Asas teritorial bermakna bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik
WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, baik wilayah
darat maupun laut. Prinsip ini disebut prinsip teritorial. Ruang lingkup teritorial ini diperluas
dengan mempersamakan kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu
negara sebagai bagian dari wilayah negara itu.
Asas ini sebenarnya berlaku pada hukum internasional karna asas ini sangat penting untuk
menghukum semua orang yang berada di Indonesia yang melakukan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang tersebut baik dilakukan di Indonesia maupun di luar. Akan tetapi asas
ini berisi asas positif yang dimana tempat berlaku seorang pidana itu berdiam diri.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 KUHP berbunyi :
Dan dalam pasal 3 KUHP juga berbunyi : ”ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat Indonesia.”
(Pasal 2)
Pada 2019, dua warga Singapura menyelundupkan ratusan ribu benih lobster senilai puluhan
miliar ke Indonesia. Mereka ditangkap oleh polisi Jambi atas tuduhan mereka di Pengadilan
Negeri Jambi.
Mereka dituduh mengangkut atau mengedarkan ikan dan jenis ikan lainnya di luar Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia dan ditangkap berdasarkan UU RI No. 45 Tahun 2009
Tentang Perikanan.
(Pasal 3)
Pada 2015, kapal tanker minyak Malaysia MT Orkim disergap. Beberapa abk adalah orang
Indonesia. Saat itu, polisi Vietnam menangkap para perampok, mereka menyelidiki bersama
polisi Malaysia.
KBRI terus berkomunikasi dan mewakili pemerintah Indonesia untuk mengekstradisi WNI
pelaku perampokan agar kasusnya dapat diadili di Indonesia. Terlepas dari segala upaya,
sidang akhirnya digelar di Malaysia karena korbannya adalah orang Malaysia.
Asas ini memberlakukan KUHP terhadap siapapun baik WNI ataupun warga negara
asing yang melakukan perbuatan tindak pidana diluar negara Indonesia sepanjang
perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara Indonesia.
3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau
menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-
olah asli dan tidak dipalsu;
4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan
446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air
kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat
udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan
yang mengancam keselamatan penerbangan sipil
Dua kapal Indonesia, yakni kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12,
telah dibajak kelompok yang mengaku Abu Sayyaf di Filipina. Kedua kapal itu
membawa 7.000 ton batubara dan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
1. Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia
yang melakukan di luar Indonesia:
a. satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal
160,161,240,279,450, dan 451;
b. Suatu perbuatan terhadap suatu yang dipandang sebagai kejahatan meurut ketentuan pidana
dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan
Pasal 9 KUHP
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 9, berbunyi : "berlakunya pasal -
pasal 2 sampai 5, 7, dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum
antar bangsa".
Korea Selatan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF
INDONESIA AND THE REPUBLIC OF KOREA)
Disahkan pada tanggal: 23 Oktober 2007
Substansi: Berdasarkan permintaan dari Pemerintah Republik Korea tersebut, Pemerintah
Republik Indonesia melalui Nota Diplomatik Nomor 993/SB/IX/2000/29 tanggal 25
September 2000 menyatakan kesediaan untuk membuat perjanjian ekstradisi dengan
Pemerintah Republik Korea. Kesediaan Pemerintah Republik Indonesia tersebut didasarkan
pula pada pertimbangan kemungkinan terjadinya kejahatan yang terkait dengan perbankan,
keuangan, atau kejahatan lain sebagai akibat banyaknya investasi oleh Republik Korea di
Indonesia dan adanya kerja sama perdagangan antara kedua negara.
Vietnam
Negara lain yang juga memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia adalah Vietnam.
Perjanjian itu tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Sosialis Vietnam. Melansir
jurnal International & Diplomacy berjudul “Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan
Vietnam” karya Efan Setiadi, pengesahan ini akan mendukung diimplementasikannya
penegakan hukum di Indonesia. Terutama, yang berkaitan dengan kejahatan transnasional.
Kedua negara ini juga semakin mempererat hubungan dan kerja sama di bidang penegakan
hukum.
Australia
Australia sudah lama memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pengesahan perjanjan
ekstradisi kedua negara tertuang dalam UU No 8 tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Australia. Dalam jurnal Ilmu Hukum bertajuk
“Kedudukan International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol) dalam Perjanjian
Ekstradisi antara Indonesia dan Australia” oleh Christien Pristi Gresilo Putri Amanda, dkk,
adanya perjanjian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama di bidang penegakan
hukum dan pemberantasan kejahatan. Dalam perjanjian ini, bentuk kejahatan yang bisa
diekstradisi adalah kejahatan yang mampu dihukum, baik itu menurut hukum Australia
maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun jenis pelanggarannya adalah pembunuhan
atau pembunuhan berencana, mencuri, menelantarkan, menawan atau menahan anak secara
melawan hukum, serta kejahatan hukum mengenai penyuapan.
Malaysia
Indonesia dan Malaysia telah mengadakan perjanjian ekstradisi pada tanggal 7 Januari
1974 dengan maksud untuk memperkuat ikatan persahabatan serta kerjasama yang effektif
dalam melakukan peradilan antara Indonesia dan Malaysia. UU No. 9 Tahun 1974 Tentang
Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia
Mengenai Ekstradisi. Disahkan pada tanggal 26 Desember 1974.
Papua Nugini
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF
INDONESIA AND THE INDEPENDENT STATE OF PAPUA NEW GUINEA)
Disahkan pada tanggal: 10 Maret 2015
Substansi: pencegahan dan pemberantasan kejahatan
India
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF
INDONESIA AND THE REPUBLIC OF INDIA).
Disahkan pada tanggal: 21 Juli 2014
Substansi: kerja sama antarnegara yang efektif yang dilakukan melalui perjanjian, baik
bilateral maupun multilateral, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Filipina
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1976 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK PHILIPPINA SERTA PROTOKOL.
Disahkan pada tanggal: 26 Juli 1976
Substansi: mengadakan kerjasama yang lebih efektif dalam memberantas kejahatan dan
terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Philipina dalam
masalah ekstradisi, maka perlu diadakan perjanjian mengenai ekstradisi;
Hongkong
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG
PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM
YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF HONGKONG FOR THE
SERRENDER OF FUGITIVE OFFENDERS).
Disahkan pada tanggal: 8 Mei 2001
Substansi: meningkatkan kerja sama dalam penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan,
yaitu dengan cara mencegah lolosnya pelanggar hukum dari proses peradilan dan menjalani
pidana. Dengan adanya persetujuan penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri
tersebut, diharapkan hubungan dan kerja sama yang lebih baik antara kedua negara dalam
bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan dapat ditingkatkan. Persetujuan ini
selain dapat memenuhi tuntutan keadilan juga dapat menghindari kerugian-kerugian yang
disebabkan lolosnya tersangka, terdakwa, terpidana, atau narapidana.
Thailand
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1978 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN
PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND TENTANG EKSTRADISI.
Disahkan pada tanggal: 18 Maret 1978
Substansi: Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakan hukum dan
pelaksanaan peradilan, dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah
ekstradisi. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan
(administration of justice) yang baik. Karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi
dan keuangan, dimana akibat dari kejahatan tersebut akan banyak merugikan pembangunan
nasional dan ketahanan nasional
Singapura
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2023 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN
PEMERINTAH REPUBLIK SINGAPURA TENTANG EKSTRADISI BURONAN
(TREATY BETWEEN THE, GOVERNMENT
OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC
OF SINGAPORE FOR THE EXTRADITION OF FUGITIVES)
Disahkan pada tanggal: 13 Januari 2023
Substansi: kesepakatan Para Pihak untuk melakukan ekstradisi, tindak pidana yang dapat
diekstradisikan, dasar ekstradisi, pengecualian wajib terhadap ekstradisi, permintaan dan
dokumen pendukung, serta pengaturan penyerahan.
Latar Belakang: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly
saat menyampaikan pendapatnya mengatakan, Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah RI dan
Singapura tidak lepas dari posisi Singapura sebagai negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia, dengan intensitas pergerakan warga kedua negara yang tinggi, serta kebijakan
Indonesia yang memasukkan Singapura ke dalam daftar negara bebas visa, menyebabkan
Singapura kerap menjadi tujuan akhir atau tujuan transit pelaku kejahatan. Perjanjian
Ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal
diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia. Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut
Perjanjian Ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian
uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan
terorisme. Ruang lingkup Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura adalah kedua negara
sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah
negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau
pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.