Anda di halaman 1dari 2

#InfoEB #Puisi

Bukan hal baru bagaimana masyarakat memandang dan memperlakukan seorang pelacur.
Pelacur tinggalah pelacur katanya, namanya hancur, tangisnya lebur.
Tapi tak ada habisnya pergolakan batin ini ketika membaca sajak dari Rendra yang berjudul
“Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Ada kengerian ketika baru saja membaca
judulnya, tampak nada gugatan pengarang pada kata Bersatulah dari kalimat tersebut.
Dalam puisi ini terdapat tiga kelompok yaitu ‘aku’ yakni Rendra (penyair) yang mengaku
kawan pelacur. Lalu ‘kalian’, ‘kau’ yang digunakan untuk menyebut pelacur. Kemudian
‘mereka’ orang luar, masyarakat luas, penguasa, politisi, dan pejabat tinggi. Dalam menyebut
mereka ini, Rendra kadang menggunakan kata ‘badut’. Kata badut digunakan sebagai
penghinaan kepada politisi dan pejabat tinggi karena mereka diibaratkan sosok yang
mengenakan topeng untuk menutupi aslinya.
Pada bait pertama menggambarkan kabar tentang nasib pelacur Kota Jakarta dari kelas tinggi
hingga kelas rendah telah ‘diganyang’. Perlakuan kasar dan merendahkan pelacur sering
terjadi. Penggrebekan hotel kecil dan lokasi yang disiarkan televisi menampakkan pelacur-
pelacur menunduk menutupi wajahnya.
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan/Tapi jangan kau lewat putus asa/Dan kau relakan
dirimu dibikin korban/.
Dengan kalimat ini Rendra seakan memberi kesempatan kepada pelacur untuk merefleksi
diri, untuk menyesal tentang perbuatannya menjadi seorang pelacur. Namun, Rendra juga
mewanti-wanti untuk jangan mau menjadi korban. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali,
hal tersebut rasanya dilakukan sebagai penekanan.
Nama Sarinah serta Dasima hadir dalam puisi ini. Dua bait tersebut meminta Sarinah dan
Dasima menceritakan perlakuan tak pantas dari pejabat publik, tatkala mereka berteriak
mengenai aklak, moral, akidah, dan menuding para pelacur sebagai makhluk hina, tapi
mereka sendiri senang melecehkan bahkan juga sebagai pelanggan prostitusi.
Sarinah/Katakan kepada mereka/Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri: /Bagaimana ia
bicara panjang lebar kepadamu/Tentang perjuangan nusa bangsa/Dan tiba-tiba tanpa ujung
pangkal/Ia sebut kau inspirasi revolusi/Sambil ia buka kutangmu/.
Dan kau Dasima/Khabarkan pada rakyat/Bagaimana para pemimpin revolusi/Secara bergilir
memelukmu/Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi/Sambil celananya
basah/Dan tubuhnya lemas/Terkapai disampingmu/.
Rendra bahkan menyampaikan kritik dengan sangat terbuka, menyebut politisi dan pegawai
tinggi sebagai caluk yang rapi. Praktik pelacuran tanpa diketahui umum terjadi di konferensi-
konferensi dan kongres yang diselenggarakan oleh para politisi. Pelacur tidak bisa menolak
karena urusan perut menjadi pertimbangan. Jadi moral siapa yang bobrok sebetulnya?
Politisi dan pejabat tinggi jika di dalam kamar, ruang-ruang gelap dan tertutup sebenarnya
takluk dan menggunakan jasa pelacur. Hal yang paling menyayat ketika dikatakan sulitnya
mencari pekerjaan, iazah sekolah tiada guna. tapi para kepala jawatan akan membuka
kesempatan kalau kau membuka paha. Namun, di ruang terbuka, di hadapan rakyat, mereka
meneriakan soal moral, menuduh pelacuran sebagai sumber bencana negara. Inilah yang
disebut politisasi pelacuran. Pelacuran digunakan oleh politisi untuk meraih dukungan massa.
Disini pula dikatakan membubarkan pelacuran tidak semudah membubarkan partai politik
karena pemerintah harus juga memberi pekerjaan kepada pelacur dan orang-orang yang
terlibat dalam pelacuran, harus pula memulihkan derajat pelacur, dan pemerintah harus ikut
memikul kesalahan. Rendra meminta para para pelacur untuk menuntut, apabila
menganjurkan mengganyang pelacuran tanpa menganjurkan mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong.
Di bagian akhir Rendra menyeru dengan apa yang disebutnya di bagian awal puisi
‘Melancarkan Serangan’ yaitu dengan cara menaikkan tarif dua kali lipat, turun ke jalan
mengibarkan kutang-kutang, dan bahkan mogok tidak melakukan pelayanan selama satu
bulan.
Tema pelacur oleh Rendra dijadikan media kritik kepada masyarakat dan penguasa tentang
perlakuan mereka dan pandangan mereka terhadap pelacur. Ia menghadirkan pelacur sebagai
korban bukan sebagai perilaku kejahatan seperti yang dituduhkan. Rendra sama sekali tidak
memaparkan dunia pelacuran yang biasanya berbau ‘ranjang’. Memang ada diksi ‘paha’,
‘kutang’, tetapi sebagai bahasa perlawanan.
Menurut Rendra bukan pelacuran yang lebih dahulu harus diurusi dan dijadikan persoalan
melebihi yang lain, sehingga para pelacur menjadi korban. Melainkan para pejabat yang
membiarkan terjadi kemiskinan, pengangguran, dan pelacuran harus lebih dulu ditindak.
Perlu dipahami bahwa keberpihakan Rendra kepada kaum tersisih dan orang-orang terpinggir
bukan sekali ini dituliskannya dalam bentuk puisi. Seperti dikatakan Rendra “...mereka selalu
muncul dalam sajak-sajak saya”.

Anda mungkin juga menyukai