Anda di halaman 1dari 35

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP Tradisi lisan pada upacara adat perkawinan tidak dapat dipisahkan

dari masyarakat pemakainya, tradisi lisan bagi masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, dan Batak) merupakan identitas masyarakat pemakai sebagai komunitas guyub tutur. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat memiliki kearifan lokal, dan nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat, hal tersebut yang berupaya diungkap pada penelitian ini. Penelitian ini berusaha mengkaji nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, penelitian ini akan melihat nilai-nilai tradisi yang terdapat pada tradisi lisan upacara adat perkawinan, yang juga merupakan falsafah hidup sebagai ideologi komunitas guyub tutur masyarakat Tapanuli Selatan. Pengkajian yang kedua mengunakan teori ekolinguistik, pengkajian ini digunakan untuk melihat leksikon yang digunakan pada tradisi lisan upacara perkawinan adat. Leksikon tersebut diklasifikasikan berdasarkan lingkungan aslinya. Pengkajian ekolinguistik tersebut melihat hubungan yang erat antara masyarakat penutur dengan lingkungan sekitarnya, sehingga terlihat sejauh mana hubungan lingkungan (ekologi) dengan bahasa yaitu pada tataran leksikon. Kemudian leksikon tersebut diujikan konsepsi maknanya kepada remaja sebagai komunitas asli, untuk sejauhmana kedekatan remaja sebagai penutur asli dengan lingkungan di sekitarnya. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a) mengkaji tradisi lisan serta nilai-nilai kearifan lokalnya dan b) kajian ekolinguistik untuk melihat konsepsi pemahaman leksikon pada komunitas remaja.

Universitas Sumatera Utara

2.1 Tradisi Lisan Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Roger Tol dan Prudentia (1995: 2) dalam B. H. Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni: Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (), but store complete indegeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication. Djuweng (2008:157) menyatakan, tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Prudentia 2010). Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, hasil seni, dan upacara adat. Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga

Universitas Sumatera Utara

tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sebagai sumber sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi. Tradisi lisan janganlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah boleh berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan, sehingga sejarah kegemilangan masa lalunya saja, tanpa dapat mengaktualkannya dalam situasi masa kini. Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya. Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan. Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang

Universitas Sumatera Utara

berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini tradisi lisan. Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut. Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Tradisi lisan

sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003: 1).

Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal atau Local Wisdom memungkinkan masyarakat bersangkutan memahami alam dan lingkungannya. Begitu pula tradisi Lisan di Tapanuli Selatan, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun. Tradisi lisan ini memiliki tatanan aturan yang tertib yang dipimpin oleh Orang Kaya yang berfungsi sebagai moderator (MC Master of Ceremonial) jalannya upacara perkawinan adat tersebut. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh Raja Panusunan Bulung, yang sebelumnya telah meminta pendapat masing-masing elemen adat dalihan na Tolu yang telah ditentukan sesuai dengan tuturan dan berada pada pihak mempelai lakilaki atau mempelai perempuan. Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh Raja Panusunan Bulung (Ompungi/ oppui Sian Bagas Godang) melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara perkawinan adat). Sehingga tak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan berbicara pada acara adat istiadat tersebut, ia merasa kurang dihargai. Oleh karena

Universitas Sumatera Utara

itu, penguasaan tradisi lisan dan leksikon adat sangat menentukan penghargaan masyarakat terhadap personal yang memiliki pemahaman adat istiadat. Penegasan pentingnya memahami leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan leksikon yang digunakan pada tradisi lisan mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada budaya adat, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai sastra yang estetis seta nilai-nilai lainnya. Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar (2000: 54-55), dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/ diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide. Pengetahuan tradisional atau indigenous knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau local wisdom dan berusaha untuk memahami Tradisi lisan. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis adalah leksikon-leksikon pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan pendekatan ekolinguistik kemudian diklasifikasikan atas leksikon yang berasal dari ekologi dan linguistik. Karena ekolinguistik mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik Sebab, perubahan sosioekologis sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010:1).

Universitas Sumatera Utara

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, tidak dikuasai lagi sejumlah leksikon oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian unsur sosial budaya dan sosial-ekologi pada komunitas itu. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan budaya (dari budaya tradisional ke budaya modern) atau perubahan suatu kawasan (dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan) atau dari kawasan kosong menjadi kawasan pemukiman atau sebaliknya dari kawasan pemukiman menjadi kawasan kosong seperti daerah kawasan Sidoarjo. Apabila hal ini berlanjut, tentu akan mengakibatkan ikan yang dulunya hidup menjadi mati, berbagai rumput yang hidup akan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan hilangnya beberapa ikon leksikal (Adisaputra, 2010:11). Penyusutan atau kepunahan unsur alam maupun unsur budaya akan berdampak pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu. Sejalan dengan pendapat Adisaputra, Lauder menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan (Lauder, 2006 : 6). Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: pelindungan,

Universitas Sumatera Utara

preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan.

2.2 Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan Kehidupan orang Tapanuli Selatan yang relegius dan masih sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara adat, seperti, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, upacara naik pangkat, upacara lulus ujian, mendapat gelar akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan. Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1) Tanda-tanda kebesaran; 2) peralatan (menurut adat istiadat); rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama; 3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. (2001: 1250). Adat menurut KBBI: 1. aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2. cara (kalakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan. 3. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilainilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001: 7). Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (2001: 1250) Upacara perkawinan adat rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama.

Universitas Sumatera Utara

Jenis-jenis Upacara Adat Istiadat Tapanuli Selatan (upacara adat istiadat Mandailing) pada budaya mandailing seperti: 1) Horja Siriaon; 2) Tahi Godang; 3) Manganaekkon Gondang; 4. Pajongjong Mandera; 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa; 10. dan lain-lain (Ritonga dan Azhar, 2002: 64-105). Pelaksanaan upacara perkawinan adat menurut Pandapotan Nasution (2005: 270-413) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: a. Acara di rumah Boru Na Ni Oli (pabuat boru) seperti: 1) manyapai boru, 2) mangaririt boru, 3) padamos hata, 4) patobang hata. b. Manulak sere; c. Mangalehen mangan pamunan; d. Acara pernikahan. e. Horja Haroan Boru seperti: 1) marpokat haroan boru, 2) Mangalo-alo boru, 3) pataon raja-raja dan koum sisolkot, 4) panaek gondang. Seremonial upacara adat seperti: 1) Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 2) Mangalehen Gorar (menabalkan gelar adat), dan 3) Mangupa. Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan haroan boru, horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru, 2) Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosongosong, 6) Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. (1993: 259-396) Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat lainnya. Adat dan

Universitas Sumatera Utara

paradatan merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut sidang adat. Sidang adat yang lengkap dipimpin oleh Raja panusunan Bulung di rumah suhut pihak laki-laki yang dihadiri seluruh unsur harajaon lengkap. Biasanya akan diutus na ringgas langka untuk mendampingi bayo (mempelai laki-laki) berangkat menuju rumah boru untuk mangalap boru, mangido tungkot hara ni madunginteon namboruna. Sebelum upacara pabuat boru terlebih dahulu dilaksanakan upacara akad nikah yang dihadiri oleh tuan kadi (penghulu), kerabat dekat, bayo dan rombongan, boru serta orang tua boru. Kehadiran boru mempelai perempuan di keluarga calon suaminya, sehingga terbentuk rumah tangga baru dapat dilihat dari perilaku adat yang dilaksanakan di Tapanuli Selatan, karena nama-nama julukan pada boru timbul dari cara kehadirannya di keluarga calon suaminya seperti: 1) Boru na di pabuat, 2) Boru tangko binoto, 3) Boru na marlojong, 4) Boru na pagitcatkon,5) Boru na manginte bondul, 6) Boru na manaek (Boru na manyompo), 7) Porda dumpang (1993: 253254). Boru dipabuat Raja Panusunan Bulung dalam sidang adat yang dihadiri oleh seluruh perangkat adat. Dalam sidang adat ada acara marsipaingot dan pasahat barang boru. Menjelang pemberangkatannya boru menyalami teman-teman, kerabat dalihan natolu, hatobangon, harajaon, Raja Panusunan Bulung, dan terakhir boru menyalami ibu, ayah, dan saudara-saudara kandungnya. Ini dilakukan dengan mangandung (menangis) sambil meratap. Sementara bayo dan rombongannya berada di rumah kerabat yang lain, hingga menunggu dijemput untuk menerima

Universitas Sumatera Utara

penyerahan boru oleh orang tuanya. Penyerahan ini mencakup: pamatangna (tubuh), ngoluna (hidupnya), sonangna dohot matena (senang dengan matinya). Ini merupakan penyerahan total tanggung jawab boru diserahkan sepenuhnya kepada bayo (mempelai laki-laki), kemudian rombongan ini berangkat menuju rumah bayo pangoli. Pihak boru mengirimkan indahan tungkus pasae robu yaitu dari: ama, ina, tulang, hatobangon, harajaon yang dibawa oleh anak boru, pisang raut, hatobangon laki-laki dan perempuan, dan naposo bulung serta nauli bulung. Indahan tungkus pasae robu ini dijunjung di atas kepala pisang raut ina-ina untuk kemudian diserahkan kepada pihak keluarga bayo hal ini diyakini oleh masyarakat adat di Tapanuli Selatan/ Mandailing agar hilang dari segala mara bahaya di laut, darat, dan awang-awang. Boru yang diberangkatkan secara adat itu diterima oleh keluarga bayo secara adat kebesaran dalam acara haroan boru. Pada malam harinya di rumah suhut diselenggarakan pokat harajaon untuk pasahat karejo. Pesta pernikahan disebut Horja pabuat boru yang telah ditentukan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Setelah kesepakatan dicapai, maka kedua belah pihak keluarga mulailah mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan untuk melaksanakan horja pabuat boru atau horja mangalap boru. Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dilakukan bergantung kepada binatang adat (kerbau dan kambing) yang akan dipotong. Untuk horja godang (pesta adat besar) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing, bila horja menek (pesta adat kecil) maka yang akan disembelih adalah seekor kambing.

Universitas Sumatera Utara

Horja menek (pesta kecil) yang disembelih yaitu horbo janggut (kambing) maka upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dimulai dengan akad nikah, markobar adat, dan mambutong-butongi mangan (memberikan makan) dan memberikan kata-kata nasihat dan tuntunan hidup berkeluarga. Horja godang (pesta adat besar) diukur dengan binatang yang disembelih (lahanan na) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing. Bila setelah selesai upacara akad nikah (ibadat) maka upacara yang akan diselenggarakan di rumah mempelai laki-laki yaitu: unung-unung bodat (musyawarah suami-istri yang akan menikahkan anak); tahi ulu ni tot (musyawarah suami-istri dengan kerabat dekat (markahanggi) yang akan menikahkan anak); tahi sahuta (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan orang-orang sekampung); tahi godang (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan kerabat dekat (markahanggi) juga dengan orang-orang sekampung). Pada tahi godang (musyawarah besar) dirancang kapan mangalo-alo mora (menyambut kedatangan pihak keluarga mempelai perempuan). Pada malam hari horja boru dimulai dengan maralok-alok. Siang harinya dimulai dengan upacara manaekkon gondang, dengan membuka galanggang. Kemudian mangalo-alo mora, sore hari upacara mambuka galanggang dengan manortor yang dimulai pada pihak suhut, kahanggi, anak boru, mora na dialo-alo, hatobangon, harajaon, raja panusunan bulung, naposo nauli bulung, dan boru na marbagas. Menjelang sore dilakukan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan, suatu upacara melepas masa lajang dan masa gadis ke pinggir kali, yang biasanya dipangir oleh raja di pinggir sungai. Tetapi kini sudah jarang dilaksanakan oleh adat

Universitas Sumatera Utara

kebiasaan Tapanuli Selatan, hanya menggunakan simbol-simbol dan diupa-upa saja setelah diarak dari tepi raya bangunan. Beranjak dari upacara adat tepian raya bangunan, maka kedua mempelai

diupa-upa dengan berbagai macam makanan seperti: 4 kaki kambing, kepala kambing, 3 butir telur ayam, dan dibuat berbentuk kerucut tempat garam. Yang ditabur dengan udang dan berbagai macam sayur-sayuran yang diletakkan di atas anduri (tampah yang terbuat dari bambu) yang dilapisi oleh 3 bulung ujung (helai daun pisang). Setelah diberi makan di berilah kata-kata nasihat-nasihat, tuntunan kehidupan berumah tangga, berkeluarga, dan bermasyarakat. Mengawinkan anak dan boru adalah merupakan puncak kebahagiaan seseorang, karena holong kepada mereka maka anak dipajae dan boru dipabuat. Rasa kasih sayang itu antara lain dinyatakan dalam ungkapan: tungkup marmama anak singgalak marmama boru. Adat Tapanuli Selatan/ Mandailing (Batak) sedikit bervariasi di luat-laut bona bulu karena latar belakang lingkungan alam, budaya, agama, dan pengaruh dari luar, termasuk di dalamnya pengaruh agama Islam yang oleh para ahli disebut sebagai golongan tradisional dan golongan modernis. Ini semua memberikan warna sehingga memberikan khasanah tradisi orang Batak khususnya di Tapanuli Selatan. Beberapa indikasi yang perlu diperhatikan ialah semakin beraliran tradisional seseorang semakin besar keinginannya untuk melaksanakan upacara adat semurni mungkin. Sebaliknya semakin beraliran modern sesorang maka semakin selektif dalam pelaksanaan upacara adat istiadat begitu juga upacara perkawinan. Seleksi ini terjadi atas pertimbangan agama, biaya, waktu, dan segi pertimbangan praktis.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian diselenggarakan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan. Yang bermakna untuk menghanyutkan segala yang tidak baik dan untuk meninggalkan segala perilaku remaja karena sudah memasuki masa berumah tangga. Sekembalinya dari upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan dilakukan upacara adat yaitu mangupa patidahon godang ni roha (menunjukkan kebesaran hati) tu anak dohot parumaen. Dalam sidang adat ini kedua mempelai mendapatkan nasihat-nasihat sebagai bekal hidup menjalankan rumah tangga yang berbahagia dari seluruh keluarga dan kalangan yang hadir dalam sidang adat mangupa itu. 2.2.1 Falsafah Masyarakat Tapanuli Selatan Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat sehingga dijadikan pedoman yang mengatur berjalannya tatanan adat istiadat, hal tersebut menjadi falsafah hidup masyarakat di Tapanuli Selatan. Suatu aturan-aturan yang dipatuhi dianggap memiliki kekuatan batin yang merupakan jiwa yang sudah mendarah daging bagi masyarakat adat. Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut tidak tertulis tetapi sudah menyatu dan menjadi ketentuan yang mengikat batin diantara masyarakat adat, hal tersebut disebut dengan holong dan domu. Hal itu seperti sebutan tubu unte, tubu dohot durina, tubu jolma, tubu dohot adatna. Makna yang terkandung yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai-nilai luhur sebagai pandangan hidup dalam dirinya. Nasution (2005: 57-73) berpendapat holong dan domu tumbuh dari lubuk hati dan dengan pemikiran yang dalam, masyarakat yang didasari oleh rasa holong akan menimbulkan rasa marsihaholongan (perasaan kasih sayang diantara sesama). Diantara orang yang marsihaholongan itu akan timbul hatigoran (kejujuran).

Universitas Sumatera Utara

Demikian pula domu akan menimbulkan hadomuan (persatuan). Jika tercipta persatuan tentu akan mewujudkan hadameon (keamanan). Haholongan, hadomuan, hatigoran, dan hadameon inilah yang diharapkan masyarakat adat sehingga setiap anggotanya dituntut berperilaku yang didasarkan kepada holong dohot domu (holong dan domu). Holong dan domu menjadi landasan dasar dari masyarakat adat, sehingga sikap dan perilaku masyarakat adat mencerminkan rasa holong dan domu. 2.2.1.1 Holong Kemampuan personal dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat menunjukkan kematangan dalam berkepribadian. Sehingga masyarakat juga dapat menerima eksistensi pribadi dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah komunitas masyarakat adat tersebut. Nilainilai cinta kasih diantara sesama masyarakat adat menjadi suatu tradisi, yang terbias dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut telah ada sejak dahulu, kemudian menjadi tata cara yang dilakukan sehingga kehidupan masyarakat berjalan dengan terartur sejahtera dan damai. Berbuat kebaikan kepada orang lain biasanya muncul dari lubuk hati yang terdalam, sehingga hal tersebut menjadi jati diri dan karakter masyarakat kepada orang lain dengan dasar cinta kasih kepada sesama. Kebaikan dan rasa cinta kasih kepada sesama itu disebut dengan holong, begitu pula antara masyarakat yang satu dengan yang lain sehingga mereka terikat oleh rasa cinta kasih kepada masyarakat komunitas tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.2 Domu Domu merupakan rasa satu kesatuan dan perwujudan rasa cinta kasih kepada sesama atau rasa holong. Domu dan holong tidak dapat dipisahkan yang satu dengan yang lain karena domu manjalahi holong, yang berarti holong dapat menimbulkan domu, sebaliknya agar domu tetap terjaga harus selalu dijiwai oleh holong. Hal itu bukan saja diikat oleh kebersamaan sedaerah tetapi diikat oleh pertalian darah. Seperti perlambang daun sirih dan perangkatnya: gambir dan kapur yang dapat menghasilkan warna merah, bila dilumatkan sebagai lambang darah. Domu merupakan perwujudan holong sudah ada sejak lahir (na ni oban topak), dan itu merupakan surat tumbaga holing na so ra sasa, surat tumbaga holing yang tidak dapat dihapus. Surat tumbaga holing adalah tulisan yang bukan tulisan biasa yang bisa dihapus, karena surat tumbaga holing hanya ada di dalam lubuk hati yang dalam. Holong dohot domu merupakan pegangan hidup bermasyarakat yang dijabarkan dengan pastak-pastak ni paradatan. Dengan demikian falsafah holong dohot domu bagi masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, Batak) menjadi: a) Landasan hidup bermasyarakat dan bernegara. b) Jiwa dan kepribadian. c) Pegangan dan pedoman hidup. d) Cita-cita/ tujuan yang ingin dicapai.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.3 Patik Patik merupakan aturan dasar dalam melaksanakan hidup dan berkehidupan dalam bermasyarakat menurut tatanan adat, aturan tersebut memberikan pemelajaran untuk menumbuhkan budi pekerti dan norma-norma sosial bermasyarakat. Normanorma tidak tertulis berfungsi sebagai pedoman hidup yang harus dipegang teguh dalam berbicara, bersikap maupun bertindak tanduk di tengah kehidupan sehari-hari. Interaksi dan hubungan bermasyarakat senantiasa mencerminkan nilai-nilai patik, atau patik-patik paradaton yang tersusun dalam ungkapan-ungkapan filosofis. Sehingga ungkapan tersebut harus dihayati dan diamalkan. Patik-patik paradaton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: yakni patik-patik paradaton yang mengajarkan kasih sayang (holong) dan patik-patik paradaton yang mengajarkan persatuan dan kesatuan (domu). Esensi patik mengandung muatan dan konsekuensi hukum yang mesti ditaati, karena berisi hal yang patut dan tidak patut dilakukan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Melalui patik-patik paradaton bertujuan agar ditempatkan pada tempat yang benar yang disebut pataya-taya adat. Seluruh aktifitas adat terjalin atas kesadaran dan kemufakatan yang tinggi dengan jalinan hubungan yang sangat dinamis sehingga adat istiadat diselenggarakan dengan indah, damai, rukun, penuh kasih sayang dan senantiasa dilandasi dengan kebersamaan yang tinggi untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Butir-butir patik paradaton yang diwariskan seperti: a) Holong manjalani domu, domu manjalani holong; b) Tangi disiluluton, inte siriaon; c) Pantun hangoluon, teas hamateon; d) Tampar marsipagodangon, ulang sayat

Universitas Sumatera Utara

marsipaenekon; e) Tarida urat ditutupon, masopak dangka dirautan; f) Undukunduk ditoru ni bulu, ise na tunduk inda tola dibunu; g) Inda tola marandang sere, angkon marandang jolma do; h) Suan tobu di bibir dohot di ate-ate; i) Gak-gak halimponan, unduk dapotan sere; j) Tampak na do rantosna, rim ni tahi do gogona dan lain-lain. 2.2.1.4 Uhum Uhum berarti peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari patik, uhum merupakan landasan operasional dari patik yang bersifat tatanan praktis. Sedangkan patik peraturan dasar yang tidak tertulis, sehingga uhum merupakan penjabaran dari patik. Jadi uhum mengatur tentang: a) susunan masyarakat yang berlandaskan holong dohot domu (Hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis teritorial dan Hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis) b) susunan, tugas, kedudukan lembaga dalihan na tolu; hak kewajiban raja, rakyat; hubungan antara raja dan rakyat secara timbal balik, hubungan sesama rakyat/ anggota masyarakat; c) hak dan kewajiban pimpinan/ raja kampung, hak dan kewajiban rakyat terhadap kampung; d) Hubungan antara huta raja panusunan dengan huta lain, hubungan antara anggota masyarakat huta satu dengan huta yang lainnya. 2.2.1.5 Ugari Ugari merupakan peraturan pelaksanaan uhum, jadi ugari harus mengacu kepada patik dan uhum yang merupakan peraturan dasar dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Setiap ketentuan yang ditetapkan dalam ugari harus

Universitas Sumatera Utara

sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan patik dan uhum. Oleh karena itu perlu pemahaman patik dan uhum agar pelaksanaan ugari tidak simpang siur dan rancu yang mengakibatkan kekacauan masyarakat adat. Ugari memuat peraturan yang lebih konkrit yang berkaitan dengan konsekuensi uhum. Ugari dirumuskan dan ditetapkan melalui musyawarah adat. Berbagai masalah yang timbul di kalangan masyarakat pemecahannya harus mengacu kepada ugari. Oleh karena itu ugari lazim disebut dengan na di adatkon, yaitu produk masyarakat adat yang diakui sebagai aturan yang disepakati untuk diberikan jalan keluar atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat. Contoh konkret ugari adalah pada pemotongan kerbau dalam upacara perkawinan adat, tata cara pelaksanaannya dapat berbeda-beda namun tujuannya tetap sama. Kerbau dipotong di atas rompayan (para-para) di depan rumah dengan maksud agar semua orang dapat menyaksikan bahwa upacara adat itu telah dilakukan menurut adat dan disaksikan oleh semua orang. Bahwa persyaratannya telah terpenuhi dengan memotong kerbau. Kerbau yang dipotong juga dipergunakan untuk upah-upah. 2.2.2 Dalihan Natolu Dalihan secara etimologi berarti tungku tolu berarti tiga, dalihan biasanya terbuat dari batu dengan ukuran yang sama, kalau besar dan panjangnya tidak sama maka tungku itu tidak berfungsi sebagai mana mestinya (Ritonga dan Azhar, 2002: 8). Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Mandailing mengandung arti, tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara-upacara adat lembaga Dalihan Na Tolu ini memegang peranan yang penting dalam

Universitas Sumatera Utara

menetapkan keputusan-keputusan. Dalihan Na Tolu yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut terdiri dari kelompok: a) Suhut dan kahangginya; b) Anak boru; c) Mora. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) dimensi dalam kedudukannya sebagai unsur Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itulah orang Tapanuli Selatan/ Mandailing, Batak dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan. Dalam masyarakat simalungun umpamanya dikenal istilah Tolu Sahundulan Lima Saodoran, yang berarti kedudukan nan tiga, barisan nan lima (tiga kedudukan dijabat oleh lima orang) yaitu tondong, sanina, anak boru (sebagai kedudukan) dan dijabat oleh lima orang yaitu Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak Boru Mantori (Rosnidar sembiring,Thesis,2001: 104-105) Rajamarpodang (1995: 55-56) membagi ketiga unsur tersebut antara lain: Pertama kerabat langsung yang menjadi pusat kegiatan disebut dengan suhut oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, Batak Toba, Batak Simalungun. Sukut oleh Batak Karo dan Batak Pakpak-Dairi. Suhut atau sukut terdiri dari keluarga batih sesama keluarga, yang disebut kahanggi oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, dongan tubu atau dongan sabutuha oleh Batak Toba, saboltok sanina oleh Batak Simalungun, sanina oleh Batak Batak Karo dan dnggan sabith oleh Batak PakpakDairi. Unsur kedua adalah yang fungsinya memberikan nasihat, membina merestui kegiatan, ialah kerabat asal pengambilan isteri oleh unsur pertama disebut mora oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, hula-hula oleh Batak Toba, tondong oleh Batak Simalungun, kalimbubu oleh Batak Karo dan kula oleh Batak Pakpak-Dairi.

Universitas Sumatera Utara

Unsur ketiga yang fungsinya menjadi kekuatan pada setiap kegiatan, ialah kerabat yang mengambil istri dari unsur pertama disebut anak boru oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, boru oleh Batak Toba dan Batak Simalungun, anak beru oleh Batak Karo dan anak brru oleh Batak Pakpak-Dairi.

2.3 Ekolinguistik Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Jadi pendekatan ekolinguistik digunakan dalam penelitian ini, karena konsep-konsep ekologis dalam bahasa adat istiadat Tapanuli Selatan akan tersingkap. Lebih luas lagi, konsep-konsep sosialkultural, historis demografis, filosofis religius, dan kolektif keetnikan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan secara keseluruhan akan tergambar. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel (1834- 1914). Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, mans immediate suroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi sebagai berikut. Ecology is the study of plants and animas, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environmentsthe physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings. Pengertian ekologi bahasa menurut Haugen, adalah Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1972, dalam Peter, 1996: 57). Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk

Universitas Sumatera Utara

hidup dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi bahasa merupakan interaksi antara bahasa yang sudah ada dan lingkungannya (masyarakat dan komunitas yang memakai bahasa tersebut atau sosiolinguistik). Sehingga parameter ekologis seperti keterhubungan, lingkungan lingkungan dan keberagamannya. Degradasi lingkungan diangkat menjadi kepedulian lingustik, yang berimplikasi pendekatan yang berbeda yang menjembatani studi bahasa dengan lingkungan dijadikan suatu kesatuan walaupun masih ada perbedaan pada ekolinguistik. Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut. Ecolinguistics is an umbrella term for [] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology. Demikian pula, Mhlhusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2) Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan bahwa ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language,

Universitas Sumatera Utara

ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace. Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap obyek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas. Sudut pandang mereka bahwa, teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/ pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial. Kajian ekolinguistik menghubungkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis dalam bahasa hubungan ketiga model tersebut dapat digambarkan menurut model Bang & Drs (1995: 47) dialoque Model dalam Jeppe Bundsgaard & Sune Steffensen (2000: 10):

Universitas Sumatera Utara

Dialogue Model

Ideo-logics
Situasion: Topos

S1 S2

socio-logics

S3

Environment

bio-logics
S1: Pembuat teks S2: Penikmat teks S3: Subjek yang membatasi Komunikasi O : Objek yang diacu dalam komunikasi

Gambar 1 Bagan Dialogue Model Keterkaitan Antara Pembuat Teks, Penikmat/ Penerima Teks, Subjek, dan Objek Yang Diacu Bagan di atas menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara pembuat teks, penikmat/ penerima teks, subjek yang dibicarakan, dan objek yang diacu dalam teks. Situasi komunikasi yang melingkupi keempat hal tersebut saling berpengaruh terhadap lingkungan, baik itu lingkungan alam maupun sosial. Konsep ini merupakan dasar dari kajian ekolinguistik. Secara tradisional, ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu eco-critical discourse analysis dan linguistic ecology (Fill, 1996, dalam Wikipedia). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana ekokritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian

Universitas Sumatera Utara

ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis. Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun

lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu. Kondisi ini pada akhirnya mempengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon bahasa tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Jikalau masyarakat Tapanuli Selatan sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada upacara adat perkawinan dengan menggunakan leksikon yang berasal tetumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan atau benda-benda alam di luat-luat Tapanuli Selatan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda Tapanuli Selatan. Hal itu dikuatkan oleh pendapat Sapir dalam Fill dan Mhlhusler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:

Universitas Sumatera Utara

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan). 2. Lingkungan ekonomis kebutuhan dasar manusia yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. 3. Lingungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni. Mhlhusler, dalam tulisannya yang berjudul Language and Environment menyebutkan ada empat hal yang menghubungkan antara bahasa dengan

lingkungan, tetapi dalam kajian linguistik itu menjadi berbeda, keempatnya yaitu: 1. Language is independent and self-contained (Chomsky, cognitive linguistics); 2. Language is constructed by the world (Marr); 3. The world is constructed by language (structuralism and post structuralism); 4. Language is interconected with the world-it bot constructedand is constructed by it but rarely indevendent (ecolinguistics). Sapir menjelaskan lebih lanjut, bahasa secara lahiriah dipengaruhi lingkungan yang melatari penutur suatu bahasa. Lingkungan fisik ragawi tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial. Namun perubahan perihal lingkungan fisik lingkungan sosial terlihat jelas dalam kosakata bahasa tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Kajian ekolinguistik didasari oleh pengaruh lingkungan dengan parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan) environment and diversity Haugen dalam Fill dan Mhlhusler (2001: 1). Kerusakan lingkungan salah satu faktor yang menyebabkan kehilangan leksikon karena, hubungan bahasa dengan lingkungan ditandai oleh unsur leksikon, hal itu karena kelengkapan suatu bahasa ditandainya dengan banyaknya leksikon-leksikon alam, tumbuh-tumbuhan di lingkungan komuniatas penutur yang dipakai ketika berkomunikasi. Lingkup ekolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan lingkungan pada ranah leksikon dan bukan pada tataran fonologi dan morfologi Sapir dalam Fill dan Mhlhusler (2001: 2) menjelaskan, This interrelation exists merely of the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology. Sapir dalam Fill dan Mhlhusler (2001: 14) menjelaskan hubungannya sebagai berikut. Is the vocabulary of a language that most clearly reflects the phsycal and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as a complex inventory of all ideas, interest, and occupations that take up the attention of the community, and were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our proposal, we might to a large extent infer the characteristics of the culture of the people making use of it. It is not difficult to find examples of languages whose vocabulary thus bear the stamp of the physical environment in which the speakers are pleced.

2. 4 Leksikon Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna. Sejalan dengan itu Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan leksikon sebagai kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (2001: 805).

Universitas Sumatera Utara

Sibarani menyebutkan, Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa. (1997: 4). Penjelasan di atas dapat dirarik kesimpulan leksikon yaitu, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa suatu bahasa

2. 5 Semantik Leksikal Pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata dianggap sebagai satuan sendiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001: 74). Menurut Sibarani (1997: 7) dari segi semantik, Setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa yang bersangkutan. Leksikon dapat disamakan dengan kosakata, maka leksem dapat disamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan makna yang bersifat leksikon atau bersifat leksem. Makna leksikal dapat juga diartikan makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan panca indera, makna yang sesuai dalam kehidupan. Lyons (1995: 47) menegaskan, The noun lexeme is of course related to the words lexical and lexicon, (we can think of lexicon as having the same meaning as vocabulary or dictionary. Dalam semantik leksikal menyelidiki makna pada leksem-

Universitas Sumatera Utara

leksem yang dipadankan dengan istilah kata, serta lazim digunakan dalam studi semantik. Studi semantik erat kajiannya dengan semiotik, kajian semantik tentang kata dianggap sebagai lambang (simbol) sedangkan semiotik lambang itu disebut tanda (Pateda, 2001: 25). Masyarakat pemakai bahasa dikelilingi oleh tanda dan dipengaruhi oleh makna dari tanda-tanda tersebut. Cotoh pada kajian leksikon tradisi lisan, bila seperangkat sirih sebanyak 7 lembar , pinang, soda (kapur sirih), dan pisau yang diletakkan di atas kain (berwarna gelap) berarti akan ada upacara pembukaan adat.

2. 6 Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun

Universitas Sumatera Utara

bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berpikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12-15 tahun = masa remaja awal, 15-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10-12 tahun, masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun, dan masa remaja akhir 1821 tahun (Deswita, 2006: 192) Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Rentang usia remaja yang dipilih yaitu pada rentang usia 12 tahun sampai dengan 20 tahun hal ini sebutkan oleh pendapat pakar psikologi. (Santrock,

1997:19-20; Mubin dan Cahyadi, (2006: 106). Santrock, John W. (1997). Mubin dan Ani Cahyadi (2006). Rentang umur remaja yang dipilih sebagai responden yaitu pada rentang usia 12 sampai dengan usia tahun sampai dengan 20 tahun hal ini sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

simpulan dari sebelas pendapat pakar psikologi di atas, rentang usia ini diidentikkan dengan usia anak sekolah menengah yakni SLTP dan SLTA. Oleh karena itu, remaja dalam penelitian ini juga mengacu pada usia sekolah menengah.

2. 7 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Ekolinguistik sebagai ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi dan linguistik. Berdasarkan survey kepustakaan ternyata penelitian tentang penyusutan leksikon bahasa tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan belum pernah dilakukan. Penyusutan fungsi sosioekologis bahasa Melayu Langkat pada komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Mbete dan Adisaputra (2009). Hasil tes penguasaan leksikonn responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah perubahan itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pemikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di atas, teknik pengumpulan/ pemerolehan, dan analisis data. Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dengan mendokumentasian leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat Ada 150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah mereka

Universitas Sumatera Utara

yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan memparafrasekan situasi penggunaan leksikon tersebut yang dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan sesuai dengan hasil survey lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat. Ekologi bahasa dan pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali oleh I Nyoman Suparya, Fakulatas Sastra Universitas Udayana.

Kehidupan dan perkembanagan Bahasa Melayu (BM) Loloan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan sang penciptanya. Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur memengaruhi perkembangan bahasa Melayu Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir sungai serta profesi nelayan menyebabkan banyak penutur Bahasa Melayu Loloan sangat akrab dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun pengaruh faktor alam seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan sungai, memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan ditinggalkan, diganti dengan profesi pedagang, buruh, tukang, dan rumah panggung.digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan perubahan profesi dan bentuk rumah, istilahistlah baru bermunculan mengakibatkan istilah-istilah lama tidak dikenal lagi. Penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik yang

diteliti oleh Yusradi Usman dari penelitian tersebut ditemukan bahwa masyarakat

Universitas Sumatera Utara

gayo memiliki konsep, bentuk, dan muatan tutur tersendiri dalam perkembangannya, tutur tersebut kurang dipakai, bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut dilatari faktor yang bersumber dari orang Gayo selaku pengguna tutur dan faktor eksternal yaitu, pengaruh yang datang dari luar sangat memengaruhi penyusutan tutur, sehingga ekologi sosial bahasa gayo, terlebih lagi ekologi be tutur yang ada pada suku gayo. Penyusutan Pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan: kajian ekolinguistik pada komunitas remaja di

Padangsidimpuan, yang diteliti oleh Yusni Khairul Amri. Hasil penelitian tersebut telah terjadi perubahan-perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan dan terkikis. Hal itu karena lingkungan sebagai sumber kehidupan begitu pula berubahnya fungsi lingkungan yang menjadi sentra kehidupan, perekonomian, lahan pemukiman, sosial. Begitu pula faktor agama, finansial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai mengalami dekadensi dan penyelenggaraan upacara perkawinan adat lebih sederhana dan simpel. Akibat hal tersebut, banyak leksikon lingkungan tidak dipahamai oleh remaja karena hal tersebut telah hilang seiring dengan remaja semakin jauh dari tradisi lisan pada adat dan faktor lainnya. Begitu pula pada tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis terjadi penyusutan pemahaman leksikal remaja terhadap masuknya leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata, analisis dan diklasifikasi menjadi 16 kelompok. Penyusutan pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat

Universitas Sumatera Utara

Tapanuli Selatan yang telah diujikan kepada 240 responden remaja di 6 Kecamatan Kota Padangsidimpuan, terjadi penyusutan pemahaman leksikon sebagai berikut: a) Penyusutan leksikon tumbuh-tumbuhan sebesar 57,58%; b) leksikon alam 51,07%; c) leksikon alat musik tradisional 87,50%; d) leksikon pronomina 44,86%; e) leksikon pronomina kekerabatan 55,21%; f) leksikon pronomina raja/ adat 62,68%; g) leksikon bahasa adat 74,78%; h) leksikon ukuran waktu/ cuaca 31,56%. i) leksikon penunjuk tempat/ arah 35,65%; j) leksikon perhitungan/ angka 32,38%; k) leksikon ukuran sifat 52,64%; l) konsepsi leksikon ukuran bentuk 51,92%; m) leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan 57,58%; n) leksikon hewan 47,96%; o) pemahaman leksikon jenis warna 60,00%; dan p) penyusutan pemahaman leksikon pada frase dan klausa sebesar 81,16%. (yusni-lubis.blogspot.com.revitalisasi./2011/05. diakses 23 Mei 2011 dan yusni-lubis.blogspot.com.ekolinguistik./2011/05. diakses 25 Juli 2011). Terkait dengan penelitian di ataslah mengilhami penulis untuk meneliti untuk mengkolaborasikan dua teori yaitu teori ekolinguistik dan nilai-nilai tradisi lisan yang terdapat pada tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan untuk melihat pemahaman remaja tentang leksikon adat dan nilai-nilai yang terkandung pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai