Anda di halaman 1dari 6

1.

ASAS TERITORIAL (PASAL 2 KUHP)


Asas teritorial disebut juga sebagai asas wilayah yang menentukan bahwa :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”. Menurut Moeljatno, asas ini
diartikan perundang-undangan hukum bagi semua orang yang melakukan perbuatan
pidana di negara tersebut, baik oleh warga negaranya sendiri maupun warga
negara asing, dengan kata lain asas teritorial lebih menitik beratkan pada terjadinya
perbuatan pidana di dalam wilayah Negara dengan tidak mempermasalahkan siapa
pelakunya, baik itu warga Negara atau orang asing.1 Prinsip dalam asas ini adalah tempat
atau wilayah hukum negara tanpa memperhatikan dan mempersoalkan siapa atau apa
kualitas kewarganegaraannya, selama melakukan tindak pidana di Indonesia dapat
dibelakukan ketentuan hukum Indonesia. Termasuk juga di dalam Pasal ini bahwa setiap
orang dianggap tahu hukum, sehingga apabila ada yang melakukan suatu tindak pidana
dengan alasan bahwa dia tidak tahu bawa perbuatan tersebut dilarang tidak
menghapuskan pemidanaan (Putusan MA 14 Nop 1961 No 77 K/Kr/1961).
Terdapat beberapa perkecualian terhadap Asas Teritorial, yakni 1). Terhadap
orang (kepala negara, duta besar, konsul, diplomat serta petugas lembaga internasional),
2). Terhadap tempat seperti kedutabes, wilayah angkatan bersenjata suatu negara
termasuk di dalamnya kapal atau pesawat suatu negara dan kapal berbeda asing termasuk
properti di dalamnya. Hal ini akan dijabarkan lebih lanjut lagi dalam Pasal 9 KUHP.

2. ASAS NASIONAL AKTIF


Perundang-undangan hukum pidana berlaku untuk warga negara sendiri, baik
perbuatan itu di-lakukan di dalam negeri maupun di luarnegeri, hal ini merupakan asas
nasional aktif atau prinsip personal.

Asas nasionaliteit aktief atau personaliteit, yakni apabila warganegara


Indonesia melakukan ke-jahatan meskipun terjadi di luar Indonesia, pelakunya
dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat
dikenakan hukum pidana Indonesia----sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan
warganegara Indonesia di negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka
hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal
6 KUHP.

3. ASAS NASIONAL PASIF (PERLINDUNGAN)


Asas ini disebut sebagai asas proteksi/perlindungan, artinya hukum pidana dapat
diterapkan bagi semua orang yang berada di luar wilayah Indonesia apabila melakukan
kejahatan yang bertalian dengan keamanan dan integritas atau kepentingan
ekonomi negaranya. Asas ini berfokus pada kepentingan hukum yang dilindungi dari
suatu negara yang dilanggar di luar wilayah negara tersebut, tanpa mempermasalahkan
siapa pelakunya dan di mana di lakukan. Negara diberikan kepercayaan oleh waga
negaranya untuk melindungi kepentingan bersama, sehingga negara berwenang
memperluas berlakunya ketentuan hukum sepanjang hal itu dapat menjamin
terselengaranya kepentingan hukum bersama. Dalam konteks ini warga negara sebagai
korban dari perbuatan pidana.
Kejahatan yang termasuk ke dalam Pasal 4 ini adalah : kejahatan terhadap
kemanan negara, kejahatan penyerangan terhadap presiden/wakil presiden, kejahatan
mengenai mata uang dan uang kertas, kejahatan mengenai materai dan merek, pemalsuan
surat hutang dan sertifikat uang atas tanggungan Indonesia, kejahatan pelayaran. Apabila
dilihat dari kepentingan hukum negara, maka maksud dipidananya setiap orang
melakukan kejahatan tertentu di luar Indonesia dalam Pasal 4 agar si pelaku tetap dapat
dipidana sekalipun di negara asing tempat dilakukannya perbuatan tidak diatur sebagai
tindak pidana.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
- Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu
perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
- Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
- Keamanan perekonomian;
- Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
- Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan

4. ASAS UNIVERSALITAS
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk
merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di
daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas
tersebut adalah keselamatan internasional.
Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu bukan
negara Indonesia. Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam
daerah yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan
terbuka, atau di daerah kutub.

Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang
diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan
Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia)
jenis kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang
Jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan
kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada
tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan atas pertimbangan,
seolah-olah di seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.

Asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi


pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia
(hukum internasional).

Jika pemalsuan mata uang atau uangkertas, pembajakan kapal, laut ataupesawat
terbang adalah mengenaikepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan
adalah asas melindungikepentingan nasional (asas nasional pasif).Jika pemalsuan mata
uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan
internasional (asas universal).

5. ASAS HAK EXTRA TERITORIAL


Menurut hukum Internasional, yang tidak terikat oleh KUHP Indonesia adalah
para duta besar negara serta para utusan negara asing yang secara resmi diterima oleh
kepala negara. Selain itu mereka yang tidak tunduk pada KUHP Indonesia adalah para
pegawai dalam kedutaan yang berfungsi di bidang diplomatik, para konselir (konsultan)
dan sekretaris meskipun mereka tidak berseragam (tidak dalam keadaan dinas).
Berdasarkan asas eksteritorial, para diplomat dianggap tidak berada di negara
penerima melainkan di negara pengirim meskipun pada kenyataannya ia berada di
wilayah negara penerima. Selain itu mereka tidak dapat dikuasai oleh hukum dan
peraturan negara penerima. Seorang diplomat menurut asas ini, hanya dikuasai oleh
hukum negara pengirim begitu juga gedung atau tempat kediaman mereka di negara
penerima dianggap sebagai bagian atau perpanjangan dari wilayah negara pengirim.

Contoh Hak Ekstrateritorial :


o Bendera, merupakan contoh identitas sebuah negara. Contohnya yaitu Diplomat
Indonesia yang berada di negara Jepang, mereka berhak mengkibarkan bendera
merah putih di daerah halaman rumahnya dan juga dapat mengkibarkan bendera
merah putih pada perlengkapan pejabat seperti di bagian depan mobil.
o Lambang Negara, sama dengan bendera, lambang negara juga sebuah identitas suatu
negara. Lambang negara juga dapat di tempelkan pada perlengkapan pejabat.
o Surat Menyurat atau segala hal yang berkaitan dengan dokumen masuk lulus sensor,
dan hanya di peruntukkan untuk perwakilan negara yang terdapat di negara lain
berada dalam Hak Ekstrateritorial. Dalam hal ini, negara penerima perwakilan tidak
di perbolehkan membuka isi surat dan dokumen tersebut.
o Kapal Asing yang berlayar di lautan dan melewati wilayah negara lain juga termasuk
pada wilayah ekstrateritorial negara pemilik kapal tersebut.

6. HAK IMUNITAS PARLEMEN


Dalam Undang-undang MD3 tentang MPR, DPR, dan DPD RI, kekebalan hukum
yang dimiliki oleh anggota lembaga perwakilan rakyat dijamin. Hak imunitas sendiri
adalah kekebalan hukum dimana anggota DPR tidak dapat dituntut di pengadilan karena
pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-
rapat DPR. Namun, hak imunitas ini bisa digunakan sepanjang anggota tidak melanggar
yang bertentangan dengan peraturan tata tertib dan kode etik.

Hak imunitas yang dimiliki oleh Anggota DPR hanya digunakan ketika seorang
anggota menyampaikan statement atau pendapat berkaitan pelaksanaan kinerja mereka.
Para anggota DPR ini akan dilindungi oleh hak Imunitas. Namun, hak khusus ini tidak
berlaku apabila ada anggota DPR yang melanggar kode etik, seperti membuka perkara
yang seharusnya tertutup dan dibuka ke publik karena hal tersebut adalah salah satu
contoh kasus pelanggaran kode etik yang secara otomatis menganulir hak imunitas yang
mereka miliki.

CONTOH:

ASAS TERITORIAL
Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing
berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena
terbukti telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye
terbukti melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat
masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang
memvonis hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti
menyelundupkan 3,2 kg heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Tangerang kemudian memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat
oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati
tersebut telah dieksekusi mati.
Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut?
Berdasarkan asas teritorialitas yang terdapat didalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan
pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana di dalam Indonesia” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia
berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang
melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.
Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkoba yang
dilakukan kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan
asas territorialitas di Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye
telah melakukan tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai
dengan asas territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan
tindak pidana di wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.

ASAS NASIONAL AKTIF

Bunuh 2 Majikan di Singapura, WNI Diadili di Jakarta


VIVA.co.id – Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian
memastikan seorang warga Indonesia yang tersandung kasus pembunuhan di Singapura,
Khasanah, akan diadili di Tanah Air dan menggunakan hukum nasional. Perempuan itu
diduga membunuh dua majikannya sebelum pulang ke Indonesia.

Menurut Tito, wanita berusia 40 tahun ini akan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan hukum nasional, karena dalam proses hukum diberlakukan asas nasionalitas aktif atau
personalitas, walau korbannya berada di Singapura.

"Kita berlakukan asas personalitas. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bahwa
warga Indonesia di mana pun dia berada melakukan pidana di luar Indonesia harus berlaku
hukum Indonesia. Maka kita tidak serahkan [tersangka] kepada Singapura, tapi ditangani
Mabes Polri dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Tito di Mabes Polri, Senin 3 Juli
2017.

Kasus itu akan ditangani tim dari Bareskrim Polri. Penyidik akan menghadirkan saksi-saksi
dari Singapura. Selain itu, saat Khasanah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pihaknya
juga akan menghadirkan saksi dari luar negeri.

"Kemudian saksi-saksinya yang akan kita hadirkan di Pengadilan. Seperti mungkin dulu
kasus Oki, peristiwanya di Amerika, saksi-saksinya dari sana tetap kita punya prinsip bahwa
asas personality harus ditangani Indonesia," ujarnya.

Ancaman Hukuman Mati


Sementara itu, menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo
Wasisto, berdasarkan penyelidikan sementara, Khasanah akan dijerat dengan pasal tentang
pembunuhan berencana seperti tertuang dalam Pasal 340 KUHP, dengan ancaman hukuman
mati atau 20 tahun penjara.

Anda mungkin juga menyukai