1978: 166) mengemukakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk

memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-

tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan

terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari

tanda ke tanda terjadi. Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Rifaterre

mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik.

Keempat prinsip dasar itu adalah 1) Ketidaklangsungan ekspresi, 2)

Pembacaan heuristik dan hermeneutik, 3) Matriks, model dan varian, dan 4)

Hipogram. Berdasarkan keempat prinsip tersebut, penulis memilih salah satu

dintaranya yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam

menginterpretasikan makna yang terkandung pada mantra canninrara.


a) Heuristik

Nurgiyantoro (2009: 33) mengemukakan bahwa kerja heuristik

merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5) ,

bahwa Pembacaan heuristik merupakan pembacaan tingkat pertama untuk

memahami makna secara linguistik. Sedangkan menurut Santosa (2004:

231) pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada

konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun

serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. Hal

ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan
39

yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa.

Sedangkan Pradopo (2005: 135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu

pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah

berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa

pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang

bersangkutan). Jadi, bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang

sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa.

Pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa

atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem

semiotik tingkat pertama. Sajak dibaca secara linear sebagai dibaca menurut

struktur normatif bahasa. Pada umumnya, bahasa puisi menyimpang dari

penggunaan bahasa biasa (bahasa normatif). Bahasa puisi merupakan

deotomisasi atau defamiliarisasi: ketidakotomatisan atau ketidakbiasaan. Ini

merupakan sifat kepuitisan yang dapat dialami secara empiris (Shklovsky

dalam Pradopo, 2010: 296). Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua

yang tidak biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasikan (Culler dalam

Pradopo, 2010: 296) sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu,
kata-kata diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan

antara kalimat dalam puisi menjadi jelas. Begitu juga, logika yang tidak biasa

dikembangkan pada logika bahasa yang biasa. Hal ini mengingat bahwa puisi

itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

Heuristik tidak menghiraukan kelengkapan atau kesempurnaan teks

atau kondisi gramatikal. Sehingga apresiator dapat menambah ataupun

mengurangi bentuk gramatikal yang ada guna menemukan makna yang

terkandung dalam teks karya sastra itu sendiri. Kerja heuristik menghasilkan

pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. Namun

dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin


40

disampaikan oleh pengarang justru diungkapan hanya secara tersirat, dan

inilah yang disebut sebagai makna intensional, intentional meaning. Untuk itu,

kerja penafsiran karya sastra haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu

berupa pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya,

berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, akan ditafsirkan makna

tersiratnya, signifikansinya.

Penafsiran karya sastra secara lebih baik, di samping memerlukan

pengetahuan (kompetensi) kode bahasa dan kode sastra di atas, juga

memerlukan kode budaya (lengkapnya: sosial-budaya). Pengetahuan kode

budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran, mengingat

karya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan

kondisi (baca: sistem) sosial-budaya masyarakat tersebut.


b) Hermeneutik

Pradopo (2010: 297) menyebutkan bahwa pembacaan hermeneutik

atau retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan

penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi

sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung,


dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian

ruang teks (tanda-tanda visual).

Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural

atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena

itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan

yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, langkah-langkah

penerapan hermeneutik adalah dengan mengkaji makna melalui pembacaan

yang berulang-ulang dengan meramalkan makna yang terkandung secara

tersirat pada karya sastra itu sendiri dengan menggunakan segenap

pengetahuan yang dimiliki.


41

Hermeneutik mengembangkan metode pemahaman makna melalui

penafsiran. Bahkan hermeneutik secara eksplisit mempunyai tujuan untuk

verstehen sebagai pengertian filsafat melalui proses abduksi. Hermeneutik

ingin memahami suatu teks, misalnya, dengan memahami tidak hanya kata-

kata di dalamnya, tetapi keseluruhan teks tersebut sebagai karya.

Selanjutnya, hermeneutik harus memahami hubungan antara teks itu dan

pemroduksi, yaitu seluruh mentalitas dan perkembangan pemroduksi itu

dalam perspektif sejarahnya atau, lebi tepat, diakronis (Christomy, 2004 :60)

Hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk

menginterpretasi makna secara utuh (Riffaterre ,1978: 5). Pada tahap ini,
pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian

memodifikasi pemahamannya tentang objek itu. Cara kerjanya dalam

penafsiran karya sastra, menurut Teeuw (dalam Nurgiyantoro, 2009: 34)

dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya,

dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Oleh

karena itu, muncul istilah lingkaran hermeneutik. Pemahaman karya sastra

dengan teknik tersebut dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan


pemahaman secara keseluruhan, walau hal itu hanya bersifat sementara.

Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja

analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian.

Selanjutnya, hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut

dipergunakan, dan membuat pembaca lebih dapat memahami keseluruhan

karya yang bersangkutan secara lebih baik, luas, dan kritis. Demikian

seterusnya dengan pembacaan berulang-ulang sampai akhirnya pembaca

dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan

makna intensionalnya secara optimal (Nurgiyantoro, 2009: 34).


42

Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dapat disimpulkan bahwa,

pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa,

sedangkan pada tataran hermeneustik dibutuhkan pengetahuan tentang

kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan kode budaya untuk

menginterpretasikan makna yang tercermin pada mantra canninrara.


43

4. Fungsi Mantra

Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 20), menyatakan fungsi bahasa itu

adalah penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta

membaca dan mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Ada berbagai

macam pembagian fungsi bahasa yang dikemukakan oleh para linguis

terkemuka. Dalam bidang antropologi , setidak-tidaknya terdapat dua tokoh

populer yang membicarakan tentang fungsi, yakni Malinowski dan Radcliffe-

Brown. Menurut Saputra (2007: 38), konsep fungsi kedua tokoh tersebut

sama-sama berorientasi pada pemenuhan tujuan. Menurut Radclife-Brown,

pemenuhan tujuan tersebut untuk memelihara keseluruhan masyarakat

dengan struktur sosialnya, sedangkan menurut Malinowski, pemenuhan

tujuan tersebut untuk keseluruhan masyarakat dan hidup orang secara

individu. Menurut Radcliffe-Brown, untuk menentukan suatu fungsi unsur-

unsur kebudayaan perlu dilakukan penelitian tentang seluruh bangunan atau

struktur sosial, sedangkan Malinowski lebih langsung dan lebih mudah

membiarkan sesuatu yang bermanfaat diisi sebagai fungsi.

Malinowski (dalam Saputra, 2007:39) menjabarbarkan konsep fungsi


sosial menjadi tiga bagian di antaranya, yaitu 1) Fungsi sosial suatu adat,

pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama

mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia, dan

pranata sosial yang lain dalam masyarakat, 2) Fungsi sosial suatu adat,

pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua

mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau

pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh

masyarakat yang bersangkutan, 3) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial,

atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh


44

atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara

terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Melalui tingkatan abstraksi yang telah dijelaskan di atas, dapat

disimpulkan bahwa inti dari teori Malinowski adalah segala kegiatan atau

aktivitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan sebenarnya merupakan

rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan

dengan seluruh kehidupannya. Dalam konsep fungsionalisme dijelaskan

bahwa terdapat beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang

terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan

kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi, berkembang biak, kenyamanan,

keamanan, rekreasi, pergerakan, dan pertumbuhan.

Namun demikian, kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut

tidaklah langsung dilakukan begitu saja sebagaimana halnya dengan

binatang, tetapi telah “dimodified” oleh pengaruh-pengaruh sosial. Dalam

rangka untuk memenuhi kebutuhan nutrition (makanan) misalnya, manusia

tidak begitu saja memukan apa yang dilihatnya, dengan cara semaunya.

Manusia akan memilih di antara benda-benda yang dapat dimakan; ada yang
ditolak dan ada yang diterima, ada yang lebih disukai dan ada yang kurang

disukai, ada yang dianjurkan dan ada yang dilarang, dan seterusnya. Begitu

juga, manusia tidak hanya memakan apa yang disediakan alam, tetapi

sebagian diproduksi. Sebagian dari makanan itu dimasak sedangkan yang

lain dimakan mentah, dan seterusnya. Manusia tidak langsung makan begitu

mereka lapar; tetapi ada waktu tertentu yang ditetapkan untuk itu. Jadi

singkatnya, manusia dilatih untuk makan makanan tertentu, pada waktu

tertentu, dengan cara tertentu, dan seterusnya.

Jadi tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan akan makanan

tersebut telah terbentuk oleh cara-cara yang lazim sesuai dengan adat
45

kelompok mereka, sesuai dengan agama mereka, sesuai dengan kelas sosial

mereka, dan seterusnya. Kelompok, golongan, dan kelas sosial telah

membentuk pilihan selera individu, tabu makanan, nilai simbolik dan nilai gizi

makanan, dan gaya dan cara makan. Pola kegiatan yang telah terbentuk

seperti itu disebut “kegiatan kultural”, yaitu kegiatan yang telah “di-modified”,

telah “di-molded”, oleh adat kebiasaan yang hidup dalam lingkungan

masyarakatnya.

Konsep fungsi yang digunakan dalam kajian ini mengacu pada konsep

Malinowski (dalam Saputra, 2007:39), khususnya fungsi sosial tingkat

abstraksi pertama dan kedua, yang berorientrasi pada fungsi mantra dalam

kaitannya dengan perilaku individual, tradisi/adat, dan pranata sosial yang

dikonsepkan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan ketiga bentuk fungsi

tersebut penulis lebih memfokuskan pada fungsi mantra dalam kaitannya

denga perilaku individual.


D. Kerangka Pikir

Penelitian ini menggunakan model penelitian yang berbasis budaya,

yang dalam hal ini budaya suku Makassar. Aspek budaya yang diangkat yaitu
sastra lisan berupa mantra. Mantra yang dimaksudkan adalah mantra

canninrara. Mantra canninrara adalah mantra yang dituturkan dengan tujuan

untuk memikat hati dan perhatian manusia.

Mantra canninrara akan dijabarkan berdasarkan bentuk variabel yang

membangun puisi (mantra), yaitu tema, bunyi, baris, bait, dan diksi . Selain

itu, juga terdapat repitisi yang menambah kekuatan magis mantra itu.

Mantra canninrara dalam pengunggkapan maknanya akan dikaji

dengan menganalisis makna denotatif dan konotatifnya. Makna denotatif,

yaitu makna secara langsung berdasarkan referensi dalam alam. Makna

konotatif, yaitu makna yang diungkap sesuai dengan makna komunikatif


46

dalam satu ungkapan yang diacu, melebihi diri dan di atas isinya yang murni

konseptual dengan kata lain makna kiasan atau makna tambahan dari makna

denotatif itu sendiri.

Setelah mengungkapan bentuk dan makna mantra canninrara maka

penulis akan menganalisis fungsi yang terkandung dalam mantra tersebut

dengan mengacu pada konsep Malinowski (dalam Saputra, 2007: 39).

Konsep fungsi Malinowski (dalam Saputra, 2007:39), meliputi 1) Fungsi sosial

suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi

pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku


manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat, 2) Fungsi sosial

suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi

kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau

pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh

masyarakat yang bersangkutan.

Permasalahan pada ranah ini digambarkan dengan struktur skematik

sebagai berikut:
47

Kerangka Pikir Penelitian


Komunitas Tutur Bahasa Makassar di Maros

Mantra Canninrara

Makna Mantra
- Denotatif Fungsi Mantra
Bentuk Struktur - Fungsi Sosial
Mantra - Konotatif
- Tema - Simile
- Bunyi - Metafora
- Baris - Efonim
- Bait
- Diksi

Sastra Linguistik Antropologi

Hasil Penelitian
48

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan teknik dalam melakukan penelitian dan

sebagai alat untuk memecahkan masalah secara terstruktur. Berdasarkan hal

tersebut, dikatakan bahwa keberhasilan suatu penelitian ditentukan melalui

metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif kualitatif, yakni menjelaskan data-data sesuai dengan keadaan data

yang sebenarnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sebab data yang

dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal

dari hasil wawancara, pencatatan, dan perekaman. Tujuan dari penelitian

deskriptif kualitatif ini adalah mengambarkan realita kehidupan masyarakat di

balik fenomena kebudayaan yang memengaruhinya secara mendalam dan

terperinci. Metode interpretatif merupakan metode yang cocok digunakan

dalam memaknai perilaku sosial masyarakat secara terperinci. Metode

interpretatif merupakan suatu upaya untuk mencari penjelasan tentang

peristiwa sosial dan budaya yang didasarkan pada prespektif dan

pengalaman orang yang diteliti dikaitkan dengan konteks pendungkunya.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bontomanai, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros. Daerah ini termasuk daerah pedalaman dan

masyarakatnya masih percaya tentang kekuatan ghaib. Oleh sebab itu,

peneliti memilih daerah tersebut sebagai lokasi penelitian. Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan September 2017 sampai dengan bulan April 2018.
49

C. Sumber Data

Adapun sumber data penelitian ini, berupa tuturan atau ragam bahasa

lisan yang diperoleh dari beberapa informan. Informan dalam penelitian ini

yaitu orang yang dipandang memiliki pengetahuan yang relevan dengan objek

penelitian.
D. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak dua puluh tiga mantra

canninrara. Namun demikian, setelah diadakan pengklasifikasian terdapat

beberapa mantra yang memiliki kesaamaan fungsi sehingga penulis memilih


mantra yang dapat mewakili hal tersebut. Berdasarkan pengklasifikasian yang

dilakukan, penulis mengambil sampel mantra canninrara sebanyak dua belas

mantra canninrara. Delapan mantra canninrara untuk perempuan dan empat

mantra canninrara untuk laki-laki.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dilakukan untuk

memperoleh data dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam

penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diharapkan dapat


memberikan data yang akurat dan lebih spesifik.

Teknik pengumpulan data yang akurat dan lebih spesifik dilakukan

oleh peneliti dengan melakukan observasi di lapangan, untuk melihat situasi

masyarakat yang akan menjadi sasaran atau objek dalam penelitian ini.

Setelah itu, peneliti berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan tujuan

mendapatkan informasi tentang penggunaan mantra canninrara yang menjadi

objek penelitian. Dengan begitu, secara perlahan di sela-sela wawancara

peneliti mencoba menggali siapa saja yang dapat menjadi informan untuk

mendapatkan mantra canninrara. Setelah mendapatkan nama-nama informan


50

yang menjadi sumber informasi tentang data-data mantra canninrara, peneliti

mengunjungi langsung kerumahnya masing-masing. Selanjutnya, data diambil

dengan cara mencatat, dan merekam, kemudian data juga diperoleh dengan

cara dibisikkan oleh informan. Pemerolehan data didapatkan dengan

perjanjian merahasiakan mantra yang diberikan informan kepada peneliti.

Sumber data yang bersifat utama dalam penelitian ini berasal dari hasil

wawancara informan yang telah ditunjukkan oleh informan kunci. Informan

kunci yang dimaksud adalah tokoh masyarakat yang mengetahui orang-orang

yang masih mempercayai tentang penggunaan mantra-mantra khususnya


mantra canninrara. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

teknik lapangan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian

lapangan ialah:

a. Observasi

Observasi merupakan salah satu teknik pengambilan data, dalam hal

ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan dan mengamati dengan

seksama (melihat dan mendengarkan) gejala-gejala dari objek yang diteliti

dan mencari data yang tidak bisa didapatkan melalui proses wawancara.

Observasi dilakukan dalam rangka pengumpulan data-data awal

mengenai mantra canninrara masyarakat Makassar di Desa Bontomanai,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Hal ini dilakukan dengan

pengamatan langsung pada lokasi penelitian.


b. Wawancara

Bentuk wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara dengan pedoman umum. Sebelum melaksanakan wawancara,

peneliti membuat sebuah pedoman wawancara yang terdiri dari beberapa

pokok persoalan yang kemudian akan dieksplorasi pada saat wawancara


51

berlangsung serta isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.

Peneliti harus mampu memikirkan bagaimana isu-isu pertanyaan itu

akan dijabarkan dengan kalimat tanya yang sesuai dengan konteks ketika

wawancara berlangsung. Karena hanya bersifat panduan maka peneliti harus

merancang sendiri kata-kata serta urutan pertanyaan yang ingin diajukan

ketika wawancara berlangsung. Bentuk wawancara seperti ini juga dapat

dilakukan dengan lebih santai dan fleksibel sehingga membuat subjek merasa

lebih bebas berbicara dan mudah memberikan informasi yang ingin diketahui.
c. Pencatatan

Pencatatan dilakukan oleh peneliti dalam mengiventarisasi data-data

yang didiktekan oleh informan pada saat wawancara. Pencatatan ini juga

dimaksudkan untuk mengecek kembali data yang diperoleh dari informan.

Pencatatan ini dilakukan untuk mencatat semua hal yang berhubungan

dengan mantra-mantra ke dalam buku catatan yang dipersiapkan

sebelumnya.
d. Perekaman

Perekaman dilakukan setelah wawancara dan pencatatan data-data

mantra yang dibutuhkan. Hal tersebut dilakukan, karena penulis kesulitan

dalam mentranskrifsi bahasa mantra yang dituturkan informan. Oleh karena

itu, peneliti bekerja dua kali dalam pengumpulan data-data penelitian ini demi

mendapatkan data semaksimal mungkin.

Perekaman dalam hal ini dimaksudkan untuk mencocokan data yang

telah didapatkan pada saat wawancara. Akan tetapi, dalam perekaman ini

memiliki kendala tersendiri, rata-rata informan tidak ingin direkam mantra

yang dituturkannya. Mereka khawatir mantranya akan tersebar luas. Namun


52

demikian, dalam hal ini peneliti tetap berusaha melakukan yang terbaik demi

mendapatkan data-data yang diinginkan.


F. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan perlu dianalisis untuk mendapatkan hasil.

Analisis data tersebut dilakukan dengan menggunakan suatu metode

pendekatan yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini

adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bersifat uraian yang tidak bisa diubah ke

dalam bentuk angka-angka. Penelitian kualitatif juga menghasilkan data

deskriptif, yaitu metode yang bersifat memaparkan gambaran yang secermat

mungkin mengenai individu, keadaan bahasa, gejala atau kelompok tertentu.

Penelitian ini memaparkan dan menjelaskan mantra canninrara dalam

masyarakat Makassar.

Data yang telah diperoleh selanjutnya akan dianalisis berdasarkan

pembahasan berikut, (1) mengiventarisasi data yang dilafalkan oleh informan

melalui teknik dikte (2) mentranskrifsi data ke dalam bahasa latin, (3)

menerjemahkan data kedalam bahasa Indonesia (4) mengklasifikasikan data

berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, pengklasifikasian

dilakukan dengan mengelompokkan hasil penelitian sesuai dengan jenis-

jenisnya. Pengelompokkan ini dilakukan berdasarkan fungsi setiap mantra

dalam penggunaannya. (5) data yang sudah diklasifikasikan kemudian

dianalisis berdasarkan teori yang telah diuraikan, (6) membuat kesimpulan

berdasarkan hasil penelitian.


53

BAB IV

BENTUK, MAKNA, dan FUNGSI MANTRA CANNINRARA pada


MASYARAKAT BONTOMANAI

A. Pembahasan

Penelitian yang dilakukan di Desa Bontomanai, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros dalam mengungkap bentuk, makna, dan fungsi

mantra canninrara yang dituturkan masyarakat komunitas Makassar, peneliti

menemukan beberapa jenis mantra canninrara . Mantra canninrara yang

berhasil peneliti peroleh di lapangan yaitu sebanyak 12 mantra. Keduabelas


mantra tersebut yaitu, 1) accarammeng (bercermin); 2) lakbakrak (memakai

bedak); 3) laccillak (memakai cillak); 4) lakminnyak (memakai minyak); 5)

lakgosok gigi (menggosok gigi); 6) lakbaju (memakai baju); 7) lakbongong

(memakai jilbab); 8) lakjeknek (mandi); 9) pakbakrak (memakaikan bedak);

10) laklipak (memakai sarung); 11) pakminnyak (memakaikan minyak); dan

12) lakjangka (memakai sisir).

Berdasarkan jenis-jenis mantra yang telah di sebutkan di atas, dapat

diungkapkan bentuk struktur bangun puisi yang menyusun mantra tersebut,

serta makna dan fungsi yang terkadung dalam mantra canninrara. Hal

tersebut dapa dilihat sebagai berikut:

1. Bentuk Mantra Canninrara

Bentuk mantra digolongkan dalam bentuk puisi bebas tidak terikat

pada aspek baris, rima, dan jumlah setiap kata dalam setiap baris, tidak

seperti pantun pada umunya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan

terdapat mantra yang memiliki bentuk terikat. Bentuk terikat dalam mantra

dapat dianalisis berdasarkan pengunggkapan bahasanya. Penggungkapan


54

bahasa yang dimaksud yaitu pengungkapan bahasa yang terikat oleh pola

tertentu baik dari segi suku kata yang terstruktur ataupun bunyi berulang.

Terlepas dari hal tersebut, diksi dan repetisi dalam sebuah mantra sangatlah

berpengaruh terhadap kekuatan yang ditimbulkan oleh mantra. Diksi dan

repetisi merupakan hal yang paling utama dalam mendatang daya gaib suatu

mantra. Oleh karena itu, peneliti akan berusaha mengungkapkan diksi dan

repetisi yang menjadi sumber kekuatan mantra canninrara melalui bentuk

penyusunannya.

Bentuk penyusunan mantra mengikuti bentuk pusi, maka mantra akan


dikaji sebagaimana bentuk yang membangun puisi yaitu: (a) tema, (b) bunyi,

(c) baris, (d) bait, (e) diksi.


a) Tema

Tema adalah suatu yang diciptakan atau digambarkan oleh dukun

lewat mantra yang dihadirkannya. Tema menggambarkan persoalan manusia

yang bersifat hakiki, seperti cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan,

kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan

protes. Oleh karena itu, tema dalam suatu mantra sangat diperlukan serta

harus ada dan pasti untuk mengungkap persoalan apa yang melatarbelakangi

lahirnya sebuah mantra pada masyarakat.


1. Tema tentang kecantikan dan ketampanan

Tema kecantikan dan ketampanan yang terkandung pada mantra

canninrara tercermin pada mantra-mantra berikut:

Teks 1 digunakan pada saat bercermin (accarammeng) memiliki tema

yang berkaitan dengan harapan seorang perempuan yang mengharapkan

aurah kecantikan terpancar dalam dirinya. Hal tersebut terlihat pada larik

ketiga yang berbunyi / namakbokdong ri rupangku/ ‘akan bundar diwajahku’


55

dan dipertegas kembali pada larik keempat yang berbunyi / accaya ri

bukkulengku / ‘bercahaya dikulitku’. Kedua larik tersebut mengambarkan

keinginan perempuan yang selalu ingin tampil cantik dan memiliki rasa

percaya diri yang kuat. Rasa percaya diri tersebut terlihat pada larik kelima

yang berbunyi / naimo anak takugesarak empona/ ‘anak siapakah gerangan

yang tak kugeser kedudukannya’ , dan larik keenam / naimo jari

tatakkalannasa atenna/ ‘anak turunan siapa gerangan yang tak terguncang

hatinya’ . Akan tetapi, dibalik rasa percaya diri itu terdapat sifat kesombongan

yang tersirat dalam larik yang berbunyi /naimo anak/ ‘siapakah anak’, /naimo

jari/ ‘siapakah keturunan’. Hal ini menandakan bahwa penutur mantra sangat

membanggakan dirinya sendiri.

Teks 2 digunakan pada saat memakai bedak (lakbakrak) memiliki

tema yang berkaitan dengan harapan seorang perempuan yang ingin selalu

tampil menawan dan memukau semua orang yang melihatanya sehingga

pujian demi pujian selalu didapatkannya. Hal tersebut didukung oleh larik

ketiga yang berbunyi / kunijangling ku nicini/ yang artinya “kudipandangi dan

dilihatnya”, larik ini memiliki makna bahwa orang tidak akan pernah bosan

melihat sosok perempuan tersebut. Semakin dipandang semakin manis dan

menarik perhatian yang melihatnya. Hal tersebutlah yang membuat semua

orang selalu ingin memandangnya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat


disimpulkan bahwa seorang perempuan sangat senang dipuji dan disanjung.

Teks 4 digunakan pada saat memakai minyak rambut (lakminnyak)

memiliki tema yang berkaitan dengan harapan seorang perempuan yang

selalu ingin tampil cantik dan rapi sehingga mereka menggunakan minyak

rambut. Minyak rambut ini digunakan agar rambut mereka terlihat rapi dan

menarik perhatian seseorang yang melihatnya. Rambut merupakan mahkota

kecantikan bagi seorang perempuan.


56

Teks 5 digunakan pada saat menggosok gigi memiliki tema yang

berkaitan dengan senyuman penutur mantra akan mampu menarik perhatian

semua orang yang melihatnya. Senyuman yang membuat penutur semakin

manis dan cantik sehingga orang tidak pernah bosan memandangnya.

Teks 9 diperuntukkan untuk laki-laki yang akan melangsungkan pesta

pernikahan yang digunakan ketika hendak dipakaikan bedak (pakbakrak).

Adapun tema mantranya yaitu berkaitan tentang harapan besar sang penutur

mantra kepada orang yang dipakaikan bedak agar kelihatan gagah seperti

Nabi Yusuf. Hal tersebut tercermin pada larik ketiga yang berbunyi /

barakkakna Nabbi Yusupu/ ‘berkah Nabi Yusuf’ dan larik keenam yang

‘berbunyi / cahaya Nabbi Yusupu cahayanu/ ‘cahaya Nabi Yusuf cahayamu’.

Penutur mantra menggunakan perihal nama Nabi Yusuf agar pengantin laki-

laki yang dihiasnya mengeluarahkan aurah ketampanan yang menyerupai

Nabi Yusuf. Selanjutnya tema tersebut tergambar pada teks 11. Teks 11

digunakan pada saat dipakaikan minyak rambut (pakminnyak) memiliki tema

yang berkaitan dengan harapan penutur mantra agar pengantin laki-laki yang

dihiasnya memiliki karisma ketampanan. Memiliki aurah tersendiri yang

terpancar dari dalam dirinya.


2. Tema tentang menaklukan hati lawan jenis

Tema menaklukan hati lawan jenis yang terkandung pada mantra


canninrara tercermin pada mantra-mantra berikut:

Teks 3 digunakan pada saat memakai cillak (laccillak) memiliki tema

yang berkaitan dengan harapan seorang perempuan agar dapat menaklukkan

hati laki-laki yang disukainya. Hal tersebut didukung oleh larik ketiga yang

berbunyi /ammuriangmako erok / ‘bangunlah engkau dengan rasa mau’, dan

larik keempat yang berbunyi / anggulesamako cinna ...../ ‘gelisahlah engkau


57

dengan rasa suka’, kedua larik tersebut mengandung doa seorang

perempuan agar laki-laki yang tidak pernah memiliki persaan cinta kepadanya

akan tumbuh benih-benih cinta dalam dirinya.

Tema tentang meluluhkan hati lawan jenis juga ditemukan pada teks

12. Teks 12 digunakan pada saat menyisir (lakjangka) memiliki tema yang

berkaitan dengan harapan seorang laki-laki agar dapat menaklukkan hati

perempuan yang disukainya. Harapan tersebut tergambar pada setiap larik

yang membangun mantra tersebut. Kekuatan mantra terletak pada larik

ketiga yang berbunyi / angngancuruka ate/ ‘ yang menghancurkan hati’, dan

larik keempat yang berbunyi / angngalakboka bone kambu / ‘yang

mengguncang jiwa’ , jika diperhatikan kedua larik tersebut memiliki makna

yang sangat mendalam. Seperti halnya pada larik /angngancuruka ate/ yang

berarti perasaan perempuan yang menjadi sasarannya apabila tidak melihat

laki-laki tersebut akan hancur dan jiwanya akan terguncang.


3. Tema tentang pujian

Tema tentang pujian yang terkandung pada mantra canninrara

tercermin pada mantra-mantra berikut:

Teks 6 digunakan pada saat memakai baju (lakbaju) memiliki tema

yang berkaitan dengan harapan seseorang agar apa yang menempel pada

badannya akan selalu menuai pujian orang-orang yang memandangnya.

Pakaian apapun, baik yang kualitas rendah sekalipun yang dikenakannya

tetap akan kelihatan menawan jika itu menempel pada badan si penutur

mantra tersebut. Hal ini tercermin pada larik kedua yang berbunyi /

kurunrung-runrungmi anne / ‘akan kupai’ , / runrungna mammujia/ pakaian

yang mendatangkan pujian’. Dibalik harapan-harapan tersebut terbesit doa


58

penutur bahwa apa yang dipakainya di dunia juga dapat dipakainya di akhirat

kelak.
4. Tema tentang belas kasih

Tema tentang belas kasih yang terkandung pada mantra canninrara

tercermin pada mantra berikut:

Teks 7 digunakan pada saat memakai jilbab (lakbongong) memiliki

tema yang berkaitan dengan belas kasih. Seseorang yang menggunakan

mantra ini akan dikasihi oleh Allah, nabi, malaikat, orang-orang suci, terlebih

lagi pada sesama manusia. Hal tersebut tergambar pada setiap larik-lariknya

yang mejelaskan bagaimana si penutur mantra di jaga oleh cahaya, dijaga


oleh malaikat, dan Nabi.
5. Tema tentang awet muda

Tema tentang awet muda yang terkandung pada mantra canninrara

tercermin pada mantra berikut:

Teks 8 digunakan pada saat akan mandi (lakjeknek) memiliki tema

yang berkaitan dengan keinginan manusia yang ingin terlihat awet muda dari

usianya. Hal tersebut terlihat pada larik keempat yang berbunyi natammate

tamma toa/ ‘tidak akan tua sampai mati’, dan larik kelima yang berbunyi

/namalolo pulana/ ‘ tetap awet muda seperti sedia kala’.

6. Tema tentang kewibawaan

Tema tentang kewibawaan yang terkandung pada mantra canninrara

tercermin pada mantra berikut:

Teks 10 digunakan pada saat memakai sarung (laklipak) memiliki

tema yang berkaitan dengan kewibawaan seorang laki-laki. Hal tersebut

sangat jelas pada larik ketiga yang berbunyi / inai anak bongkasangngan
59

nainakke/ ‘Anak siapa gerangan yang lebih berwibawa selain saya’, larik ini

menandakan bahwa penutur mantra meyakini bahwa tidak ada yang lebih

pantas selain dirinya sehingga orang-orang akan segan terhadapnya.


2) Bunyi

Bunyi merupakan salah satu yang membangun sebuah puisi

begitupula dengan mantra. Keindahan dan kenikmatan dalam sebuah puisi

atau mantra didukung oleh unsur bunyi atau irama yang diciptakannya. Unsur

bunyi dalam puisi (mantra) adalah rima. Rima adalah bunyi yang berselang

atau berulang, baik dalam lirik maupun pada akhir lirik puisi (mantra). Rima
dalam mantra canninrara ini yaitu asonansi (perulangan vokal). Contoh

asonansi perulangan vokal dalam mantra canninrara dapat dilihat pada

kutipan teks 1. Pada mantra tersebut dapat dilihat perulangan vocal /u/ yang

terjadi pada larik pertama sampai dengan larik keempat. Selanjutnya, pada

larik kelima sampai larik kesepuluh terjadi pengulangan vokal

/a/.Pengulangan vokal pada setiap akhir larik bukan sekadar ingin

menyeragamkan bunyi bahasa akan tetapi, memiliki nilai penting seperti pada

larik kesembilan berbunyi /tallasak tena mateya/ ‘ hidupnya yang berpantang

mati, artinya bahwa apapun yang dilakukan jangan pernah berputus asa

tetaplah berusaha dan berdoa. Selain itu, pengulangan bunyi vokal /u/ pada

kata badangku, alusukku, rupangku, bukkulengku bermakna kepemilikan,

artinya dalam mantra canninrara ini menjadikan keadaan fisik pemantra

sebagai tumpuan harapan kecantikan dalam dirinya. Sementara pengulangan

bunyi vokal /a/ pada kata empona, atenna, binakbakna, lioliona bermakna

orang kedua tunggal dalam penggunaan kata ganti bahasa Makassar. Artinya

bahwa dalam mantra caning rara selain penutur mantra juga terdapat sasaran

mantra.
60

3) Baris dalam Mantra

Baris dalam mantra adalah satuan Bahasa yang telah mendukung

suatu makna tertentu. Baris dalam mantra sebagai pemadu , penyatu, dan

pengembang ide penyair yang diawali lewat kata. Akan tetapi sesuai dengan

keberadaan baris dalam puisi, makna penataan baris mantra harus

memperhitungkan masalah rima serta penataan pola persajakan, seperti

kutipan pada teks 9 dan teks 11.

Berkaitan dengan kata-kata yang dipilih dalam menciptakan mantra


canninrara tersebut lebih condong pada istilah sesuatu, seperti nama asal

benda, dan nama orang yang dianggap keramat. Misalnya pada teks 9 larik

ketiga yang berbunyi /barakkakna Nabbi Yusupu/ ‘berkah Nabi Yusuf’, dan

larik keenam yang berbunyi / cahaya Nabbi Yusupu/ ‘cahaya Nabi Yusuf’.

Kutipan mantra di atas digunakan oleh perias pengantin (anrong bunting)

untuk pengantin laki-laki terlihat pada pengulangan sebutan Nabi Yusuf pada

larik-larik tertentu. Nabi Yusuf bagi masyarakat sebagai simbol ketampanan

bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu, penguangan sebutan Nabi Yusuf dalam

mantra ini menandakan bahwa penutur mantra mengharapkan agar orang

yang diberikan mantra tersebut mengeluarkan aurah ketampanan seperti

halnya Nabi Yusuf.

Selanjutnya, pada teks 11 pada larik dua, empat, dan lima yang

menggunakan kata baitullah (kakbah). Penggunaan kata baitullah dalam larik-

larik mantra merupakan doa perias pengantin kepada anak pengantin laki-laki

yang dihiasnya agar setiap orang yang melihatnya akan memuji

kegagahannya serta disukai oleh orang banyak. Sebagaimana baitullah yang

terletak di Mekkah selalu dirindukan oleh kaum muslim. Selain kata baitullah

juga didukung oleh kata Nabi Yusuf, penggunaan kata tersebut juga
61

merupakan doa agar pengantin laki-laki tersebut menyerupai kegagahan Nabi

Yusuf. Nabi Yusuf adalah nabi yang paling gagah diantara nabi yang lainnya.

Oleh karena itu, penutur mantra menggunakan nama Nabi Yusuf dalam larik-

larik mantranya.

4) Bait dalam Mantra

Bait adalah kesatuan larik yang berada dalam suatu kelompok dalam

rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik

(bait) lainnya (Aminuddin, 2011:145). Bait-bait dalam mantra menggambarkan

maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

bahwa jumlah baris tiap-tiap mantra beragam, demikian juga dengan jumlah

bait-baitnya. Bait-bait dalam mantra terkadang hanya terdiri dari satu baris,

dua baris, tiga baris, empat baris, lima baris dan seterusnya seperti contoh

pada kutipan mantra khusus untuk perempuan yaitu teks 3. Teks 3

merupakan contoh mantra yang terdiri atas 2 bait. Bait pertama terdiri atas 2

baris atau larik. Larik pertama yang berbunyi /kurenreng-rengrengmi anne/

‘akan kupikat’, dan larik kedua yang berbunyi / rengreng bunganna dunia/

‘garis bunganya dunia’. Larik pertama dan larik kedua menunjukkan isi

mantra. Bait kedua terdiri atas 2 baris atau larik. Larik ketiga yang berbunyi

ammuriangmko erok/ ‘bangunlah engkau dengan rasa mau’ , dan larik

keempat yang berbunyi /anggulesamko cinna .../ ‘gelisahlah engkau dengan

rasa suka’ . Larik ketiga dan larik keempat menunjukkan unsur sasaran

dalam mantra. Bait pertama menggambar harapan penutur mantra agar

dalam dirinya terpancar aura kecantikan. Bait kedua menggambarkan tujuan

dituturkannya mantra tersebut yaitu untuk mendapatkan rasa cinta seseorang

yang disukai.
62

Selanjutnya, pada mantra teks 9 terdiri atas 4 bait. Bait pertama terdiri

atas 1 larik yaitu larik 1 yang merupakan unsur pembuka mantra. Bait kedua

terdiri atas 5 larik yaitu larik 2, 3,4,5, dan 6 yang menggambarkan tentang isi

dalam mantra ini. Selanjutnya, bait ketiga terdiri atas 6 larik yaitu larik

7,8,9,10,11, dan 12 yang menggambarkan tentang tujuan digunakannya

mantra. Bait keempat terdiri atas 1 larik yaitu larik 13 yang merupakan unsur

penutur dalam mantra.


5) Diksi

Diksi merupakan pilihan kata dominan yang selalu mengikuti mantra


seperti kata pembuka dan penutup yang berbahasa Arab. Diksi dalam setiap

mantra mengandung makna yang sangat dalam dan menimbulkan efek

sugesti bagi penggunanya. Kata yang sering ditemukan dalam mantra yaitu

seperti nama orang yang dikeramatkan, benda yang disakralkan, dan benda

yang memiliki daya gaib. Berikut adalah contoh kutipan mantra yang

mengandung diksi kata benda tergambar pada teks 5.

Pilihan kata intang pada teks 5 memberikan sugesti tersendiri

dibandikan ketika kata intang tersebut diganti dengan kata bulaeng (emas).

Masyarakat penutur mantra menggunakan kata intang karena intang (berlian)

berwarna putih atau bening yang berkilau dan menjadi pusat perhatian semua

kalangan. Oleh karena itu, penutur mantra menggunakan kata tersebut agar
gigi mereka berkilau seperti intang dan menjadi pusat perhatian semua

kalangan masyarakat yang meilhatnya.

Selain diksi yang telah dijelaskan pada mantra di atas, terdapat pilihan-

pilihan diksi baik pada mantra khusus perempuan dan khusus laki-laki yang

menunjukkan tujuan dari mantra tersebut. Adapun diksi-diksi yang dimaksud

adalah diksi takugesarak (menggeser), angngancuruka (menghancurkan),

dan anggalakbok (mengambil secara paksa). Diksi-diksi tersebut merupakan


63

verba yang seakan-akan memaksakan kehendak, seolah-olah menerobos

apa yang bukan haknya. Diksi-diksi yang terdapat di antara mantra

canninrara tersebut mencerminkan sifat-sifat keegoisan.

Selanjutnya, pilihan diksi seperti ammuriangmako (bangunlah),

anggulesamako (gelisahlah) merupakan suatu seruan atau perintah penutur

mantra yang mengandung makna bahwa penutur mantra mampu

mendapatkan apa yang ia inginkan melalui kekuasaannya. Rentetan diksi-

diksi tersebut mencerminkna nilai kekuasaan. Kemudian diksi kunikakkakang

bone kambu (mengambil sesuatu sampai kebagian-bagian terdalam)

merupakan diksi yang bermakna bahwa yang menjadi sasaran mantra akan

meyerahkan segala jiwa dan raganya kepada penutur mantra. Diksi tersebut

mencerminkan nilai rela berkorban serta nilai ketulusan.

Diksi-diksi yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu bagian

yang membangun sebuah kekuatan mantra dengan rasa keyakinan serta

dengan tujuan yang baik yaitu untuk menggerakkan jiwa seseorang untuk

mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian serta tetap menjaga

silahturahmi atau mepererat silahturahmi.

2. Makna Mantra Canninrara

Pemahaman makna mantra canninrara dalam masyarakat masih

sangat kurang. Oleh karena itu, peneliti dalam hal ini berusaha

mengungkapakan makna denotatif dan konotatif yang terkandung dalam

mantra. Untuk memahami sebuah makna konotatif harus melalui pemahaman

makna denotatif terlebih dahulu. Pemahaman makna denotatif yaitu

pemahaman berdasarkan makna yang diacu oleh makna yang paling dasar

pada suku kata. Sementara pemahaman makna konotatif yaitu pemahaman

berdasarkan hubungan kebudayaan yang tersirat atau yang terkandung di


64

dalamnya. Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna tambahan

dari makna denotatif yang dihubungkan dengan makna di luar makna itu

sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami makna denotatif dan konotasi

mantra canninrara dapat dilihat pada wujud-wujud mantra berikut:

Teks 1

Accarammeng

1) Lamaktontongi badangku
La- mak- tontong -i badang -ku
Konf (La-...-i) intip badan Pos.P1
Akan intip badan ku.
‘ Akan mengintip badanku’.
2) Pakkaleang alusukku
Pak- kale -ang alusuk -ku
Pref badan suf halus Pos.P1
Bentuk badan halus ku.
‘ Bentuk badanku yang halus’
3) Namakbokdong ri rupangku
Na- mak- bokdong ri rupa -ku
Prok.p3 Prep bulat Prep muka Pos
Akan bulat di muka ku
‘ akan bulat dimukaku’
4) Accaya ri bukkulengku
Ak- caya ri bukkuleng –ku
Pref cahaya Prep kulit Pos
Bercahaya di kulit ku.
‘ Bercahaya dikulitku’
5) Inaimo anak takugesarak empona
Inai -mo anak ta- ku- gesarak empo -na
Siapa Prt anak Pref Prok.P1geser duduk Pos.P3
Siapakah anak tidak ku geser duduk nya
‘Siapakah anak yang tidak dapat saya geser dari kedudukannya’
6) Inaimo jari tatakkalannasak atenna
Inai -mo jari ta- tak- ka- lannasak ate -na
Siapa Prt Keturunan Pref berdebar hati Pos.P3
Siapa kah keturunan tidak berdebar hati nya
‘Keturunan siapakah yang hatinya tidak berdebar’
7) Tatakbenrong binakbakna
Ta- tak- benrong binakbak –na
Pref berdebar Jantung Pos.P3
Yang tidak berdebar jantung nya.
‘Jantungnya yang tak berdebar’
8) Padongkokangnami anne lioliona
65

Padongkok –ang –na -mi anne liolio –na


Tempat Suf Pos.p3 Prt ini bidikan Pos.P3
Tempat kan nya sudah ini bidikan nya.
‘Sudah pada tempatnyalah bidikannya’
9) Tallasak tena matea
Tallasak tena mate -a
Hidup tidak mati det
‘ Hidup yang tidak akan mati’
10) Barakka lailaha illalla
Terjemahan bebas

Bercermin

Aku akan bercermin


Dengan perawakanku yang kecil
Akan bundar diwajahku
Bercahaya dikulitku
Anak siapakah gerangan yang tak kugeser kedudukannya
Anak turunan siapa gerangan yang tak terguncang hatinya
Yang tak berdebar jantungnya
Sudah pada tempatnyalah bidikannya
Hidupnya hidup yang berpantang mati
Barakka lailaha illallah

Mantra di atas pada larik pertama, / lamaktontongi badangku/ ‘aku

akan bercermin’ secara denotatif memberi makna bahwa si penutur mantra

akan bercermin. Akan tetapi secara konotatif larik pertama menggambarkan

bahwa si penutur mantra memberitahukan kepada pemilik cermin bahwa ia

akan bercermin. Hal tersebut ditandai dengan adanya kepercayaan

masyarakat Makassar bahwa setiap benda memiliki roh dan setiap benda-

benda tersebut memiliki penjaga gaib atau makhluk halus sehingga untuk

melakukan segala sesuatu harus meminta ijin terlebih dahulu.

Larik kedua, / pakkaleang alusuku/ ‘perwakanku yang kecil’ secara

denotatif memberi makna bahwa tubuh yang dimilikinya yaitu tubuh yang

mungil, sedang-sedang, dan lain-lain tanpa ada celaan. Secara konotatif larik

kedua memberi makna bahwa sesungguhnya penutur mantra meminta

kekuatan cermin agar dalam dirinya memberikan aurah kecantikan yang


66

dapat menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Hal tersebut

didukung arik ketiga dan larik keempat.

Larik ketiga / namakbokdong ri rupangku/ ‘ akan bundar diwajahku’,

secara konotatif larik ketiga memberikan makna bahwa penutur mantra

mengharapkan memiliki wajah yang cantik. Berdasarkan larik tersebut dapat

disimpulkan bahwa wajah yang cantik menurut masyarakat Makassar adalah

wajah yang bundar atau bulat seperti bulan purnama.

Larik keempat / accaya ri bukkulengku / ‘bercahaya dikulitku’.

Sementara larik keempat penutur mengharapkan agar kulitnya akan kelihatan

lebih putih. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa anggapan


kecantikan masyarakat Makassar yaitu perempuan yang memiliki perwakan

tubuh yang kecil atau sedang-sedang, memiliki muka yang bulat serta

memiliki kulit yang putih.

Larik kelima, / naimo anak takugesarak empona/ ‘anak siapa gerangan

yang takku geser tempat kedudukannya’ secara denotatif larik tersebut

memberikan makna bahwa si penutur mantra dapat menggantikan posisi

duduk orang lain. Akan tetapi secara konotatif larik kelima memberikan

makna bahwa penutur mantra memiliki keyakinan yang sangat kuat dalam
dirinya sehingga mampu menggerakkan hati siapapun yang menjadi sasaran

mantra yang dituturkannya serta membuat sasarannya gelisah tiada tara.

Larik keenam / naimo jari tatakkalannasa atenna/ ‘anak turunan

siapakah gerangan yang perasaannya tak terguncang hatinya’, secara

denotatif larik tersebut memberikan makna bahwa si penutur mantra

mengajukan sebuah pertanyaan yang mengatakan “anak keturunan siapakah

yang perasaanya tidak terguncang”. Namun secara konotatif, larik tersebut

bermakna bahwa di dalam diri penutur mantra tertanam rasa percaya diri

yang begitu kuat dan yakin bahwa apa yang dimilikinya mampu membuat
67

semua orang terpanah melihatnya, mampu mengguncang hati yang tadinya

tidak ada perasaan menjadi ada rasa baik rasa sayang, rasa suka, rasa cinta

ataupun rasa simpati.

Larik ketuju /tatakbenrong binakbakna/ ‘yang tak berdebar

jantungnya’. Secara denotatif larik tersebut bermakna jantung yang berdebar

menandakan bahwa manusia tersebut masih bernyawa. Namun secara

denotatif, larik tetuju tersebut mengandung makna bahwa seseorang sedang

mengalami proses jatuh cinta sehingga jantungnya berdebar-debar tidak

karuan.
Larik kedelapan / pakdongkokannami anne lioliona/ ‘sudah pada

tempatnyalah bidikannya’. Secara denotatif larik tersebut memberikan makna

sebuah pandangan yang fokus pada sesuatu tidak dengan yang lain-lain.

Secara konotatif larik tersebut bermakna bahwa kemanapun memandang

yang dilihatnya hanyalah bayangan diriku (si penutur mantra caning rara).

Larik kesembilan /tallasak tena mateya/ ‘hidup yang tak terpantang

mati’. Secara denotatif larik ini memberikan makna orang yang belum

meninggal. Namun secara konotatif, larik tersebut memberikan makna bahwa

dalam hidup ini jangan pernah berputus asa. Tetaplah berusaha dan

bertawakkal kepada Illahi. Hal tersebut sesuai pada larik terakhir dalam

mantra ini yang berbunyi /barakka lailaha ilallah/ ‘berkah laillaha illallah’

bermakna bahwa apapun yang dilakukan di permukaan bumi ini harus

senantiasa menyandarkan diri kepada Allah SWT.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna

denotatif secara keseluruhan yaitu penutur mantra ketika bercermin maka ia

akan melihat dirinya di dalam cermin dengan paras yang cantik dengan

kemolekan tubuhnya yang halus. Sedangkan secara konotatif mantra

canninrara tersebut bermakna bahwa dengan kecantikan paras yang dimiliki


68

penutur mantra mampu membuat sasarannya bertekuk lutut, menyerahkan

jiwa raganya kepada si pemantra, karena si pemantra didampingi oleh

kekuatan cermin.

Bentuk pemakaian mantra canninrara di atas secara khusus hanya

digunakan bila seseorang (perempuan) hendak bercermin ketika ingin

bepergian dalam rangka menghadiri acara-acara tertentu. Cara

pengunnannya yaitu seorang pengguna mantra harus berdiri di depan cermin

kemudian menuturkan mantra tersebut dengan sungguh-sungguh disertai

dengan keyakinan sambil membayangkan dirinya di dalam cermin terlihat


begitu cantik dan menawan. Maka dengan begitu, kecantikan yang

diharapkan dapat terpancar dalam diri pengguna mantra canninrara.

Teks 2

Lakbakrak

1) Lakubakra-bakra sai
La- ku- bakra-bakra sai
Pref Prok.P1 bedak-bedak Det
Akan saya bedak-bedak ini.
‘Saya akan memakai bedak ini’.

2) Bakra lapanna manjalling


Bakra lapan -na man- jalling
Bedak lapan Pos.P3 Pref pandang
Bedak lapan nya memandang
‘Bedak lapannya memandang’
3) Kunijalling kunicini
Ku- ni- jalling ku- ni- cini
Prok.P1 pandang Prok.P1 lihat
Aku di pandang, aku di lihat.
‘Kudipandangnya dan dilihatnya’
4) Kunikakkakkang bone kambu
Ku- ni- kakkak -ang bone kambu
Prok.P1 cakar suf isi dalam
Aku di cakar kan isi dalam.
‘Kudicakarkan isi dalamnya’
5) Rua singarak mammenteng
Rua singarak maN- menteng
69

Dua cahaya Pref berdiri


‘dua cahaya yang berdiri’
6) Sikuntu kamma tonga bulang sampulo anngappa
Sikuntu kamma tonga bulang sampulo aN- appa
Seperti bagaikan saya bulan sepuluh Pref empat
Seperti bagaikan saya bulan sepuluh empat.
‘Kubagaikan bulan empat belas.
7) Sekre baruga ata karaeng mammuji ngaseng ri nakke
Sekre baruga ata karaeng maN- puji ngaseng ri nakke
Satu baleirung hamba raja Perf puji semua prep aku
Satu baleirung hamba raja memuji semua di aku.
‘Semua satu baleirung hamba raja memujiku’.
8) Barakka lailaha illalla

Terjemahan

Memakai bedak

Akan kupakai bedak ini


Bedak yang menarik perhatian orang
Kudipandangi dan dilihatnya
Kudiberikan seluruh hatinya
Dua cahaya yang berdiri
bagaikan bulan purnama
Seisi baleirung memujiku
Barakka lailaha illalla

Mantra canninrara di atas bila dicermati dapat memberi makna seperti

berikut: Larik pertama, / laku bakrak-bakrak sai/ ‘akan kupakai ’ secara

denotatif menunjukkan makna bahwa penutur mantra akan memakai sesuatu.


Namun disisi lain, secara konotatif menunjukkan makna bahwa penutur

mantra memberikan penegasan melalui repetisi yang digunakannya dalam

mantra tersebut. Penegasan tersebutlah yang membangun kekuatan mantra

caning rara. Contoh repetisi dalam mantra di atas terdapat pada larik pertama

dan larik kedua yaitu kata bakrak yang diulang sebanyak tiga kali. Hal

tersebut, menandakan bahwa mantra canninrara ini digunakan ketika

memakai bedak.
70

Larik kedua, / bakrak lapangna manjalling / ‘bedak lapangna

manjalling’, secara denotatif larik tersebut memberikan makna bahwa bedak

yang akan digunakan yaitu berjenis bedak lapangna manjalling. Namun

demikian, secara konotatif larik tersebut bermakna bahwa bedak yang akan

digunakan oleh penutur mantra adalah bedak yang akan mendatangkan

pujian semua orang. Kata lapangna berarti orang banyak, kata manjalling

berarti orang yang akan melihat. Berdasarkan arti kedua kata tersebut, dapat

disimpulkan bahwa frasa lapangna manjalling memberikan makna bahwa

semua orang akan melihat dan memujinya.

Larik ketiga, / kunijalling kuni cinik/ ‘kudipandangi dan dilihatnya’,

secara denotatif menunjukkan makna bahwa penutur mantra merasa di

pandang oleh seseorang. Akan tetapi, secara konotatif larik tersebut

memberikan makna bahwa orang yang memakai mantra canninrara ketika

memakai bedak menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya. Hal itu sangat

jelas tergambar pada larik ketiga bahwa dipilihnya larik tersebut sebagai

ungkapan rasa percaya diri peutur mantra. Larik ketiga ini mengandung

kekuatan untuk menarik rasa simpati seseorang.


Larik keempat, / kunikakkakkang bone kambu/ ‘kudiberikan seluruh

hatinya’, secara denotatif larik ini memberikan makna bahwa seseorang akan

memberikan hatinya kepada penutur mantra. Hati merupakan bagian dari


tubuh manusia yang letaknya berada dekat dengan jantung. Namun

demikian, secara konotatif larik tersebut memberikan makna bahwa orang

yang menjadi sasaran penutur mantra akan memberikan segenap jiwa dan

raganya, melakukan apapun untuknya, serta rela berkorban demi dia

sekalipun nyawa sebagai taruhannya.

Larik kelima, / rua singarak mammenteng/ ‘dua cahaya yang berdiri’,

secara denotatif memberikan makna bahwa terdapat dua cahaya yang


71

bersinar. Namun secara denotatif, larik tersebut memberikan makna bahwa

penutur mantra mengharapkan agar dalam dirinya terpancar aurah

kecantikan sebagaimana pancaran cahaya yang mampu menyinari

kegelapan. Begitu pula dengan harapan penutur mantra yang menginginkan

bahwa diantara sekian banyak orang dialah yang terlihat paling cantik dan

menawan, mampu memukau semua orang.

Larik keenam, / sikuntu singkamma tonga bulang sampulo angngappa/

‘kubagaikan bulan purnama’, secara denotatif larik ini menunjukkan makna

bahwa penutur mantra mengibaratkan dirinya seperti bulan purnama. Bulan


purnama yang bersinar penuh dan terlihat begitu bulat. Secara konotatif, larik

tersebut bermakna bahwa penutur mantra mengharapkan dirinya seperti

bulan purnama yang memiliki kecantikan yang sempurna. Masyarakat

Makassar mengibaratkan dirinya seperti bulan purnama karena mereka

menganggap bahwa pada saat bulan purnama cahaya bulan tersebut sangat

sempurna dan terlihat begitu bulat. Bahkan, masyarakat ketika mengetahui

akan tiba bulan purnama mereka akan melakukan ritual-ritual kecantikan

dengan berbagai macam cara yang dilakukannya. Salah satunya yaitu

menyimpan air dibaskom kemudian di simpan di atas atap rumah mereka

agar terkena cahaya bulan purnama, setelah itu pagi harinya mereka

gunakan untuk mandi. Hal tersebut dilakukan masyarakat supaya mereka

tetap awet muda dan tetap kelihatan cantik.

Pada larik keenam tersebut menggambarkan adanya penggunaan

simile pada tuturan mantra canninrara. Simile yang dimaksud yaitu / sikuntu

singkamma tonga bulang sampulo anggappa/ ‘ kubagaiakan bukan

purnama’.Penggunaan simile dalam mantra ini bertujuan untuk memberikan

kekuatan pada mantra agar apa yang ingin dicapai oleh penutur mantra dapat

terlaksana.
72

Larik ketujuh, / sekre baruga ata karaeng mammuji ngaseng ri nakke/

‘seisi baleirung memujiku’, secara denotatif larik ini memberikan makna

bahwa semua orang yang berada dalam baleirung tersebut akan memuji

kecantikan yang dimiliki oleh penutur mantra. Namun demikian, secara

konotatif larik ketujuh ini memberikan makna bahwa semua ciptaan Tuhan di

dunia ini akan memuji kecantikan yang dimiliki oleh penutur mantra terlebih

kepada sasaran yang ditargetkannya. Selebihnya itu, penutur mantra akan

berserah diri kepada Sang Pencipta. Hal tersebut tergambar pada larik

kedelapan / barakka lailaha illalla/ ‘berkah lailaha illallah’.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna


denotatif secara keseluruhan mantra canninrara tersebut adalah pada setiap

lariknya menggambarkan perilaku penutur dalam berhias terutama dalam

memakai bedak. Bedak yang dipakainya bukan sembarang bedak akan

tetapi, bedak yang mampu membuat dirinya menjadi cantik. Selanjutnya

secara konotatif, mantra canninrara ini memberikan makna tentang harapan

penutur mantra agar dirinya memiliki paras yang cantik seperti bulan purnama

yang cahayanya begitu sempurna sehingga mampu menarik simpati orang-

orang yang melihatnya dan mengagumi kecantikan yang dimilikinya. Simbol

bulan dan cahaya merupakan simbol perasaan damai dan sejuk.

Bentuk pemakaian canninrara di atas secara khusus hanya digunakan

bila seseorang bepergian atau ingin bertemu dengan seseorang yang spesial.

Cara penggunaan mantra canninrara tersebut yaitu seorang pengguna

mantra harus memegang bedak yang akan digunakan, kemudian mantra

dituturkan dengan sungguh-sungguh sambil menatap bedak tersebut. Setelah

mantra dituturkan, bedak dioleskan ke wajah bagian jidad dan selajutnya

dioleskan ke seluruh wajah.


Teks 3
73

Laccillak

1) Kurengreng-rengrengmi anne
Ku- renreng-rengreng –mi anne.
Prok.p1 tarik-tarik prt ini
Aku tarik-tarik sudah ini.
‘sudah aku tarik-tarik’.
2) Rengreng bunganna dunia
Rengreng bunga -na dunia
Tarik bunga Pos.p3 dunia
Tarik bunganya dunia.
‘Tarik bunganya dunia’
3) Ammuriangmako erok
aN- muriang -mako erok
Pref bangun Prt.p2 mau
Bangun kamu mau.
‘bangunlah kamu dengan rasa mau.
4) Anngulesamako cinna ....
aN- gulesa -mako cinna........
Pref gelisah Prt.p2 suka
Gelisah lah kamu suka.
‘gelisahlah kamu dengan rasa suka’

Terjemahan

Memakai Cillak

Akan kutarik
Garis bunggannya dunia
Maka bagunlah engkau dengan rasa mau,
Gelisahlah engkau dengan rasa suka (sebut nama orang yang
dikehendaki)

Mantra di atas pada Larik pertama, / kurengreng-rengrengmi anne/

‘akan kutarik’, secara denotatif memberikan makna bahwa penutur mantra

akan menarik sesuatu. Secara konotatif larik tersebut memberikan makna

bahwa penutur mantra memberi penegasan tentang apa yang ingin

dilakukannya.

Larik kedua, /renreng bunganna dunia/ ‘garis bunganya dunia’, secara

denotatif larik kedua ini memberikan makna bahwa penutur mantra akan
74

mengikuti bagaimana bentuk garis bunganya dunia (gadis cantik) maka ia

juga akan melakukannya. Namun demikian, larik kedua ini menggambarkan

sebuah metafora dalam mantra canninrara ini. Secara denotatif menunjukkan

makna bahwa yang dimaksud dengan garis bunganna dunia yaitu bentuk alis

yang akan dilukis dengan menggunakan pensil alis yang telah diberikan

mantra. Penutur mantra menggunakan metafora tersebut bukan semata-

mata hanya untuk memperindah larik-larik mantra akan tetapi, terdapat nilai-

nilai dan harapan yang terkandung di dalamnya. Harapan penutur mantra

agar hiasan alis yang dibuatnya menimbulkan efek kecantikan yang luar biasa

dalam dirinya sehingga mampu membuat seseorang yang menjadi


sasarannya tidak mampu berpaling darinya.

Larik ketiga, / ammuriangmako erok/ ‘bangunlah engkau dengan rasa

mau’, secara denotatif memberikan makna penutur mantra meminta

seseorang bangun dari tidurnya. Secara denotatif larik tersebut memberikan

makna bahwa penutur mantra mengharapkan agar seseorang yang tidak

pernah ada rasa kepadanya berubah menjadi ada rasa terhadap dirinya.

Selanjutnya dipertegas kembali pada larik keempat / anggulesamako cinna

..../ ‘gelisahlah engkau dengan rasa suka’, secara konotatif memberikan

makna bahwa terdapat seseorang yang perasaanya gelisah. Namun secara

denotatif larik tersebut bermakna bahwa penutur mantra mengharapkan


bahwa orang yang menjadi sasaran dalam mantra ini mengalami rasa gelisah,

gelisah akan rasa suka, rasa yang ingin selalu berada disamping penutur

mantra (perempuan). Hidupnya tidak akan merasa tenang apabila tidak

melihat orang yang menuturkan mantra tersebut.

Larik keempat dan larik keempat merupakan tumpuan kekuatan dalam

mantra cannig rara ini. Terlihat pada setiap lariknya yan mampu membuat
75

seseorang tertarik pada penutur mantra. Pilihan diksi yang digunakan

merupakan hal-hal yang dapat mewakili harapan-harapan penuturnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan makna konotatif mantra canninrara ini menggambarkan kegiatan

penutur mantra untuk menarik perhatian seseorang. Secara denotatif

canninrara tersebut memberikan gambaran bahwa apapun akan dilakukan

oleh penutur mantra untuk mendapatkan cinta laki-laki yang disukainya.

Salah satunya yaitu dengan melukis alisnya dengan sempurna, karena yang

membuat seseorang terlihat cantik dan menawan yaitu dari bentuk alisnya.

Bentuk pemakaian canninrara di atas secara khusus hanya digunakan

bila seseorang (perempuan) hendak bertemu dengan laki-laki pujaan hatinya.


Cara penggunaannya yaitu pengguna mantra menuturkan mantra tersebut

dengan konsentrasi sembari melukis alisnya sambil membayangkan laki-laki

tersebut. Alis yang pertama kali dilukis yaitu alis bagian kanan, hal tersebut

merupakan titik letaknya sebuah canninrara yang mampuh menarik simpati

laki-laki pujaan hatinya.


Teks 4

Lakminnyak
1) Laku minnyak-minnyak sai
La -ku minnyak-minnyak sai
akan Pos.p1 minyak.minyak ini
akan aku minyak-minyak ini.
‘Minyak-minyak ini akan saya pakai’.

2) Minnyak sikekdek-kekdekku
Minnyak si- kekdek-kekdek –ku
Minyak Pref sedikit-sedikit Pos.p1
Minyak sedikit-sedikit ku.
‘minyak-minyak sedikitku’

3) Kuallea ri matanna alloa


Ku- alle -a ri mata -na allo -a
Prok.p1 ambil det Prep mata Pos.p3 hari det
76

Aku ambil dari mata nya hari itu


‘ Yang saya ambil dari matahari’.

4) Ata karaeng maccini


Ata karaeng mak- accini
Hamba raja Pref lihat
Hamba raja melihat.
‘Hamba raja akan melihat’

5) Mammuji ngaseng ri nakke


maN- puji ngaseng ri nakke
Pref puji semua prep aku
Memuji semua di aku.
‘semua memujiku’
Terjemahan
Memakai Minyak

Akan kupakai minyak ini


Minyak yang sedikit ini
Yang kuambil dari matahari
Hamba raja melihat
Semua memuji kepadaku.

Mantra di atas pada larik pertama yang berbunyi / laku minnyak-

minnyak sai / ‘akan kupakai minyak ini’, secara denotatif bermakna bahwa

penutur mantra akan memakai minyak, namun secara denotatif memberikan


makna bahwa penutur mantra mempertegas apa yang akan dilakukannya

agar menimbulkan efek sugesti pada mantra ini.


Larik kedua yang berbunyi / minnyak sikekdek-kekdekku/ ‘ minyak

yang sedikit ini’ , secara denotatif larik tersebut bermakna bahwa penutur

mantra hanya memiliki minyak yang sedikit. Namun demikian, secara

konotatif larik tersebut memberikan makna bahwa penutur mantra merupakan

orang yang hidupnya sangat sederhana. Selalu merendahkan diri.

Larik ketiga yang berbunyi /kualleyya ri matanna allowa/ ‘ yang saya

ambil dari matahari’, secara denotatif larik tersebut memberikan makna

bahwa minyak tersebut berasal dari matahari akan tetapi, secara konotatif
77

memberikan makna bahwa penutur mantra menyimpan harapan yang sangat

besar bahwa dirinya akan seperti matahari yang dapat menyinari dunia.

Dalam hal ini, penutur mantra berharap akan dapat memukau semua orang

yang melihatnya sebagaimana sifat matahari.

Larik keempat / ata karaeng maccini/ ‘hamba raja yang melihat’ dan

kelima / mammuji ngaseng ri nakke/ ‘semua memuji diriku’, secara denotatif

bermakna bahwa penutur mantra memberitahukan bahwa semua orang yang

melihatnya akan memuji dirinya, namun secara konotatif memberikan makna

bahwa semoga harapan tersebut dapat terwujud.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada


mantra teks 4 secara denotatif memiliki makna bagaimana seseorang dalam

memakai minyak yang akan dioleskan pada rambutnya. Secara konotatif

memberikan makna bahwa penutur menggunakan minyak rambut dengan

harapan bahwa seseorang yang melihatnya akan tertarik padanya serta

memuji penampilannya.

Bentuk pemakaian canninrara di atas secara khusus digunakan

(perempuan) pada saat memakai minyak rambut dan hal ini dilakukan ketika

hendak bepergian atau ingin bertemu dengan seseorang. Cara

penggunaannya yaitu menyimpan minyak rambut ke telapak tangan dan

menuturkan mantra canninrara tersebut dan meniupnya ke minyak yang akan

digunakan. Cara mengoleskan minyak tersebut yaitu dimulai dari ubun-ubun

ke belakang sampai ujung rambut.


Teks 5

Lakgosok Gigi

1) Elok-elok intang
Elok-elok intang
Sebagus-bagus berlian
2) Elokangngapa isikku
78

Elok –ang –nga -pa isik -ku


Bagus Suf sprlt prt gigi Pos.p1
Bagus lebih gigi ku
‘ lebih bagus gigiku’
3) Sikuntu umakna Nabbi Muhammak
Sikuntu umak –na Nabbi Muhammak
Semua umat Pos.p3 Nabi Muhammad
Semua umat nya Nabi Muhammad
‘Semua umat Nabi Muhammad’
4) Napaturung puang Allah Taala
Na- paturung puang Allah Taala
Prok.p3 bawa karaeng Allah Taalah
‘dibawa oleh Allah Taalah’.
5) Mammuji maneng ri iak.
maN- puji maneng prep iak
Pref puji semua pada aku
Memuji semua pada aku
‘Semua memuji padaku’.
Terjemahan

Menggosok Gigi

Sebagus-bagusnya berlian
Lebih bagus gigiku
Seluruh umat Nabi Muhammad
Yang diciptakan oleh Allah
Semua memuji kepadaku

Mantra di atas pada larik pertama, /elok-elok intang elokangngapa

isikku/ ‘sebagus-bagusnya berlian lebih bagus gigiku’, secara denotatif

menunjukkan makna bahwa penutur mantra memiliki gigi yang sangat bagus.
Namun secara denotatif larik tersebut memberikan makna bahwa penutur

mantra sebenarnya mengharapkan senyuman yang ia berikan dapat menarik

perhatian seseorang dan dapat mendatangkan pujian terhadap kecantikan

yang ia miliki, sebagaimana kata intang ‘berlian’ dalam larik tersebut yang

menjadi dambaan setiap masyarakat untuk dimilikinya.

Larik kedua, ketiga, dan keempat merupakan harapan-harapan

penutur mantra agar apa yang dilakukannya dapat mendatangkan pujian bagi
79

dirinya. Pujian dari seluruh umat Nabi Muhammad yang diciptakan oleh Allah

SWT.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan mantra canninrara ini memiliki makna konotatif yang

mengambarkan bahwa penutur mantra sedang memuji giginya. Namun

secara makna denotatif sementara canninrara tersebut menunjukkan bahwa

penutur mantra berharap gigi yang dimilikinya mampu memancarkan aurah

kecantikan sehingga ketika ia tersenyum mampu mebuat semua orang

terpanah dan terpukau.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan pada saat ingin

menggosok gigi. Caranya, yaitu menggunakan buah pinang yang telah


dibakar dan dihaluskan kemudian digosokkan ke gigi setelah menuturkan

mantra canninrara tersebut.

Teks 6

Lakbaju

1) Assalamualikum
2) Kurunrung-rungrungmi anne
Ku- runrung-rungrung –mi anne
Prok.p1 memakai prt ini
Aku memakai lah ini.
‘ kupakailah ini’

3) Runrungna mangmujia
Runrrung –na maN- puji -a
Pakaian Pos.p3 Pref puji Det
Pakaian nya dipuji itu.
‘pakaiannya yang dipuji itu’.

4) Naku salampe bunganna tamalatea


Na- ku salampe bunga -na tamalate –a
Prok.p3 Pos selempang bunga Pos.p3 tamalate Det
Akan ku selempang bunga nya tamalate itu.
‘Saya akan menyelempang bunganya tamalate’.

5) Nanapakei patima ri lino Narrusuk mae ri aherak


80

Nana- pake -i patima ri lino narrusuk mae ri aherak.


Prok.p3 pakai Enk.p3 Fatimah prep dunia sampai prep akhirat
Akan dipakai dia Fatimah di dunia sampai di akhirat.
‘Fatimah akan memakainya di dunia sampai di akhirat’.

6) Barakka....
Terjemahan

Memakai baju

Assalamualaikum
Akan kupakai
Pakaian yang mendatangkan pujian
Saya akan menyelempang bunganya Tamalate
Fatima yang memakai di dunia hingga akhirat
Barakka

Mantra di atas pada larik pertama, / Assalamualaikum/, secara

konotatif bermakna bahwa dalam melakukan sesuatu harus selalu

memberikan salam. Namun secara denotatif larik tersebut memberikan

makna bahwa penutur mantra mengucapkan salam sebagai penghargaan

atau penghormatan terhadap Sang Pencipta. Penyebutan tersebut

mengindikasikan atau mengandaikan bahwa kekuatan-kekuatan magis tidak

efektif khasiatnya apabila tidak mendapat ridho dari Sang Pencipta.

Larik kedua, /kurungrung-rungrungmi anne/ ‘akan kupakai’, secara

denotatif memberikan makna bahwa penutur mantra akan memakai sesuatu.

Namun secara denotatif penutur mantra mempertegas apa yang akan

dilakukannya. Selanjutnya didukung oleh larik ketiga yaitu /runrungna

mammujia/ ‘pakaian yang mendatangkan pujian’ secara denotatif larik ini

bermakna bahwa penutur mantra akan menggunakan sesuatu yang dapat

mendatangkan pujian dari masyarakat. Secara konotatif larik tersebut

bermakna bahwa pakaian apapun yang menempel pada badan penutur

mantra semuanya akan terlihat bagus dan semua orang akan terpukau

melihatnya.
81

Larik keempat, / naku salampe bunganna tamalatea/ ‘saya akan

menyelempang bunganya tamalate’, secara denotatif bunga tamalate

bermakna sebagai sejenis bunga dalam masyarakat Makassar. Namun

demikian, secara konotatif bunga tamalate dimaknai sebagai baju yang akan

digunakan oleh penutur mantra. Baju yang dapat mendatangkan aurah

kecantikan. Simbol bunga dalam hal ini melambangkan keindahan, cinta, dan

kasih sayang.

Larik kelima,/ nanapakei ipatima ri lino narrusuk mae riaherak/ ‘Fatimah

yang memakai di dunia hingga akhirat’, secara konotatif larik tersebut

bermakna bahwa Fatimah anak Nabi Muhammad akan memakai baju. Namun

secara denotatif larik kelima ini memberikan makna bahwa penutur mantra
berharap apa yang dipakainya didunia juga dapat ia peroleh diakhirat kelak.

Penggunaan efonim nama Fatimah dalam mantra caning rara ini yaitu

mengindikasikan bahwa mantra ini diperuntukkan khusus perempuan bukan

laki-laki. Fatimah adalah seorang gadis yang sangat cantik dari keturunan

Nabi Muhammad. Oleh karena itu, penutur mantra menggunakan efonim

Fatimah dengan harapan bahwa ia juga akan menyerupai kecantikan yang

dimiliki oleh Fatimah. Selanjutnya mantra ini ditutup dengan ucapan /barakka

lailaha illallah/ yang artinya bahwa setelah berusaha melakukan yang terbaik

apapun hasilnya hanya Allah yang menentukan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan mantra canninrara ini memiliki makna denotatif yang

menganggambarkan bahwa penutur mantra akan menyelempang bunganya

Tamalate. Namun secara konotatif mantra canninrara ini menggambarkan

seorang penutur mantra akan memakai baju yang dapat menumbuhkan aurah

kecantikan dalam dirinya sehingga semua orang yang melihat kagum

terhadapnya. Baju ini disimbolkan dalam mantra sebagai bunga tamalate.


82

Simbol bunga mengisyaratkan kasih sayang, keindahan, dan cinta serta

ketulusan.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan terkhusus untuk

pemakaian baju baru yang akan dipakai. Caranya, yaitu memasukkan kedua

tangan ke dalam baju yang akan dipakai, kemudian menahannya di depan

kepala sambil menuturkan mantra. Setelah mantra dituturkan baju tersebut

didekatkan ke hidung kemudian tarik nafas dan memasukan baju tersebut ke

dalam badan.
Teks 7

Lakbongong

1) Assalamualaikum
2) Pilok ilong mannurung
3) Pirak arsi
4) Inakkemi anne tunarangka singarakna sinjalala
inakke –mi anne tu- narangka singarak -na sinjalala
saya prt ini orang tutup cahaya Pos.p3 sinjalala
Saya lah ini orang tutup cahaya nya sinjalala.
‘ Sayalah orang yang ditutup cahaya sinjalala.
5) Tunatarinti singarak takalappakkang
Tu- na- tarinti singarak takalappakkang
Orang Prok.p3 jaga cahaya takalappakkang
Orang yang dijaga cahaya takalappakkang;
‘ orang yang dijaga cahaya takalappakkang’

6) Nakuntutong alepu lalang singarakna nurung Muhammak


Na- kuntu -tong alepu lalang singarak-na Nurung Muhhammak
Prok.p3 seperti prt alif dalam cahaya Pos.p3 Nurung
Muhammak
Seperti alif dalam cahaya nya Nurung Muhammad.
‘ Seperti alif dalam cahaya Nurung Muhammad’.
7) Napataba nabbi
Na- pataba nabbi
Prok.p3 pakaikan nabi
di pakaian nabi.
‘dipakaikan nabi’.
8) Napake Patima
Na- pake Patima
Prok.p3 pakai Fatimah
di pakai Fatimah
‘dipakai Fatimah’
83

9) Natarinti malaika
Na- tarinti malaika
Prok.p3 jaga malaikat.
Di jaga malaikat.
‘dijaga malaikat’
10) Barakka

Terjemahan

Memakai jilbab

Assalamualaikum
Pilok ilong mannurung
Pirak arsi
Sayalah yang dibalut cahaya Sinjalala
Dijaga cahaya takalappakkang
Seperti alif dalam cahaya Nabi Muhammad
Nabi yang memakaikan
Fatimah yang memakai
Dijaga malaikat
Barakka lailaha illallah
Mantra di atas pada larik keempat / tunarangka singarakna singarakna

sinjalala / ‘sayalah yang dibalut cahaya sinjalala’, secara denotatif

memberikan makna bahwa penutur mantra di balut oleh suatu cahaya.

Namun secara denotatif larik tersebut bermakna bahwa kerudung atau jilbab
yang ia gunakan dapat memancarkan aurah kecantik dalam diri penutur

mantra, seperti halnya pada larik kelima /tunatarinti singarak takalappakkang/

‘ dijaga oleh cahaya takalappakkang’. Larik keenam yang berbunyi /nakuntu

tong alepu lalang singarakna nurung Muhammak/ ‘seperti alif dalam cahaya

Nabi Muhammad/, secara denotatif larik ini bermakna bahwa penutur mantra

mengibaratkan dirinya seperti alif dalam cahaya Nabi Muhammad. Namun

demikian, secara konotatif larik tersebut bermakna bahwa apabila seorang

perempuan menggunakan mantra canninrara ini, dia tidak hanya merasa

mampu menarik simpati dan memiliki daya tarik pada seorang laki-laki pujaan

hatinya, melainkan merasa lebih dari yang disebutkan itu seperti mampu
84

menkalukkan siapa saja. Hal tersebut tercermin pada larik keenam ini yang

menyandarkan pada kekuatan huruf alif. Di dalam Alquran huruf alif sarna

sekali tidak pernah terbunuh/terkuasai oleh huruf-huruf hijaiyah lainnya.

Dengan kata lain, alif merupakan simbol kemandirian yang berani, tak gentar

oleh pengaruh apa saja yang datang dari luar. Hal tersebut menggambarkan

bagaimana seorang perempuan dalam menjaga dirinya.

Larik ketujuh sampai pada larik kesepuluh secara denotatif memiliki

makna bahwa yang mendukung penutur mantra dalam mantra ini yaitu nabi,

malaikat, dan orang-orang suci. Namun secara denotatif, penutur mantra

menggunakan kekuatan dari efonim yang digunakan dalam mantra tersebut.

Penggunaan kata nabi, malaikat, dan Fatimah akan memunculkan rasa belas

kasih kepada penutur mantra.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

denotatif mantra canninrara tersebut secara konotatif memiliki makna

bagaiman seorang penutur dijaga oleh cahaya, nabi, malaikat dan orang-

orang suci. Namun secara denotatif memberikan makna tentang bagaimana

harapan penutur mantra agar dapat menarik simpati dan belas kasih dari

seseorang serta bagaimana penutur dalam menjaga kesucian dirinya.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan pada saat memakai

jilbab ketika ingin bepergian. Caranya dengan memegang jilbab yang akan

dipakai dan menuturkan mantra canninrara tersebut setelah itu memasang

jilbab yang akan digunakan.

Teks 8

Lajeknek

1) Assalamualaikum
2) Jeknek tallang kupake
85

Jeknek tallang ku- pake


Air tenggelam Prok.p1 pakai
Air tenggelam saya pakai
‘Saya memakai air yang tenggelam’
3) Jeknek tallasak kukimbolong
Jeknek tallasak ku- kimbolong
Air hidup Prok.p1 bawa
Air hidup saya bawa.
‘saya membawa air yang hidup’.
4) Natammate tammatoa
Na- taN- mate taN- ma- toa
Prok.p3 Pref mati Pref prt tua
di tidak mate tidak lah tua
‘Tidak mati, tidaklah tua.
5) Namalolo pulana
nama- lolo pulana
prok.p3 muda semula
akan muda semula.
‘Akan muda seperti semula’
6) Barakka

Terjemahan

Mandi

Assalamualaikum
Air tenggelam yang saya pakai
Air yang hidup saya bawa
Tidak akan tua sampai mati
Tetap awet muda seperti sedia kalah
Barakka lailaha illalla

Mantra di atas pada larik pertama, / Assalamualaikum /, hal ini

bermakna bahwa dalam melakukan segala sesuatu harus meminta ijin

kepada Sang Pencipta agar apa yang dilakukan dapat berjalan sebagaimana

yang diharapkan. Larik kedua, /jeknek tallang kupake/ ‘air tenggelam yang

saya pakai’, secara denotatif larik ini memberikan makna bahwa air yang

digunakan mandi adalah air yang tenggelam. Namun secara konotatif,larik

tersebut menunjukkan makna bahwa air yang digunakan penutur mantra

mandi akan membuatnya awet muda sampai dunia kiamat. Hal ini juga
86

didukung oleh larik ketiga, /jeknek tallasak kukimbolong/ ‘air hidup yang saya

bawa’, secara denotatif bermakna bahwa penutur mantra membawa air.

Secara konotatif larik tersebut memberikan makna yang sama dengan larik

pertama yaitu tentang harapan penutur mantra agar tetap awet muda

sepanjang masa.

Kata jeknek tallang, jeknek tallasak merupakan contoh penggunaan

metafora dalam mantra canninrara yang bertujuan untuk mendatangkan daya

sugesti atau mendatangkan daya ghaib mantra. Harapan penutur mantra

sangat jelas tercermin pada larik keempat / natammate tamma toa/ ’tidak

akan tua sampai mati’, secara denotatif bermakna bahwa tidak akan tua

sampai mati. Namun secara denonatasi memberikan makna bahwa harapan

penutur agar tetap terlihat awet muda. Seperti halnya pada larik kelima

/namalolo pulana / ‘muda seperti sedia kalah’, secara denotatif larik tersebut

bermakna bahwa muda seperti sebelumnya. Secara konotatif bermakna

bahwa harapan penutur mantra agar ia tetap kelihatan muda seperti waktu

dilahirkannya ke dunia melihat cahaya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan mantra canninrara ini memiliki makna denotatif yang

menggambarkan bagaimana cara seseorang pada saat ingin memulai mandi.

Sedangkan secara konotatif mantra tersebut memberikan makna bahwa

penutur mantra mengharpakan dirinya akan selalu terlihat awet muda dari

usianya dengan mengadalkan kekuatan air. Simbol air merupakan sumber

kehidupan masyarakat.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan pada saat ingin

mandi. Caranya pada saat ingin memulai mandi, air pertama yang akan

digunakan itu dibacakan mantra canninrara setelah itu barulah disiramkan

keseluruh badan.
87

Teks 9
Pakbakrak

1) BismiIlahirrahmanirrahim
2) Barakkana Allah Taala
Barakka -na Allah Taala
Berkah Pos.p3 Allah Taala
Berkahnya Allah Taala
‘Berkah Allah Taala’.

3) Barakkana Nabbi Yusupu


Barakka -na Nabbi Yusupu
Berkah Pos.p3 Nabi Yusuf

4) Kupasapu ri rupannu
Ku- pa- sapu ri rupa –nu.
Prok.p1 pref oles prep muka Pos.p2
Saya oles di mukamu
‘Saya oleskan dimukamu’.

5) Namaccaya ri rupannu
Na- ma- caya ri rupa –nu
Prok.p2 pref cahaya prep muka Pos.p2
Akan cahaya di muka mu.
‘akan bercahaya pada mukamu’.

6) Cahaya Nabbi Yusupu cahayanu


Cahaya Nabbi Yusupu cahaya –nu
Cahaya Nabi Yusuf cahaya Pos.p2
‘Cahaya Nabi Yusuf cahayamu’.

7) Nusitrinriang bidadari lalang suruga


Nu- sintiriang bidadari lalang suruga
Prok.p2 berdampingan bidadari dalam surga
‘ Kamu berdampingan bidadari di dalam surga’.

8) Ruambilanngangmi tujuh pulo bangngi


Ruambilanngang -mi tujuh pulo bangngi
Dua ratus prt tujuh puluh malam
Dua ratus sudah tujuh puluh malam.
‘ Sudah malam ke dua ratus tujuh puluh’.

9) Lekbakna empo bunting


Lekbak -na empo bunting
Sudah Pos.P3 duduk pengantin
Sudahnya duduk pengantin.
88

‘Sesudah duduk pengantin’.

10) Natamaminraya tanjaknu singkamma batang kalennu


Natama- minra -ya tanjak -nu singkamma batang kale –nu
Prok.p3 tidak berubah det wajah Pos.p2 seperti tubuh pos.p2
Tidak akan berubah itu wajah mu seperti tubuh mu
‘Wajahmu tidak akan berubah seperti tubuhmu’

11) Allah Taala pakjari


Allah Taala pak– jari
Tuhan Pref jadi
Tuhan yang akan jadi.
‘Tuhan yang akan menjadikannya’

12) Maccinik mangngai ngaseng ri kau


Ma- accinik mang- ngai ngaseng ri kau
Pref melihat Pref suka semua Prep kamu
Akan melihat menyukai semua pada kamu.
‘semua melihat dan menyukai dirimu.
13) Barakka lailaha illalla

Terjemahan

Akan memakaikan bedak

Bismillahirrahmanirrahim
Berkah Allah taala
Berkah Nabi Yusuf
Kuoleskan di wajahmu
Bercahaya di wajahmu
Cahaya Nabi Yusuf cahayamu
Engkau duduk berdampingan dengan bidadari dalam surga
Dua ratus tujuh puluh malam
Sesudah engkau duduk pengantin
Wajahmu yang tak berubah seperti ragamu masih bercahaya
Allah yang menciptakan
Semua yang memandang memujimu
Berkah Allah tiada Tuhan selain Allah
Mantra di atas pada larik pertama / Bismillahi rahmanirahim/ ‘dengan

menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’, secara

denotatif bermakna bahwa Tuhan adalah maha segala-galanya. Secara

konotatif memberikan makna bahwa segala sesuatu yang dilakukan atau

dikerjakan semuanya berserah diri kepada Allah. Allah yang menentukan

segala-galanya di dunia ini, manusia hanya dapat berusaha dan berdoa. Larik
89

kedua sampai dengan larik keenam secara denotatif bermakna bahwa berkah

Allah yang Maha pencipta dan berkah Nabi yusuf sebagai nabi yang diutus

oleh Allah SWT digunakan oleh penutur mantra. Namun secara konotatif

memberikan makna bahwa penutur menggunakan berkah Allah SWT sebab

Allah SWT merupakan penentu dalam hal apapun baik dalam hal

ketampanan, seperti halnya ketampanan yang diberikan kepada Nabi Yusuf

sebagai nabi tertampan dianatara nabi yang diutus oleh Allah SWT.

Ketampanan Nabi Yusuf hanya sekian-sekian persen yang di turungkan ke

bumi untuk dibagi-bagi umatnya. Oleh karena itu, penutur mantra yang

dikhususkan untuk laki-laki selalu menggunakan nama Nabi Yusuf agar

mereka mendapatkan sebagian ketampanan yang dimilikinya. Kemudian

dipertegas kembali pada larik ketujuh /nusitinriang bidadari lalang suruga/

‘engkau berdampingan bidadari dalam surga’. secara denotatif bermakna

bahwa ia berdampingan dengan bidadari dalam surga. Namun demikian

secara konotatif larik tersebut memberikan makna bahwa ketampanan yang

dimiliki oleh penutur dapat bersanding dengan kecantikan bidadari dalam

surga. Ketampanan tersebut tidak akan pernah hilang selama 270 hari yang

tercermin pada larik kedelapan dan larik kesembilan. Larik kesepuluh sampai

larik kedua belas secara konotatif bermakna bahwa Allah SWT yang

menentukannya. Secara denotatif bermakna bahwa larik-larik tersebut

menggambarkan harapan-harapan penutur agar apa yang dilakukannya

dapat tercapai dan dapat mendatang pujian terhadap apa yang dilakukannya.

Secara keseluruhan mantra canninrara ini memiliki makna denotatif

yang menggambarkan bagaimana seorang perias pengantin dalam

memakaikan bedak kepada pengantin laki-laki. Namun secara konotatif

memberikan makna bahwa perias pengantin sebagai penutur mantra

canninrara mengharapkan agar pengantin laki-laki tersebut mengeluarkan


90

aurah ketampanan seperti ketampanan Nabi Yusuf. Selain itu dalam tuturan

mantra ini menggunakan efonim nama Nabi Yusuf sebagai nabi yang

tergagah diantara nabi-nabi yang ada.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan oleh perias pengantin

untuk memakaikan bedak ke mempelai laki-laki. Caranya dengan

memakaikan bedak ke mempelai laki-laki tersebut setelah itu perias

pengantin membacakan mantra dan meniupkan ke wajah mempelai laki-laki

mulai dari jidad sampai ke seluruh wajahnya.


Teks 10
Laklipak

1) Laku runrung-runrung sai


Akan pakai ini
‘Ini akan kupakai’

2) Curak pakbongkasa
Curak pak- bongkasa
corak Pref berwibawa
corak yang berwibawa
‘corak yang membuat dirinya kelihatan berwibawa”

3) Inai anak bongkasangngang nainakke


Inai anak bongkasa –Nga na- inakke.
Siapa anak berwibawa Suf Prok.p3 saya.
‘siapa anak yang lebih berwibawa selain saya’

4) Ata karaeng maccini mammuji ngaseng


Ata karaeng ma- accinik maN- puji ngaseng.
Hamba raja Pref melihat Pref puji semua
Hamba raja akan melihat memuji semua.
‘hamba raja yang melihat semua memuji’.

5) Barakka....

Terjemahan

Memakai sarung

Akan kucoba kupakai


Corak yang membuatku terlihat lebih berwibawa
Anak siapa gerangan yang lebih berwibawa selain saya
91

Semua hamba raja yang melihat akan memuji


Barakka lailaha illalla

Mantra di atas pada larik pertama, / laku runrung-rungrung sai / ‘akan

kupakai’, secara denotatif bermakna bahwa penutur mantra akan memakai

sesuatu. Namun secara konotatif bermakna bahwa penutur mantra memberi

penegasan apa yang ia lakukan agar kekuatan mantra tersebut dapat

bertambah. Selanjutnya, larik kedua / curak pakbongkasak / ‘corak yang

membuatku lebih berwibawa’, secara denotatif bermakna bahwa penutur

mantra akan memakai seuatu yang membuat diring terlihat bewibawa atau
berwibawa. Secara konotatif / curak pakbongkasak / bermakna bahwa

penutur mantra mengharapkan bahwa dengan memakai sarung tersebut

dirinya akan terlihat menawan dan berwibawa sehingga membuat orang yang

melihatnya akan segan dan akan memuji ketampanan yang ia miliki

sebagaimana tercermin pada larik ke tiga dan keempat.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan mantra canninrara ini memiliki makna denotatif yang

menggambarkan diri penutur mantra yang akan melakukan sesuatu dan tidak

ada orang yang dapat melebihinya. Namun secara denotatif larik /curak

pakbongkasak/ dimaknai sebagai sarung yang akan dipakai penutur. Dengan

penutur mantra memakai sarung tersebut maka ia akan disegani oleh orang.

Simbol curak pakbongkasak adalah simbol kewibawaan seorang laki-laki.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan pada saat ingin

memakai sarung. Mantra canninrara tersebut mulai dituturkan ketika kaki

kanan mulai di masukkan ke dalam sarung dan setelah mantra berakhir

menyusul kaki kiri pula di masukkan ke dalam sarung kemudian mengikat ke

pinggang dengan rapi.


Teks 11
92

Pakminnyak

1) Minyak patina Makka


Minyak pati –na Makka
Minyak pati Pos.P3 mekah
Minyak patinya mekah
‘ Minyak pati dari mekah’

2) Minyak parisiorokna Baitulla kupasapu ri rupanna i ...


Minyak parisiorok –na Baitulla ku- pa- sapu ri rupa –na i...
Minyak parisiorok Pos.P3 Baitullah Prok.P1 pref oles di wajah Pos.p3
‘Minyak parisioroknya Baitullah saya oleskan di wajahnya’

3) Nubarakka kamma Baitulla


Nu- barakka kamma Baitulla
Prok.p2 berkah seperti Baitulla
‘Engkau berberkah seperti Baitullah’

4) Numaccaya kamma Baitulla


Nu- ma- accaya kamma Baitulla
Prok.p2 prek cahaya seperti Baitullah
‘engkau bercahaya seperti Baitullah’

5) Takbalek-balek nabuntuluk
Tak- balek-balek na- buntuluk
Pref Terbolak-balik prok.p3 dapat
‘terbolak-balik dia dapat’

6) Tau nacinik tau nusiorok ri cahaya Nabbi Yusupu


Tau na- accinik tau nu- siorok ri cahaya Nabbi Yusupu.
Orang Prok.p3 lihat orang prok.p2 prep cahaya Nabi Yusuf
‘Orang yang melihat orang yang disinari cahaya Nabi Yusuf’

7) Barakka lailaha illalla


Terjemahan

Akan memakaikan minyak

Minyak pati dari Mekah


Minyak pati pancaran Baitullah
Kuoleskan di parasnya si ...
Engkau berberkah seperti Baitullah
Engkau bercahaya seperti Baitullah
Kau putar pandangan
Kau bertemu pandang dengan cahaya Nabi Yusuf
Berkah Allah tiada Tuhan selain Allah
93

Mantra di atas pada larik pertama / minnyak patina Makka/ ‘minyak

pati dari Mekah’ dan larik kedua /minnyak pari siorokna Baituula/ ‘ minyak pati

pancaran Baitullah’ secara denotatif bermakna bahwa penutur mantra

menjelaskan tentang jenis-jenis minyak rambut yang digunakan oleh penutur

mantra. Namun secara konotatif kedua larik tersebut memberikan makna

bahwa penutur mantra menyimpan harapan yang sangat besar tentang apa

yang ia lakukan mendapatkan sanjungan oleh orang-orang yang melihatnya.

Terdapat kata Makka dan Baitullah, kedua kata tersebut melambangkan

tempat-tempat suci yang selalu dirindukan oleh semua umat muslim di dunia
ini. Begitu pula dengan harapan-harapan penutur mantra yang menginginkan

dirinya selalu dirindukan. Hal tersebut juga tercermin pada larik ketiga,

keempat, dan kelima. Pada larik keenam terdapat efonim nabi Yusuf, secara

konotatif bermakna bahwa nabi Yusuf merupakan nabi utusan Allah SWT.

Secara denotatif bermakna bahwa penggunaan nama Nabi Yusuf

menyimbolkan bahwa mantra ini diperuntukkan untuk seorang laki-laki agar

terlihat gagah seperti Nabi Yusuf.


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan mantra ini memiliki makna denotatif yang memberikan gambaran

bagaimana seorang penutur mantra dalam menggunakan minyak rambut.


Namun secara konotatif bermakna bahwa seorang laki-laki akan merasa

penampilannya lebih sempurna ketika ia memakai minyak rambut. Penutur

mantra berharap melalui minyak rambut tersebut ia akan mendapatkan

cahaya ketampanan Nabi Yusuf dan berkah dari Allah SWT. Cahaya dalam

mantra ini adalah simbol karisma yang tak terbantahkan.


Teks 12

Lajjangka
94

1) Lakupasurungi jangkaku
La -ku pasurung -i jangka –ku
Konf (La-...-i) saya dorong sisir Pos.p1
Akan saya dorong sisir ku.
‘ saya akan mendorong sisirku’
2) Jangka bodo passuwakku
Jangka bodo passuwak –ku
Sisir pendek penata rambut Pos.p1
Sisir pendek penata rambut ku.
‘ Sisir pendek penata rambutku’.
3) Angngancuruka ate
An- ngancuru –ka ate.
Pref menghancurkan Prt hati.
Akan menghancurkan hati
‘yang akan menghancurkan hatinya’
4) Angngalabboka bone kambu
aN- ngalabbo -ka bone kambu.
pref cakar prt isi dalam
di cakar isi dalam
‘dicakarkan isi dalamnya’
5) Inai anak takupagiling nyawana
Inai anak ta- ku- pagiling nyawa -na
Siapa anak Pref prok.p1 balik nyawa Pos.p3
Siapa anak yang tidak saya balik nyawa nya.
‘anak siapakah yang tidak dapat saya balik nyawanya’.
6) Inai jari takugesarrang empowanna.
Inai jari ta- ku- gesara –ang empowang –na.
Siapa keturunan tidak saya geser kedudukan Pos.P3
‘Keturunan siapakah yang tidak dapat saya geser kedudkannnya’.
7) Anakna Patima
Anak –na Patima
Anak Pos.p3 Patima
‘Anaknya Fatimah’
8) Jarina Bagandaali
Jari –na Bagandaali
Keturunan Pos.P3 Bagandaali.
‘Keturunannya Bagandaali’
9) Barakka

Terjemahan

Menggunakan Sisir

Akan ku sisirkan sisir yang kumiliki


Sisir pendek yang kugunakan untuk menata rambutku
95

Yang menghancurkan hati


Yang mengguncang jiwa
Anak siapa gerangan yang tak dapat kubalikkan hatinya
Anak siapa gerangan yang tak dapat kelengserkan dari kedudukannya
Anaknya Fatimah
Keturunan Bagandaali
Berkah Allah tiada Tuhan selain Allah

Mantra di atas pada larik pertama, / laku pasukrungi jangkaku / ‘ akan

kudorong sisirku’, secara denotatif memberikan makna bahwa penutur mantra

akan menyisir rambutnya. Secara konotatif larik tersebut memberikan makna


bahwa hal yang terpenting dalam keseharian seorang pemuda adalah

persoalan penampilan. Mereka selalu berusaha berpenampilan dengan rapi,

salah satu usahanya yaitu dengan menata rambutnya. Rambut menurut


mereka adalah hal yang pertama diperhatikan oleh sebagian orang ketika

bertemu dengan orang lain.

Larik kedua / jangka bodo paksuwakku / ‘ sisir pendek yang

kugunakan untuk menata rambutku’ , secara konotatif memberikan makna

bahwa penutur mantra dalam menata rambutnya menggunakan sisir yang

pendek. Larik mantra yang berbunyi jangka bodo paksuwakku secara

denotatif bermakna bahwa seorang laki-laki dalam menyisir rambutnya selalu

menggunakan sisir yang berukuran kecil dan sisir tersebutlah yang menjadi

simbol kekuatan dalam mantra. Kekuatan yang membuat penutur mantra


mejadi gagah dan berwibawa.

Larik ketiga / angngancuruka ate / ‘ yang menghancurkan hati’, secara

denotatif bermakna hati yang merupakan bagian dalam organ tubuh manusia

bisa-bisa saja mengalami kerusakan atau tidak dapat berfungsi lagi. Secara

konotatif bermakna bahwa larik tersebut memiliki makna bahwa nantinya

akan ada seseorang yang perasaannya akan terasa hancur ketika tidak

memiliki si penutur mantra. Sama halnya dengan larik keempat sampai pada
96

larik keenam secara denotatif bermakna bahwa terdapat seseorang yang

menjadi sasaran penutur mantra. Secara konotatif larik tersebut bermakna

bahwa penutur mantra merasa yakin bahwa mantranya akan bekerja sangat

ampuh dan mampu membuat sasarannya akan tergila-gila padanya.

Larik ketujuh /anakna patima / ‘anaknya Fatimah’, secara konotatif

bermakna bahwa Fatimah adalah serang manusia. Namun secara denotatif

menggambrakan bahwa nama Fatimah menyimbolkan bahwa mantra ini

ditujukan kepada seorang perempuan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara


keseluruhan mantra ini memiliki makna denotatif yang menggambarkan

bagaimana seorang laki-laki atau penutur mantra dalam menyisir rambutnya.

Namun secara denotatif mantra ini memberikan gambaran bagaimana

seorang laki-laki dalam memperhatikan penampilannya terutama dalam

menata rambutnya. Hal ini dilakukan untuk menahklukan hati seorang gadis

yang dicintainya.

Bentuk pemakaian canninrara di atas digunakan pada saat menyisir

rambut ketika ingin bertemu dengan seseorang. Caranya yaitu mengambil


sisir kemudian menyisir rambut mulai dari depan sampai ke belakang

berulang-ulang sampai selesai sambil menuturkan mantra canninrara

tersebut.

3. Fungsi Mantra Canninrara

Fungsi adalah kegunaan. Fungsi merupakan sesuatu yang menjadi

kaitan antara satu hal dengan hal yang lain secara langsung atau tidak

langsung menyatakan hubungan antara suatu hal dengan pemenuhan

kebutuhan tertentu. Adapun fungsi mantra canninrara secara eksplisit

sebagai sarana atau media pengungkapan emosi masyarakat.


97

Fungsi yang ditemukan dalam mantra canninrara adalah fungsi sosial,

dan sebagai sistem pengungkapan keinginan masyarakat penuturnya. Pada

dasarnya manusia ingin hidup disayangi, dicintai, dikasihi, dan dihargai,

semua hal tersebut tercermin pada setiap larik-larik mantra canninrara yang

telah didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Hal tersebutlah yang membuat

masyarakat penutur percaya dengan pengucapan mantra canninrara. Mantra

canninrara diucapkan sebagai media komunikasi dengan roh leluhur. Mereka

berharap dengan mengucapkan mantra, keinginan dan harapan mereka akan

terwujud. Harapan-harapan penutur mantra tergambar pada klasifikasi fungsi


pemakaian canninrara sebagai berikut:

a) Kecantikan

Seorang perempuan melakukan perawatan apapun agar dirinya tetap

terlihat cantik dan menawan. Seperti halnya perempuan pada zaman dulu,

mereka sengaja membuat ramuan-ramuan kecantikan tradisional bakrak

basa, bakrak lekleng, dan sebagainya. Bakrak basa ini digunakan sebelum

tidur dan sesudah mandi bermanfaat untuk menghaluskan kulit dan membuat

kulit terlihat lebih putih. Begitupula dengan bakrak lekleng digunakan

masyarakat Makassar khususnya kaum perempuan sebagai lulur ketika

mandi juga bermanfaat untuk menghaluskan kulit. Akan tetapi , yang menjadi

andalan mereka adalah mantra canninrara tersebut. Banyak ragam

canninrara yang digunakan oleh kaum wanita agar mereka tampak cantik.

Dalam hal tata rias wajah, bermula dari mandi ,bercermin, memakai bedak,

memakai cillak, memakai lipstik, bersisir, dan menggunakan busana. Namun,

pada kesempatan ini penulis hanya menurunkan salah satu contoh yaitu pada

teks 2 yang dipakai pada saat menggunakan bedak (lakbakraki). Mantra

canninrara tersebut merupakan doa ketika memakai bedak. Doa yang

diselimuti dengan harapan-harapan bahwa kelak akan tampak semakin


98

cantik dan mendapat pujian dari segenap orang yang melihatnya. Hal

tersebut, tercermin pada setiap larik-larik dalam mantra. Salah satunya larik 6

yang berbunyi (sikuntu kamma tonga bulang sampulo anggappa). Larik ini

memberikan efek sugesti kekuatan cahaya, artinya si penutur mantra dibantu

oleh kekuatan cahaya seperti bulan. Anggapan masyarakat makassar,

perempuan yang cantik itu seperti cahaya bulan penuh atau gerhana bulan.

Dengan demikian, memakai mantra canninrara ketika perempuan hendak

berdandan akan membuat dirinya semakin percaya diri terhadap penampilan

yang dimilikinya.
b) Awet Muda

Perempuan melakukan perawatan-perawatan selain dengan tujuan

tampil cantik, mereka juga berharap akan tetap terlihat awet muda walaupun

umurnya sudah tua. Jika hanya mengandalkan perawatan-perawatan seperti

luluran, menggunakan masker dan lain-lain jika sampai waktunya untuk tua

akan tetap kelihatan tua. Oleh karena itu, untuk mendukung perawatan-

perwatan tersebut dan demi mencapai tujuan mereka agar tetap terlihat awet

muda mereka juga menggunakan mantra canninrara. Mantra ini dipercaya

oleh masyarakat dapat membantu permasalahan yang dialaminya. Hal


tersebut dapat dilihat pada teks 8.

Teks 8 menunjukkan arti bahwa seseorang perlu mengetahui nama-

nama air bilamana ia hendak mandi agar air tersebut memiliki berkah

pengawet. Bagi mereka yang meyakini dan menganut paham mantra

canninrara di atas memang rasa awet itu ada padanya. Penggunaannya

dapat dilakukan setiap hari. Akan tetapi mantra caning rara yang digunakan

pada saat mandi memiliki larik berbeda berdasarkan waktu penggunaannya.

Ada mantra yang dapat digunakan setiap hari pada saat mandi, ada juga
mantra yang digunakan satu kali satu bulan, serta ada mantra yang
99

digunakan satu kali satu tahun. Mantra yang digunakan setiap hari efeknya

bagi penutur mantra itu tergolong rendah dibandingkan dengan yang

digunakan satu kali satu bulan atau satu kali dalam satu tahun. Efek

penggunaan mantra mandi yang dilakukan satu kali satu tahun lebih besar,

penutur mantra harus mampu mengimbangi hawa nafsunya. Apabila hal

tersebut tidak dapat dilakukan penutur mantra, maka akan mengakibatkan

efek negatif terhadap dirinya sendiri.


c) Menaklukkan Hati Lawan Jenis

Setiap manusia mempunyai cinta walaupun kadarnya berbeda-beda.

Cinta tidak saja dimaknai dengan lawan jenis, namun kepada sesama jenis,

sesama manusia, Sang Pencipta, dan cinta terhadap bangsa, Negara dan

lain-lain. Berdasarkan hal tersebut, cinta dalam mantra canninrara adalah

cinta terhadap sesama manusia khususnya terhadap lawan jenis. Semua itu

merupakan naluri manusiawi bila memiliki cinta dan menjatuhkan cinta pada

seseorang. Cinta menciptakan kedamaian, cinta membawa ketenangan, cinta

membawa kegembiraan, sehingga banyak orang melakukan segala hal untuk

mendapatkan cinta termasuk menggunakan mantra canninrara. Hal tersebut

dapat dilihat pada teks 3.

Kutipan pada teks 3 dengan melihat larik-larik penyusunnya berfungsi

memengaruhi alam bawah sadar laki-laki yang menjadi sasaran penutur

mantra agar tertanam rasa cinta atau sayang yang dalam kepada penutur

mantra.
d) Ketampanan

Rentetan kata-kata dalam teks 11 pakminyyak ( memakai minyak)

menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk memiliki daya tarik adalah

dengan mengenakan minyak rambut. Namun, harus didahului dengan doa

mantra. Harapan-harapan yang tersirat dalam mantra tersebut mutlak diyakini


100

manfaat dan kebenarannya karena disandarkan kepada kekuasaan Allah.

Dengan demikian, jiwa pengantin laki-laki yang telah diberikan mantra oleh

penutur mantra (perias pengantin) tidak pernah ragu dan merasa percayadiri

akan ketampanan yang dimilikinya atas pengaruh dari mantra yang

dituturkan. Jadi, rasa ketampanan pada si pemakai canninrara seakan tidak

tersaingi oleh sesamanya lelaki; la dapat leluasa melangkah dan duduk di

pelaminan, di hadapan banyak sorotan mata ketika ia telah memakai minyak

dari perias pengantinnya.


e) Daya Tarik

Seorang laki-laki tidak akan merasa percaya diri berhadapan dengan

seorang gadis apabila penampilannya tidak rapi. Oleh karena itu, mereka

berusaha tampil rapi dengan dukungan mantra-mantra yang dibacanya.

Mantra-mantra yang digunakan disebut dengan mantra canninrara. Bentuk

mantra canninrara yang digunakan untuk menumbuhkan kekuatan daya tarik

penuturnya yang digunakan pada saat menyisir rambut dapat disimak pada
teks 12.

Bila dicermati dengan saksama pada teks 12, dapat disimak bahwa

deretan kosa kata yang mengandung unsur daya tarik pada diri pemakainya

tertera pada larik pertama dan larik kedua. Kedua larik tersebut

menggambarkan bahwa daya tarik dalam diri penutur mantra terletak pada

tatanan rambutnya. Tatanan rambut tersebutlah yang mampu mengundang

daya tarik setiap gadis yang melihatnya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa

deretan kosa kata lainnya tidaklah penting . Justru kosa kata yang lainnya

menjadi pendukung mantra secara keseluruhan. Kosa kata lainnya tersebut

merupakan tumpuan kekuatan dalam mantra yang dituturkankannya.


f) Kewibawaan
101

Seorang laki-laki tidak akan keluar rumah apabila mereka belum

mempersiapkan diri dengan bekal diri. Bekal diri yang dimaksud adalah

mantra-mantra yang membuat dirinya akan diseganai oleh orang yang

melihatnya. Kekuatan-kekuatan tersebut biasanya difokuskan pada bagian-

bagian kebutuhan fisik atau hal-hal yang nampak pada diri seorang laki-laki.

Seperti halnya dalam penggunaan kopia, baju, dan sarung. Ketiga hal

tersebut melengkapi kebutuhan pokok fisik laki-laki. Namun dalam hal ini

penulis menguraian mantra canninrara yang digunakan ketika hendak

memakai sarung ketikan ingin bepergian dengan tujuan tertentu dengan


tujuan agar disegani oleh orang-orang. Hal tersebut tercermin pada teks 10

laklipak (memakai sarung). Larik pertama sampai larik ketiga memiliki makna

yang padat dan terkesan sangat berkuasa. Apabila seseorang lelaki

menggunakan mantra canninrara di atas bukan hanya ia merasa mampu

menggoda dan memiliki daya tarik pada seorang gadis, melainkan merasa

lebih dari yang disebutkan itu seperti mampu berkuasa diantara laki-laki yang

lain, ia mampu menjadi seorang pemimpin.

Jika diperhatikan fungsi-fungsi mantra canninrara yang telah

diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dibalik fungsi-fungsi

tersebut terdapat nilai-nilai yang mendasari masyarakat menggunakan mantra

canninrara. Nilai tertinggi yang mendasari masyarakat Makassar

menggunakan mantra canninrara adalah nilai siriq (harkat). Nilai siriq bagi

seorang perempuan dalam masyarakat apabila mereka belum menikah pada

saat umurnya sudah tua. Hal tersebut disebabkan karena belum ada orang

yang tertarik kepadanya sehingga banyak perempuan yang menggunakan

mantra canninrara untuk menghidari hal-hal tersebut.

Berdasarkan bentuk, makna, dan fungsi mantra canninrara yang telah

dikemukakan di atas dapat diungkapkan tatacara penggunaan mantra


102

tersebut. Akan tetapi, terkait pengguna mantra canninrara sampai saat ini

belum ada data akurat mengenai siapa saja dan pada usia berapa seseorang

dapat menggunakan mantra tersebut. Namun demikian , apabila diperhatikan

dan dicermati dengan saksama dari sumher pemerolehan mantra canninrara

dapat disimpulkan bahwa mereka yang memenuhi syarat untuk menggunakan

mantra canninrara adalah lelaki atau perempuan yang sudah dewasa atau

sudah memasuki masa akil balig.Hal ini diperkuat oleh keterangan dari

beberapa orang informan selaku pemilik dan pemakai mantra yang

menyatakan bahwa menggunakan canninrara itu bukan sesuatu yang

mudah. Untuk memperolehnya saja tidaklah mudah karena harus disertai

dengan beberapa persyaratan yang amat ruwet dan ketat termasuk waktu

mendapatkannya apalagi mengamalkannya. Artinya selain faktor kedewasaan

juga tidak kalah pentingnya keyakinan dan pembawaan seseorang. Di

samping itu, menggunakan canninrara pun disertai dengan pantangan-

pantangan yang harus dipatuhi dan pengguna mantra juga harus pandai-

pandai menahan atau mengendalikan hawa nafsunya. Apabila hal tersebut

tidak dapat dilakukan, maka hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi seperti

kawin lari atau dalam bahasa Makassar disebut dengan silariang.

Penggunaan mantra canninrara umumnya tidak terlalu terikat oleh

waktu, tetapi Iebih terbatas pada fungsi atau manfaat canninrara itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa tujuan dan fungsi canninrara melengkapi manusia

dari pengaruh alam gaib dan waktu menggunakannya dapat dimulai ketika

seseorang bangun tidur, mandi, berpakaian, berhias, bepergian, dan bertamu.

Dalam hal pemakaian canninrara pemakai dituntut untuk tidak gegabah tetapi

harus sesuai dengan petunjuk atau syarat yang telah ditentukan. Apabila

tidak mengindahkan persyaratan yang telah ditentukan, hal itu menandakan


bahwa nilai keyakinan pemakai canninrara itu berkurang atau tidak bekerja
103

dengan baik atau menurut masyarakat Makassar mambaraki. Dengan

demikian efek dan tujuan menggunakan canninrara itu bakal tidak tercapai

atau biasa disebut hambar (sia-sia). Selain itu, efek mantra dapat bekerja dan

ampuh pada seorang perempuan atau laki-laki yang menjadi sasaran penutur

mantra apabila kondisi metafisik/ jiwa mereka lemah. Sebaliknya, bila aspek

metafisik perempuan atau laki-laki yang menjadi sasaran tersebut kuat,

maka canninrara pun bisa ditolak oleh jiwa sasaran.

Pengamalan mantra canninrara dari segi waktu bisa dilaksanakan

baik pada malam hari, pagi, siang, atau sore hari. Maksudnya, dapat
diIaksanakan kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian,

pemakaian canninrara ada yang bersifat musiman. Misalnya mantra

canninrara yang digunakan saat mandi (mantra pakjeknek), ada yang

digunakan setiap hari, sekali sebulan, dan sekali setahun. Mantra pakjeknek

yang digunakan sekali setahun yaitu pada saat hari raya idul fitri. Masyarakat

berlomba-lomba mandi diwaktu subuh dengan niat untuk mennyucikan diri

dari segala dosa-dosa yang telah dilakukan demi mendapatkan berkah hari

raya.
Semua mantra canninrara yang digunakan pada salah satu keperluan

di atas, rata-rata syairnya memberi indikasi makna harapan agar seseorang

penyanjung dan pengamal mantra canninrara dapat tampak cantik/tampan,

memikat/menawan, awet muda. berwibawa, menarik simpatik dan

mendapatkan cinta yang diinginkan.

Beberapa mantra canninrara yang dikemukakan sebelumnya pada

umumnya digunakan untuk mengingat perasaan dan perhatian seseorang.

Mantra jenis (lakbakrak, accarammeng, laccillak, rajjak gigi, lakbongong,

lakbaju, lakminnyak) ini biasanya digunakan oleh seorang wanita dan

diucapkan pada saat ingin berdandan untuk bertemu dengan sang pujaan
104

hati. Jadi mantra ini tidak digunakan untuk jarak jauh. Begitu pun dengan

mantra laki-laki seperti (pakbakrak, pakminnyak, laklipak, lakbaju) tidak

digunakan dengan jarak jauh tapi digunakan pada saat ingin berhadapan atau

bertemu dengan seseorang.


105

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bertitik tolak pada uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab IV,

maka pada bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dan saran-saran

yang merupakan ringkasan dari keseluruhan isi tesis ini.

A. Simpulan

1. Berdasarkan jenis-jenis mantra canninrara yang telah dikemukakan pada

pembahasan sebelumnya, ditemukan bahwa mantra tersebut berjenis puisi

bebas yang dibangun oleh unsur tema, bunyi, baris, bait, dan diksi. Tema
mantra canninrara yang ditemukan yaitu harapan seorang tentang

kecantikan dan ketampanan, menaklukan hati lawan jenis, keinginan yang

selalu dipuji oleh orang lain, belas kasih, awet muda, dan kewibawaan

seorang laki-laki. Berdasarkan bunyinya terdapat perulangan bunyi vokal

(u), dan vokal (a) pada salah satu mantra canninrara. Kemudian

berdasarkan baris dalam mantra dengan melihat rima yaitu adanya

perulangan istilah sesuatu, seperti nama asal benda, dan nama orang

yang dianggap keramat. Sementara Bait-bait dalam mantra terkadang

terdiri dari satu baris, dua baris, tiga baris, empat baris, lima baris dalam
satu bait. Terakhir masalah diksi dalam mantra yaitu penggunaan bahasa

Arab, nama orang yang dikeramatkan, benda yang disakralkan, kemudian

penggunakan kata verba, dan kata seruan atau perintah.

2. Makna yang terkandung dalam mantra canninrara secara denotatif meliputi

segala perilaku penutur mantra untuk mendapatkan pujian, cinta, dan kasih

sayang serta rasa simpatik setiap orang. Selain makna denotatif juga

terdapat makna konotatif yang meliputi pengharapan, permohonan, rela


106

berkorban, kepercayaan, keyakinan, serta cara berusaha untuk

mendapatkan cinta, dan keberanian.

3. Mantra canninrara berfungsi sebagai sarana kecantikan, awet muda, dan

sarana untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, dan rasa simpatik setiap

orang, ketampanan, daya Tarik, dan kewibawaan. Akan tetapi, dibalik

fungsi-fungsi tersebut terdapat nilai-nilai yang tercermin dalam pemilihan

diksi setiap mantra yaitu nilai keberanian, nilai kepemimpinan, dan nilai rela

berkorban. Namun, dibalik nilai-nilai tersebut terdapat nilai siriq (harkat)

yang sangat dijunjung tinggi oleh penutur mantra tersebut.

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang penulis peroleh dari hasil

penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai

berikut:

1. Pemilik mantra canninrara hendaknya memelihara canninrara sebaik-

baiknya dengan mengalihkannya ke dalam bahasa tulis tanpa bermaksud

untuk mengurangi nilai kesakralam mantra tersebut.

2. Ide, gagasan, dan maksud yang disampaikan oleh para leluhur lewat media
bahasa perlu dilestarikan agar kedapannya dapat menjadi orientasi budaya

lokal.

3. Untuk penelitian selanjutnya, penulis sarangkan mengkaji mantra

canninrara lebih mendalam lagi dengan melihatnya dari prespektif religi

yaitu sistem kepercayaan masyarakat penuturnya.


107

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2001. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung:


Sinar baru Algesindo.

. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar


Baru Algesindo.

Anshori, Dadang S. 2017. Etnografi Komunikasi Perspektif Bahasa.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Badaruddin, Muhammad Syafri. 2015. “ Mantra Tulembang Dan


Tupakbiring Dalam Kehidupan Suku Makassar”. Disertasi.
Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana.

Badaruddin, Muhammad Syafri. 2016. The Meaning of Tulembang and


Tupakbiring Mantras in the Life of Makassar Etnic. Jurnal.
USA: Internasional Journal of College and University.

Berger, Arthur Asa. 2010. Semiotika: Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan


Kontenporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta.

. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta.

Christomy T, & Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: PPKB


UI.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain
lain. Cetakan V. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna.


Bandung: PT Refika Aditama.
Djamaris, Edward, dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: University


Press.

Elmustian Rahman. 2002. Perhimpunan Pantun Melayu. Penerbit Unri


Press. Riau.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:


PustakaWidyatama

. 2008. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model,


Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.
108

Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics; An Introduction.Oxford:


Blackwell.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa Konteks dan Teks:
Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotika Sosial.
(Tejemahan: Asruddin Barori Tou dari Judul Asli : Language,
Context, and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic
Prespective). Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Hartarta, Arif. 2010. Mantra Pekasihan: Rahasia Asmara dalam “Klenik”


Jawa. Perum SBI: Kreasi Wacana.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok.


Komunitas Bambu.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Hilang: Pengantar Studi Sastra
Lisan. Surabaya: Hiski Jaya Timur.

Keraf, Gorys. 2010. Argumentasi dan Narasi. Jakarta. Gramedia.

Koenjaranigrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:


PT Gramedia.

.1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.


Gramedia.

. 1984. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta;


Jambatan.

Laelasari dan Nuralilah. 2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa


Aulia.

Maknun, Tadjuddin. 2012. Nelayan Makassar: Kepercayaan, Karakter.


Makassar: Identitas Universitas Hasanuddin.

Nebart, Paul dkk. 1985. Sastra Lisan Sangir Talaud. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan, Marzuki. 2009. Statistik Terapan untuk


Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Nurjamilah, Ai Siti. 2015. Mantra Pekasihan: Telaah Struktur, Konteks


Penuturan, Fungsi, Dan Proses Pewarisannya. Jurnal Vol.1,
N0 2. Riksa Bahasa.

Oktavianus. 2006. Nilai-Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau:


Sebuah Kajian Dari Prespektif Antropologi Linguistik. Jurnal
Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. Jakarta: Pusat
Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.
109

Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin:


University of Texas Press.

Pastika, I Wayan. 2004. Antropologi Linguistik vs Linguistik Antropologi vs


Sosiolinguistik . Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika
(penyunting). Bahasa dalam Prespektif Kebudayaan.
Denpasar: Universitas Udayana.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty


Press.

. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan


Penerapannya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Preminger, Alex., dkk. (ed). 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and


Poetics. Princeton: Princeton University Press.

Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT.
Refika Aditama.

Ramlan.2001.Sintaksis. Yoyakarta: CV. Karyono.

Ratna, Nyoman Kutha . 2005. Sastra dan Cultural Studies, representasi


Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

.2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

. 2011. Antropologi Sastra; Peran Unsur-unsur Kebudayaan


dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riana, 1 Ketut. 2003. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah


Pengkajiannya”. Pidato Pengukuhan Jabata Guru Besar
Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik Budaya Fakultas Sastra
Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana


University Press.

Sande,dkk.1998. Struktur Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Pusat Pembinaan


dan Pengembangan Bahasa Departemen.

Santoso. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat: Semiotika Riffaterre”. T.


Christomy dan Untung Yuwono (Penyunting). Semiotika
Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
Universitas Indonesia.
110

Saputra S.P., Heru. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi


Aksara

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik dan


Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.

Soedjijono, dkk.1987. Struktur dan Isi Mantra Bahasa Jawa di Jawa Timur.
Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suhandono. 2004. Klasifikasi Tumbuh-Tumbuhan dalam Bahasa Jawa:


Sebuah Kajian Linguistik Antropologi. Disertasi. Yogyakarta:
Program Pascasarjana UGM.

Sumarlan. 2010. Analisis Wacan. Surakarta. Pustaka Cakra.

Syam, Christanto. 2010. Pengantar Ke Arah Studi Sastra Daerah.


Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Waluyo, H.J. 1997. Teori dan Apresiasi Pusi. Jakarta: Erlangga.

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/konsep diakses 19/2/2018).

Anda mungkin juga menyukai