Anda di halaman 1dari 29

HUKUM ADAT AWIG-AWIG DAN PERANANNYA DALAM

MENGATUR KEHIDUPAN MASYARAKAT DI BALI


Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Hukum dan
Peraturan Perikanan
Dosen Pengampu : Mariyana Sari, S.Pi., M.P

Oleh :
Arga Bagus Prasetyo (175080301111015)
KELAS : T1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala berkat dan rahmat-Nya yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada saya
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang
direncanakan.
Makalah berjudul “ Hukum Adat Awig-awig dan Peranannya dalam Mengatur
Kehidupan Masyarakat di Bali ” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
dan Peraturan Perikanan. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada yang telah memberikan tugas tersebut, sehingga saya dapat memperoleh
wawasan yang lebih luas dari tugas yang diberikan serta berbagai sumber yang telah
kami gunakan sebagai data dan fakta pada makalah ini.
Saya telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian
makalah ini, namun saya menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi
maupun tata bahasanya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca demi sempurnanya makalah ini. Kiranya isi makalah ini
bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pendidikan.

Malang, 22 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Definisi Hukum Adat ........................................................................................... 3
2.2 Sejarah Hukum Adat Awig-awig ........................................................................ 6
2.3 Konsep Dasar dan Gambaran Umum Hukum Adat Awig-awig ...................... 9
2.3.1 Konsep Dasar ............................................................................................. 9
2.3.2 Gambaran Umum ..................................................................................... 11
2.4 Peran Awig-awig dalam Mengatur Kehidupan Masyarakat Terutama
Dibidang Perikanan .......................................................................................... 15
2.5 Peranan Masyarakat terhadap Hukum Adat Awig-awig................................ 18
2.6 Peran Pemerintah terhadap Hukum Adat Awig-awig .................................... 19
2.7 Contoh Kasus Pelanggaran terhadap Hukum Adat Awig-awig .................... 21
BAB III. PENUTUP .......................................................................................................... 24
3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 24
3.2 Saran ................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 25

ii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia dengan dua pertiga


wilayahnya terdiri dari wilayah perairan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki
18.306 pulau yang dipersatukan oleh laut dengan panjang garis pantai 81.000 km.
Laut di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar. Wilayah pesisir yang rezim
kepemilikannya akses terbuka cenderung rentan terjadi kerusakan terhadap
sumberdaya alamnya. Hal ini karena hak dan kewajiban mengenai pengelolaan
sumberdaya tersebut tidak ada yang mengatur sehingga setiap orang bebas
mengakses dan memanfaatkannya. Akses dan pengolahan yang dilakukan secara
bebas tersebut pada awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai
banyak sumberdaya alam, namun pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam
akan habis dan justru memberikan dampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi
manusia lain. Habisnya ketersediaan sumber daya alam akan memberikan dampak
negatif terhadap kelestarian lingkungan pesisir.
Didalam mengatur pemasalahan tersebut, perlu adanya regulasi khusus yang
berperan dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat melalui kelembagaan
sosial. Menurut Widyastini (2013), kelembagaan mempunyai peran dalam
memberikan aturan-aturan bagi masyarakat dalam mengelola dan menjaga
lingkungan pesisir agar tetap terjaga kelestariannya. Salah satu bentuk kelembagaan
lokal yaitu awig-awig yang terdapat di daerah Bali. Awig-awig sebagai salah satu
bentuk dari hukum adat, merupakan hukum yang hidup yang dibuat oleh masyarakat
adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Kelembagaan lokal yang terdapat dalam wilayah pesisir tersebut berguna agar tidak
terjadi penyelewengan atau pelanggaran yang dapat merusak sumber daya alam.
Aturan-aturan yang terdapat pada kelembagaan lokal merujuk pada kearifan lokal
yang dimiliki masyarakat.
Hukum adat menurut Adharinalti (2012), merupakan sistem hukum yang
dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan
hukum tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran

1
hukum masyarakatnya. Mengingat peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Selain bersifat tidak tertulis, hukum adat juga ada yang bersifat tercatat (beschreven).
Salah satu contoh hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti
dokumentasi awig-awig di Bali yang menjadi pedoman masyarakat adat di Bali
khususnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana definisi hukum adat sendiri dan hukum adat awig-awig ?
2. Apa konsep dan gambaran umum mengenai Hukum adat awig-awig ?
3. Bagaimana peranan masyarat dan pemerintah terhadap hukum adat awig-awig ?
4. Bagaimana peranan hukum adat awig-awig dalam mengatur kehidupan pesisir
khususnya para nelayan ?
5. Bagaimana tanggapan terkait kasus pelanggaran terhadap hukum adat awig-
awig ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain :


1. Untuk mengetahui definisi hukum adat sendiri dan hukum adat awig-awig.
2. Untuk mengetahui konsep dan gambaran umum mengenai Hukum adat awig-
awig.
3. Untuk mengetahui peranan masyarakat dan pemerintah terhadap hukum adat
awig-awig.
4. Untuk mengetahui peranan hukum adat awig-awig dalam mengatur kehidupan
pesisir khususnya para nelayan.
5. Untuk mengetahui tanggapan terkait kasus pelanggaran terhadap hukum adat
awig-awig.

2
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum Adat

Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan kepribadian


bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut dari
abad ke abad. Adat yang dimiliki oleh daerah-daerah adalah berbeda-beda, meskipun
dasar serta sifatnya satu yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa
Indonesia dikatakan merupakan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda,
tetapi tetap satu. Adat tersebut selalu berkembang dan senantiasa mengikuti
perkembangan masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat. Dengan
demikian adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat, yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.
Menurut Wiranata (2005), istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum
sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung menggunakan istilah “adat”.
Penyebutan ini mengarah pada suatu “kebiasaan”, yaitu serangkaian perbuatan yang
pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan. Merupakan
salah satu penjelmaan jiwa bangsa bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu,
maka setiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu
dengan lainnya tidak sama. Jadi, kalua ada penyebutan “adat Jawa”, maknanya
adalah tatanan kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa. Demikianlah
pula ada penyebutan “adat Batak”, “adat Lampung”, ataupun “adat Bali”.
Istilah hukum adat menurut Rosdalina (2017), istilah hukum adat sebenarnya
berasal dari Bahasa Arab, “Huk’m” dan “Adah” (jamaknya, ahkam) yang artinya
suruhan atau ketentuan. Didalam hukum Islam dikenal misalnya “hukum syari’ah”
yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam al-
khamsah” yaitu: fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau Sunnah (anjuran),
makruh (celaan) dan jaiz, mubah (kebolehan). Adah atau adat ini dalam Bahasa arab
disebut dengan arti “kebiasaan” yang perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi
“Hukum Adat” itu adalah “Hukum Kebiasaan”.
Hukum adat menurut Susylawati (2009), merupakan hukum yang tumbuh dari
kesadaran masyarakat, yang merupakan pencerminan dari cita rasa dan akal budi
budaya bangsa. Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

3
Adat Recht. Istilah ini terdapat dalam buku De Atjehers (Orang-orang Aceh), yang
disusun oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893. Istilah tersebut kemudian dipakai
oleh Van Vollenhoven, yang pada waktu itu memang sangat intens meneliti tentang
hukum adat, dan hingga saat ini istilah hukum adat selalu digunakan sebagai istilah
teknis yuridis. Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda
dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendirinya dan diadakan sendiri
oleh kekuasaan Belanda, dan berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang
Timur Asing. Selanjutnya untuk membedakan antara adat dan hukum adat adalah
dilihat dari unsur sanksi, sehingga tidak semua adat merupakan hukum adat. Hanya
adat yang bersanksi, yang dapat digolongkan sebagai hukum adat.
Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, fleksibel, dan inovasi, ini
dikarenakan hukum adat bukan merupakan hukum yang dikodifikasi (dibukukan).
Istila hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian
Archipelago karangan James Richardson tahun 1850. Masyarakat Indonesia memiliki
kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan yakni
membangun dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kedinamikaan suku merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah
hukum adat yang ditransformasikan menjadi hukum nasional dan dicantumkan dalam
UUD 1945 (Rosdalina, 2017). Hukum adat tumbuh dari kehidupan hidup yang nyata,
cara hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan tempat hukum adat itu
berlaku.
Menurut Nurdin et al. (2017), hukum adat merupakan hukum yang berlaku
pada suku bangsa atau komunitas masyarakat tertentu pada suatu wilayah tertentu
dalam suatu negara. Hukum adat memang tidak dapat disejajarkan dengan klasifikasi
hukum yang lain seperti hukum tata negara, hukum aminitrasi, dll. Hukum adat juga
merupakan hukum yang tidak tertulis, namun sebagian ada hukum yang tertulis.
Syarat hukum adat adalah aturan tersebut masih terpelihara atau masih hidup
dimasyarakat. Ada tiga unsur hukum adat, yaitu a) hukum yang tak tertulis, b) unsur
keagamaan, dan c) ketentuan legislative atau statutair. Hukum yang tak tertulis itu
hidup dalam masyarakat dan tampak pada perilaku masyarakat sehari-hari serta
dilealisir dalam tindakan-tindakan para fungsionaris hukum. Unsur keagamaan itu itu

4
misalnya islam, Kristen maupun hindu, sedangkan ketentuan legislative atau statutair
itu misalnya awig-awig, pranata, dan lain sebagainya.
Hukum adat atau kerifan lokal terdiri dari hak-hak kepemilikan (Property right),
hak ulayat (territorial user right), hak-hak perolehan rakyat (entitlement), kelembagaan
lokal (lokal institution). Hukum adat tidak mengenal perbedaan publik perdata.
Sistematik hukum adat adalah seperti: hukum tentang orang, perkawinan,
kekerabatan, waris, perhutangan, hukum atas tanah, transaksi atas tanah, hukum
yang berhubungan dengan tanah, yayasan daluarsa dan delik.
Didalam hukum adat terdapat kewenangan yang disebut Hak Ulayat, menurut
Listriyana dan Yunitawati (2008), hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum
adat tentang hak-hak atas tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi
yang ”komunalistik”, religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan. Hak ulayat memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu:
1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hak
ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan,
dan segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang
hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan
yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola,
mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam
lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i
oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada
tanah maupun perairan sebagai res nullius.
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-
kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan
kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial, politik,
alamiah, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat adat. Bagi masyarakat
pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak hanya berfungsi sebagai

5
pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi
mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu bagaimana
mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat
mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta
sumber daya alam di dalamnya.

2.2 Sejarah Hukum Adat Awig-awig

Awig-awig dalam masyarakat Bali merupakan hal yang sangat urgen adanya
karena menurut sejarah keberadaan desa adat di Bali yang di desain oleh leluhur
orang bali yaitu pada jaman Empu Kuturan atau disebut juga Empu Raja Kerta.
Dimana Empu Kuturan menata masyarakat Bali yang demikian rapi yang diwarisi oleh
masyarakat Bali sampai sekarang yang sangat adi luhung. Desa adat di Bali ditata
dengan konsep dasar yaitu Tri Hita Karana suatu konsep yang sangat luhur yang
didalamnya terdapat nilai-nilai keharmonisan dalam rangka mencapai tujuan hidup
manusia Hindu di Bali yaitu “ Moksartam Jagatdita Ya Ca Iti Dharma” yang dapat
diterjemahkan untuk mencapai kebahagian hidup sekala dan niskala. Dalam Tri Hita
Karana dijelaskan Parhyangan yang mengatur hubungan manusia dengan Hyang
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia itu sendiri dan Palemahan yang mengatur manusia dengan
lingkungannya (Rindawan, 2017).
Sampai sekarang ini di Bali ada dua macam Desa yaitu: pertama “Desa Dinas”
atau “Desa Administratif” termasuk di dalamnya adalah Kelurahan dan yang
berikutnya adalah “Desa Adat” atau “Desa Pakraman”. Ini suatu keunikan Bali, yang
mungkin tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia. Adanya dua macam desa ini
secara historis sudah berlangsung lama. Semula di Bali hanya ada desa adat, semua
wilayah Bali di bagi habis menjadi desa-desa Adat. Adanya dua macam desa di Bali
seperti itu adalah kelanjutan dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada waktu
itu Desa Dinas disebut Perbekelan yang difungsikan untuk raja-raja mengurus upeti
bagi pemerintahan Hindia Belanda. Adapun yang dimaksud Desa Adat adalah
pemerintahan desa yang telah ada sejak zaman pemerintahan kerajaan-kerajaan di
Bali (Toha, 2011). Jadi keberadaan desa adat/ desa pekraman telah lebih dulu dari
desa dinas. Desa Adat, kemudian lebih dikenal dengan nama Desa Pakraman, kata
Pakraman nya itu sendiri menurut penjelasan warga masyarakat, adalah berarti

6
kumpulan banyak orang yang diikat dengan adat. Sekarang jumlah desa adat/ desa
pakraman sebanyak 1473 buah, sedang Desa Dinas jumlahnya 700 an.
Dalam kamus bahasa Bali, kata awig - awig disebutkan berasal dari suku kata
“ wig ” yang artinya buruk, rusak. Penambahan kata “a” dalam suku kata “ wig ”,
sehingga menjadi kata awig , mengubah artinya menjadi sebaliknya, yaitu tidak buruk,
tidak rusak. Berangkat dari asal-usul perkembangan suku kata seperti ini maka kata
awig-awig. kemudian mendapatkan arti lebih lengkap yaitu sebagai “peraturan yang
(dampaknya) bisa membuat kebaikan dan kesejahteraan”. Sebagai suatu peraturan,
awig - awig Desa Pakraman memang bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Awig
awig sudah ada sejak lama, sejalan dengan asal usul keberadaan Desa Pakraman itu
sendiri, yang kalau ditelusuri sejarahnya berawal sejak dari jaman Bali kuno.

Gambar 1. Tulisan hukum adat awig-awig

Salah satu bukti bahwa awig - awig sudah ada sejak jaman dahulu, bisa
ditemukan dari naskah awig - awig kuno yang ada di beberapa desa pakraman di Bali.
Berdasarkan penelitian dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, misalnya,
ditemukan salah satu awig-awig yang terbilang kuno, yaitu: Awig - awig Desa Sibetan,
di Kabupaten Karangasem, yang berasal dari masa tahun Isaka 1300 atau kira-kira
pada tahun 1378 M. Desa Sibetan adalah desa pakraman yang terletak di Kecamatan
Sibetan, Kabupaten Karangasem, tidak terlalu jauh jaraknya dari Desa Pakraman
Tabola dan merupakan wilayah penghasil buah salak Bali yang terkenal itu (Gunawan,
2013). Selain Awig - awig Desa Sibetan, naskah awig - awig lainnya yang terbilang
sudah ada sejak jaman dahulu adalah yang ada di Desa Tenganan. Desa Tenganan
yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini memang
dikatagorikan sebagai desa Bali aga , atau desa Bali kuno. Sebagai Desa Bali aga,
ternyata sejak awal Desa Tenganan ini sudah memiliki awig - awig , yang sampai saat
ini masih terpelihara dan berfungsi di masyarakat.

7
Menurut catatan sejarah, Awig-awig Desa Tenganan bahkan sudah ada dalam
bentuk tertulis sejak tahun 1763 Caka (1842 M), yaitu setelah aturan desa yang sudah
ada lebih awal atau disebut pengeling-eling terbakar. Penulisan kembali pangeling -
eling menjadi awig-awig itu dilakukan oleh juru tulis Kerajaan Karangasem saat itu,
bernama I Gede Gurit dan I Made Gianyar. Penulisan itu dilakukan setelah
mendapatkan restu ijin dari Raja Karangasem, I Gusti Made Karangasem, dan Raja
Klungkung, I Dewa Agung Putra. Sampai sekarang, awig-awig hasil penulisan kembali
pangeling-eling Desa Tenganan itu masih tersimpan rapi dan masih berfungsi baik
(dalam arti tetap ditaati) di masyarakat Desa Tenganan (Gunawan, 2013). Menurut
Wahyudin (2015), Awig-awig merupakan aturan turun temurun yang tertulis dalam
tulisan Kawi atau Jawa Kuno pada daun lontar, kemudian diterjemahkan ke dalam
tulisan latin dengan menggunakan Bahasa Bali, pada Tahun 1982 menjadi delapan
bab dan 92 pasal.
Selain di berbagai daerah di Bali, awig-awig menurut Hidayat (2013), mulai
dikenal dan diadopsi oleh nelayan NTB, terutama di Pulau Lombok sejak abad-18,
sebagai hasil peninggalan Kerajaan Karang Asem Bali yang pernah menduduki
sebagian wilayah Lombok. Pada mulanya awig-awig diperkenalkan masyarakat Bali
ke Lombok dalam kehidupan ber-banjar, sebagai hukum adat tidak tertulis dengan
berbagai sanksi sosial yang harus dipatuhi seluruh anggota banjar. Pada sekitar tahun
1970-an awig-awig mulai diadopsi oleh masyarakat nelayan dan pesisir Lombok
dalam mengefektifkan pengelolaan sumberdaya perikanan, sekaligus sebagai
proteksi terhadap penggunaan teknologi modern oleh nelayan pendatang di dalam
wilayah penangkapan tradisional mereka.
Mulanya awig-awig hanya berlaku pada kelompok masyarakat tertentu,
dengan bentuk hukum berbeda-beda sesuai dengan keadaan social budaya dan
sumberdayanya masing-masing. Setelah mendapatkan legitimasi dari tokoh-tokoh
adat atau desa dan menjadi aturan tertulis, awig-awig yang sifatnya kelompok tertentu
digabung menjadi awig-awig kawasan. Penggabungan menjadi awig-awig kawasan
dimaksudkan agar terjadi keseragaman aturan yang berlaku di tingkat kawasan
sehingga dapat mencegah terjadinya benturan konflik antar nelayan setempat dalam
pelaksanaan aturan tersebut.

8
2.3 Konsep Dasar dan Gambaran Umum Hukum Adat Awig-awig

2.3.1 Konsep Dasar

Setiap desa adat di Bali mempunyai aturan (tertulis maupun tidak terlulis) yang
berlaku bagi semua masyarakat, bentuk aturan ini disebut dengan awig-awig. Pola
kehidupan masyarakat Desa sangat memperhatikan rumus keseimbangan. Pola
hidup ini merujuk pada konsep Tri Hita Kirana berupa: Pertama Mengatur hubungan
manusia dengan tuhan, kedua mengatur hubungan manusia dengan manusia, ketiga
mengatur hubungan manusia dengan alam. Tri Hita Kirana mendasari awig-awig
sehingga semua bentuk pola kehidupan telah memiliki aturan yang terhimpun dalam
awig-awig. Berdasarkan hasil wawancara penulis, awig-awig di Tenganan dibuat pada
abad XI, pada awal desa ini mulai didirikan oleh warga Tenganan. Awig-awig itu
dikenal dengan nama buku Sakti tebalnya sekitar 58 halaman dalam bahasa Bali,
seiring perkembanganya terdapat beberapa pasal yang tidak berfungsi lagi (Sumarjo,
2018).

Gambar 2. Musyawarah hukum adat awig-awig di Bali

Awig-awig adalah salah satu dari bentuk hukum adat yang berada di Bali dan
merupakan hukum yang hidup dan dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman
bertingkah laku dalam pergaulan hidup masyarakat. Awig-awig berisi sekumpulan
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlandaskan pada filosofi ajaran
Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana. Hukum adat Bali (Awig-awig) mempunyai
kekhususan antara lain terkait dengan filosofi, asas-asas dan sanksi serta cara-cara
penyelesaian sengketa. Awig-awig mengandung filosofi Tri Hita Karana. Ajaran Tri
Hita Karana adalah salah satu ajaran pada agama hindu yang pada intinya
mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungannya. Masyarakat Bali menganggap

9
kebahagiaan akan tercapai jika tiga keseimbangan dari Tri Hita Karana dapat
terwujud. Konsep dari Tri Hita Karana adalah bahwa manusia hidup sesuai dengan
kodratnya senantiasa mangandung unsur untuk mencapai kebahagiaan. Didalam
memenuhi tuntutan hidupnya itu manusia senantiasa tergantung pada manusia lain.
Hubungan manusia dengan alam dimana ia hidup berpijak menimbulkan rasa cinta
pada tanah tumpah darahnya (Widyastini, 2013).
Menurut Adharinalti (2012), kosep yang paling mendasar didalam hukum adat
awig-awig didasarkan pada ajaran agama hindu yang percaya bahwa alam semesta
beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada
umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu
tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga
kelestariannya dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan
dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup yaitu:
a. Hubungan manusia dengan Tuhan: sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam
bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai
upacara persembahan kepada Tuhan.
b. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya: sebagai angga atau badan
tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya yang
dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
c. Hubungan manusia dengan sesama manusia: sebagai khaya atau tenaga yang
dalam yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau
warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan
angga.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, desa adat pakraman membuat aturan
sendiri yang disebut awig-awig, yang berfungsi untuk mengintegrasikan potensi yang
dimilikinya, yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan agama.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Prajuru desa dalam melaksanakan pemerintahan desa
berpedoman pada awig-awig desa, dan warga desa dapat berinteraksi dengan
sesamanya untuk meningkatkan kesejahteraan.kontribusi desa dalam .pelaksanaan
otonomi daerah ialah untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat,
serta untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, berdasarkan
prinsip demokrasi, adil, dan merata. Pada sisi lain, kontribusi desa pakraman ialah

10
dalam mengembangkan dan melestarikan warisan budaya, yang dilakukan dengan
melaksanakan awig-awig secara adil dan bijaksana (Suwacana et al., 2017).
Awig-awig dibuat oleh seluruh krama desa adat, dipelihara dan ditaati oleh
segenap krama desanya sendiri dan pelanggaran terhadap awig-awig mempunyai
akibat hukum atau sanksi yang bersifat materiil berupa denda dan ada yang bersifat
psikologis. Secara alami awig-awig memiliki kekuatan berlaku karena tumbuh dari
bawah yaitu dari ketulusan masyarakat adat, ditaati karena dirasa sebagai suatu yang
harus ada untuk kepentingan ketentraman dan keharmonisan masyarat adat dan sulit
dipisahkan dari tingkah laku hidup dan kehidupan masyarakat adat.

2.3.2 Gambaran Umum

Awig-awig Desa Adat adalah merupakan keseluruhan hukum yang mengatur


tata cara kehidupan bagi warga desa adat beserta sanksi dan aturan pelaksanaanya.
dituangkan kedalam aturan-aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sehingga
menimbulkan suatu pengertian, bahwa awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup
bersama bagi krama desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman,
tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar
yang menyangkut wilayah adat , krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awig-
awig desa adat, merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan
mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai
ketertiban dan ketentraman masyarakat (Aryawan, 2006). Selain itu awig-awig juga
berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan
kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan, sedangkan arti
penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa
guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama
mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa adat. Awig-
awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban
melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi
fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup dirasakan
sebagai derita oleh pelanggarnya.
Masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya yang luhur dan bijaksana, baik
terhadap diri maupun laingkungannya. Dari Barat di Aceh, dikeenal Panglima Laot, di
Timur mengenal Sasi, dan di Tengah mengenal Awig-awig. Semua ini menunjukkan

11
bahwa masyarakat Indonesia memiliki kearifan dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Wujud kearifan lokal ini sebaiknya terus dipelihara dan digunakan
untuk menjaga keharmonisan hidup manusia dan alam. Menurut Suwitra et al.(2017),
Awig secara etimologis mengandung arti tidak rusak, tidak jahil, tidak jahat. Jadi awig-
awig adalah norma hukum adat yang dirumuskan dan mengatur pola perilaku warga
masyarakat dalam berinteraksi agar tercipta ketertiban dan kedamaian, artinya Awig-
awig itu tumbuh dan dirumuskan agar kehidupan masyarakat di desa adat menjadi
tidak rusak. awig-awig berisi hal-hal yang bersifat pokoknya saja, sedangkan
pengkhususannya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan
menurut situasi dapat dirumuskan pada catatan-catatan (ilikita) musyawarah sebagai
penunjang pelengkapnya.
Desa adat di bali wajib menyusun peraturan Desa Adat/Awig-awig serta
memperhatikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan awig-awig
merupakan suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam
masyarakat baik mewujudkan suatu tata kehidupan yang ajeg di masyarakat.
Sedangkan awig-awig itu dibuat oleh anggota masyarakat/krama desa adat/ krama
Banjar yang dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan interaksi kehidupan
sosial sehari-hari dalam masyarakat. Dalam awig-awig diatur hak dan kewajiban dari
krama di desa adat dengan disertai sanksi yang tegas, lebih nyata dan lazimnya dalam
bentuk tulisan. Awig-awig menjadi pedoman/patokan, atau batasan-batasan tentang
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, selakigus mempunyai peranan
menetukan bentuk reaksi bagi pelanggarnya (Rindawan, 2017). Berbicara mengenai
awig-awig yang terdapat di desa adat merupakan perwujudan hukum adat, sangat
memegang peranan penting dalam mengatur tata kehidupan/ sebagai filter pengaruh
negatif terhadap masyarakat dalam bidang agama, kebutuahan, dan sosial ekonomi.
Menurut JDIH Karangasem (2016), karakteristik yang dapat ditemui dalam
awig-awig diantaranya adalah :
1. Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan
dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari
baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan
agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa
pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga
mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong

12
masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem
tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahi) juga sanksi niskala (batin)
2. Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang
serba konkret, nyata, jelas dan bersifat luwes. kaidah-kaidah hukum adat dibangun
berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail
diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi
dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti
pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan
tambahan dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif
atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.
3. Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika
masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang
agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum
dengan sesamanya
4. Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam hukum adat Bali tidak mengenal yang
namanya Hakim menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian.
Karena Hukum Adat Bali lebih mementeingkan rasa persauadaraan dan
kekeluargaan.
5. Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum
barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih
mengakomodir dimensi sosiologis.
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan
kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda,
fisik maupun psikologi dan yang bersifat spiritual. Jenis-jenis sanksi adat yang yang
diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain :
a. Mengaksama (minta maaf)
b. Dedosaan (denda uang)
c. Kerampang (disita harta bendanya)
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu
e. Kaselong (diusir dari desanya)
f. Upacara prayascita (upacara bersih desa)
Awig-awig saat ini menghadapi perkembangan masyarakat secara global,
sehingga ketika masyarakat, baik sebagai prajuru maupun warga biasa memahami

13
rumusan awig ansich seperti pada masa dahulu, dipastikan akan menimbulkan konflik,
karena masyarakat yang masih sederhana tampak akan lebih mementingkan
kebersamaan, menyerahkan segalanya kepada hal bersifat magis religious, sehingga
rasa saling mempercayai sangat tinggi. Sementara masyarakat modern saat ini sudah
mengarah pada individualisasi yang sekuler dengan rasa saling curiga, sehingga
dituntut aspek kepastian hukum dalam arti adanya perumusan hak dan keajiban
secara jelas dalam awig-awig (Suwitra et al., 2017).
Tabel 1. Perbandingan Awig-awig Tertulis Zaman Dulu dan Sekarang

No Awig-awig Zaman Dulu Zaman Sekarang


Tertulis
1 Sistematika  Sistematikanya kurang  Sistematikanya lebih
jelas baik (tersistemalisir)
 Ketentuan dalam awig-
awig terkesan seperti
notulen rapat
2 Batas wilayah  Tidak mencantumkan  Mencantumkan batas
batas wilayah yang wilayah, meskipun
jelas umumnya masih
menggunakan konsep
batas alam (tukad,
telabah, pangkung),
atau wilayah desa
pakraman tetangga
atau hamparan
persawahan atau
subak
3 Penduduk  Semua penduduk yang  Penduduk desa telah
tinggal di suatu desa dikategorikan menjadi
pakraman adalah dua: (1) krama desa
warga desa dan (2) krama tamuatau
 Belum ada ketentuan warga tidak tetap
yang mengatur

14
mengenai krama tamilu
(warga tamu/tidak
tetap) di desa
4 Sanksi/denda  Tidak tercantum  Sanksi/denda ada
ketentuan sanksi dalam pasal-pasal
tersendiri awig-awig
 Besar kecilnya sanksi
denda diatur lebih
detail dalam pararem-
arem
5 Penyeragaman  Awig-awig dibuat untuk  Sistematika dan isi
mengatur pelakanaan pokok awig-awig
kehidupan beragam hamper seragam.
Hindu dan Perbedaan biasanya
pelaksanaan adat tampak dalam
istiadat di Desa perarem-arem
pakraman tertentu.  Ada peluang untuk
Sehingga “desa merumuskan
mawacara” sangat keseragaman awig-
kental awig pada bidang
 Sulit merumuskan tertentu
awig-awig yang sama
untuk beberapa desa
pakraman
Sumber: Gunawan (2013)
2.4 Peran Awig-awig dalam Mengatur Kehidupan Masyarakat Terutama
Dibidang Perikanan
Awig-awig merupakan suatu aturan adat yang dijadikan pedoman oleh
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Awig-awig dibentuk untuk
melindungi perikanan tradisional dan menjaga budaya tradisional terkait bidang
perikanan. Istilah awig-awig berasal dari istilah Bali, karena kependudukan Kerajaan
bali pada masa lalu dan hingga sekarang aturan ini menjadi budaya masyarakat. Hal

15
lain yang menjadi latar belakang pembentukan awig-awig antara lain peningkatan
kegiatan penangkapan yang bersifat merusak, banyaknya konflik di lingkungan pesisir
dan kerusakan lingkungan (Oktaviyani, 2015). Awig-awig dibuat secara tertulis
sebagai aturan main dalam pengelolaan perikanan demi menciptakan pembangunan
pesisir yang berkelanjutan dan berlaku diseluruh kawasan perairan Bali dan Lombok
Barat dalam pembuatannnya melibatkan unsur pemerintah seperti Dinas Kelautan
dan Perikanan, kecamatan dan desa/dusun, pihak masyarakat seperti kelompok-
kelompok nelayan.
Dalam awig-awig ditentukan kegiatan perikanan yang boleh atau tidak boleh
dilakukan berikut sanksi serta lembaga yang diberi wewenang dalam menjatuhkan
sanksi. Berdasarkan kesepakatan antar stakholerder kelautan dan perikanan lembaga
yang memiliki wewenang tugas dimaksud adalah Komite Pengelolaan Perikanan Laut
disingkat KPPL. Komite Pengelolaan Perikanan Laut keanggotaannya terdiri dari
nelayan lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat, pam-swakarsa, pengusaha perikanan,
pemerhati lingkungan (LSM), wanita nelayan dan pemerintahan desa. Komite
Pengelolaan Perikanan Laut merupakan organisasi otonom yang memiliki wewenang
besar dalam pelaksanaan aturan lokal awig-awig. Secara yuridis organisasi KPPL
disahkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan setempat (Hidayat, 2013).
Menurut Listriana dan Yunitawati (2008), di Kecamatan Tanjung Kabupaten
Lombok Barat dan di Dusun Serewe Kabupaten Lombok Timur, terdapat hak ulayat
laut yang mengatur tentang pelarangan penggunaan bom dan potassium cyanida
pada kawasan terumbu karang dalam upaya penangkapan ikan oleh nelayan serta
pelarangan menebang hutan mangrove. Sedangkan menurut BPSPL Denpasar
(2017), isi awig-awig antara lain dilarang menebang pohon mangrove, mencabut,
merusak sebagian atau seluruh bagian pohon mangrove; menggunakan bahan
peledak, potasium atau pencemar dalam melakukan penangkapan atau
pembudidayaan ikan; dilarang membuang sampah tidak pada tempatnya; dilarang
merusak fasilitas umum; dilarang berburu burung; dilarang melintas di dalam blok
tanaman mangrove menggunakan perahu kecuali pada jalur yang telah ditentukan;
dan dilarang membuat tulisan pada pohon mangrove. Bagi siapa saja yang melanggar
aturan dalam awig-awig ini akan dikenai denda paling sedikit Rp 50.000,- hingga Rp
500.000,-.

16
Didalam pengelolaan sumberdaya dan tujuan kelestarian wilayah pesisir,
awig-awig memiliki peranan tersendiri dan memiliki perbedaan diberbagai daerah,
menurut Wahyudin (2015), aturan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai yang
ada di Nusa Penida, Provinsi Bali disebut dengan awig-awig. Peraturan pemanfaatan
dan pengelolaan pantai yang saat ini berlaku di Jungat Batu merupakan implementasi
dari peraturan formal, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Isi dari aturan yang menyangkut
sumberdaya perikanan pantai ditetapkan oleh pemerintah desa, perangkat adat, dan
tokoh-tokoh agama atau adat sebagai berikut :
(1) Masyarakat Adat Desa Jungat Batu dilarang mengambil dan memanfaatkan kayu
bakau untuk kepentingan apapun
(2) Masyarakat Adat Desa Jungat Batu tidak diperkenankan mengambil batu karang
karena dapat merusak ekosistem yang menyebabkan abrasi pantai dan merusak
keindahan
(3) Untuk kebutuhan pembangunan rumah tinggal, pengambilan pasir pantai
dialokasikan di daerah tertentu di desa adat dengan sepengetahuan kepala adat
(4) Zonasi lahan budidaya rumput laut diatur agar tidak mengganggu alur pelayaran
dan wisata bahari
(5) Lahan budidaya rumput laut apabila tidak diusahakan selama tiga bulan harus
dialihkan kepada orang lain
Sedangkan peranan awig-awig di wilayah Lombok Barat berbeda dengan di
Bali. Wilayah yang diatur oleh awig-awig sejauh tiga mil dari garis pantai dan bersifat
eksklusif, karena setiap kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan laut
harus sesuai dengan aturan yang berlaku dan alat tangkap yang dipergunakan adalah
alat tangkap tradisional. Adapun sifat kepemilikan hak dalam dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan laut bersifat individual, artinya setiap orang berhak untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan alat tangkap yang
telah ditentukan sebagai hasil kesepakatan masyarakat lokal. Adapun awig-awig dari
masyarakat nelayan adalah sebagai berikut :
(1) Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan pengeboman dan
pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya, maka oknum
tersebut ditangkap oleh kelompok nelayan kemudian diserahkan kepada pihak
yang berwajib dimasing-masing wilayah kecamatan yang bersangkutan untuk

17
membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut serta
dibebani denda uang maksimal Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk
kemudian dilepas kembali.
(2) Apabila oknum tersebut untuk kedua kalinya terbukti melakukan perbuatan ini
lagi, maka kelompok nelayan akan bersama-sama menangkap oknum tersebut
kemudian dilakukan pengerusakan atau pembakaran terhadap alat serta sarana
dukung yang dipergunakan dalam kegiatannya.
(3) Apabila setelah dikenakan sanksi pada point pertama dan kedua tersebut diatas,
oknum tersebut masih melakukan kegiatannya dan terbukti, maka kelompok
nelayan akan menghakiminya dengan pemukulan massal tidak sampai mati.
Jenis-jenis sanksi yang diberikan kepada para melanggar terdiri dari denda
uang, perusakan atau pembakaran alat tangkap atau sarana pendukung lain dan
sanksi fisik, pemberian sanksi fisik hingga saat ini masih dilakukan walaupun menuai
kritik karena dianggap menyalahi hak asasi manusia, pemberian sanksi terhadap para
pelanggar dilakukan oleh LMNLU dan mekanismenya diatur berdasarkan
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Dalam perkembangannya, desentralisasi
pengelolaan perikanan dimana salah satunya adalah pelaksanaan awig-awig
dianggap efektif dan memberikan arti yang besar dalam kelestarian sumberdaya laut
(Oktaviyani, 2015). Keefektifan awig-awig disebabkan oleh perencanaan atas bawah
dan pendekatan partisipatif yang menyebabkan peningkatan rasa untuk lebih peduli
terhadap sumber daya dari nelayan lokal.

2.5 Peranan Masyarakat terhadap Hukum Adat Awig-awig

Tantangan kehidupan masyarakat Bali semakin berat dalam perkembangan


industri pariwisata. Adat kebiasaan masyarakat Bali yang semula santai, kini berubah
menjadi sangat sibuk. Dalam bidang politik, pemerintah telah berupaya untuk
mengatur pariwisata agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak
pariwisata terhadap aspek politik tampak pada kebijakan pemerintah yang
memprioritaskan pembangunan pada aspek pariwisata. Bagi masyarakat Bali,
ternyata industri pariwisata menjadi andalan kehidupan. Sesuai dengan kondisi
pariwisata tersebut, perubahan pun sangat terlihat di Desa Pakraman yang
menjunjung tinggi adat istiadat sehingga peran besar ditentukan oleh kelembagaan
adatnya dalam penerapan awig-awig setempat.

18
Lembaga lembaga adat (Bendesa Padangtegal) dan fungsinya menurut
Suwacana (2017), dapat dijelaskan yaitu sebagai berikut :
a. Lembaga Kebendesaan: lembaga sebagai pucuk pempinan yang melaksanakan
program program Desa Pakraman yang telah ditetapkan dan telah disetujui oleh
krama desa melalui paruman desa.
b. Lembaga Sabha Desa: suatu lembaga yang mempunyai kedudukan sejajar
dengan lembaga Kebendesaan yang bertugas memberikandarma tetimbangan
(pertimbangan) dan sekaligus (sebagai partner kerja) dari Bendesa dalam
merancang atau membuat suatu rencana berkaitan dengan program-program desa
pakraman.
c. Lembaga Kertha Saba: Kerta Desa bertugas untuk mengkaji dan memutuskan
segala permasalahan yang ada selanjutnya hasil keputusan ini dibawa ke paruman
(rapat) desa pakraman untuk minta persetujuan krama desa.
d. Lembaga Panureksa (BPK): Kelembagaan ini Bertugas memeriksa keuangan
Desa Pakraman dan segala biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan
program-program Desa Pakraman.
e. Pecalang: satuan Tugas Keamanan Tradisional masyarakat Bali yang mempunyai
wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah Desa Pakraman.
f. Lembaga Perkreditan Desa (LPD): alat desa pakraman dan merupakan unit
operasional serta berfungsi sebagai wadah kekayaan desa pakraman yang berupa
uang atau surat-surat berharga lainnya.
Jadi Tolak ukur peran masyarakat terhadap adanya hukum adat awig-awig
adalah keikutsertaan dalam lembaga adat desa. Selama ini masyarakat hukum adat
menjadi kelompok orang yang berperan sangat strategis dalam menjaga lingkungan
laut, dari berbagai aktivitas yang dilakukan didaratan. Pengelolaan sumberdaya
maupun perlindungan lingkungan laut dilakukan masyarakat hukum adat secara
lestari dan harmoni, tercermin dalam falsafah yang menjad pedoman hidup yang
senantiasa menjaga keseimbangan kearifan lokal, yang tumbuh secara turun-
temurun.

2.6 Peran Pemerintah terhadap Hukum Adat Awig-awig

Pada dasarnya peran pemerintah terhadap adanya hukum adat dapat dilihat
pada berbagai peraturan-peraturan. Masyarakat hukum adat tersebut juga terangkum

19
di dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyebutkan: Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Setelah amandemen ke empat
pengakuan masyarakat hukum adat disebutkan dalam Pasal 18 B Ayat (2), yaitu:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang. Pembentukan patokan tingkah laku bagi krama desa
yang dituangkan dalam awig-awig adalah sebagai pembawaan sejarahnya mengenai
otonomi yang amat luas bagi desa. Otonomi tersebut hingga kini masih diakui dan
dijamin dalam UUD 1945 (Pasal 18B ayat 2). Oleh karena itu awig-awig disebut
sebagai perwujudan formal daripada hukum adat.
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pasal 18, disebutkan bahwa HP3 (Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat. Lebih lanjut, pada
pasal 60, disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada pasal
61, disebutkan juga bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-
hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Kemudian
disebutkan juga bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional,
dan kearifan lokal dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau
kecil yang berkelanjutan.
Dalam peraturan lokal , landasan hukum kewenangan desa pakraman dalam
membuat awig-awig terdapat dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001. Pada pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan tegas diakui adanya
otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa pakraman … berhak
mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam pasal 5 dengan tegas
dinyatakan bahwa “ desa pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig….”.
Berdasarkan peraturan daerah ini, awig-awig diartikan sebagai aturan yang dibuat

20
oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai
pedoman dalam melaksanakan dan mempertahankan Budaya dan adat yang
dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana sebagai desa mawecara dan dharma agama di
desa pakraman/banjar pakraman masing-masing.
Apabila diperhatikan dalam hal wewenang Desa Adat membuat aturan Awig-
awig yang akan diberlakukan dalam desa Adat ada dasar hukumnya yaitu Undang-
Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 dinyatakan dimana Desa Adat diberikan kewenangan berdasarkan
hak-hak yang meliputi:
a). Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli
b). Pengaturan dan pengurusan ulayat/wilayah desa adat
c). Pelestarian nilai sosial budaya adat
d). Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian musyawarah mufakat
e). Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
ketentuan peraturan perudang-undangan;
f). Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di desa Adat; dan
g). Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.

2.7 Contoh Kasus Pelanggaran terhadap Hukum Adat Awig-awig

Banyak pohon mangrove di Teluk Benoa, Bali dari selatan memanjang ke timur
banyak yang mati dan rusak. Pohon mangrove tersebut mati karena dieback atau tidak
berfungsinya organ pohon sehingga tidak bisa merespon perubahan di ekosistemnya.
Faktor pemicu utamanya karena tingginya sedimentasi sehingga menutupi sebagian
besar akar nafasnya. Sedimentasi terjadi karena aktivitas proyek pengurugan
tanah/reklamasi untuk pengembangangan pelabuhan Benoa oleh PT.Pelindo III Bali.
Untuk itu, PT. Pelindo III Bali diminta merehabilitasi areal terdampak Tim Rehabilitasi
mangrove PT. Pelindo III sedang dan telah melakukan rehabilitasi lahan mangrove
yang rusak dengan penanaman kembali dan pembuatan kanal keluar masuknya air
laut.

21
Gambar 3. Mangrove mati akibat aktivitas pengurugan tanah dari proyek
pengembangan pelabuhan Benoa

Pada Agustus 2018 mulai ada kematian pohon mangrove di sekitar areal
Pelindo. Mangrove yang mati di sebelah barat dan selatan Restoran Akame yang
menjadi wilayah Pelindo III. Ini disebut di luar kawasan Tahura. Namun mangrove mati
yang berada di kawasan Tahura dan terdampak reklamasi berada di sisi timur seluas
sekitar 17 hektar. Jenis mangrove yang mati kebanyakan jenis plasma nuftah, habitat
asli Tahura ini yakni Soneratia alba. Kemudian pada 25 september 2018, hasil studi
lapangan tim Pusbanglithut KLHK ditemukan bahwa kerusakan tanaman mangrove
diakibatkan oleh aktivitas pengurugan pasir/tanah dalam rangka pengembangan dan
pembangunan pelabuhan benoa. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut. Kegiatan
pengerukan pada pembangunan dermaga menyebabkan terbentuknya sedimentasi
lumpur pada kawasan disekitarnya. Sedimentasi lumpur ini secara bertahap
bertambah dan pada akhirnya menghambat pasang surut air laut ke dalam kawasan
mangrove.

Gambar 4. Mangrove mati dengan lumpur mengering dan terlihat pecah-pecah di


Teluk Benoa, Bali.

Sedimentasi lumpur menyebabkan kematian tegakan mangrove pada formasi


terdepan yang didominasi jenis Sonneratia alba dan anakan dari jenis Rhizophora
apiculata. Jenis Sonneratia alba mati karena seluruh akar nafasnya tertutup lumpur,

22
sedangkan anakan dari jenis Rhizophora apiculata mati karena seluruh bagian pohon
terendam lumpur dan air pasang. Sedimentasi lumpur juga menyebabkan
pendangkalan badan air, sehingga badan air tidak dapat dilalui perahu nelayan dan
hilangnya sebagian besar komponen biotik seperti makrobentos. Sedimentasi lumpur
mengalami pengeringan dan sebagian kecil telah pecah/retak dan kondisinya tidak
kembali walaupun terendam air saat pasang. Ada sinyalemen bahwa lumpur bersifat
cementing dan dapat menyebabkan kematian lebih lanjut pada formasi Rhizophora
sp, ditandai dengan gugurnya daun.
Pada kasus ini sangat jelas bahwa aktivitas yang dilakukan oleh PT.Pelindo III
Bali tersebut dapat dikatakan melanggar hukum adat awig-awig. Pasalnya isi awig-
awig kebanyakan tentang pengelolaan dan pelestarian terhadap sumberdaya laut
seperti dilarang menebang pohon mangrove, mencabut, merusak sebagian atau
seluruh bagian pohon mangrove; menggunakan bahan peledak, potasium atau
pencemar dalam melakukan penangkapan atau pembudidayaan ikan; dilarang
membuang sampah tidak pada tempatnya; dilarang merusak fasilitas umum; dilarang
berburu burung; dilarang melintas di dalam blok tanaman mangrove menggunakan
perahu kecuali pada jalur yang telah ditentukan; dan dilarang membuat tulisan pada
pohon mangrove. Tetapi penegakan hukum jika menyangkut masalah dan sengketa
besar seperti perusahaan kebanyakan diselesaikan berdasarkan Undang-undang
nasional, karena hukum adat biasanya menindak lanjuti masalah personal. Disamping
itu, reklamasi Teluk Benoa berbenturan dengan konsep Tri Hita Karana yang menjadi
pedoman desa adat/pakraman dan masyarakat Hindu di Bali. Hal-hal tersebut
menyakut tiga konsep yaitu Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan),
Pawongan (hubungan manusia dengan sasama manusia), dan yang terakhir adalah
Palemehan (hubungan antara manusia dengan alam).

23
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum adat merupakan hukum yang berlaku pada suku bangsa atau
komunitas masyarakat tertentu pada suatu wilayah tertentu dalam suatu negara.
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-kewajiban
terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan kewajiban
harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial, politik, alamiah, budaya,
dan agama dari kehidupan masyarakat adat. Awig-awig adalah salah satu dari bentuk
hukum adat yang berada di Bali dan merupakan hukum yang hidup dan dibuat oleh
masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup
masyarakat. Salah satu peranan awig-awig adalah awig-awig dibentuk untuk
melindungi perikanan tradisional dan menjaga budaya tradisional terkait bidang
perikanan demi menciptakan pembangunan pesisir yang berkelanjutan dan berlaku
diseluruh kawasan perairan Bali dan Lombok Barat

3.2 Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya buat tentang Hukum Adat Awig-awig
dan Peranannya dalam Mengatur Kehidupan Masyarakat di Bali. Harapan saya
semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini.
Sehingga kedepannya dapat lebih baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adharinalti. 2012. Eksistensi hukum adat dalam menyelenggarakan pemerintah desa


di Bali. Jurnal RechtsVinding. 1(3): 409-418.
Aryawan, B.K. 2006. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran awig-awig desa adat
oleh krama desa di Desa adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten
Badung Propinsi Bali. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro:
Semarang.
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar. 2017. Awig-
Awig Turut Jaga Mangrove Sekotong, Lombok Barat.
http://bpspldenpasar.kkp.go.id/awig-awig-turut-jaga-mangrove-sekotong--
lombok-barat. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2019.
Gunawan, D.H. 2013. Perubahan Sosial di Perdesaan Bali. Salatiga: Program pasca
sarjana studi pembangunan UKSW.
Hidayat. 2013. Peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan. Jurnal Sejarah CITRA
LEKHA. 17(1): 43-58.
https://www.mongabay.co.id/2019/03/09/areal-tahura-mangrove-rusak-karena-
reklamasi-pelindo-bagaimana-penegakan-hukumnya-bagian-2/
Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) Karangasem. 2016. Awig-awig dalam
Desa Pakraman. http://www.jdih.karangasemkab.go.id/kegiatan/awig-awig-
dalam-desa-pakraman. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2019.
Listriyana, K dan D. Yunitawati. 2008. Hak ulayat masyarakat dalam ketentuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Online Bulletin. ISSN: 1978-1571.
Nurdin., E. Susilo., E. Indrayani., D. Puspitawati., dan Y. Rahmawati. 2017. Hukum
Perikanan. Malang: UB Press.
Oktaviani, S. 2015. Sistem hukum adat lokal dalam pengelolaan perikanan. Jurnal
Oseana LIPI. 10(3): 49-58.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Rindawan, I.K. 2017. Peranan awig-awig dalam melestarikan adat dan budaya di Bali.
Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya. 1-9.
Rosdalina, B. 2017. Hukum Adat. Yogyakarta: Deepublish.

25
Sumarjo. 2018. Eksistensi awig-awig dalam menjaga harmonisasi Desa Adat
Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali. Jurnal Pendidikan
Sosiologi dan Antropologi. 2(1): 27-39.
Susylawati. 2009. Eksistensi hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia. Jurnal
Al-Ihkam. 4(1): 125-140.
Suwacana, I.P.G., A.A.G.O.P. Parwata., dan I.G.N.D. Laksana. 2017. Hubungan antar
lembaga adat dalam penerapan awig-awig di Desa Pakraman Padangtegal
Ubud, Kabupaten Gianyar. Jurnal Kartha Desa. 4(2): 1-12.
Suwitra, I.M., I.W.W Astara., I.K. Irianto., dan L.K. Datrini. 2017. Memaknai isi
rumusan norma dalam awig-awig di Desa adat Pinggan Kintamani Bangli.
Jurnal Lingkungan dan Pembangunan. 1(1): 72-79.
Toha, S. 2011. Eksistensi Hukum Adat dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham
Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandenen Keempat.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Wahyudin, Y. 2015. Sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Pelatihan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Departemen Kehutanan. 1-25.
Widyastini, T. 2013. Efektivitas awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat
nelayan di Pantai Kedonganan Bali. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor: Bogor
Wiranata, I.G.A.B. 2005. Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke
Masa. Bandung: Citra Aditya Bakti.

26

Anda mungkin juga menyukai