1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2 Rumusan Masah
Dari latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalahnya antara lain:
1. Apakah definisi dari sistem kearifan lokal ?
2. Bagaimanakah kearifan lokal sebagai aset budaya bangsa ?
3. Bagaimanakah kearifan lokal dan implentasinya dalam kehidupan
masyarakat ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari sistem kearifan lokal.
2. Untuk mengetahui kearifan lokal sebagai aset budaya bangsa.
3. Untuk mengetahui kearifan lokal dan implentasinya dalam kehidupan
masyarakat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan dan
sebagainya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan lingkungan. Para petani
telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan
cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti
kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi
ketidakpastian di masa depan. Pemuliaan varietas jenis baru secara lokal ini
dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati.
Metode pertanian yang dipraktekkan oleh nenek moyang diberbagai
komunitas masyarakat adat termasuk di Indonesia hanya berfokus pada apa yang
diberikan alam pada mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu
manis dan berbagai tumbuhan liar lainnya sudah cukup untuk kebutuhan
masyarakat saat itu. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan
mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,
kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
5
ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan
berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang
dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing
daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas
budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan
intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai
meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya
pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan
dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa pada
tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris
mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas,
bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk
komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung
kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai
sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan
bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam
memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Masyarakat Tebo adalah
prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan
kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak
kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum.
Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk
mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya
6
melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa
misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada
realisasinya justru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya
sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya,
masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat
obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga
makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus
asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat
adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui
penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya
kearifan lokal untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
7
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
8
Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Acara
Pelaksanaan acara berobat kampung melibatkan seluruh perangkat desa dan
masyarakat seperti Kepala Desa, dukun kampung, ketua Rt, Rw, Ulama, dll.
9
dusun, pelaksanaannya sama seperti yang pertama. Pada minggu ketiga adalah
penutupan dari berobat kampung, pada saat itu semua perangkat desa, ulama, para
dukun kampung, melakukan tahlil berjalan membaca kalimat (La’ila Ha’ilallah)
mulai dari pangkal desa sampai ujung desa dan warga masyarakat menunggu di
ujung desa dan dilanjutkan dengan pembacaan doa maka berakhirlah acara
‘berobat kampung” tersebut.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam
kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi
dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran,
larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang
perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk
knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan
pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu bangsa adalah
perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme,
keserakahan, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada
kelompok masyarakat daerah masing-masing, dan bersedia berbagi dengan pihak
lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan harus
mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam janji, tapi harus
mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada
kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah
antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan
secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik,
damai, adil dan sejahtera.
Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif nilai-nilai
kearifan lokal. Keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalarn setiap
aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai budaya lain
yang menyertainya. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai
keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan
prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang perlu
dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui
kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme,
keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang
11
sama. Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa yang majernuk masing-masing
merajut kebhinnekaan, kemudian menjadikannya sebagai semangat nasionalisme
yang kokoh. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan
disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh
bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar
proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan dan
pertumbuhan ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat,
mendukung proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong
munculnya pemerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif, serta
mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.
12
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN DOKUMEN
14
Fhoto : Berjalan dari pangkal desa ke ujung desa
15
16