Anda di halaman 1dari 7

1. Asas berlakunya hukum pidana antara lain menurut Prof.

Moeljatno yaitu menurut waktu


dan tempat. Jelaskan jawaban saudara beserta dasar hukumnya. (Bobot 20%)

a. berlakunya hukum pidana menurut waktu, artinya adalah kapan seseorang melakukan sebuah
perbuatan pidana. sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan
tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. dalam hal ini berlaku asas legalitas
yang terdapat pada pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu: “ Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas
perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih
dahulu”. asas legalitas mengandung tiga prinsip dasar:

● Tiada pidana tanpa undang-undang


● tiada pidana tanpa perbuatan pidana
● tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dahulu ada

Menurut Prof. Moeljatno Pengertian yang ada dalam asas legalitas, yaitu:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam satu aturan undang-undang. hal ini dirumuskan dalam
pasal 1 ayat 1 KUHP
2. untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi
diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3. aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

b. Berlakunya hukum pidana menurut tempat, Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut
tempat dibagi menjadi dua yakni: pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi
semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara baik dilakukan oleh warga negaranya
sendiri maupun oleh orang lain (asas teritorial). kedua, perundang-undangan hukum pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, di mana saja, juga
apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah negara. lebih jelasnya:

1. Asas teritorial, pasal ini diatur dalam pasal 2 KUHP yaitu “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak
pidana di Indonesia”. dengan jelas menyatakan asas teritorial, dan ketentuan ini sudah
sewajarnya berlaku bagi negara yang berdaulat asas teritorial lebih menitikberatkan pada
terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa
pelakunya, warga negara atau orang asing. Perluasan dari asas teritorial diatur dalam pasal
3 KUHP yaitu: “ ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia”.

Ketentuan di atas tidak berlaku untuk sebagian orang yang memiliki kekebalan dan
hak-hak istimewa. seperti kepala negara asing dan anggota keluarganya, pejabat-pejabat
perwakilan asing dan keluarganya, Pejabat-pejabat pemerintah negara asing yang berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan melalui negara-negara lain atau menuju negara lain,
suatu Angkatan Bersenjata yang terpimpin, pejabat-pejabat badan internasional,
kapal-kapal perang, dan pesawat udara militer/abk di atas kapal maupun di luar kapal

2. Asas personal, Asas personal atau asas nasional yang aktif tidak mungkin digunakan
sepenuhnya terhadap warga negara yang sedang berada dalam wilayah negara lain yang
kedudukannya sama-sama berdaulat. Pada pasal 5 KUHP yaitu: “(1) Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia
melakukan: salah satu kejahatan yang tersebut dalam bab 1 dan bab 2 buku kedua dan
pasal-pasal 160, 161, 240 279 450 dan 451. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, Sedangkan
menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan
pidana. (2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga
jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.Indonesia berlaku bagi
warga negara Indonesia di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu
kejahatan terhadap keamanan negara martabat kepala negara, penghasutan, dan lain-lain”.
3. Asas perlindungan, Pada pasal 4 KUHP yang kemudian diubah dan ditambah Berdasarkan
UU nomor 4 tahun 1976 : “ ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia: 1. Salah satu kejahatan
berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131; 2. suatu kejahatan mengenai mata
uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai
yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia; 3. pemalsuan
surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga yang mengikuti
surat atau sertifikat itu, itu dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut
atau menggunakan surat surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli
dan tidak palsu; 4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal-pasal 438, 444, hingga
446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan banyak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara
melawan hukum, pasal 479 l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam
Keselamatan Penerbangan sipil”.
4. Asas universal, Asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah
dilandasi pemikiran bahwa setiap negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum
sedunia (hukum internasional). Hal ini dikarenakan rumusan pasal 4 ke-2 KUHP
(mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP
(mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan
mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat
terbang mana yang dibajak.

2. Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi yang berupa pidana/ hukuman. Sebutkan dan
jelaskan jenis pidana/ hukuman beserta dasar hukumnya. (Bobot 20%)

Jawab: Jenis atau bentuk hukuman terdapat dalam buku 1 KUHP bab kedua yaitu dari pasal 10
hingga Pasal 43 KUHP. antara lain:

1. Pidana mati, Merupakan satu-satunya bentuk hukuman yang menjadi diskursus di masyarakat.
hal ini dikarenakan hukuman mati hal ini dikarenakan hukuman mati merampas kehidupan
seseorang. Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya Dilaksanakan menurut
ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo
atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang
penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”. Karena dirasa kurang sesuai,
maka pasal tersebut diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak
tanggal 25 Agustus 1945. Berdasarkan keterangan tersebut disimpulkan bahwa eksekusi
hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati
bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
2. Pidana penjara, pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yaitu dengan
menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga pemasyarakatan)Di mana terpidana
tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan dalamnya di WA kan untuk tunduk dan taat serta
menjalankan Semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. hukuman penjara minimum 1 hari
dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat 2 KUHP, dan dapat melebihi batas maksimum yakni
dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat 3 KUHP. Saat menjalani pidana penjara di
lembaga pemasyarakatan narapidana harus menjalankan pekerjaan pekerjaan yang diwajibkan
kepadanya Menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam pasal 29 KUHP. Kewajiban
bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar Lembaga Kemasyarakatan,
kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam pasal 25 KUHP.
3. Pidana kurungan, Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara, melakukan hal
pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan
dilaksanakan dengan batasan minimum 1 hari dan maksimum 1 tahun. persamaan antara
pidana penjara dan Pidana kurungan yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak;
mengenal maksimum umum, maksimum khusus, dan minimum umum dan tidak mengenal
minimum khusus; Sama-sama diwajibkan untuk bekerja; sama-sama bertempat di penjara.
Sedangkan perbedaannya adalah lebih ringan Pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal
69 KUHP) ;Ancaman maksimum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan Pidana kurungan
hanya 1 tahun; pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga pemasyarakatan di
seluruh Indonesia, sedangkan Pidana kurungan hanya bisa dilaksanakan di tempat di mana ia
berdiam ketika diadakan keputusan hakim.
4. pidana denda, merupakan hukuman utama ke-4 yang disebutkan dalam pasal 10 KUHP.
Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum
umum menurut pasal 30 ayat 1 KUHP adalah tiga puluh juta rupiah tujuh puluh lima sen.
Apabila terpidana tidak membayarkan uang dana yang telah diputuskan maka konsekuensinya
adalah harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat 2 KUHP sebagai
pengganti dari pidana denda). Untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam pasal
27 KUHP.
5. Hukuman tutupan, Dalam KUHP terjemahan BPHN, pada pasal 10 dicantumkan pidana
tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir dibawa pidana denda. pencantuman ini
didasarkan kepada UU No. 20 Tahun 1946 Tentang hukuman tutupan itu ditetapkan bahwa di
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan. yang diancam dengan hukuman penjara,
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan
hukuman tutupan. Pada pasal 1 undang-undang tersebut hukuman tutupan dimaksudkan untuk
menggantikan hukuman penjara.

3. Beberapa hari yang lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan bebas
terhadap dua polisi terdakwa pembunuhan Laskar FPI. Komnas HAM menyatakan
pembunuhan empat laskar FPI ini sebagai unlawful killing. Mereka dinilai bersalah
sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum, namun tak dapat dijatuhi pidana karena alasan
pembenaran dan pemaaf

a. Alasan apa yang dipakai oleh pengadilan untuk membebaskan? (Bobot 10%)
Jawab: Berdasarkan ketua majelis hakim M. Arif Nuryanta menyatakan perbuatan terdakwa Fikri
Ramadhan dan M. Yusmin sebagaimana dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa
melampaui batas, menyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf.
b. Apa pendapat saudara tentang pembebasan tersebut? (Bobot 10%)
Jawab: Pembelaan terpaksa sendiri digolongkan sebagai alasan pembenar, maka pembelaan terpaksa
yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. pembelaan terpaksa yang melampaui batas
terdapat dalam pasal 49 ayat 2 KUHP yang berbunyi, ”pembelaan terpaksa yang melampaui
batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana”. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi
dalam dua bentuk. pertama orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin
yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Kedua, orang
yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan
serta-merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan
upaya drastis untuk membela diri. Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa
yang melampaui batas. pertama, kelompokan batas yang diperlukan. kedua, pembelaan dilakukan
sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. ketiga kegoncangan jiwa yang hebat
itu disebabkan karena adanya serangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, saya menyimpulkan
bahwa,perbuatan kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dari pembelaan terpaksa, dilihat dari
tuntutan jaksa M. Yusmin, terbukti telah melakukan penguntitan, sementara Briptu Fikri
Ramadhan terbukti tidak memperhatikan asas, nesesitas, dan proporsionalitas dalam
menggunakan senjata api saat mengawal korban.

4. Dalam suatu tindak pidana sering kali pelakunya lebih dari satu orang.

a. Jelaskan tentang penyertaan dan jenis pelakunya? (Bobot 10%)


Penyertaan terdapat dua pandangan. Pertama pandangan yang menyatakan bahwa
penyertaan adalah persoalan pertanggungjawaban pidana dan bukan merupakan suatu delik
karena bentuknya tidak sempurna. Pandangan Kedua dikemukakan oleh Pompey yang
menyatakan bahwa penyertaan adalah aturan-aturan yang memberi perluasan terhadap norma
yang tersimpul dalam undang-undang. artinya pompa hendak menyatakan bahwa penyertaan
adalah perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana. Penyertaan diatur dalam pasal 55
sampai pasal 62 KUHP. Pasal 55 ayat 1 KUHP mengatur: “ dipidana sebagai pelaku tindak
pidana: ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta
melakukan perbuatan; ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, itu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan. Pada pasal 56 KUHP: “ dipidana sebagai pembantu
kejahatan: ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Siapa saja yang dapat
dipidana sebagai pelaku: 1) Pleger atau pelaku ; 2) Doenpleger atau orang yang menyuruh
lakukan; 3) Medepleger atau orang yan turut serta; dan 4) Uitlokker atau orang yang
menganjurkan. Sedangkan pembantu atau medeplichtige adalah: 1) Pembantu pada saat
kegiatan dilakukan; 2) pembantu sebelum kegiatan dilakukan.
1. Plegen
Kata “plegen” diartikan sebagai yang melakukan, Sedangkan kata “pleger” Dapat
diartikan sebagai pelaku. Pelaku bukanlah seorang yang turut serta (deelnemer), Namun dapat
dipidana bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. Pelaku suatu tindak pidana adalah
orang yang melakukan perbuatan pidana yang bersangkutan dalam arti orang yang dengan
sengaja atau suatu ketidaksengajaan seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang telah
menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah yang
diwajibkan oleh undang-undang atau dengan perkataan lain Ia adalah orang yang memenuhi
semua unsur delik seperti unsur subjektif, maupun unsur objektif, tanpa memandang Apakah
keputusan untuk melakukan perbuatan pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul
karena digerakkan oleh pihak ketiga.
2. Doenplegen
Menyuruh lakukan adalah terjemahan dari doenplegen, sedangkan orang yang
menyuruh lakukan disebut dengan istilah doenpleger. Orang yang menyuruh lakukan
dimasukkan sebagai pelaku dalam pengertian yang luas, sedangkan orang yang disuruh
hanyalah sebagai instrumen. Dalam bentuk penyertaan menyuruh lakukan atau doenplegen,
paling tidak dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu perbuatan pidana dengan
kedudukan yang berbeda. Doenplegen juga disebut sebagai middelijk daderschap yang berarti
seseorang mempunyai kehendak melakukan suatu perbuatan pidana, Namun ia tidak mau
melakukannya sendiri dan mempergunakan orang lain yang disuruh melakukan perbuatan
pidana tersebut.
3. Medeplegen
Medeplegen dapat diartikan sebagai turut serta melakukan. Orang yang turut
melakukan adalah pelaku harus pula memiliki semua sifat yang menurut rumusan
undang-undang telah diisyaratkan harus dimiliki oleh seorang pelaku; barangsiapa tidak dapat
menjadi seorang pelaku perbuatan pidana, maka ia juga tidak dapat turut melakukan
perbuatan pidana tersebut; jika disyaratkan harus ada sifat-sifat pribadi yang membuat
seseorang menjadi dapat dipidana, maka mereka yang juga memiliki sifat-sifat seperti itu
yang dapat menjadi seorang turut serta melakukan.
4. Uitlooking
Uitlooking secara harfiah diartikan sebagai yang menganjurkan atau menggerakkan,
sedangkan orang yang menganjurkan atau menggerakkan disebut sebagai uitlokker. Orang
yang Menggerakkan suatu kejahatan dipandang lebih buruk daripada yang melakukannya.
berdasarkan pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP telah ditentukan secara limitatif upaya untuk
menghancurkan atau menggerakkan orang lain melakukan perbuatan pidana.Ada lima upaya
menganjurkan atau menggerakkan: pertama, memberikan atau menjanjikan sesuatu. kedua,
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. ketiga, dengan kekerasan. keempat dengan
ancaman atau penyesatan. kelima memberi kesempatan, sarana atau keterangan.

b. Apakah penyertaan sama dengan pembantuan? Jelaskan! (Bobot 10%)


Dalam pembantuan atau medeplichtige ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pertama, adalah pelaku atau pembuat atau de hoofd dader. Kedua, pembantu atau medeplichtige. Hal
yang tidak diberlakukan kepada pelaku utama, maka tidak akan diberlakukan kepada pelaku
pembantu; dan apa yang tidak berpengaruh pada perkara pertama, tidak akan berpengaruh pada
perkara kedua . Simons berpendapat bahwa kesengajaan seorang pembantu harus ditunjukkan kepada
semua unsur perbuatan pidana tersebut bahkan juga terhadap unsur-unsur yang oleh undang-undang
tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelaku itu harus pula ditunjukkan kepada unsur-unsur delik.
Penyertaan dan Pembantuan adalah dua hal yang berbeda, antara lain:
1) Turut serta melakukan pelanggaran dijatuhi pidana sedangkan pembantuan dalam pelanggaran
tidak dijatuhi pidana.
2) dalam turut serta melakukan harus ada kesengajaan untuk bekerjasama atau relasi yang
sebanding namun dalam pembantuan hal ini tidak Disyaratkan. pelaku bahkan tidak perlu
mengetahui adanya bantuan yang diberikan oleh yang memberikan bantuan.
3) dalam turut serta melakukan Harus ada kerjasama yang erat di antara para pelaku, sedangkan
dalam pembantuan orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting.
4) dalam turut serta melakukan harus ada uitvoeringshandeling atau tindakan pelaksanaan,
sedangkan dalam pembantuan, pembantu hanya cukup melakukan voorbereidingshandeling
atau tindakan persiapan maupun tindakan dukungan atau ondersteuningshandeling.
5) Pemidanaan terhadap turut serta melakukan sama dengan pelaku lainnya, sementara dalam hal
pembantuan, pidana yang dapat dijatuhkan kepada pembantu dikurangi sepertiga dari
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku utama.
6) meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian (anvoltooingshandeling), Namun
jika kerjasama antara pelaku adalah sangat erat, maka orang yang demikian itu lalu dipandang
sebagai pelaku dan bukan sebagai pembantu.

5. Asas tiada pidana tanpa kesalahan/ asas kesalahan (geen straft zonder schuld). Jelaskan apa yang
dimaksud dengan kesalahan. (Bobot 20%)

Jawab: menurut Bemmelen dan van Hattum pengertian kesalahan yang paling luas meliputi semua unsur
yang mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum
mencakup semua hal yang bersifat psikis secara kompleks berupa perbuatan pidana dan pelakunya.
Sedangkan menurut van Hamel Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis: hubungan
antara keadaan psikis pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya titik kesalahan dalam
pengertian hukum adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
Kesalahan dalam pengertian psikologis adalah hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukannya. jika perbuatan tersebut dikehendaki maka pelaku telah melakukan perbuatan dengan sengaja
titik sebaliknya jika perbuatan yang dilakukan tidak dikehendaki olehnya maka perbuatan tersebut terjadi
karena suatu kealpaan.
Kesalahan bersifat subjektif karena dilihat dari dalam diri si pelaku sedangkan melawan hukum bersifat
objektif karena sesuatu yang tampak keluar. seseorang yang mempunyai kesalahan sudah pasti telah
melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum namun tidak sebaliknya bahwa seseorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum belum tentu mempunyai kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai