Anda di halaman 1dari 4

Nama : Elfryda Prahandini

NIM : E1A014281

Kelas :C

Tugas analisis

- Kasus

Seorang nenek memiliki dua cucu, cucu pertama berusia remaja dan cucu kedua
masih usia anak-anak. Keduanya diminta oleh neneknya untuk mengambil kayu bakar,
namun ketika keduanya mengambil kayu bakar di hutan, mereka dipergoki oleh Polisi
Hutan (POLHUT) sehingga keduaya dipukul hingga luka-luka oleh polisi hutan tersebut.
Kemudian remaja dan anak tersebut pulang kerumah untuk memberitahukan apa yang
telah terjadi pada neneknya, lantas si nenek melaporkan hal tersebut pada Kepala Desa
kemudian kepala desa tersebut menguhubungi pihak polisi hutan namun berujung konflik
berkepanjangan.

Bagaimana kasus tersebut diselesiakan dan sistem hukum mana yang dipakai?

- Analisis

Titik pertalian primer

1. Subyek hukum
a. Satu orang anak dan satu orang remaja;
b. Nenek;
c. Kepala Desa;
d. Polisi Hutan (POLHUT);
e. Hakim

2. Tempat tinggal

Daerah Banyumas Jawa Tengah.

3. Pilihan Hukum

Hukum Positif Indonesia yaitu Huku Pidana dan Hukum Adat

4. Tanah

Tanah pemerintah
5. Hakim

Hakim Pengandilan Negeri Purwokerto.

Titik pertalian Sekunder

Titik pertalian sekunder yaitu Faktor- faktor atau keadaan yang menentukan
berlakunya suatu sistim hukum tertentu jadi TPS timbul setelah adanya TPP dan hukum
apa yang akan dilakukan dalam perjanjian hukum (asaz berkontrak) masing-masing
mereka bebas memilih dalam perjanjian hukum antara perjanjian primer atau BW_.
Kasus ini terjadi di Banyums Jawa Tengah yang merupakan wilayah Indonesia
sehingga hukum yang diberlakukan adalah hukum positif Indonesia yaitu Hukum Pidana
dan Hukum Adat. Karena telah melanggar Pasal 50 ayat (3) hurf e UU No.41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu:
setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
Dalam kasus ini Polisi Hutan menganggap kedua cucu nenek tersebut telah
melakukan tindak pidana pencurian karena telah memenuhi rumusan Pasal 362 Bab XXII
KUHP tentang pencurian, yaitu:
barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebgaian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimemiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah.
Tetapi nenek tersebut menggap kedua cucunya yang mengambil kayu dihutan untuk
dijadikan kayu bakar adalah hal biasa yang dilakukan, karena masyakat hukum adat
setempat juga sudah biasa melakukan hal tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
dan yang berhak mengadili dalam kasus ini adalah Pengadilan Negeri Purwokerto
yang merupakan tempat terjadinya kasus tersebut.

- Penyelesaian
Sumber daya alam yang terkandung di wilayah Indonesia dipergunakan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia, yang dipergunakan sebaik-baiknya sesuai kebutuhan yang dikelola oleh
Pemerintah atau negara.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2),
bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah
diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4
ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Dalam kasus ini sebagaimana yang terdapat dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:

1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari


dari masyarakat adat yang bersangkutan;

2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan UU, dan

3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Fakta empris di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak
tradisonalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan. Pola pengkeramatan kawasan
berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat pekarangan.
Masyarakat Adat sekitar_.

Pengakuan tentang status hutan adat diputuskan melalui putusan perkara Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujiaan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN). Di dalam
keputusan tersebut, untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) menerima legal
standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. MK mengabulkan sebagian dari butir-butir
permohonan dari pemohon menyangkut keberadaan hutan adat yang dinyatakan bahwa
statusnya berada di luar hutan negara. Hasil Putusan MK 35 merupakan sebuah awal
pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang memiliki
hak konstitusional atas wilayah adatnya. Putusan MK 35 dipandang sebagai tindakan untuk
memulihkan hak warga negara dan menata kembali hubungan masyarakat adat dengan
pemerintahan dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan. Dengan adanya Putusan MK
35 ini, maka diharapkan akan lahir berbagai inisiatif yang melindungi dan mengakui hak-hak
kesatuan masyarakat adat terhadap wilayah adatnya. Oleh karena kebijakan dan proses yang
saling terkait, maka sangat diperlukan adanya kesepahaman bersama antara pemangku
kebijakan dalam menginterpretasikan Putusan MK 35 dengan peran masing-masing sehingga
mampu bersinergis dalam mengimplementasikan dan mewujudkan pengakuan dan
perlindungan atas Hak Masyarakat Adat.

Tantangan utama yang dialami pemerintahan daerah adalah kommitmen Pemerintahan


Daerah untuk membentuk kebijakan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak
Masyarakat adat dan menjadi dasar dan dorongan melakukan implementasi Putusan MK
No.35 tahun 2012. Tantangan lainnya adalah bagaimana mendorong Pemerintah daerah untuk
menyusun dan menetapkan Hutan Adat dalam bentuk Peraturan Daerah, sementara
diketahui bahwa biaya penyusunan sebuah Perda bukanlah sedikit. Penerjemahan pengertian
antara Hutan dan Kawasan Hutan yang terdapat dalam UU No.41/1999 tentang kehutanan.
Daripada menyesuaikan 45 kebijakan dibidang kehutanan dengan putusan MK 35/2012,
maka pilihan yang paling baik adalah mendorong perubahan/revisi UU No.41/1999 tentang
kehutanan.

Dari landasan-landasan diatas, dapat diputuskan dalam kasus ini sistem hukum yang
dipakai adalah sistem hukum adat dimana kedua cucu nenek tersebut diputuskan tidak
bersalah, karena kegiatan tersebut biasa dilakukan oleh masyarakat hukum adat sekitar,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999. Dan dalam hal ini
Polisi Hutan juga telah melakukan kesalahan karena telah melakukan pemukulan hingga
mengakibatkan kedua anak tersebut luka-luka.

Anda mungkin juga menyukai