Nim : 02011181823475
1. Asas Retroaktif
Asas retroaktif adalah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya
hukum yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi
pada masa lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya
pada pelanggaran HAM berat. Selain itu, Azas retroaktif adalah suatu azas hukum
yang mengubah konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status
hukum, fakta-fakta dan hubungan yang ada, sebelum suatu hukum diberlakukan atau
diundangkan.
Berdasarkan KUHP
Azas legalitas diatur dalam KUHP yang berlaku sekarang, Pasal 1 ayat:
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundangundangan pidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.
Berdasarkan RUU KUHP
Dalam pasal 1 ayat:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan
yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Pasal 2 ayat:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.
KUHP ayat (1) tersebut menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada sebelum perbuatan dilakukan.
Bunyi Pasal 1 ayat (1) secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: suatu tindak
pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan
kemudian peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana (tidak berlaku surut). Artinya bila terjadi tindak pidana dan belum ada aturan
tidak dapat dipidanakan.
Sedangkan, bunyi pasal 1 dan pasal 2 RUU KUHP menerangkan bahwa
seseorang dapat dipidana bukan hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan
namun juga sesuai dengan ketentuan yang sudah ada atau menurut hukum
masyarakat dan nilai-nilai pancasila.
------------
1)
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.
2)
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke
tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun.
3)
(1)Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama
dua puluh tahun.
4)
(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun:
1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintahan dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
5)
Tiap-tiap perbuatan penyerangan terhadap diri Presiden atau Wakil Presiden,
yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun.
Berdasarkan RKUHP
Asas nasional pasif tercantum dalam Pasal 5, yang memuat mengenai:
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang di
luar wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap:
a. Warga negara Indonesia; atau
b. Kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan:
1. Keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
2. Martabat Presiden, Wakil Presiden, atau pejabat Indonesia di luar
negeri;
3. Pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, mata uang, atau
kartu kredit;
4. Perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
5. Keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
6. Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional
atau negara Indonesia;
7. Keselamatan atau keamanan peralatan komunikasi elektronik;
8. Tindak pidana jabatan atau korupsi; atau
9. Tindak pidana pencucian uang.
Asas nasional pasif menunjukkan aspek perbedaan dimana Pasal 5 RKUHP
mencantumkan adanya tindak pidana jabatan atau korupsi, serta tindak pidana
pencucian uang. Sedangkan pada Pasal 4 KUHP tidak dicantumkan hal tersebut.
3. Pidana Mati
Pada prinsipnya Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan
dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam
dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Berdasarkan KUHP
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan RKUHP
Pasal 66
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat
ringannya pidana.
Pasal 67 "Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif"
Pasal 89 "Pidana mati secara alternatifdijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat"
Dalam KUHP sangat jelas dicantumkan bahwa pidana mati merupakan salah
satu pidana pokok. Namun, dalam RUU KUHP, pidana mati merupakan alternatif
sebagai upaya terakhir. Hal tersebut menujukkan perbedaan yang sangat sinifikan.
5. Kewajiban Adat
Dalam KUHP tidak dicantumkan maupun dijelaskan sama sekali adanya
pemenuhan kewajiban adat dalam pelaksanaan tindakan pidana. KUHP hanya
mencantumkan pidana yang pertanggungjawabannya sebatas kepada negara. Namun
pada RKUHP seperti Pasal 123, dicantumkan adanya pemenuhan kewajiban adat
sebagai pidana tambahan. Pemenuhan kewajiban adat menujukkan bahwa RKUHP
pertanggungjawabannya bukan hanya negara tetapi adalah adat dalam masyarakat
dan unsur lainnya.
Rederensi
https://repository.unpak.ac.id
https://repository.unpar.ac.id
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/4909/Perbandingan-asas-legalitas-dalam-
Kitab-Undang-Undang-Hukum-Pidana-KUHP-dengan-Rancangan-Kitab-Undang-
Undang-Hukum-Pidana-RKUHP