Anda di halaman 1dari 41

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan latar belakang mengapa penelitian

ini dilakukan, kemudian yang menjadi pembahasan dari penelitian ini dan tujuan

serta manfaat dari penelitian. Pada bagian ini dibagi menjadi tiga yakni konsep,

landasan teori, dan kajian pustaka. Konsep yakni meliputi tradisi lisan BG,

kearifan lokal BG, dan baralek Gadang pada pernikahan adat Somando

masyarakat pesisir Sibolga. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini

adalah LFS (Linguistik Sistemik Fungsional) yang dikemukakan oleh Halliday,

alasan peneliti memilih teori LFS adalah untuk melihat dan menemukan

perbedaan makna semiotik dan makna interpersonal antara tatabahasa formal

dengan tatabahasa fungsional yang terdapat pada teks. Selanjutnya pada bagian ini

juga dijelaskan mengenai kajian pustaka yang memiliki hubungan atau kontribusi

terhadap penelitian ini.

2.1 Konsep

Pada bagian ini peneliti berusaha untuk menganalisis beberapa pengertian-

pengertian yang ada kaitannya dengan pembahasan masalah dalam penelitian ini,

dan bagian – bagian itu perlu diuraikan untuk memberikan kejelasan yang benar

terhadap permasalahan sebagai berikut: pengertian dari tradisi lisan, kearifan

lokal, dan baralek gadang, berdasarkan pada konsep teori. Selanjutnya

penjabarannya untuk lebih detilnya adalah seperti berikut.

21
Universitas Sumatera Utara
22

2.1.1 Konsep Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara

turun temurun disampaikan secara lisan pada masyarakat tertentu. Menurut

Pudentia (2008:184). Tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan

dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup

dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal, sistem nilai,

pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi),

hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat

sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau

sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan,

dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, oleh karena itu

perlu dijaga agar tetap lestari. Salah satu usaha untuk menggali dan

mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual

budaya Indonesia, yakni melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.

Sumber utama kajiannya adalah penutur, nara sumber pemilik tradisi lisan yang

diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di

samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan

living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi

tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan

(Pudentia, 2008:259).

Sementara menurut Sibarani (2012:47) Tradisi lisan adalah kegiatan budaya

tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan media

lisan dari satu generasi kegenerasi lain baik tradisi lisan itu berupa susunan kata-

Universitas Sumatera Utara


23

kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non verbal). Oral

traditions are the Community‟s traditionally cultural activities inheritied orally

from one generation to the other generations either the tradition is verbal or non-

verbal.

Lebih lanjut Sibarani (2012:43-46) mengemukakan ada beberapa ciri Tradisi

lisan yaitu:

1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan

berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaanya.

3. Dapat diamati dan ditonton.

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisi lisan ini harus mengandung unsur

warisan etnik baik murni bersifat etnik maupun kreasi baru yang

ada unsur etnik.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari

satu generasi kegenerasi lain.

6. Proses penyampain dari mulut ke telinga. Ciri inilah yang

menjadikan kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal

culture) tergolong tradisi lisan karena budaya bukan lisan itu,

seperti adat istiadat, disampaikan orang tua dari mulut melalui

berbicara sampai ketelinga anak-anaknya melalui mendengar.

7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.

8. Memiliki versi-versi.

9. Milik bersama komunitas tertentu atau milik semua masyarakat

secara kolektif.

Universitas Sumatera Utara


24

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri

budaya.

Dari penjelasan di atas maka perlu sekali membangun sebuah paradigma yang

melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dapat dibuktikan di mana sebagian

masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain

termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini

terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan

kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.

Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan

masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa

masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi

diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan

identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya

pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan

sudah menyatu pada komunitas tersebut.

Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan

dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada

tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap

orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda.

Pengetahuan tradisional memungkinkan masyarakat pemilik dan atau

pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan

menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal

memungkinkan masyarakat yang bersangkutan memahami alam dan

lingkungannya. Begitu pula halnya dengan tradisi kelisanan pada masyarakat

Universitas Sumatera Utara


25

pesisir Sibolga, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak

melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun.

Tradisi kelisanan pada masyarakat Sibolga memiliki tatanan atau aturan

yang tertib dipimpin oleh seseorang yang disebut talangke. Talangke berfungsi

sebagai pemandu jalannya upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir

Sibolga. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan

oleh tokoh adat dan diketahui kepala desa.

Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya,

setiap keputusan yang diambil oleh tokoh adat bersama dengan kepala desa

melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap

dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat

istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya.

Sehingga tidak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan untuk menempati

posisi yang selayaknya dia peroleh pada acara adat istiadat tersebut, dia merasa

kurang dihargai (Pasaribu, 2011:5)

Tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando

masyarakat pesisir Sibolga yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan

tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis adalah makna semiotik dan nilai-

nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara perkawinan adat masyarakat

pesisir Sibolga, dengan pendekatan semiotik sosial.

Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya

menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang

akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan

pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan,

Universitas Sumatera Utara


26

preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara

perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

Hal ini menurut Fortes (dalam Tilaar, 2000: 54-55) dari pewarisan budaya

ada variabel-variabel yang perlu dicermati yakni; unsur-unsur yang

ditransmisikan/diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal

ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi

masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung

kearifan, kebenaran esensial, dan ide.

2.1.2 Konsep Kearifan lokal

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat

maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk

budaya masa lalu yang sepatutnya secara terus-menerus harus tetap dijadikan

pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya

dianggap sangat universal atau berhubungan dengan khalayak umum.

Selanjutnya Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah

remembering the past, understanding the present, and preparing the future

“mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”.

Maksudnya adalah mengingat masa lalu berarti berusaha untuk menggali tradisi

masa lalu, mengindentifikasi masa lalu berarti menggali tardisi masa lalu itu,

memilah-milah nilai tradisi masa lalu itu, dan kemudian memetik hal-hal yang

bernilai dalam tradisi masa lalu itu. Memahami masa kini berarti mengetahui

permasalahan kehidupan masa kini dengan segala kelebihan dan kekurangannya

Universitas Sumatera Utara


27

serta memberikan solusi pada permasalahan itu dengan mengimplementasikan

nilai-nilai tradisi masa lalu.

Sementara Haba (2007:11) menjelaskan kearifan lokal mengacu pada berbagai

kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang

dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu

mempertebal kohesi masyarakat. Lebih lanjut (Haba 2007:4) menjelaskan bahwa

ada beberapa fungsi dari kearifan lokal yakni: (1) sebagai penanda sebuah

komunitas; (2) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan

kepercayaan; (3) kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top done),

tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam masyarakat, karena itu daya ikatnya

lebih mengena dan bertahan; (4) kearifan lokal memberikan warna kebersamaan

bagi sebuah komunitas; (5) lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan

timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common

ground atau kebudayaan yang dimiliki, dan (6) kearifan lokal dapat berfungsi

mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah

mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir

bahkan merusak, solidaritas komunal yang dipercaya dan tumbuh di atas

kesadaran bersama, dari sebuah kominitas terintegrasi.

Sementara Rahyono (dalam Sinar, 2011:4)) mengatakan bahwa kearifan lokal

merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang

diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam ciri-ciri budaya

yang dimilikinya, dengan kata lain seorang anggota masyarakat budaya memililiki

kecerdasan karena proses pembelajaran dari rumah yang dilakukan dalam

kehidupannya. Selanjutnya Rahyono (dalam Sinar, 2011:4) mengemukakan jika

Universitas Sumatera Utara


28

lokal genius hilang atau musnah, kepribadian bangsa memudar, karena hal-hal

sebagai berikut.

1. Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheran

sejak lahir.

2. Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.

3. Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan

lokal kuat.

4. Pembelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan.

5. Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya

diri.

6. Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan

Negara.

Sementara Sibarani (2012:5) mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang terkandung

dalam kearifan lokal tersebut, antara lain:

1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi

kerja, dan disiplin kerja)

2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara

bersama)

3. Kerukanan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya)

4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai

dengan hukum adat)

5. Kesehatan (Menjaga hidup baik secara pribadi maupun

masyarakat)

6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal)

Universitas Sumatera Utara


29

7. Menjaga lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga

rantai kehidupan)

8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan

warisan budaya)

9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya)

10. Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat)

11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah

ditetapkan dan harus dipatuhi)

Menurut Sayuti (2005:12) usaha untuk menemukan identitas bangsa yang baru

atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya

bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Dari pernyataan di atas

maka jelas bahwa kearifan lokal yang terdapat pada budaya daerah sudah sejak

lama hidup dan berkembang. Maka dari itu perlu diadakan pemeliharaan dan

pelestarian budaya daerah tersebut demi membangun kerinduan pada kehidupan

masyarakat terdahulu, dimana hal itu merupakan tolak ukur kehidupan masa

sekarang.

2.1.3 Konsep Baralek Gadang

Baralek gadang adalah merupakan salah satu kegiatan yang sifatnya

berbentuk tradisi kelisanan khususnya penyambutan momen-momen penting

seperti pernikahan. Pada masyarakat pesisir Sibolga kegiatan seperti ini masih

tetap dilaksanakan sampai saat sekarang ini. Baralek gadang pada hakikatnya

memiliki prosesi atau tahapan-tahapan acara kegiatan yang dimulai dari tahap

marisik (memastikan seorang calon) sampai kepada tahap tapanggi (saling

berkunjung kedua belah pihak) dan biasanya kegiatan ini dilaksanakan sesuai

Universitas Sumatera Utara


30

dengan adat yang berlaku. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka ada

sebagian rangkaian acara yang mengalami pergeseran yakni tergantung dengan

situasi dan kondisi.

Baralek gadang berasal dari dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek

artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar. Jadi baralek gadang itu

memiliki pengertian secara umum yakni perhelatan besar salah satunya adalah

perkawinan yang memiliki prosesi rangkaian kegiatan dari awal sampai selesainya

acara semuanya diatur oleh adat yang berlaku pada masyarakat etnis pesisir

Sibolga. (Hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan bapak fahrudin Sinaga)

Istilah Baralek gadang selain ada di daerah Sibolga, di daerah Sumatera

Barat juga dipergunakan istilah ini dalam acara-acara besar. Baralek gadang di

daerah Sumatera Barat adalah ungkapan bahasa Minang yang berarti perhelatan

besar. Baralek gadang umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan

suatu momentum penting dalam kehidupan masyarakat Minang, bisa pernikahan

atau hal lainnya. Hajatan ini juga sekaligus untuk berbagi kegembiraan dan

perwujudan rasa syukur atas karunia yang diberikan sang maha pencipta

(http://theordinarytrainer.wordpress.com/2011/06/20/baralek gadang/, diunduh 25

April 2013)

2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang

Kehidupan orang pesisir Sibolga yang relegius dan masih sangat peka

terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa

peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara,

seperti upacara adat, upacara khitanan, upacara melek-melekan, upacara turun ke

laut, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, mendapat gelar

Universitas Sumatera Utara


31

akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru,

upacara anak lahir, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.

Upacara dalam KBBI (2001:1250) meliputi: (1) Tanda-tanda kebesaran; (2)

peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat

pada aturan tertentu menurut adat atau agama; (3) perbuatan atau perayaan yang

dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Adat dalam KBBI (2001:7) sebagai berikut: (1) aturan (perbuatan dan
sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (2) cara
(kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; (3) Wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,
dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem.

Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau


masyarakat. (KBBI, 2001: 1250)

Upacara perkawinan adat atau rangkaian upacara perkawinan (seremonial)

mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim

dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau

pemuka agama. Dalam kamus bahasa Indonesia (2001:1250) adat merupakan

kebiasaan, sementara kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan.

Sementara Sibarani (2004:5) mengemukakan ada enam hal mendefinisikan

kebudayaan yakni: (1) segala kebiasaan yang dimiliki kelompok masyarakat; (2)

pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan secara social; (3) tercermin

dan terwujud dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia; (4) pedoman untuk

memahami lingkungan manusia dan untuk berinteraksi dalam kehidupan

masyarakat; (5) harus dipelajari dan (6) mensejahterakan dan membahagiakan

masyarakat pendukungnya. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan

kebiasaan kelompok masyarakat tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan

hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami

Universitas Sumatera Utara


32

lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai

kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya.

Sementara Supartono (2004:30) memberikan penjelasan tentang kebudayaan

yakni kebudayaan berasal dari kata budh artinya akal dalam bahasa sansakerta,

kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga

kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sementara

dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa

Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia

mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia

telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang

hanya memungut hasil alam saja (food gathering)

Menurut Pasaribu (2011:5) pelaksanaan upacara perkawinan adat pesisir

Sibolga yang biasa disebut dengan istilah adat Sumando, ini ditetapkan pada

tanggai 1 Maret 1851 oleh residen Conprus (Belanda) untuk seterusnya dapat

dipergunakan sebagai pedoman. Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada

Raja atau Kuria, Pengertian Sumando dalam bahasa Batak adalah cantik, dan

secara lebih khusus lagi artinya adalah besan berbesan. Pengertian adat sumando

mencakup tatacara adat pernikahan di daerah pesisir Sibolga Tapanuli Tengah

antara lain; mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung mengunjungi

antara kedua belah pihak atau sering disebut dengan istilah tapanggi.

Selanjutnya Pasaribu (2011:6) mengatakan ada beberapa hal yang harus

dipersiapkan pada saat pelaksanaan upacara pernikahan adat sumando tersebut

yaitu:

Universitas Sumatera Utara


33

1. Sistem pernikahan/perkawinan meliputi proses sebagai berikut:

usaha memperoleh pasangan, tatacara melamar/meminang,

kewajiban dan sangsi perjanjian, pelaksanaan aqad nikah, tempat

aqad nikah, waktu aqad nikah, acara sesudah nikah, peresmian

pernikahan.

2. Penataan tempat acara pernikahan yakni: hiasan rumah, hiasan

pelaminan, hiasan kamar pengantin, hiasan lokasi pesta.

3. Kesenian sebagai berikut: kesenian menjelang pernikahan (malam

baine dan malam Basikambang), kesenian pada hari peresmian

(mangarak Marapule, masuk rumah, basanding - hiburan umum)

4. Prosesi mengatur kehadiran mempelai laki-laki menghadiri aqad

nikah, mengatur acara mengarak Marapule (pengantin laki-laki)

serta prosesi mempelai laki-laki memasuki kamar.

5. Pakaian adat meliputi: pakaian kebesaran yang dipergunakan oleh

mempelai laki laki (Marapule), pakaian yang dikenakan oleh pihak

perempuan (Adak daro), waktu yang tepat untuk mengenakan baju

kebesaran adat.

6. Perlengkapan sebagai berikut: tempat sirih yang digunakan saat

meminang, tempat mahar pernikahan, tempat upah-upah dan

tepung tawar.

7. Malam barinai meliputi: sunting gadang, sunting ketek, payung

kebesaran (payung kuning dan payung tabukka), bendera, kain

sampe, tombak baurai, pedang, musik sikambang.

Universitas Sumatera Utara


34

Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda

kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan

atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara

perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat.

Begitu halnya dengan masyarakat etnis Sibolga yang memiliki adat perkawinan

yang khas yang disebut dengan adat sumando merupakan aturan (perbuatan dan

sebagainya) yang lazim menurut keputusan adat pada masyarakat pesisir Sibolga

Tapanuli Tengah.

2.1.3.2 Fase Baralek Gadang Pada Pernikahan Adat Sumando Masyarakat


Pesisir Sibolga

Pasaribu (2011:7-9) mengatakan bahwa dalam setiap adat pernikahan pasti

ada beberapa rangkaian acara adat yang harus dilewati. Begitu halnya dengan adat

Pernikahan etnis masyarakat pesisir Sibolga memiliki berbagai tatacara yang

meliputi rangkaian prosesi kegiatan sebagai berikut:

1. Marisik.
Marisik adalah satu kegiatan pihak keluarga laki-laki untuk
menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri anak laki-
lakinya. Marisik ini biasanya dilakukan dengan santai, biasanya
dilakukan pihak laki-laki yang diperantarai oleh seorang yang
disebut dengan Talangke
2. Maminang.
Maminang adalah merupakan rangkaian dimana pihak laki-laki akan
menayakan berapa mahar atau bantuan yang akan diserahkan kepada
calon istri dan sekaligus menentukan kapan akan diantarkan.
3. Batunangan/Manganta kepeng (mengantar uang mahar atau bantuan
kepada pihak perempuan)

Universitas Sumatera Utara


35

- Menentukan hari (proses menentukan waktu akan


dilaksanakannya akad nikah)
- Acara keberangkatan (proses dimana pihak laki-laki akan
bergerak menuju rumah pihak perempuan dengan membawa
uang mahar yang dimasukkan ke dalam kampi. Uang mahar
tersebut dibawa oleh seorang ibu-ibu dengan cara menggendong.
- Acara penyambutan di rumah Perempuan. (pihak perempuan
akan menyambut pihak laki-laki dengan menaburkan beras
kunyit kepada semua rombongan
- Acara kepala desa dan tokoh adat. (kegiatan setelah kedua belah
pihak duduk bersama, maka pihak kepala desa yang selanjutnya
akan memandu acara didampingi oleh kepala adat)
- Penetapan sangsi (kepala desa dan tokoh adat akan menetapkan
sangsi kepada kedua belah pihak yang ingkar setelah ada
kesepakatan bersama)
- Acara pengambilan hari (prosisi ini dilakukan dengan cara
memotong kambing serta diadakan kenduri dengan mengundang
kaum kerabat terdekat, tokoh masyarakat dan kepala desa)
4. Acara pernikahan. (setelah semua rampung maka selanjutnya akan
diadakan acara pernikahan yang memiliki rangkaian yakni persiapan
di tempat kedua belah pihak)
- Pemberangkatan marapule (sebelum keberangkatan maka
terlebih dahulu semua rombongan diberi maka nasi tuei. Pada
saat keberangkatan rombongan akan diiringi atau diarak oleh
pasukan gelombang XII. Rombongan juga akan dihibur dengan
kesenian sikambang yang dipandu oleh seorang anak alek)
- Upacara akad nikah (setelah pihak pengantin laki-laki sampai di
rumah pihak perempuan maka selanjutnya akan diadakan acara
akad nikah yang dipimpin oleh tuan kadi, dan disaksikan oleh
dua orang saksi)
- Jamuan makan bersama (dilaksanakan setelah selesai akad
nikah)

Universitas Sumatera Utara


36

- Tata cara makan beradat (pada prosesi ini yang berhak untuk
ikut diutamakan orang yang sudah berkeluarga. Orang yang
biasanya jadi penghidang atau sering disebut janang harus
mengerti tatacara menghidang, serta tempat duduk harus
disesuaikan dengan adat yang berlaku)
- Resepsi pernikahan (dilaksanakan di rumah perempuan dengan
diiringi kesenian sikambang, dan dilanjutkan sampai malam
dimulai setelah shalat Isya dengan tujuan agar seluruh warga
dapat menikmatinya)
5. Acara balik hari (kegiatan ini dilaksanakan setelah selesai seluruh
rangkaian upacara adat, atau bisa dikatakan keesokan harinya
dengan membawa makanan ke rumah orang tua laki-laki)

2.1.4 Falsafah Masyarakat Pesisir Sibolga

Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat

sehingga dijadikan pedoman dalam mengatur berjalannya tatanan adat istiadat.

Masyarakat etnis Sibolga memiliki falsafah hidup “adat basandi sarak dan sarak

basandi kitabullah artinya bahwa penduduk masyarakat Sibolga sangat

menghargai adat sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota Sibolga dan

semua itu diatur oleh norma-norma agama “Kitab Suci Al-qur‟an”. (Hasil

wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)

Hal tersebut menjadi falsafah hidup masyarakat kota Sibolga. Dimana

falsafah tersebut meliputi (langkah, rejeki, pertemuan, maut) (silap, salah, lupo,

lale) (angin, tanah, air, api) kesemuanya ini telah menjadi bahagian dalam hidup

masyarakat pesisir Sibolga yang tidak bisa dilanggar. Suatu aturan-aturan yang

dipatuhi dan dianggap memiliki kekuatan batin yang merupakan jiwa yang sudah

mendarah daging bagi masyarakat adat.

Universitas Sumatera Utara


37

Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut tidak tertulis tetapi sudah menyatu

dan menjadi ketentuan yang mengikat batin diantara masyarakat. Makna yang

terkandung pada falsafah itu yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai-

nilai luhur sebagai pandangan hidup dalam dirinya (wawancara dengan bapak

Fahrudin Sinaga bulan Desember 2012)

2.2 Landasan Teori

Bagian ini menjelaskan secara detail kerangka teori yang digunakan pada

penelitian ini. Pada penelitian ini peneliti menggunakan kerangka teori linguistik

Sistemik Fungsional (LSF) yang di populerkan oleh Halliday, meliputi fungsi dan

penggunaan bahasa. Fungsi dan penggunaan bahasa itu meliputi bahasa sebagai

sistem, bahasa adalah fungsional, fungsi bahasa adalah membuat makna, bahasa

adalah sistem semiotik sosial dan penggunaan bahasa adalah kontekstual. Namun

pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada bahasa sebagai sistem semiotik

sosial, yang meliputi makna ideasional, interpersonal dan tekstual. Ketiga jenis

makna ini dikenal sebagai metafungsi bahasa (Sinar, 2010:21)

2.2.1 Pendekatan Semiotik Sosial

Landasan berpijak teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LSF yang

dikemukakan oleh Halliday. Menurut teori LSF, linguistik berperan dalam

menganalisis teks dengan tujuan untuk membedakan makna dalam konteks

paradigma dan makna dalam konteks sistemika (Halliday, 1985:xxviii). Konteks

paradigm berfungsi sebagai system, sementara konteks sistematika dikenal dengan

Universitas Sumatera Utara


38

struktur bahasa. Manusia dapat mengenterpretasikan hubungan secara paradigma

dengan sistem.

Teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang perkenalkan oleh

Halliday tahun 70-an dikenal dengan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional).

Teori LSF oleh M.A.K. Halliday memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem

lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut.

Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui

sitem linguistik. Sementara sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu

sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial oleh (Sinar, 2010:28)

Selanjutnya menurut Sinar (2010:17) TLFS juga menjelaskan bahasa terdiri

atas tiga strata yakni, strata fonologi yang membicarakan bunyi bahasa,

leksikogramatika yang membicarakan konstruksi pembentukan klausa, dan

semantik yang menyangkut penyatuan klausa menjadi wacana yang bermakna.

Pada penelitian ini peneliti menfokuskan pada kontekstual pendekatan LSF

menganut pandangan bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial, dimana

keberhasilan menganalisis wacana atau teks tergantung kepada konteks sosial

yang dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya dan ideologi. Sistem

semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik.

Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi

dari semiotik sosial.

Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan

lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti tersebut dipelajari melalui

interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut

(Sinar, 2011:21). Dari keterangan di atas maka setiap manusia atau individu

Universitas Sumatera Utara


39

selalu melakukan interaksi satu sama dalam kehidupannya lain, dan apa yang

dihasilkan itu akan memberikan makna tersendiri.

Menurut Sinar (2010:83-84) konteks ideologi adalah pemahaman atau

kepercayaan, nilai yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat. Ideologi

juga menjadi konsep sosial yang menentukan nilai yang terdapat dalam

masyarakat. Ideologi muncul karena ada masyarakat yang mendominasi dalam

arti positif. Kemudian terjalin hubungan bahasa dengan masyarakat dan penguasa.

Kekuasaan dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek

sehingga masyarakat meyakini pandangan tersebut menjadi suatu kebenaran.

Konteks situasi menurut Sinar (2010:56) yaitu dimensi berkaitan dengan

hubungan antara orang yang berinteraksi tersebut dengan pelibat (tenor), yang

terkait dengan aktivitas sosial mereka disebut dengan medan (field) dan yang

berhubungan dengan peran dan fungsi bahasa dikenal dengan sarana (mode).

Untuk membangun pemahaman yang kongkrit dari sebuah teks maka harus

melibatkan banyak komponen yaitu apa yang sedang dibicarakan atau sering

disebut medan. Kemudian siapa yang menyampaikan teks tersebut atau sering

disebut dengan pelibat, dan bagaimana teks itu dilakukan atau sering kita sebut

dengan istilah sarana.

Konteks budaya yaitu suatu proses sosial yang bertahap dan beriorentasi

pada tujuan, dan dalam masyarakat sering dijumpai interaksi sosial berbahasa.

konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena anggota

dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks

yang disampaikan dapat dimengerti. Selanjunya dikatakan bahwa genre adalah

Universitas Sumatera Utara


40

budaya di dalam tahapan berbahasa, yang digunakan oleh sekelompok masyarakat

(Sinar, 2010:65))

Konsep bahasa sebagai semiotik sosial merupakan wujud dalam

masyarakat itu sendiri sebagai hasil interaksi antara manusia dengan alam

semesta. Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak langsung berhubungan

dengan alam melainkan bahasa dikelola dengan akal budinya manusia sebagai

perantara sebelum masuk ke dalam bahasa.

Halliday (1978:108) mengatakan bahasa adalah semiotik sosial dengan

pengertian bahwa petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat

pemakai bahasa. Makna atau arti yang dibuat dalam bahasa merupakan

kesepakatan atau konvensi antar manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian

juga realisasi „arti‟ ke dalam penanda ditentukan oleh aturan masyarakat. Dengan

kata lain petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai

bahasa melalui evolusi bahasa, budaya dan peradaban manusia. Nilai atau hikmah

dalam budaya manusia telah menyatu dengan bahasa. Hal ini menegaskan dan

menguatkan bahwa bahasa adalah semiotik sosial.

Pada prinsipnya masyarakat diatur oleh berbagai sistem, salah satunya

semiotik sebagai teori tentang tanda, maka masyarakat dapat dikatakan berdimesi

semiotik. Masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur oleh

tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda sehingga dengan

demikian terdapat kelompok semiotik (semiotik group) dalam masyarakat,

misalnya kelompok pedagang yang diatur oleh tanda-tanda tertentu yang berlaku

dalam kelompok mereka sendiri dan secara bersama-sama dengan kelompok lain

membentuk sosial semiotik. Greimas (dalam Pateda, 2001:31)

Universitas Sumatera Utara


41

2.2.1.1 Semiotik Sosial

Menurut Halliday (1978:108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial.

Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa

dengan unsur konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan

konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan

merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa

atau teks terbentuk juga merupakan semiotik.

Kress dan Van Leeuwen (1996:5) menyatakan bahwa ada tiga aliran besar

semiotik yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain

nonlinguistik sebagai sarana komunikasi. Salah satu diantara teori itu adalah

semiotik sosial (social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday (1978).

Secara umum bahasa sebagai semiotik sosial menurut Halliday (1978:108)

terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu: teks, situasi, register, kode, sistem

linguistik (meliputi sistem semantik, dan struktur sosial). Namun pada penelitian

ini peneliti hanya mengambil beberapa elemen penting yang dianggap

berhubungan dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial. Dibawah ini

dapat kita lihat gambar struktur bahasa sebagai semiotik sosial yang digunakan

oleh peneliti dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial setelah

disederhanakan dari skematik yang dibuat oleh Halliday (1978:108), dan

disesuaikan dengan kerangka berpikir peneliti dalam meneliti bahasa sebagai

semitoik sosial.

Universitas Sumatera Utara


42

Bahasa Sebagai Sistem Semiotik Sosial

T E K S BG

Konteks Sosial Konteks Bahasa

Konteks Situasi Konteks Budaya Makna Interpersonal

Subjek/Predikator/
Sarana Keterangan
Medan Pelibat

Kearifan Lokal

Figura2: Representasi skematis bahasa sebagai semiotik sosial


dalam Baralek gadang

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan masing-masing elemen sesuai

dengan peran masing-masing sebagai berikut:

konsep teks adalah semua kegiatan yang sifatnya linguistik atau

kebahasaan baik bentuk ujaran maupun tulisan, dalam konteks operasional dapat

dibedakan berdasarkan konteks situasi seperti yang terdapat dalam kamus. Teks

merupakan bagian paling penting dari proses semantik. Itu berarti dapat dikatakan

bahwa teks dapat merupakan pilihan pada waktu yang bersamaan, dengan kata

lain teks dapat didefinisikan sebagai perwujudan dari maksud atau arti apa yang

dimaksud.

Konteks sosial merupakan peran masyarakat dalam melakukan interaksi

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini akan dijelaskan keterkaitan

Universitas Sumatera Utara


43

konteks sosial dengan konteks situasi. Di mana konsep teks yang disampaikan itu

berupa teks lisan yang mana setiap kata atau kalimat yang disampaikan

mengandung makna tersendiri. Dari konteks sosial maka akan muncul pemaknaan

terhadap teks berdasarkan kepada konteks situasi dan konteks budaya.

Konteks Situasi adalah lingkungan yang mana di dalamnya ada teks yang

berperan terhadap hidup. Ini merupakan konsep yang telah ditetapkan dalam

linguistik. Konteks situasi tidak hanya diinterpretasikan dalam istilah kongkrit

sebagai sebuah laporan singkat tentang audiovisual melainkan lebih jauh lagi,

sebuah representasi dari lingkungan tertentu memiliki hubungan yang relevan

dengan teks. Konteks sosial merupakan salah satu jenis situasi (situation type).

Struktur semiotik yang merupakan sebuah jenis situasi mempunyau tiga dimensi,

yaitu aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity, peran

hubungan (the role relationship involved), dan sarana simbolik atau retorik (the

symbolic) yang merujuk pada medan (Field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).

Sementara Sinar (2010:24) mengatakan dalam kontek situasi terdapat tiga

variable sebagai penentu faktor siatuasi yakni; 1) Medan, 2) sarana dan 3) pelibat.

Medan yakni membicarakan kegiatan berinteraksi yang mempunyai dua dimensi

yakni apa yang dibicarakan dan untuk apa dibicarakan, pelibat merujuk kepada

siapa yang dibicarakan atau siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan

sarana adalah bagaimana pembicaraan itu dilakukan.

Konteks budaya merupakan bagian penting dari setiap interaksi, di mana

konteks budaya akan memberikan pemahaman yang kongkrit kepada masing-

masing individu terhadap apa yang sedang dilakukan mulai dari awal sampai

kepada akhir kegiatan. Konteks budaya merupakan rangkaian kegiatan yang harus

Universitas Sumatera Utara


44

dilalui karena dianggap merupakan syarat untuk mencapai kesempurnaan acara.

Dari kedua konteks di atas maka akan memunculkan nilai-nilai kearifan lokal

yang merupakan kekayaan budaya lokal.

Kearifan lokal Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal

adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future

“mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”.

Dengan kata lain kearifan lokal adalah merupakan nilai-nilai budaya yang

terkandung pada suatu situasi baik itu konteks sosial, konteks situasi dan konteks

budaya.

Sementara Halliday (dalam Handayani, 2012:35) mengatakan bahwa

terdapat tiga hal penting sistem komunikasi bahasa yaitu ideasional

merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan diluar khususnya

sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu mempresentasikan objek dan

hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi

interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima

tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda

yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.

Struktur sosial (social structure) terdiri dari tiga tingakatan, yang pertama

yaitu menggambarkan dan memberi arti terhadap berbagai jenis dari kontek sosial,

dimana arti senantiasa dapat berubah. Perbedaan kelompok sosial dan jejaring

komunikasi juga sangat menentukan, atau sering disebut dengan Tenor (pelibat)

dimana pelibat adalah realisasi fungsi antarpersona. Kedua, status dan peran

hubungan dalam sebuah situasi adalah jelas merupakan hasil dari struktur sosial.

Universitas Sumatera Utara


45

Menurut Halliday (1978:108) yang pertama adalah bahasa sebagai

semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode)

representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Dalam pandangannya

Halliday berpendapat bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Dalam

komunikasi berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif

itu masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian,

makna akan selalu bersifat ganda. Teks tertanam dalam konteks situasi, sebuah

contoh dari jenis konteks atau situasi umum sosial, struktur semiotik. Hal ini

mengandaikan interpretasi dari sistem sosial sebagai semiotik sosial, dimana

sistem makna mendapat tempatnya dalam realitas budaya.

Formulasi “bahasa sebagai semiotik sosial” berarti menafsirkan bahasa

dalam kontes sosiokultural tempat kebudayaan itu sendiri ditafsirkan dalam

terminologi semiotik sebagai sebuah sistem informasi. Dengan kata lain bahasa

sebagi semiotik sosial berkembang dalam akar kebudayaan atau penafsiran

budaya setempat. Inkulturasi penafsiran semiotik berperan penting dalam hal ini

sesuai dengan kebudayaan tempat bahasa itu berkembang sebagai semiotik sosial.

Dalam level yang amat konkret, bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni

pertukaran makna (exchang of meaning) dalam konteks interpersonal. Bahasa

pada hakitanya mengkaji teks atau wacana.

Menurut Halliday (1978:108) bahasa sebaga semiotik sosial. Hal ini

berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan representasi dunia yang

dikontruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks

sosial bahasa yakni fungsi sosial yang menentukan bahasa dan bagaimana

perkembangannya. Selanjutnya Halliday (1978) berpendapat bahwa sebagai

Universitas Sumatera Utara


46

semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat

kebudayaan itu sendiri di tafsirkan dalam terminologi semiotik sebagai sebuah

sistem informasi.

Menurut Lecouven yang dikutip oleh Awang Dharmawan, (dalam forum

nadzhab Djaung, 27 Januari 2011) menjelaskan ada empat demensi utama dalam

mengembangkan semiotika sosial yaitu:

1. Discurse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan

bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk

membangun representasi dan kehadiran.

2. Genre yaitu berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik

untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan

dengan representasi, baik dalam percakapan ataupun unsur

komunikasi lain yang memisahkan waktu dan jarak.

3. Style, bersangkaut paut dan berhubungan secara langsung dengan

gaya hidup individu yang dipertontonkan dalam aktivitas

komunikasi, yang secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan

identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.

4. Modality yaitu bagian yang mempelajari penggunaan-

penggunaan semiotik untuk menciptakan atau

mengkomunikasikan kebenaran atau nilai-nilai relitas dari

represntasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi,

membuktikan kebenaran atau dugaan, dll.

2.2.2 Metafungsi Bahasa

Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga

Universitas Sumatera Utara


47

fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual.

Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan

dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal

mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara

penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual

mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan cara penciptaan teks

dalam konteks (Matthiessen, 1992:6; Halliday dan Martin, 1993:29).

Pada setiap interaksi Halliday dan Martin (1993:30) menjelaskan bahwa

antara pemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar,

mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga

fungsi bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994:3) sekaligus

disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan,

dan merangkai pengalaman yang secara teknis masing-masing disebut ideasional,

antarpersona, dan tekstual.

Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi bahasa dalam pemakaian

bahasa oleh penutur bahasa. Setiap interaksi antara pemakai bahasa penutur

menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan, dan merangkai atau

mengorganisasikan pengalaman, direalisasikankan dalam satu klausa yang memiliki

tiga unsur yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Dengan ketiga fungsi bahasa

dalam kehidupan manusia, bahasa sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi

yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual (Halliday, 1994: xiii,

Eggins, 1994:3 dalam Saragih, 2006: 3-4, Sinar, 2002). Di samping itu bahasa

dilengkapi dengan tiga konteks yaitu konteks situasi, konteks budaya (genre), dan

ideologi (Martin, 1992: 494).

Fungsi ideasional (ideational function) berkaitan dengan pengalaman.

Universitas Sumatera Utara


48

Fungsi ideasional terdiri dari fungsi eksperensial (experential function) dan fungsi

logis (logical function). Fungsi eksperensial menggambarkan pengalaman

sedangkan fungsi logis menghubungkan pengalaman. Fungsi interpersonal atau

antar persona merupakan fungsi bahasa yang merepresentasikan interaksi antar

pelibat.

Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa sebagai pembentuk pesan yang

menghubungkan fungsi ideasional dan fungsi antarpersona menjadi suatu teks.

Fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual disebut juga makna

ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual (Sinar, 2003:20). Hal ini

dikatakan demikian karena fungsi merujuk kepada makna, karena setiap kata yang

berfungsi memiliki makna. Demikian sebaliknya, setiap kata yang bermakna

memiliki fungsi.

(1) Fungsi Ideasional

Setiap teks mengandung sekaligus tiga fungsi yang dapat dianalisis, yaitu

fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual (Halliday, 1994: xiii,

Matthiessen, 1992:5), Enggins, 1994: 198-219, Saragih, 1995: 13-14). Ketiga

fungsi tersebut merupakan realisasi bentuk fungsi bahasa dalam penggunaan

(language in use).

Makna ideasional adalah fungsi bahasa sebagai representasi pengalaman.

Komponen ideasional merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai pengamat

(Halliday, 1978:112). Hal ini merupakan fungsi isi bahasa atau bahasa sebagai

about something. Komponen ini menginformasikan bahwa melalui bahasa seorang

penutur menyandikan atau mengkodekan pengalaman kulturalnya dan

pengalaman individu sebagai anggota budaya tertentu. Dalam komponen

Universitas Sumatera Utara


49

ideasional, bahasa memiliki fungsi representasi. Bahasa digunakan untuk

mengkodekan (encoding) pengalaman manusia tentang dunia. Bahasa digunakan

untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia.

Fungsi ideasional berhubungan dengan bagaimana bahasa mengungkapkan

pengalaman manusia yang berkaitan dengan orang, tempat, benda-benda dan

aktivitas yang mewujudkan lingkungan fisik dan psikologis manusia. Makna

ideasional diwujudkan dalam bahasa melalui tata bahasa sistem transitif. Unsur

pokok sistem transitif adalah proses kejadian (atau segala sesuatu yang terjadi),

partisipan (orang, tempat atau benda yang terlibat di dalam proses) dan suasana

kejadian (tempat, waktu, cara, penyebab dan sebagainya) yang terkait dengan

proses itu.

Fungsi ideasional manurut Halliday (1994:106) merupakan bagian bahasa

sebagai ekspresi pengalaman baik yang ada di dunia luar sekitar diri kita maupun

yang ada di dalam dunia kesadaran kita sendiri. Halliday (1992:30) menyatakan

bahwa “the grammar of language is a theory of experience”. Dengan demikian,

makna ideasional merupakan representasi pesan dari teks tersebut.

Satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa terdiri

atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant), dan sirkumstan

(circumstance). Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi

dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja

atau verba. Partisipan dibatasi sebagai orang atau benda yang terlibat dalam

proses tersebut. Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan

partisipan terjadi (Halliday, 1994). Inti dari satu pengalaman adalah proses.

Dikatakan demikian karena proses menentukan jumlah dan kategori partisipan

Universitas Sumatera Utara


50

(Halliday, 1994; Martin, 1992). Proses juga menentukan sirkumstan secara tidak

langsung dengan tingkat probabilitas; misalnya proses material dan mental

masing-masing lebih sering muncul dengan sirkumstan lokasi dan cara.

(2) Fungsi Interpersonal

Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap

pengalaman dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, fungsi interpersonal

merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa untuk saling bertukar

pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman

(experential meaning) (Saragih, 2006:56).

Fungsi interpersonal membentuk hubungan sosial, termasuk penafsiran

probabilitas oleh penutur serta relevansi pesan. Fungsi interpersonal ini

merepresentasikan potensi makna penutur sebagai pelibat dalam proses interaksi

atau sebagai pembicara dan pendengar atau antara penulis dengan pembaca. Pada

tingkat interpretasi gramatika fungsi klausa diinterpretasikan bahwa klausa

dibentuk dari interaksi dalam suatu kejadian yang melibatkan penutur atau penulis

dan pendengar atau pembaca.

Halliday (1985: 68-69) mengilustrasikan ketika dua orang menggunakan

bahasa untuk berinteraksi, satu hal yang mereka perbuat adalah melakukan suatu

hubungan antara mereka. Dalam hal ini, penutur bahasa atau fungsi wicara

menciptakan dua tipe peran atau fungsi wicara yang sangat fundamental atau

fungsi memberi atau meminta.

Bahasa sebagai fungsi interpersonal memiliki empat aksi yang disebut

sebagai protoaksi karena merupakan aksi awal yang selanjutnya dapat diturunkan

aksi lain. Keempat aksi tersebut adalah aksi pernyataan, pertanyaan, tawaran,

Universitas Sumatera Utara


51

dan perintah. Istilah ini mengacu kepada dan setara dengan konsep speech

function (Halliday, 1994) dan tindak ujar (speech act) yang biasa digunakan

dalam tatabahasa formal.

Ada perbedaan pendapat di antara pakar LSF mengenai protoaksi dalam

pemakaian bahasa. Halliday (1994) berpendapat protoaksi adalah keempat aksi

awal, aksi lain merupakan aksi turunan karena aksi itu diturunkan dari keempat

aksi awal. Dari aksi awal (protoaksi) dapat diturunkan empat aksi jawab

(tanggapan). Dari keempat aksi jawab dapat diturunkan empat aksi jawab

positif, dan empat aksi jawab negatif. Dari berbagai aksi lain dapat diturunkan

berbagai kombinasi antara aksi yang sudah ada sehingga jumlah aksi yang dapat

diturunkan tidak terhingga.

Sementara Martin (1992:46) berpendapat lain, aksi dasar ada empat belas

yang terdiri atas empat aksi awal, empat aksi jawab, tiga nirklausa (bukan

klausa) yaitu panggil (call), salam (great), dan seruan (exclamation), dan tiga

aksi jawab terhadap nirklausa, yaitu jawab terhadap panggilan, jawab terhadap

salam, dan jawab terhadap seruan. Dari keempat belas aksi dasar ini dapat

dikatakan terdiri atas tujuh aksi awal, yakni pernyataan, pertanyaan, tawaran,

perintah, panggilan, salam dan seruan. Serta tujuh aksi jawab sebagai tanggapan

terhadap ketujuh aksi tersebut.

Aksi ditentukan oleh konteks sosial. Hubungan antara aksi pada strata arti

(semantik) dan realisasinya pada strata tata bahasa (lexcicogrammer) bersifat

probabilitas (Saragih, 2006:69). Dalam konteks bahasa Indonesia ketika seseorang

bertemu dengan teman akrabnya, dia dapat menyapa teman akrabnya dengan

mengatakan bagaimana khabarnya? ngapain disini? Kedua klausa ini (eliptikal

Universitas Sumatera Utara


52

dapat digunakan untuk merealisasikan salam walaupun modusnya introgatif. Satu

modus dapat memiliki arti lebih dari satu. Hal ini disebabkan oleh konteks

sosialnya.

Dalam kajian bahasa terdapat keteraturan dalam merealisasikan atau

mengkodekan pengalaman ke dalam pengalaman atau bentuk linguistik yang

kemudian menjadi kebiasaan dalam menganalisis fenomena bahasa. Sebagai

contoh, pengalaman mental biasanya dinyatakan dengan proses mental. Kebiasaan

pemakaian bentuk linguistik seperti itu disebut realisasi yang umum atau lazim

(unmarked). Akan tetapi, di dalam berbagai situasi sering terjadi satu pengalaman

tidak direalisasikan oleh bentuk linguistik yang lazim. Perealisasian pengalaman

dengan bentuk yang tidak umum itu membuat „rasa bahasa‟ memberi sesuatu yang

tidak lazim (bertanda) (Saragih, 2006). Realisasi pengalaman linguistik dengan

penanda (marked) oleh rasa bahasa atau pengodean yang tidak lazim seperti itu

disebut pengalaman metafora (metaphoric representation atau gramatikal

metapora).

(3) Fungsi Tekstual

Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya

sebagai pesan, yaitu berfungsi sebagai pembentuk teks dalam bahasa. Hal ini

diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik kepada bahasa itu sendiri. Dalam

arti bahasa berhubungkait dengan aspek situasional di mana bahasa (teks)

tertanam di dalamnya. Dengan penggunaan ini bahasa berfungsi untuk merangkai

pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan: satu (unit)

pengalaman (dalam experiential meaning dan interpersonal meaning) relevan

dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya.

Universitas Sumatera Utara


53

Makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema (rheme).

Kajian tema muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi untuk

menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini

menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan

dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual.

Tema adalah titik awal dari satu pesan yang terealisasi dalam klausa. Tema

dinyatakan dengan unsur pertama klausa. Unsur klausa sesudah tema disebut

rema (Saragih, 2007:8).

Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun

sirkumstan berbentuk kata, frase maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur

dalam klausa yang berpotensi menjadi tema maka unsur tersebut disebut tema

sederhana dan dilabeli dengan nama ‚tema‟, sedangkan jika di dalam sebuah

klausa terdapat lebih dari satu unsur yang berpotensi menjadi tema maka

dikatakan tema tersebut sebagai tema kompleks.

Menurut Saragih (2006: 112-114) tema kompleks merupakan “komponen

metafungsi terhadap tema sebagai berikut.

(1) Tema tekstual; klausa sebagai pesan (message) – penerus atau konjungtif

menghubungkan klausa dengan klausa sebelumnya di dalam teks

(2) Tema antarpersona; klausa sebagai pertukaran (exchange) – modal aspek

mengindikasikan peran perpindahan dalam pertukaran.

(3) Tema topikal; klausa sebagai representasi (representation) – unsur

representasi (partisipan, sirkumstan atau proses).

Universitas Sumatera Utara


54

2.2.3 Konteks Situasi

Konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada.

Konteks situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan

memahami wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya

(Eggins, 1994:45-50). Sebagai kerangka untuk membuat wacana, konteks situasi

itu merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung terlibat dalam isi

wacana itu sendiri. Dengan kata lain, konteks situasi juga menjadi bagian dari isi

wacana tersebut meskipun tidak dapat dilihat secara konkret. Realisasi

keterlibatan konteks situasi dalam wacana adalah dalam bentuk pemunculan pola-

pola realisasi di tingkat bahasa.

Situasi merupakan lingkungan tempat teks. Konteks situasi adalah

keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan

tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Sesuatu pemerian yang

lengkap perlu diberikan perian tentang latar belakang budayanya secara

keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya

secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi.

Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap

konteks situasi dan konteks budayanya. Konteks budaya menentukan apa yang

dapat dimaknai melalui (i) wujud „siapa penutur itu‟, (ii) tindakan „apa yang

penutur lakukan‟, dan (iii) ucapan „apa yang penutur ucapkan‟. Dalam pandangan

Halliday (1978:110) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan

wacana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) sarana atau modus wacana.

Universitas Sumatera Utara


55

(1) Medan Wacana

Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk

kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-

satuan bahasa itu muncul. Dalam menganalisis medan wacana terdapat tiga hal

yang perlu diungkap; ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka

panjang.

Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan

apa yang terjadi dengan seluruh “proses”, “partisipan”, dan “keadaan”. Field,

bidang, atau isi, apa yang dibicarakan direpresentasikan pada makna pengalaman

yang direalisasikan dalam klausa yang terdiri dari tiga unsur berupa; proses,

partisipan, dan sirkumstan.

Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai.

Tujuan ini bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat

teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan ini bersifat lebih

abstrak.

Martin (1992: 292) memperluas jangkauan medan ini dengan

mendefinisikannya sebagai serangkaian kegiatan yang diorientasikan pada tujuan-

tujuan institusional global. Dalam hal ini termasuk, misalnya linguistik, memasak,

balap mobil, filsafat, politik, agama dan lain-lain. Untuk mengembangkan ini,

Martin memasukkan dimensi taksonomi, kongambarsi, dan rangkaian

kegiatan/aktivitas. Argumentasinya adalah hubungan leksikal unsur-unsur yang

ada dan struktur taksonomi semestinya memberikan warna selama keduanya

bersama-sama menentukan sebuah teks. Oleh karena itu medan diuraikan lagi ke

dalam tiga bagian yaitu (i) taksonomi aksi, orang, tempat, benda, dan kualitas; (ii)

Universitas Sumatera Utara


56

kongambarsi aksi dengan orang, tempat, benda, dan kualitas, dan kongambarsi

orang, tempat, dan benda dengan kualitas; dan (iii) rangkaian kegiatan dari

kongambarsi yang tersebut di atas.

(2) Pelibat Wacana

Halliday (1985:12) menyatakan bahwa pelibat merupakan peran struktur

yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di

antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di

dalamnya.

Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk

pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya

dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal

yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula

permanen. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat.

Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan

orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan

partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak.

Pelibat (tenor) atau siapa, yang direpresentasikan pada makna

antarpersona yang menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman

dalam interaksi sosial, dengan kata lain makna antarpersona merupakan aksi yang

dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang

terpresentasi dalam makna pengalaman. Makna antarpersona mempresentasikan

modalitas (modality) yang bersama dengan aksi direalisasikan dalam modus

Universitas Sumatera Utara


57

(Modus). Dan „cara‟ (mode), bagaimana pembicaraan itu dilakukan kemudian

direpresentasikan dalam makna tekstual yang berupa tema (theme) dan rema

(rheme).

(3) Sarana Wacana

Menurut Martin (1992:508) sarana berkaitan dengan peran bahasa dalam

memerankan dan merealisasikan kegiatan sosial. Dalam register, sarana

merupakan proyeksi makna tekstual dan oleh karenanya direalisasikan terutama

sekali melalui metafungsi tekstual dalam bahasa. Sarana atau modus wacana

(mode of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada bagian bahasa yang

sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau

tulisan. Untuk menganalisis modus paling tidak ada lima hal yang diungkap;

peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran dan modus retoris.

Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas; bisa saja

bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib

terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi

apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah

pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan:

lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat

diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada “perasaan” teks

secara keseluruhan: persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


58

2.3 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan ternyata penelitian tentang tradisi

kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando dan kajian

tentang nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan baralek gadang pada upacara

perkawinan adat sumando pesisir Sibolga belum pernah diteliti. Akan tetapi

banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dikatakan

relevan karena masing-masing penelitian membahas tentang kajian tradisi lisan

baik itu makna, ragam bahasa, maupun leksikon yang digunakan dalam proses

pernikahan. Oleh karena ada persamaan kajian penelitian dengan penelitian

terdahulu, yang membedakannya adalah daerah tempat penelitian. Maka di bawah

ini dijelaskan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan upacara perkawinan

adat adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Amri (2011) yang berjudul Tradisi lisan

Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di

Padang Sidempuan, hasil dari penelitian ini adalah bahwa sampai sekarang ini

masyarakat Sidempuan masih tetap melaksanakan adat istiadat tersebut, namun

ada sedikit pergeseran diakibatkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah

faktor finansial dan efektifitas waktu. Ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat

Sidempuan dalam menyelenggarakan pesta pernikahan yang dulunya bisa sampai

memakan waktu sampai tujuh hari dan sekarang cenderung hanya satu hari.

Kesemuanya itu dipengaruhi oleh faktor diatas.

Selanjut dari hasil penelitian ini dijelaskan bahwa pada masyarakat

Sidempuan khususnya remaja sekarang ini sudah sangat jarang yang mau belajar

dan bertanya tentang adat istiadat, salah satunya yaitu adat perkawinan. Akibatnya

Universitas Sumatera Utara


59

banyak kosa kata yang sekarang tidak lagi digunakan para remaja dikarenakan

para remaja tidak memahi maksud dari diselenggarakannya proses tersebut.

Karena hal diatas maka para remaja juga tidak pahan akan makna yang

terkandung di setiap tahapan-tahapan prosesi pernikahan adat Sidempuan tersebut.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herlina (2007)

dengan judul penelitian Makna Antar Persona Dalam Teks Upacara Perkawinan

Pada Masyarakat Karo. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan penelitiannya

pada makna antar persona pada perkawinan masyarakat Karo dengan

menggunakan teori LFS.

Penelitian Tumanggor (2011) yang bertajuk Ragam Bahasa Dalam Upacara

Adat Perkawinan Masyarakat Pakpak. kajian utama dari penelitian ini adalah

ragam bahasa Pakpak dalam upacara adat perkawinan, meliputi pemilihan kata,

frasa, penggunaan ungkapan dan satuan estetis bahasa berupa umpama „pantun‟

dan kata sapaan pada upacara perkawinan. Dengan demikian ragam bahasa

Pakpak dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak adalah variasi

penggunaan bahasa yang melahirkan adanya corak pembedaan dalam ungkapan-

ungkapan kebahasaan.

Penelitian selanjutnya oleh Karo (2007) dengan judul penelitian Sirkumstan

Dalam Teks Perkawinan Masyarakat Karo. Penelitian ini difokuskan pada makna

teks ertembe-tembe pedalan emas dan mereken telah-telah pada upacara

perkawinan masayarakat Karo. Ertembe-tembe pedalan emas merupakan

musyawarah pihak laki-laki dan perempuan dalam hal penyerahan mas kawin, dan

semuanya itu dilakukan dalam bentuk dialog, yang diwakili perwakilan pihak

Universitas Sumatera Utara


60

laki-laki dan perempuan sementara mereken telah-telah adalah kata-kata nasehat

kepada pihak pengantin laki-laki dan perempuan.

Penelitian Sianipar (2002) yang berjudul Keterkaitan Antara Peran Penutur

dan Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Medan

suatu kajian Sosiolinguistik. Penelitian ini difoukuskan pada keterkaitan peran

penutur dari masing-masing komponen dengan variasi yang berlangsung dalam

kegiatan upacara adat perkawinan, khususnya masalah Sinamot, atau mahar.

Dengan kata lain pelaksanaan upacara adat jika diperhatikan secara seksama

memiliki perbedaan dalam pemilihan diksi yang di dalamnya termasuk kata, frasa,

ungkapan, penggunaan umpasa demikian juga dengan kata sapaan.

Selanjunya penelitian Henelia (2008) dengan judul penelitian „Prosodi

Pantun Melayu (dalam Acara Perkawinan Adat Melayu Deli‟). Dalam penelitian

ini peneliti khusus mengkaji prosedi pantun Melayu dalam acara perkawinan adat

Melayu Deli dan memiliki kesimpulan bahwa pada umumnya masyarakat Melayu

sering menggunakan pantun untuk mengutarakan pikirannya. Biasanya pada

masing-masing pantun terdiri dari unsur-unsur kalimat, di mana pada masing-

masing baris memiliki nama tersendiri dan mempunyai nada yang berbeda-beda

pada masing-masing bait dan baris. Dalam penelitian ini, berdasarkan pola pantun

dalam mengarak laki-laki pada upacara perkawinan adat Melayu memiliki

frekuensi yang sama antara tuturan frekuensi sampiran dengan tuturan frekuensi

isi. Sementara tuturan durasi isi untuk tuturan vokal lebih panjang pengucapannya

dari tuturan vokal pada durasi sampiran.

Adapun penelelitian yang relevan dengan teori semiotik sosial Halliday

adalah dua penelitian berikut.

Universitas Sumatera Utara


61

1. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herlina

(2007) dengan judul penelitian Makna Antar Persona Dalam Teks

Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Karo. Pada penelitian ini

peneliti memfokuskan penelitiannya pada makna antar persona pada

perkawinan masyarakat Karo dengan menggunakan teori LFS.

2. Penelitian selanjutnya oleh Karo (2007) dengan judul penelitian

Sirkumstan Dalam Teks Perkawinan Masyarakat Karo. Penelitian ini

difokuskan pada makna teks ertembe-tembe pedalan emas dan mereken

telah-telah pada upacara perkawinan masayarakat Karo. Ertembe-tembe

pedalan emas merupakan musyawarah pihak laki-laki dan perempuan

dalam hal penyerahan mas kawin, dan semuanya itu dilakukan dalam

bentuk dialog, yang diwakili perwakilan pihak laki-laki dan perempuan

sementara mereken telah-telah adalah kata-kata nasehat kepada pihak

pengantin laki-laki dan perempuan.

Kontribusi penelitian-penelitian di atas adalah pada 3 hal yaitu pada

tataran teoritis dalam memanfaatkan teori LSF untuk menemukan makna-makna

semiotik yang terkandung pada teks upacara perkawinan adat, dan bagaimana teks

tersebut disampaikan berdasarkan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan

konteks budaya. Pada penelitian di atas data penelitian yang digunakan oleh

peneliti yakni sama-sama memanfaatkan sumber data perkawinan adat.

Selanjutnya pada tataran metode, peneliti dalam penelitian memanfaatkan metode

kualitatif dan metode tradisi lisan. Peneliti menggunakan metode tersebut dengan

tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum mengenai

perkawinan adat terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai