Anda di halaman 1dari 24

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS

“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 247


Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

SANKSI PIDANA POKOK


DALAM KUHP DAN RKUHP 2019
Sub tema Tulisan:
Sistem Perumusan Sanksi Pidana dalam RKUHP
Maria Ulfah
Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Jalan Ciumbuleuit Nomor 94 (gedung 2) Bandung 40141
022-2033097; maria.ulfah@unpar.ac.id

Abstrak
Sanksi pidana merupakan ujung penting dalam sistem peradilan pidana yang
memberikan putusan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Sanksi pidana
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sejak 1
Januari 1918 terdapat dua jenis yakni sanksi pidana pokok dan sanksi pidana
tambahan. Hingga tahun 2019 ini, banyak kasus pidana telah diselesaikan dengan
beragam sanksi pidana tersebut. Dalam perkembangan Rancangan KUHP
September 2019 telah diatur pula mengenai beberapa sanksi pidana pokok dan
sanksi pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. Tulisan ini berfokus
mengkaji perumusan sanksi pidana pokok dalam KUHP dan Rancangan KUHP
September 2019 tersebut dikaitkan dengan tujuan pemidanaan agar dapat
dianalisis perkembangannya dan dapat diberikan masukan atas perkembangan
tersebut.
Kata-kata Kunci: Sanksi pidana; pidana pokok; KUHP; RKUHP

Pendahuluan
Hukum pidana dapat berfungsi sebagai pencegahan terjadinya tindak pidana
maupun sebagai penyelesaian dari suatu tindak pidana. Hukum pidana sebagai
penyelesaian atas suatu tindak pidana yang terbukti bersalah di dalam pengadilan akan
berujung pada pemberian sanksi pidana bagi pelaku. Sanksi pidana ini identik dengan
sanksi negatif karena sifatnya yang memberikan penderitaan kepada pelaku. Sanksi
248 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

pidana tersebut bertujuan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau keamanan) dan
pengaturan (kontrol) lebih baik di masyarakat.1
Sanksi pidana pertama kali dikenal sejak adanya peraturan Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie (WvSNI) di 1 Januari 1915 yang berlaku pada 1 Januari 1918.2 WvSNI
kemudian dikenal menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau dapat disebut sebagai Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP ini masih berlaku hingga tahun 2019.
Kemudian beragam kasus pidana sejak dulu hingga sekarang terus bergulir
sepanjang tahunnya. Jumlah kasus pidana dalam 10 tahun terakhir di Indonesia dapat
dilihat dari grafik perkara pidana yang dikelola oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan (LeIP) sejak tahun 2008 hingga 2018 sebagai berikut:3

Berdasarkan angka setiap tahun dalam grafik tersebut dan perkiraan di tahun-tahun
sebelumnya, maka dapat dilihat kemungkinan telah banyak sekali kasus pidana yang
diberikan putusan pemidanaan (sehingga sanksi pidana yang berlaku sejak zaman
penjajah Belanda ini masih terus digunakan hingga sekarang).
Wacana rekodifikasi KUHP telah dimulai sejak tahun 1963 hingga sekarang. Lalu
pada September 2019 telah ada draft Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) untuk disahkan oleh Presiden, namun pada saat beriringan muncul
banyak desakan secara bersamaan dari masyarakat (mayoritas ialah gerakan mahasiswa)
melalui demonstrasi di depan Gedung DPR RI serta di beberapa lokasi maupun di wilayah
lain di Indonesia.4 Melihat desakan yang terjadi, Presiden Joko Widodo berpendapat
bahwa "Setelah mendengar masukan-masukan saya berkesimpulan masih ada materi
yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan
pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini. Saya juga memerintahkan Menteri

1 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari Inleiding Tot De

Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta, 2017, hlm. 4.
2 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 22.
3 Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Statistik Data Perkara Mahkamah Agung,

http://leip.or.id/statistik-data-perkara-mahkamah-agung/
4 Fitra Moerat Ramadhan, Kronologi Demonstrasi Mahasiswa di DPR yang Menolak RUU KUHP,

https://grafis.tempo.co/read/1825/kronologi-demonstrasi-mahasiswa-di-dpr-yang-menolak-ruu-kuhp
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 249
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

Hukum dan HAM menjaring masukkan dari pelbagai kalangan masyarakat sebagai bahan
menyempurnakan RUU KUHP yang ada.”5 Dengan demikian, rekodifikasi KUHP menjadi
wacana kembali hingga sekarang.
Berdasarkan hal di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk membahas mengenai
pengaturan sanksi pidana pokok yang ada di dalam KUHP dan RKUHP September 2019.
Persamaan dan perbedaan kedua pengaturan tersebut dengan analisis hal-hal penting
untuk dipikirkan lebih lanjut sehingga sanksi pidana yang berlaku di masa mendatang
dapat berjalan sesuai dengan tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana, korban, dan
masyarakat sekitar.

Hasil Penelitian
1. Sanksi Pidana Pokok Di Dalam KUHP dan RKUHP
Suatu putusan pemidanaan yang diberikan oleh Hakim dalam perkara pidana akan
memberikan Terdakwa sanksi pidana (straffen) berupa sanksi pidana pokok yang dapat
disertai dengan sanksi pidana tambahan (ataupun dengan tindakan/ maatregelen). Sanksi
pidana pokok adalah hukuman dalam hukum pidana yang tidak dapat digabung di antara
sejenisnya (terkecuali diatur secara khusus dalam aturan pidana relevan) serta bersifat
mandiri (dapat dijatuhkan tanpa ada sanksi pidana tambahan).6 Sedangkan sanksi pidana
tambahan ialah hukuman dalam hukum pidana yang bersifat fakultatif (dapat diberikan
atau tidak diberikan oleh Hakim) serta tidak dapat berdiri sendiri dalam penjatuhannya
karena harus diberikan dengan adanya snaksi pidana pokok.7 Tindakan merupakan suatu
perlakuan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana melalui vonis Hakim serta berfungsi
sebagai prevensi khusus.8 Pemberian sanksi pidana dengan tindakan dalam suatu putusan
pemidanaan dikenal pula sebagai double track system, di mana sistem ini berkembang sebagai
solusi atas perbedaan di antara pandangan aliran klasik yang berlandaskan pada keadilan
retributif dan pandangan aliran modern yang berlandaskan pada perlindungan bagi
masyarakat (Carl Stoos sebagai pelopor awal sistem ini untuk KUHP Swiss).9
Selanjutnya, lex generalis mengenai sanksi pidana di Indonesia diatur di dalam
KUHP. Pada ketentuan Pasal 10 KUHP telah diatur sanksi pidana pokok dan sanksi pidana
tambahan. Sedangkan tindakan belum diatur secara eksplisit di dalam KUHP dan hanya
tampak sebagai tindakan dalam hal Hakim berwenang memerintahkan untuk:
1) seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa yang diatur dalam Pasal 44 KUHP;
2) anak yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya/ walinya/ pemeliharanya/
pemerintah tanpa pidana apapun yang diatur di dalam Pasal 45-46 KUHP (yang telah
diatur lex specialis dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).

5 Friski Riana, Jokowi Perintahkan Tunda Pengesahan RUU KUHP,


https://nasional.tempo.co/read/1250237/jokowi-perintahkan-tunda-pengesahan-ruu-kuhp/full&view=ok
6 C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016, hlm. 20.
7 Ibid.
8 J. Remmelink, Op. Cit.
9 H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International Journal of

Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1, January 1968, hlm. 37
250 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

Lalu di dalam Pasal 64 RKUHP September 2019 diatur bahwa jenis sanksi pidana
berkembang menjadi tiga macam yakni “a. pidana pokok; b pidana tambahan; dan c.
pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang”. Selain itu, tindakan di dalam RKUHP September 2019 juga telah diatur
secara menyeluruh bagi subjek hukum manusia (termasuk anak) dan korporasi di dalam
ketentuan Pasal 103 hingga Pasal 131. Berikut ini adalah tabel yang berisi mengenai jenis
sanksi pidana di dalam KUHP dan RKUHP September 2019:
Jensi Sanksi Pidana dalam KUHP
Pidana Pokok Pidana Tambahan
(Pasal 10) (Pasal 10)
1. Pidana mati (Pasal 11 yang telah diganti dengan 1. Pencabutan hak-hak
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964); tertentu (Pasal 34-Pasal 38);
2. Pidana penjara (Pasal 12-Pasal 17, Pasal 20, Pasal 2. Penyitaan benda-benda
22-Pasal 29, Pasal 32-Pasal 33, Pasal 42); tertentu (Pasal 39-42);
3. Pidana kurungan (Pasal 18-Pasal 29, Pasal 31-Pasal 3. Pengumuman dari putusan
33, Pasal 42); Hakim (Pasal 43).
4. Pidana denda (Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42)
5. Pidana tutupan10.

Jenis Sanksi Pidana dalam RKUHP September 2019


Pidana yang Bersifat Khusus
untuk Tindak Pidana
Pidana Pokok Pidana Tambahan
Tertentu yang Ditentukan
(Pasal 65) (Pasal 66)
dalam Undang-Undang
(Pasal 67)
a. pidana penjara (Pasal a. pencabutan hak pidana mati yang selalu
68-Pasal 73); tertentu (Pasal 86- diancamkan secara alternatif
b. pidana tutupan (Pasal Pasal 90); (Pasal 98-Pasal 102)
74); b. perampasan barang
c. pidana pengawasan tertentu dan/atau
(Pasal 75-Pasal 77); tagihan (Pasal 91-
d. pidana denda (Pasal 78- Pasal 92);
Pasal 84, Pasal 620); c. pengumuman putusan
e. pidana kerja sosial Hakim (Pasal 93);
(Pasal 85). d. pembayaran ganti
rugi (Pasal 94);
e. pencabutan izin
tertentu (Pasal 95);
f. pemenuhan
kewajiban adat
setempat (Pasal 96-
Pasal 97).

10 Berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.


PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 251
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

Kesemua sanksi pidana maupun tindakan RKUHP September 2019 di atas, untuk
pemberiannya kepada pelaku harus memperhatikan ketentuan:
1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52);
2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-Pasal 56);
3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan
alternatif (Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59);
5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63).
Hal ini cukup berbeda dengan penggunaan jenis sanksi pidana KUHP di atas yang
belum mengenal kelima hal penting tersebut untuk diperhatikan karena tidak diatur di
dalam KUHP. Tujuan pemidanaan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi
dasar analisis pengaturan sanksi pidana pokok dalam kedua aturan tersebut.

2. Pidana Mati
Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan
mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sanksi pidana ini telah dikenal sejak
zaman kerajaan di Indonesia, sebelum masa penjajahan.11 Sanksi ini juga bersifat khas
dikarenakan setelah eksekusinya dilaksanakan, maka Terpidana yang sudah kehilangan
nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata muncul kekeliruan atas
perkara yang bersangkutan).12 Hal inilah yang merupakan salah satu alasan banyak pihak
menolak (kontra) sanksi pidana mati.
Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan
urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat ringannya sanksi
pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam RKUHP September 2019 bukan lagi
sebagai jenis pidana pokok melainkan diatur sebagai pidana yang bersifat khusus untuk
tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan demikian di
Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi
masyarakat. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana mati dari
kedua aturan tersebut:
PIDANA MATI
KUHP
RKUHP SEPTEMBER 2019
(Pasal 11 yang telah diganti dengan
(Pasal 98-Pasal 102)
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964)
- Awalnya diatur dalam Pasal 11 dilakukan - Pidana mati langsung diatur dengan
dengan cara leher Terpidana digantung cara ditembak sampai mati kepada
dengan tali oleh algojo di tiang gantungan Terpidana karena dianggap cara yang
dan beberapa waktu berlalu papan tempat paling manusiawi dan dapat
berdiri Terpidana dijatuhkan. disesuaikan dengan perkembangan

11 C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 21.


12 J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 67.
252 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

- Kemudian mengalami perubahan cara apabila terdapat cara lain yang lebih
pelaksanaan pidana mati menjadi manusiawi.
ditembak sampai meninggal sejak adanya - Pidana mati bagi orang yang sakit
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. jiwa, dilakukan apabila Terpidana
Lalu dirinci lebih lanjut di dalam Peraturan tersebut telah sembuh.
Kapolri Nomor 12 Tahun 2010.
- Pidana mati diancamkan alternatif
- Pidana mati diancamkan alternatif dalam dalam pasal relevan dengan pidana
pasal relevan dengan pidana penjara penjara seumur hidup dan pidana
seumur hidup dan pidana penjara 20 penjara 20 tahun.
tahun.
- Telah ada kejelasan kepastian jangka
- Tidak ada kejelasan kepastian jangka waktu pelaksanaan pidana mati bagi
waktu pelaksanaan pidana mati bagi Terpidana. Diatur secara tegas dalam
Terpidana setelah adanya putusan in Pasal 101 bahwa “Jika permohonan
kracht. grasi terpidana mati ditolak dan
- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim pidana mati tidak dilaksanakan
untuk memperhatikan mengenai tujuan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi
pemidanaan, pedoman pemidanaan, ditolak bukan karena terpidana
pedoman penerapan pidana penjara melarikan diri, pidana mati dapat
dengan perumusan tunggal dan diubah menjadi pidana seumur hidup
perumusan alternatif, pemberatan pidana, dengan Keputusan Presiden”.
serta ketentuan lain tentang pemidanaan. - Selain itu, pada Pasal 100 diatur
bahwa Hakim di dalam putusan
pengadilannya dimungkinkan
memberikan pidana mati dengan
masa percobaan selama 10 tahun
(dimulai sejak hari pertama setelah
putusan in kracht) apabila (i)
Terdakwa menunjukkan penyesalan
dan harapan diperbaiki menjadi lebih
baik, (ii) Terdakwa tidak terlalu
penting berperan dalam tindak pidana
relevan, (iii) terdapat alasan
meringankan.
- Diatur pula bahwa selama masa
percobaan, apabila Terpidana
menunjukkan sikap dan perbuatan
terpuji, maka pidananya dapat diubah
menjadi pidana penjara seumur hidup
dengan Keputusan Presiden setelah
mendapat pertimbangan Mahkamah
Agung.
- Begitu pun sebaliknya, apabila
Terpidana tidak menunjukkan sikap
dan perbuatan terpuji, tidak ada
harapan untuk diperbaiki, maka
pidananya dapat dilaksanakan atas
perintah Jaksa Agung.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 253
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk


memperhatikan mengenai:
1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal
52);
2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-
Pasal 56);
3) pedoman penerapan pidana
penjara dengan perumusan tunggal
dan perumusan alternatif (Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal
59);
5) ketentuan lain tentang pemidanaan
(Pasal 60-Pasal 63).

Tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51-52 RKUHP September 2019
menunjukkan bahwa Indonesia di masa mendatang akan menggunakan teori utilitarian
(teori kegunaan atau teori relatif) yang bertujuan bahwa pelaksanaan sanksi pidana bukan
untuk merendahkan martabat manusia dan berorientasi pada pencegahan terjadinya
tindak pidana, pemasyarakatan pelaku tindak pidana, pemulihan keseimbangan di
masyarakat, serta penjeraan bagi pelakunya. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan
tersebut, maka pidana mati memang tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena
pelaksanaan pidana mati lebih berorientasi pada pembalasan atas tindak pidananya di
masa lampau sehingga tidak ada individualisasi pidana bagi Terpidana tersebut.
Mengingat pula bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan pada Pancasila, maka
pemberian sanksi pidana mati sesungguhnya bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila.
Pelanggaran Sila Kedua karena manusia sebagai pelaku tindak pidana juga harus
diperlakukan sebagaimana keluhuran harkat dan martabatnya, pidana mati dengan cara
ditembak sampai meninggal bukanlah sanksi yang tepat untuk memenuhi keluhuran
tersebut.13 Dipertegas pula oleh J. E. Sahetapy bahwa:14
“Manusia bukanlah binatang. Manusia ialah makhluk cipataan Tuhan. Ciptaan
Tuhan memungkinkan seseorang mengubah seluruh perilaku hidupnya dan
berniat menjadi warga negara yang baik dan manusia yang takut akan Tuhan.
Waktulah merupakan guru dan pengalaman yang paling baik dan berharga. …
Manusia perlu diberi tahu dan diberi jalan agar ia mengetahui bahwa Tuhan
sajalah yang adil dan Ia mengasihi keadilan.”

Selain itu, di dunia internasional juga terdapat organisasi di tingkat dunia (gabungan
dari sejumlah negara) yang kontra terhadap pidana mati antara lain ialah Amnesty
International15 yang ada sejak tahun 1961 dan World Coalition Against the Death Penalty

13 C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 22.


14 J. E. Sahetapy, Op. Cit., hlm 69.
15 https://www.amnesty.org/en/who-we-are/
254 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

(WCADP)16 yang muncul sejak tahun 2002. Oleh karena itu, melihat pula pada pandangan
Auliah Andika Rukman17 disimpulkan bahwa “dari aspek sosiologis masyarakat Indonesia
penerapan pidana mati menimbulkan pro dan kontra, pihak yang setuju pidana mati (pro)
umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna
menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau
negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap
pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi
manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan, ditemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan Hakim”.
Terlepas dari pro kontra dari pidana mati, apabila Indonesia masih menggunakan
pidana mati, maka sebaiknya memperhatikan 9 panduan mengenai Jaminan Perlindungan
Bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the
Rights of Those Facing the Death Penalty)18 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations) agar pelaksanaan pidana mati di Indonesia sesuai dengan peruntukannya.
Penting diingat pula bahwa dalam penggunaan pidana mati di Indonesia jangan sampai
memberikan ‘penyiksaan’ yang berarti “keadaan sakit pada diri seseorang akibat perbuatan
orang lain yang secara hukum sangat dilarang” serta jangan sampai berakibat pada
terganggunya keadilan di masyarakat atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.19

3. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak yang
diberikan kepada Terpidana dan yang bersangkutan telah didaftarkan ke suatu Lembaga
Pemasyarakatan. Sanksi pidana ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini
bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih
baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta
diharapkan tercapainya pula prevensi umum.
Pidana penjara di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan
urutan kedua, sedangkan pengaturan pidana penjara di dalam RKUHP September 2019
diatur sebagai pidana pokok dengan urutan pertama. Berikut adalah tabel perbandingan
di antara pengaturan pidana penjara dari kedua aturan tersebut:
PIDANA PENJARA
KUHP
RKUHP SEPTEMBER 2019
(Pasal 12-Pasal 17, Pasal 20, Pasal 22-Pasal
(Pasal 68-Pasal 73)
29, Pasal 32-Pasal 33, Pasal 42)
- Jenis pidana penjara diatur untuk seumur - Jenis pidana penjara diatur untuk
hidup maupun selama waktu tertentu. seumur hidup maupun selama waktu
Dimulai dari 1 hari dan paling lama 15 tertentu (dimulai dari 1 hari dan
tahun berturut-turut, serta dimungkinkan paling lama 15 tahun berturut-turut,

16 http://www.worldcoalition.org/History.html
17 Auliah Andika Rukman, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV Nomor 1, Mei 2016, hlm.
123.
18 https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/DeathPenalty.aspx
19 Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009, hlm. 38.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 255
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

maksimal 20 tahun yang berturut-turut serta dimungkinkan maksimal 20


juga untuk alternatif dari pidana mati/ tahun yang berturut-turut juga untuk
pidana penjara seumur hidup/ alternatif dari pidana mati/ pidana
pengulangan tindak pidana (dalam penjara seumur hidup).
hitungan hari, minggu, bulan, atau tahun - Diiringi dengan adanya kewajiban
dan bukan dengan pecahan). kerja.
- Diiringi dengan adanya kewajiban- - Dapat dilakukan di wilayah Lembaga
kewajiban yang harus diikuti. Pemasyarakatan manapun,
- Dapat dilakukan di wilayah Lembaga sebagaimana peruntukannya (tidka
Pemasyarakatan manapun, sebagaimana terbatas pada wilayah Terpidana
peruntukannya (tidka terbatas pada penjara saja).
wilayah Terpidana penjara saja). - Dikenal untuk tindak pidana (karena
- Dikenal untuk kejahatan saja. tidak dikenal lagi istilah kejahatan
- Dimungkinkan pidana penjara dengan dan pelanggaran).
pidana bersyarat berdasarkan Pasal 14 a - Tidak diaturnya pidana penjara
hingga Pasal 14 f dengan ketentuan dapat dengan pidana bersyarat, lalu yang
diberikan apabila Hakim memberikan dikenal ialah pidana pengawasan
pidana penjara paling lama satu tahun (yang dijelaskan pada poin C.7).
atau pidana kurungan. - Adanya pengaturan dalam Pasal 69
- Diatur pelepasan bersyarat setelah bahwa perubahan atas narapidana
menjalani 2/3 dari yang dijatuhkan yang menjalani pidana penjara
(pengaturan lebih lanjut tentang hal ini seumur hidup telah menjalani pidana
dan hal penting lainnya terdapat di dalam penjara paling singkat 15 tahun,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 pidana penjara seumur hidup dapat
tentang Pemasyarakatan dengan diubah menjadi pidana penjara 20
peraturan pelaksana lainnya). tahun dengan Keputusan Presiden
- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim setelah mendapatkan pertimbangan
untuk memperhatikan mengenai tujuan Mahkamah Agung.
pemidanaan, pedoman pemidanaan, - Diatur pembebasan bersyarat setelah
pedoman penerapan pidana penjara menjalani 2/3 dari yang dijatuhkan.
dengan perumusan tunggal dan - Adanya pengaturan dalam Pasal 70
perumusan alternatif, pemberatan pidana, bahwa pidana penjara sebisa
serta ketentuan lain tentang pemidanaan. mungkin tidak diberikan atas situasi-
situasi tertentu (antara lain: Terdakwa
adalah Anak/ berusia di atas 75
tahun, dan lainnya.
- Dikenal pidana penjara minimum
khusus untuk pasal-pasal tindak
pidana tertentu (yang telah
berkembang di dalam peraturan
pidana di luar KUHP).
- Semakin banyak alternatif pengganti
dari pidana penjara yang diberikan di
bawah 5 tahun.
- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk
memperhatikan mengenai:
256 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal


52);
2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-
Pasal 56);
3) pedoman penerapan pidana
penjara dengan perumusan
tunggal dan perumusan alternatif
(Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal
59);
5) ketentuan lain tentang
pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63).

Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka
pidana penjara adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Selanjutnya,
terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana penjara
di atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai
berikut:
• Pidana penjara dengan pidana bersyarat di dalam KUHP belum banyak digunakan
secara berkelanjutan di Indonesia. Sejalan dengan itu, Barda Nawawi Arief berpendapat
bahwa hal itu terjadi karena pidana penjara dengan pidana bersyarat: 20
a) tidak bersifat mengikat (imperatif);
b) memunculkan ketidakpercayaan Hakim atas pelaksanaannya;
c) memunculkan reaksi di masyarakat sebagai dampak dari pemberiannya kepada
pelaku tindak pidana.
Pidana bersyarat ini dihapuskan di dalam RKUHP September 2019 dan memunculkan
pidana pengawasan (yang akan dibahas pada B.7).
• Pelepasan/ pembebasan bersyarat di KUHP telah diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
Pengaturan di RKUHP September 2019 diatur juga mengenai pembebasan bersyarat,
namun belum menyeluruh dengan hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan lainnya
(misal cuti mengunjungi keluarga, asimilasi, dan sejenisnya) dan tidak ada ketentuan
yang merujuk pada ketentuan lain di UU Pemasyarakatan (ataupun tidak menggunakan
UU Pemasyarakatan). Oleh karena itu, perlu ditegaskan bagaimana kedudukan bagi UU
Pemasyarakatan dengan peraturan pelaksana lainnya yang telah ada dalam hukum
positif dengan keberlakuan RKUHP tersebut di masa mendatang. Apabila tidak
ditegaskan dan melihat pada asas legalitas yang memberlakukan RKUHP dan UU
Pemasyarakatan secara bersamaan, maka akan menimbulkan kebingungan bagi
masyarakat (keduanya saling melengkapi/ salah satunya menjadi tidak berlaku/
bagaimana).

20 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,

Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 176.


PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 257
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

• Perubahan pidana penjara seumur hidup yang lebih manusiawi serta pengaturan
mengenai pidana penjara sebisa mungkin tidak diberikan atas situasi-situasi tertentu
merupakan hal baik yang penting dilakukan pada masa mendatang.
• Pidana penjara minimum khusus untuk tindak pidana tertentu memunculkan
pertanyaan mengapa perlu diatur. Berdasarkan Penjelasan dalam RKUHP September
2019 diketahui bahwa “pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu
pengecualian, yaitu hanya untuk Tindak Pidana tertentu yang dipandang sangat
merugikan, sangat membahayakan, atau sangat meresahkan masyarakat dan untuk
Tindak Pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya”. Serta hal itu
dilakukan untuk:
a. “menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi Tindak
Pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;
b. lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi Tindak
Pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
c. jika dalam keadaan tertentu maksimum pidana dapat diperberat, dapat
dipertimbangkan pula bahwa minimum pidana untuk Tindak Pidana tertentu
dapat diperberat.”
Akan tetapi, perlu diingat fakta bahwa banyak Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
telah melebihi kapasitias (over capacity). Dengan adanya pemberian pidana penjara
minimum khusus itu, maka dapat ditafsirkan bahwa suatu sanksi pidana penjara wajib
diberikan minimum sebagaimana diatur di dalam pasal tindak pidana relevan.
Kebijakan Hakim menjadi terbatas untuk memberikan jangka waktu yang lebih ringan
atau memberikan sanksi pidana pokok lainnya, sehingga turut berdampak pada
semakin banyak jumlah Terpidana harus diberikan sanksi penjara dan pada semakin
meningkatnya kelebihan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dalam pengaturan
sanksi pidana penjara minimum khusus tersebut. Analisis ini sejalan dengan pemikiran
Sudarto yang berpendapat untuk dikriminalisasi suatu perbuatan perlu diperhatikan
salah satu faktor yakni “penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)”.21
• Semakin banyak alternatif pengganti dari pidana penjara yang diberikan di bawah 5
tahun (yakni dengan pidana pengawasan, pidana denda, ataupun pidana kerja sosial),
namun tidak ada pidana pengganti dari pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana
penjara 20 tahun. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, alternatif pidana juga hanya
tampak untuk pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Mengingat pentingnya
untuk mencapai tujuan pemidanaan yang telah dirancangkan dalam RKUHP September
2019 dan mengingat banyaknya jumlah pasal di Buku II RKUHP itu diancam dengan
pidana penjara di atas 5 tahun, maka perlu dipertimbangkan secara cermat dalam
pengaturan alternatif pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun agar

21 Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari, hlm. 21-22.
258 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

kelebihan kapasitas Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan


Indonesia dapat diatasi. Analisis ini sejalan pula dengan pemikiran Sudarto yang
berpendapat untuk dikriminalisasi suatu perbuatan perlu diperhatikan salah satu faktor
yakni “penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan
hasil” (cost and benefit principle)”.22
Benar bahwa pidana penjara sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan
pada RKUHP September 2019. Akan tetapi, fakta kelebihan kapasitas Warga Binaan
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia dapat berujung pada tidak
tercapainya tujuan pemidanaan tersebut. Hal ini tampak dari pendapat yang diungkapkan
oleh Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yaitu:23
“permasalahan yang timbul akibat dari kepadatan narapidana di lembaga
pemasyarakatan antara lain pembinaan/ proses rehabilitasi narapidana tidak
berjalan maksimal, sulitnya pengawasan dan pengamanan, memburuknya
psikologis narapidana termasuk psikologis petugas, rentan konflik antar penghuni,
rentan terjadi penyimpangan seksual, rusaknya sistem sanitasi, memburuknya
kondisi kesehatan narapidana, dan terjadi pemborosan anggaran Negara akibat
meningkatnya konsumsi makanan, air, dan pakaian.”

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan solusi atas fakta kelebihan tersebut dengan
memikirkan lebih cermat dan lebih bijak atas pengaturan mengenai pidana penjara
minimum khusus serta mengenai alternatif sanksi pidana pengganti dari pidana penjara
di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun sebelum nantinya RKUHP September 2019
menjadi hukum positif di masa mendatang.
Fenomena tidak terpenuhinya hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan seperti biaya
pengobatan/ kesehatan24, biaya makanan25, sel/ kamar Lembaga Pemasyarakatan yang
diperjualbelikan oleh pihak internal26, dan hak lainnya juga penting menjadi pemikiran
bahwa pidana penjara dalam penerapannya di beberapa Lembaga Pemasyarakatan
Indonesia memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia Terpidana, sehingga
pembuat RKUHP September 2019 harus lebih bijak juga mengancamkannya dalam pasal-
pasal tindak pidana di Buku II RKUHP tersebut. Untuk pelaksanaan pidana penjara ini
juga penting mengacu pada Aturan Minimum Standar tentang Perlakuan untuk para

22 Ibid.
23 Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 1 Tahun 2016,
hlm. 3.
24
Adi Renaldi, Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat Beli
Paracetamol, https://www.vice.com/id_id/article/vb5qn4/mirisnya-anggaran-kesehatan-napi-indonesia-per-
orang-cuma-cukup-buat-beli-paracetamol dipublikasikan 21 Oktober 2019, diakses 20 November 2019.
25 Ibnu Hariyanto, Ombudsman: Hampir Semua LP di Indonesia Tak Penuhi Standar,

https://news.detik.com/berita/d-4226477/ombudsman-hampir-semua-lp-di-indonesia-tak-penuhi-standar
dipublikasikan 24 September 2018, diakses 20 November 2019.
26 Dani Tri Wahyudi, Ombudsman Terima Laporan Jual Beli Kamar Penjara,
https://indopos.co.id/read/2019/03/28/169853/ombudsman-terima-laporan-jual-beli-kamar-penjara/
dipublikasikan 28 Maret 2019, diakses 20 November 2019.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 259
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

Tahanan27 (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners)28 yang dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) agar pelaksanaan pidana penjara di Indonesia
sesuai dengan peruntukannya.

4. Pidana Kurungan
Pidana kurungan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak yang lebih
ringan daripada pidana penjara kepada Terpidana dan telah didaftarkan ke suatu
Lembaga Pemasyarakatan yang sewilayah dengan pengadilan yang memberikan putusan
pemidanaan in kracht (dan sewilayah dengan domisili Terpidana kurungan). Sanksi pidana
ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa karena
memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi dan di
kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya
pula prevensi umum.
Pidana kurungan di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan
urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana kurungan di dalam RKUHP September 2019
dihapuskan. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana kurungan
dari kedua aturan tersebut:
PIDANA KURUNGAN
KUHP RKUHP September 2019
(Pasal 18-Pasal 29, Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42) (Pasal 619)
- Jangka waktu pidana kurungan ialah satu hari - Pidana kurungan dihapuskan.
hingga paling lama 1 tahun, dimungkinkan paling - Pengaturan di Pasal 619
lama menjadi 1 tahun 4 bulan apabila ada membahas mengenai:
perbarengan atau pengulangan tindak pidana
(1) Penggantian pidana
(dalam hitungan hari, minggu, bulan, atau tahun
kurungan (setelah RKUHP
dan bukan dengan pecahan).
ini berlaku) menjadi pidana
- Dikenal untuk pelanggaran maupun kejahatan denda dengan ketentuan:
tanpa kesengajaan. a. “pidana kurungan
- Dilakukan di wilayah Terpidana kurungan berada kurang dari 6 (enam)
berdasarkan putusan pengadilan in kracht yang bulan diganti dengan
relevan. pidana denda paling
- Diberikan kewajiban-kewajiban yang harus banyak kategori I; dan
diikuti, namun lebih ringan untuk dikerjakan b. pidana kurungan 6
daripada mereka yang menjalani pidana penjara. (enam) bulan atau lebih
diganti dengan pidana
- Dimungkinkan satu tempat dengan mereka yang
denda paling banyak
menjalani pidana penjara tetapi harus berbeda
kategori II.”
sel/ kamar.
(2) “Dalam hal pidana denda
- Orang yang diberikan pidana kurungan dapat yang diancamkan secara
membiayai dirinya sendiri untuk meringankan alternatif dengan pidana
nasibnya sesuai dengan aturan yang berlaku (hak kurungan sebagaimana
pistole). dimaksud pada ayat (1)

27 Tahanan yang dimaksudkan di sini di Indonesia ialah Terpidana yang menjalani pidana penjara (Warga

Binaan Pemasyarakatan).
28 https://www.penalreform.org/resource/standard-minimum-rules-treatment-prisoners-smr/
260 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

- Dapat berfungsi sebagai sanksi pidana pengganti melebihi kategori II, tetap
dari pidana denda (Pasal 30) dengan jangka berlaku ketentuan dalam
waktu 1 hari hingga 6 bulan, dapat menjadi peraturan perundang-
maksimal 8 bulan jika ada pemberatan denda. undangan tersebut.”
- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk
memperhatikan mengenai tujuan pemidanaan,
pedoman pemidanaan, pedoman penerapan
pidana penjara dengan perumusan tunggal dan
perumusan alternatif, pemberatan pidana, serta
ketentuan lain tentang pemidanaan.

Pidana kurungan di KUHP ini jarang digunakan dalam penyelesaian suatu kasus
pidana. Kalaupun pernah ada yang diberikan pidana kurungan, dalam pelaksanaannya
Terpidana kurungan dipersamakan dengan mereka yang menjalani pidana penjara
(minimalnya fasilitas untuk melaksanakan pidana kurungan sehingga pada prakteknya
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, dengan sel/ kamar yang sama dengan
Terpidana penjara).29 Hal inilah yang mungkin menjadi alasan pembuat RKUHP
September 2019 menghapuskan pidana kurungan di masa mendatang.
Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka
pidana kurungan adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya (walau pada
prakteknya berdasarkan KUHP hingga tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal).
Akan tetapi, pidana kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.

5. Pidana Denda
Pidana denda merupakan hukuman berupa wajib membayarkan sejumlah uang ke
kas negara dari Terpidana. Sanksi pidana ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan.
Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku untuk
menjadi lebih baik serta jika diberikan secara mandiri (tanpa pidana penjara), maka
pelakunya akan terbebas dari stigma masyarakat dan tidak dibatasi kebebasan
bergeraknya.
Pidana denda di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan
urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana denda di dalam RKUHP September 2019
diatur sebagai pidana pokok dengan urutan keempat. Berikut adalah tabel perbandingan
di antara pengaturan pidana denda dari kedua aturan tersebut:
PIDANA DENDA
KUHP RKUHP September 2019
(Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42) (Pasal 78-Pasal 84, Pasal 620)
- Jumlah pidana denda dimulai dari 3 rupiah - Jumlah pidana denda dirumuskan
75 sen, tanpa ada pengaturan maksimalnya. dengan kategori, dimulai dari kategori
- Pada perkembangannya, diatur di dalam I hingga kategori VIII (Rp besaran
Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 maksimal 1.000.000,00 hingga Rp.

29 Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Abolisi Pidana Kurungan dalam RKUHP: Pengaruh dan Akibatnya,

https://reformasikuhp.org/abolisi-pidana-kurungan-dalam-rkuhp-pengaruh-dan-akibatnya/ dipublikasikan 16
November 2015, diakses 20 November 2019.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 261
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

tentang Perubahan Jumlah Hukuman 50.000.000.000,00) serta jika tidak


Denda Dalam Kitab Undang-Undang diatur minimum khusus maka
Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuan- ditentukan paling sedikt Rp 50.000,00.
Ketentuan Pidana Lainnya Yang Apabila di kemudian hari terdapat
Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus perubahan nilai mata uang Rupiah,
1945 (pidana denda di KUHP maka selanjutnya akan disesuaikan
dilipatgandakan 15 kali) serta Peraturan melalui Peraturan Pemerintah.
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 - Pidana denda dapat menjadi alternatif
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana dari pidana penjara di bawah 5 tahun.
Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
- Hakim wajib mempertimbangkan
(pidana denda di KUHP dilipatgandakan
kemampuan terdakwa dengan
menjadi 1000 kali).
memperhatikan penghasilan dan
- Apabila pidana denda tidak dibayar, dapat pengeluaran terdakwa secara nyata
digantikan dengan pidana kurungan (dari 1 (namun tidak berlaku untuk
hari hingga paling lama 6 bulan, pengurangan atas pidana denda
dimungkinkan menjadi paling lama 8 bulan minimum khusus).
jika ada perbarengan/ pengulangan).
- Pidana denda dalam Pasal 81 harus
- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk dibayar sesuai jangka waktu yang
memperhatikan mengenai tujuan ditentukan dalam putusan
pemidanaan, pedoman pemidanaan, pemidanaan serta dapat dilakukan
pedoman penerapan pidana penjara dengan dengan cara mengangsur. Selain itu,
perumusan tunggal dan perumusan “jika pidana denda sebagaimana
alternatif, pemberatan pidana, serta dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar
ketentuan lain tentang pemidanaan. dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, kekayaan atau pendapatan
Terpidana dapat disita dan dilelang
oleh Jaksa untuk melunasi pidana
denda yang tidak dibayar.”
- Pada Pasal 82, diatur bahwa “jika
penyitaan dan pelelangan kekayaan
atau pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) tidak
cukup atau tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan, pidana denda
yang tidak dibayar tersebut diganti
dengan pidana penjara, pidana
pengawasan, atau pidana kerja sosial
dengan ketentuan pidana denda
tersebut tidak melebihi pidana denda
kategori II.”
- Pengulangan tindak pidana atas tindak
pidana dengan pidana denda, maka
dapat diberikan pidana pengawasan
paling lama 6 bulan dan pidana denda
yang diperberat paling banyak 1/3
dari yang diancamkan.
- Pidana denda di luar Undang-Undang
ini yang melebihi jumlah kategori VIII,
262 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

- maka diganti dengan pidana denda


kategori VIII (Pasal 620).
- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk
memperhatikan mengenai:
1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal
52);
2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-
Pasal 56);
3) pedoman penerapan pidana
penjara dengan perumusan
tunggal dan perumusan alternatif
(Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal
59);
- ketentuan lain tentang pemidanaan
(Pasal 60-Pasal 63).

Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka
pidana denda adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Selanjutnya,
terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana denda di
atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai
berikut:
• Pidana denda di RKUHP September 2019 telah disusun dengan kategorisasi.
Berdasarkan Penjelasan dalam RKUHP itu, perumusan sistem ini dengan tujuan agar
perumusan pasal-pasal Tindak Pidana di Buku II dan peraturan perundang-undangan
lain di luar RKUHP tersebut dilakukan dengan menunjuk kategori denda yang sudah
dirumuskan di Buku I dan tidak perlu menyebutkan jumlah pidana denda tertentu.
Perumusan ini harus diapresiasi karena tidak dapat dipungkiri bahwa pidana denda
yang ada KUHP selama ini (setelah Indonesia menjadi negara berkembang), maka
pidana denda tidak lagi sering digunakan atas dasar nominal mata uang Rupiah yang
mulai menguat dan tidak sama seperti zaman penjajahan dahulu. Telah diatur pula
penyesuaiannya di masa mendatang yang dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Hal
ini lebih memudahkan dibandingkan dengan perubahan yang berkembang melalui
Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012.
• Hal positif lain yang diapresiasi dari perumusan ini ialah adanyan individualisasi
pidana kepada pelaku yang bersangkutan serta pidana denda dapat dilakukan dengan
cara mengangsur. Akan tetapi, dimungkinkan terjadinya penyitaan dan pelelangan oleh
Jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. Hal ini memungkinkan
terjadinya perbedaan jumlah nominal antara pidana denda dengan nominal atas barang-
barang yang disita dan dilelang, sehingga tidak terpenuhinya “penggunaan hukum
pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 263
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

principle)”.30 Konsep penyitaaan dan pelelangan tersebut tidaklah cocok untuk subjek
hukum tindak pidana yang dilakukan manusia, dapat menjadi relevan untuk subjek
hukum tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (karena korporasi tidak diberikan
sanksi pidana penjara ataupun pidana mati).31 Adapun yang dapat menjadi
pertimbangan lain ialah tidak mudahnya penyitaan32 dan pelelangan33 atas kekayaan
atau pendapatan Terpidana yang dilakukan Jaksa di Indonesia.
• Dimungkinkan adanya pidana denda pengganti berupa pidana penjara, pidana
pengawasan, atau pidana kerja sosial. Beberapa poin penting dari pengaturan ini yakni
baru dapat dilakukan jika pidana denda yang diberikan tidak melebihi kategori II serta
jika penyitaan dan pelelangan tidak dapat dilakukan. Apabila dilihat di dalam
pengaturan Buku II RKUHP September 2019 tampak jelas banyak pasal tindak pidana
yang diancamkan di atas kategori II. Oleh karena itu, pengaturan ini bersifat semu dan
belum mengakomodir untuk pidana denda kategori III hingga kategori VIII bagi subjek
hukum manusia maupun korporasi. Adapula jika membahas korporasi sebagai pelaku
tindak pidana, dimungkinkan terjadi tindak pidana dengan nominal kerugian negara
atau masyarakat yang bernilai sangat besar (dimungkinkan diberikan pidana kategori
VIII) dan membutuhkan sarana penyitaan dan pelelangan yang dimaksudkan. Jadi
penentuan pidana denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)34 penting untuk
dicermati kembali.

6. Pidana Tutupan
Pidana tutupan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak (atas tindak
pidana dengan didorong maksud yang patut dihormati) kepada Terpidana yang telah
didaftarkan ke suatu Rumah Tutupan. Sanksi pidana ini baru dikenal setelah masa
kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang
Hukuman Tutupan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah
Tutupan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku
agar menjadi lebih baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar
(prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum.
Pidana tutupan yang dikenal di luar KUHP sebagai jenis sanksi pidana pokok yang
dianggap sebagai pidana pokok dengan urutan kelima, sedangkan pengaturan pidana
tutupan di dalam RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan

30 Suhariyono A. R., Op. Cit.


31 Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Op. Cit.
32 Lihat lebih lanjut artikel Anti-Corruption Clearing House, Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang

Rampasan, https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tata-laksana-benda-sitaan-dan-barang-rampasan
dipublikasikan 30 Desember 2016, diakses 21 November 2019.
33 Lihat lebih lanjut artikel Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lelang Bersifat Lex Specialis, PMK No.

13/ PMK. 06/ 2018: Peluang atau Ancaman, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12709/Lelang-


Bersifat-Lex-Specialis-PMK-No-13PMK062018-Peluang-atau-Ancaman.html dipublikasikan 7 Septermber 2018,
diakses 21 November 2019.
34 Suhariyono A. R., Op. Cit.
264 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

kedua. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana tutupan dari kedua
aturan tersebut:
PIDANA TUTUPAN
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946
RKUHP September 2019
juncto Peraturan Pemerintah
(Pasal 74)
Nomor 8 Tahun 1948
- Pidana ini merupakan pidana pokok yang - Berdasarkan ketentuan Pasal 74 diatur
menggantikan (alternatif) dari pidana bahwa:
penjara atas kejahatan yang dilakukan “(1) Orang yang melakukan Tindak
karena terdorong maksud yang patut Pidana yang diancam dengan
dihormati. pidana penjara karena keadaan
- Diiringi dengan adanya kewajiban- pribadi dan perbuatannya dapat
kewajiban yang harus diikuti. dijatuhi pidana tutupan.
- Berlakunya peraturan mengenai pidana (2) Pidana tutupan sebagaimana
penjara bagi mereka yang mendapatkan dimaksud pada ayat (1) dapat
pidana tutupan. dijatuhkan kepada terdakwa yang
melakukan Tindak Pidana karena
- Pelaksanaan pidana ini dilakukan di Rumah
terdorong oleh maksud yang
Tutupan.
patut dihormati.
- Makanan orang yang menjalani pidana (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
tutupan harus lebih baik daripada makanan pada ayat (2) tidak berlaku jika
orang yang menjalani pidana penjara. cara melakukan atau akibat dari
- Adanya pemberian rokok yang diganti Tindak Pidana tersebut
dengan sejumlah uang seharga rokok sedemikian rupa sehingga
tersebut bagi Terpidana tutupan yang tidak Terdakwa lebih tepat untuk
merokok. dijatuhi pidana penjara.”
- Terpidana tutupan boleh menerima dari - Adanya kewajiban bagi Hakim untuk
luar atau membeli makanan, minuman, memperhatikan mengenai:
sedap-sedapan, dan lainnya (termasuk 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal
buku baru/ surat kabar/ majalah) dengan 52);
biaya sendiri. 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-
- Terpidana tutupan diperkenankan Pasal 56);
menghias ruangan untuk tidur, makan, 3) pedoman penerapan pidana penjara
beristirahat, selama tidak melanggar dengan perumusan tunggal dan
kesusilaan/ perasaan orang lain. perumusan alternatif (Pasal 57);
- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal
memperhatikan mengenai tujuan 59);
pemidanaan, pedoman pemidanaan, 5) ketentuan lain tentang pemidanaan
pedoman penerapan pidana penjara dengan (Pasal 60-Pasal 63).
perumusan tunggal dan perumusan
alternatif, pemberatan pidana, serta
ketentuan lain tentang pemidanaan.

Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka
pidana tutupan adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Akan tetapi,
terdapat hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana tutupan di atas
dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai berikut:
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 265
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

- Pidana tutupan memiliki keistimewaan yang berbeda dengan pidana penjara, beberapa
diantaranya dapat dilihat pada tabel di atas.
- Pelaksanaan pidana tutupan bukan di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi di Rumah
Tutupan yang hampir tidak terdengar lagi eksistensinya.
- Pada hukum positif tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut atas tafsiran otentik dari
“karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati”. Sedangkan pada bagian
Penjelasan dari RKUHP September 2019 hanya dimaksudkan untuk tindak pidana
politik (tanpa memberikan detail ketentuan lebih lanjut). Andi Hamzah berpendapat
pula bahwa pidana tutupan ada untuk politisi yang melakukan tindak pidana karena
ideologi yang dianutnya35 sehingga menimbulkan kebingungan bagaimana klasifikasi
pelaku tindak pidana politik yang layak diberikan pidana tutupan. Adapun ketentuan
Pasal 620 RKUHP September 2019 memberikan makna bahwa penggunaan pidana
tutupan di masa mendatang masih menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1946 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 hingga diatur aturan yang baru,
sehingga multitafsir atas pidana tutupan ini masih tetap ada di masa mendatang.
- Sejak tahun 1946 hingga 2019, hanya terdapat 1 perkara yang diberikan putusan
pemidanaan berupa pidana tutupan. Perkara tersebut bermula dari perbedaan
pandangan politik antara Sutan Sjahrir dengan Tan Malaka mengenai perjuangan
bersenjata melawan Belanda yang menghasilkan 4 maklumat untuk ditandatangani
Presiden Ir. Soekarno (hal ini dianggap sebagai tindak pidana makar), kemudian
perkara ini diputuskan oleh putusan Mahkamah Tentara Agung di Yogyakarta pada 27
Mei 1948 dan dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946.36
Berlandaskan pada beberapa hal penting di atas, maka penting dipikirkan kembali
mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana tutupan dalam tujuan
pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana tutupan yang sejalan dengan
tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/
overbelasting), dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit
principle)”37 penting untuk dicermati kembali.

7. Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial dalam RKUHP


Sanksi pidana pokok lain yang belum dikaji ialah pidana pengawasan dan pidana
kerja sosial. Kedua sanksi pidana tersebut merupakan alternatif dari pidana penjara.
Pidana pengawasan (probation) menurut Muladi ialah “suatu sistem yang berusaha untuk
mengadakan rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana,
dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan”.38
Sedangkan definisi pidana kerja sosial (community service order) ialah sanksi berupa kerja

35 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 191.
36 Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April 2018, hlm. 153.
37 Suhariyono A. R., Op. Cit.
38 I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017, hlm. 3.
266 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

sosial yang ditentukan oleh pihak berwenang agar pelaku tindak pidana mampu
memperbaiki diri mereka agar bermanfaat bagi masyarakat sekitar.39 Berikut adalah tabel
perbandingan di antara pengaturan pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dalam
RKUHP September 2019:
RKUHP September 2019
Pidana Pengawasan Pidana Kerja Sosial
(Pasal 75-Pasal 77) (Pasal 85)
- Pidana pengawasan sebagai alternatif dari - Pidana kerja sosial sebagai alternatif
pidana penjara yang diancam dengan dari pidana penjara yang diancam
pidana penjara paling lama 5 tahun serta kurang dari 5 tahun serta Hakim
memperhatikan Pasal 52, Pasal 54, dan Pasal memberikan pidana penjara paling
70. lama 6 bulan/ pidana denda paling
- Pidana ini diberikan paling lama sama banyak kategori II.
dengan pidana penjara yang diancamkan - Pidana ini diberikan paling singkat 8
tidak lebih dari 3 tahun. jam dan paling lama 240 jam (dalam 1
- Pemberian sanksi ini harus ditetapkan hari dilakukan paling lama 8 jam dan
dengan syarat umum yaitu Terpidana tidak dapat diangsur paling lama dalam
akan melakukan tindak pidana lagi (jika waktu 6 bulan) dengan pertimbangan
syarat umum ini tidak dipenuhi, maka atas beberapa aspek dalam Pasal 85
pelaku wajib menjalani pidana penjara serta tidak boleh dikomersilkan. Oleh
sebagaimana seharusnya) serta dapat karena itu, putusan pemidanaan harus
diiringi dengan syarat khusus yakni harus memuat lengkap jangka waktu pidana
menggati seluruh atau sebagian kerugian kerja sosial yang dimaksudkan.
yang timbul akibat tindak pidana yang - Adanya kewajiban bagi Hakim untuk
dilakukan dan/atau harus melakukan/ memperhatikan mengenai:
tidak melakukan sesutau tanpa mengurangi 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal
kemerdekaan beragama dan kemerdekaan 52);
berpolitik (jika syarat khusus ini tidak 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-
dipenuhi, maka akan diusulkan agar Pasal 56);
Terpidana menjalani pidana penjara atau 3) pedoman penerapan pidana
memperpanjang masa pengawasan). penjara dengan perumusan tunggal
- Terpidana dengan kelakuan yang baik, dan perumusan alternatif (Pasal
dapat memberikan dampak bagi Jaksa 57);
untuk mengusulkan pengurangan jangka 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal
waktu pengawasan. 59);
- Pidana pengawasan tetap dilakukan, jika 5) ketentuan lain tentang pemidanaan
diberikan bersamaan dengan sanksi pidana (Pasal 60-Pasal 63).
yang bukan pidana mati atau pidana
penjara.
- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk
memperhatikan mengenai:
1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52);
2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-Pasal
56);

39 Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016, hlm. 90.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 267
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

3) pedoman penerapan pidana penjara


dengan perumusan tunggal dan
perumusan alternatif (Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59);
5) ketentuan lain tentang pemidanaan
(Pasal 60-Pasal 63).

Kedua sanksi pidana tersebut merupakan sanksi pidana pokok yang baru dikenal
dalam RKUHP September 2019. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52
RKUHP tersebut, maka pidana pengawasan dan pidana kerja sosial adalah jenis sanksi
pidana pokok yang dapat memenuhinya. Terlebih lagi keduanya merupakan alternatif
dari pidana penjara di bawah 5 tahun. Akan tetapi, perlu dimatangkan perumusan hingga
pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain yang diperlukan) dari pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang
memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum
(yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)40. Hal ini penting
agar kedua sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat diterapkan dan tidak hanya
tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang saja.
Selain analisis mengenai beragam sanksi pidana pokok di atas, ketentuan dalam
Pasal 57 RKUHP September 2019 yang penting diperhatikan dalam penggunaan sanksi
pidana pokok di masa mendatang ialah “Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan
pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih
diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya
tujuan pemidanaan.” dengan bagian Penjelasan dari pasal tersebut yang mengatur bahwa
“Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam menghadapi rumusan pidana yang bersifat
alternatif, namun dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada
tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih
ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.” Hal ini penting agar prinsip
ultimum remedium tetap terlaksana karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus
tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih ringan
mengapa harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan analisis atas sejumlah sanksi pidana pokok di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa setiap sanksi pidana pokok yang dikaji (dalam KUHP maupun
RKUHP September 2019) memiliki persamaan dan perbedaan satu sama lain. Setelah

40 Suhariyono A. R., Op. Cit.


268 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

melihat pengaturan secara normatif, doktrin relevan, dan melihat beberapa fenomena yang
terjadi hingga tahun 2019, maka perumusan sanksi pidana pokok di dalam RKUHP
September 2019 yakni:
- pidana mati telah ada kepastian mengenai pelaksanaannya, namun secara konsep
pidana ini tidak sejalan dengan Pancasila, tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan
yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019, banyak ditolak oleh
organisasi internasional/ negara-negara, serta tidak ada individualisasi pidana.
- pidana penjara sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52
RKUHP September 2019, telah ada individualisasi pidana. Akan tetapi, muncul banyak
fenomena permasalahan dalam penerapan pidana penjara yang mengacu pada hukum
positif hingga tahun 2019 serta ada beberapa masukan mengenai pengaturan baru di
RKUHP September 2019. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan solusi atas fenomena
tersebut dengan memikirkan lebih cermat dan lebih bijak atas pengaturan mengenai
pidana penjara minimum khusus serta mengenai alternatif sanksi pidana pengganti
dari pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun sebelum nantinya
RKUHP September 2019 menjadi hukum positif di masa mendatang.
- pidana kurungan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-
52 RKUHP September 2019 (walau pada prakteknya berdasarkan KUHP hingga tahun
2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi, pidana kurungan telah
dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.
- pidana denda telah disusun secara baik dalam kategorisasi (kategori I hingga kategori
VIII), sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP
September 2019, dapat dilakukan dengan cara mengangsur, telah ada individualisasi
pidana. Akan tetapi, muncul konsep penyitaan dan pelelangan atas pidana denda tidak
lunas yang dapat menjadi permasalahan ketika diterapkan oleh Jaksa di Indonesia. Jadi
penentuan pidana denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle) penting untuk
dicermati kembali.
- pidana tutupan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-
52 RKUHP September 2019, namun banyak poin penting untuk dipikirkan kembali
mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana tutupan dalam tujuan
pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana tutupan yang sejalan dengan
tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/
overbelasting), dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit
principle)” penting untuk dicermati kembali.
- pidana pengawasan dan pidana kerja sosial diatur sebagai alternatif dari pidana penjara
di bawah 5 tahun, sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal
51-52 RKUHP September 2019. Akan tetapi, perlu dimatangkan perumusan hingga
pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain yang diperlukan) dari kedua
pidana tersebut yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA 269
Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”

badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/
overbelasting) dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit
principle). Hal ini penting agar kedua sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat
diterapkan dan tidak hanya tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang
saja.
- pentingnya memahami ketentuan Pasal 57 RKUHP September 2019 yang relevan
dengan prinsip ultimum remedium. Hal ini penting bagi perumus dan pelaksana RKUHP
September 2019 karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus tindak pidana,
sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih ringan mengapa
harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.

Saran
Sanksi pidana pokok dalam RKUHP September 2019 penting untuk secara
berkelanjutan dan komprehensif untuk dirumuskan lebih bijak dan lebih cermat
mengenai:
o tujuan pemidanaan yang telah dirancangkan;
o kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (di mana
jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting),
o prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle);
o prinsip ultimum remedium yang melekat dalam penggunaan sanksi pidana pokok di
masa mendatang.

Daftar Pustaka
Buku
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016.
J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari
Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P.
Moeliono, Maharsa, Yogyakarta, 2017.
J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Jurnal
Auliah Andika Rukman, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV Nomor 1, Mei
2016.
Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 1
Tahun 2016.
Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016.
H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International
Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1,
January 1968.
270 Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”

Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009.


I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017.
Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April 2018.
Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari.
Artikel
Adi Renaldi, Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat
Beli Paracetamol, https://www.vice.com/id_id/article/vb5qn4/mirisnya-
anggaran-kesehatan-napi-indonesia-per-orang-cuma-cukup-buat-beli-
paracetamol dipublikasikan 21 Oktober 2019, diakses 20 November 2019.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Abolisi Pidana Kurungan dalam RKUHP: Pengaruh
dan Akibatnya, https://reformasikuhp.org/abolisi-pidana-kurungan-
dalam-rkuhp-pengaruh-dan-akibatnya/ dipublikasikan 16 November 2015,
diakses 20 November 2019.
Anti-Corruption Clearing House, Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang Rampasan,
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tata-laksana-benda-
sitaan-dan-barang-rampasan dipublikasikan 30 Desember 2016, diakses 21
November 2019.
Dani Tri Wahyudi, Ombudsman Terima Laporan Jual Beli Kamar Penjara,
https://indopos.co.id/read/2019/03/28/169853/ombudsman-terima-
laporan-jual-beli-kamar-penjara/ dipublikasikan 28 Maret 2019, diakses 20
November 2019.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lelang Bersifat Lex Specialis, PMK No. 13/ PMK.
06/ 2018: Peluang atau Ancaman,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12709/Lelang-Bersifat-
Lex-Specialis-PMK-No-13PMK062018-Peluang-atau-Ancaman.html
dipublikasikan 7 Septermber 2018, diakses 21 November 2019.
Fitra Moerat Ramadhan, Kronologi Demonstrasi Mahasiswa di DPR yang Menolak RUU
KUHP, https://grafis.tempo.co/read/1825/kronologi-demonstrasi-
mahasiswa-di-dpr-yang-menolak-ruu-kuhp
Friski Riana, Jokowi Perintahkan Tunda Pengesahan RUU KUHP,
https://nasional.tempo.co/read/1250237/jokowi-perintahkan-tunda-
pengesahan-ruu-kuhp/full&view=ok
Ibnu Hariyanto, Ombudsman: Hampir Semua LP di Indonesia Tak Penuhi Standar,
https://news.detik.com/berita/d-4226477/ombudsman-hampir-semua-
lp-di-indonesia-tak-penuhi-standar dipublikasikan 24 September 2018,
diakses 20 November 2019.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Statistik Data Perkara
Mahkamah Agung, http://leip.or.id/statistik-data-perkara-mahkamah-
agung/
Website
https://www.amnesty.org/en/who-we-are/
https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/DeathPenalty.aspx
https://www.penalreform.org/resource/standard-minimum-rules-treatment-
prisoners-smr/
http://www.worldcoalition.org/History.html

Anda mungkin juga menyukai