1. Asas atau prinsip apa yang terkandung dalam Pasal 1, 2, 3, 4, 5, dan 9? → Asas Legalitas Asas ini terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” yang artinya suatu tindakan yang dapat dipidana dan tidak dapat dipidana itu bergantung pada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelum tindakan tersebut dilakukan. Hal ini memiliki pengertian yang sama dengan asas legalitas berdasarkan adagium “nullum delictum nulla poena sine praevia lege peonale” yang berasal dari Belanda. → Asas Teritorialitas Asas ini terdapat pada Pasal 2 KUHP yang memberlakukan KUHP dengan tidak memperhatikan atau mempersoalkan darimana dia berasal atau seberapa bagus kualitas negara nya, jika dia melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dia akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. → Asas Ekstrateriotorialitas Asas ini terdapat pada Pasal 3 KUHP, di dalam pasal ini mengatur mengenai perluasan wilayah yaitu meliputi kapal laut dan pesawat udara Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya tindakan pidana yang terjadi di wilayah perairan bebas dan udara bebas tidak lepas dari tuntutan hukum. Pasal 3 KUHP juga sebagai pengecualian terhadap Pasal 2 KUHP, bahwa Undang-Undang Pidana ridak berlaku bagi mereka yang mempunyai hak Ex- Territorial dan hak ini diakui dalam Pasal 9 KUHP. → Asas Nasional Pasif (Asas Perlindungan) Asas ini terdapat pada Pasal 4 ayat (1) sampai (3) KUHP, yang memiliki arti hukum pidana dapat diterapkan bagi semua orang yang berada di luar wilayah Indonesia apabila melakukan sebuah tindak kejahatan atau pidana yang dapat menimbulkan gangguan keselamatan atau kepentingan nasional Indonesia. → Asas Nasional Aktif (Asas Personalitas) Asas ini terdapat pada Pasal 5 KUHP, yang berarti hukum pidana memiliki kekuatan untuk menuntut setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan pidana yang berlaku. → Asas Universalitas Asas ini terdapat pada Pasal 4 ayat (4) yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah negara yang dapat merugikan atau mengganggu kepentingan hukum bagi seluruh dunia (kepentingan internasional) dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia , contoh : pembajakan, pemalsuan mata uang negara lain. 2. Ada orang Italia datang ke Bali dan ditangkap membawa kokain. Apakah hukum pidana Indonesia dapat menuntut dan menghukum orang Italia tersebut? Dasar hukumnya apa? Menurut saya hukum pidana Indonesia dapat menuntut dan menghukum orang Italia tersebut karena berdasarkan Pasal 2 KUHP Indonesia, tertulis bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia. Prof. Van Hattum dalam bukunya yang berjudul F. A. F. Lamintang mengatakan bahwa setiap negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di dalam wilayah negaranya masing-masing. Oleh karena itu Undang-Undang pidana Indonesia memilki kekuatan untuk mengadili orang yang melakukan tindakan pidana di dalam wilayah negaranya masing-masing dan berlaku tidak hanya untuk warga negaranya tetapi juga warga negara asing yang berada di wilayahnya. Dalam contoh kasus di Bali, pelaku tindakan pidana merupakan orang yang memiliki kewarganegaraan asing yaitu berasal dari Italia, Ia bisa dituntut dengan kekuatan hukum pidana di Indonesia berdasarkan Pasal 2 KUHP dengan asas teritorial yang memberlakukan Undang-Undang Pidana Indonesia bagi setiap orang yang melakukan suatu tindakan pidana di dalam wilayah Kedaulatan Republik Indonesia baik itu warga negara Indonesia atau asing. 3. Ada bom Bali, banyak warganegara Australia meninggal dan luka. Pelakunya Amrozi dkk. Australia ingin menuntut dan menghukum Amrozi dkk di pengadilan Australia. Apakah hukum pidana Australia dapat melakukan itu? Dasar hukumnya apa? Menurut saya Amrozi dan kawan-kawan tidak dapat digugat di pengadilan Australia karena tindak pidana yang dilakukan itu masih berada dalam satu teritori Indonesia, jadi hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia sesuai dengan Pasal 2 KUHP dan locus delicti. Menurut Moeljatno dalam bukunya menjelaskan bahwa aliran pertama dipelopori oleh Pompe dan Langemeyer yang mengatakan bahwa tempat kejahatan bukan ditentukan oleh tempat “akibat” dari perbuatan, melainkan ditentukan berdasarkan “dimana” terdakwa berbuat. Jadi berdasarkan hal tersebut tempat kejahatan dari kasus ini adalah di Indonesia dan kasus ini bisa diadili dengan perundang-undangan sesuai dengan tempat kejahatan. Dalam contoh kasus di Bali, pelaku pengeboman berkewarganegaraan Indonesia, tetap dijatuhi hukuman di pengadilan Indonesia meskipun akibat dari tindakan tersebut membuat banyak orang Australia meninggal dan luka, karena tindakan Amrozi dan kawan-kawannya dilakukan di wilayah Indonesia. Maka dari itu, berdasarkan Pasal 2 KUHP mereka dapat diadili menggunakan perundang-undangan pidana Indonesia yang berlaku. Dan berdasarkan lotus delicti, yang berkenaan dengan kewenangan untuk mengadili kasus tersebut adalah Indonesia karena locus delicti melihat kewenangan untuk mengadili segala perkara tindak pidana berdasarkan dari tempat tinggal pelaku tersebut. 4. Pejabat konsuler Amerika Serikat tertangkap karena mengedarkan sabu-sabu di Surabaya. Apakah hukum pidana Indonesia dapat menuntut dan menghukum pejabat konsuler Amerika Serikat tersebut? Dasar hukumnya apa? Menurut saya hukum pidana Indonesia dapat menuntut dan menghukum pejabat konsuler Amerika Serikat tersebut karena menurut Pasal 2 KUHP menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindakan pidana di wilayah Indonesia. Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal” pada halaman ke-29, menyatakan bahwa gabungan kata “setiap orang” pada KUHP Pasal 2 memiliki arti untuk siapapun juga, baik itu warganegara Indonesia atau warganegara asing dan tidak memandang jenis kelamin, agama, kedudukan atau pangkat. Dalam contoh kasus di Surabaya, pelaku tindakan pidana memiliki jabatan sebagai pejabat konsuler Amerika Serikat dan melakukan tindakan kejahatan tersebut di wilayah Indonesia dalam hal ini hukum pidana Indonesia bisa menuntut dan menghukum pejabat tersebut, karena berdasarkan Pasal 2 KUHP, terlepas darimana asal orang itu, apapun jabatannya jika Ia melakukan tindakan pidana dalam lingkup wilayah Indonesia, maka akan dilakukan proses hukum menurut ketentuan yang berlaku.