Saudara/I Diskusikan Aturan Komentar sebagai Berikut:
1) Sebutkan Referesi Buku yang saudara Baca serta
menyebutkan halaman 2) Mahasiswa/I wajib memberikan pendapat/komentar minimal 5 komentar dalam setiap pertemuan sebagai syarat absensi kehadiran 3) Dilarang melakukan Copy Paste.
ASAS NASIONAL PASIF
Mengutip pendapat D. Simons dalam buku karya P.A.F.
Lamintang, sesuai dengan ketentuan tersebut di
atas yang mengandung adanya asas nasionalitas
pasif atau asas perlindungan, berlakunya peraturan
perundang-undangan pidana suatu negara itu tergantung
pada tempat pelaku telah melakukan tindak
pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang
telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut.
Dengan demikian, negara yang kepentingan hukumnya
menjadi sasaran tindak pidana itu berwenang menghukum
pelaku tindak pidana tersebut. Artinya, ada upaya
melindungi kepentingan nasional terhadap siapapun
juga dan di manapun juga sebagai konsekuensi atas
dianutnya asas nasionalitas pasif atau asas
perlindungan dalam peraturan perundang-undangan
pidana di Indonesia. Dasar pemikiran adanya asas
nasionalitas pasif atau asas perlindungan adalah
setiap negara yang berdaulat itu wajib
melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan
nasionalnya, juga apabila kepentingan
hukumnya atau kepentingan nasionalnya dilanggar di
luar wilayah atau di luar negeri, dan meskipun
pelanggarnya itu adalah orang asing.
Di dalam hal ini juga, negara telah dipercayakan
rakyatnya untuk melindungi berbagai kepentingan
hukum mereka, sehingga negara memperluas
berlakunya aturan pidana untuk dapat mengemban
kepercayaan rakyatnya. Mengingat asas ini
menitikberatkan kepada perlindungan kepentingan nasional
yang dibahayakan oleh tindak pidana yang dilakukan
di luar negeri, untuk itulah mengapa selain disebut
“asas nasional pasif”, asas ini juga lazim disebut “asas
perlindungan”.
Sesuai ketentuan di dalam perundang-undangan pidana
yang mengandung adanya asas nasionalitas pasif
atau asas perlindungan, kepentingan-kepentingan
nasional yang dipandang perlu untuk mendapatkan
perlindungan adalah sebagai berikut:
1) Terjaminnya keamanan negara dan terjaminnya
keselamatan serta martabat kepala negara dan
wakilnya;
2) Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang,
meterai-meterai, dan merek-merek yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia;
3) Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat atau
sertifikat-sertifikat utang yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; dan
4) Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap
kemungkinan dibawa ke dalam kekuasaan bajak laut.
Keberlakuan asas nasionalitas pasif atau asas
perlindungan diperluas dengan adanya ketentuan Pasal
7 KUHP yang mengatur, “Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang
di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII Buku Kedua.”
Menurut Sofjan Sastrawidjaja, ketentuan tersebut
menyasar, antara lain, pegawai kedutaan Republik
Indonesia, pegawai polisi Republik Indonesia dalam
rangka tugas interpol atau tugas lainnya,
pegawai imigrasi, pegawai postel, pegawai televisi,
dan pegawai-pegawai lainnya yang ditugasi ke dan di
luar negeri. Pegawai-pegawai ini pada umumnya
terdiri dari warga negara Indonesia dan banyak pula
orang asing.
Beberapa literatur menyebutkan kata “pejabat” dengan
frasa “pegawai negeri Indonesia”. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, alasan perluasan yang dimaksudkan
kira-kira adalah bahwa hubungan negara Indonesia dengan
seorang asing yang menjadi pegawai negeri Indonesia
adalah mirip dengan hubungan negara Indonesia dengan
warga negara Indonesia.
P.A.F. Lamintang menjelaskan, frasa “pegawai negeri
Indonesia” sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 7 KUHP
harus ditafsirkan sebagai setiap orang yang bekerja
pada pemerintah Indonesia, sehingga ia dapat
merupakan seorang warga negara Indonesia atau
seorang warga negara dari suatu negara asing,
asalkan ia memenuhi persyaratan untuk disebut
sebagai pegawai negeri Indonesia.
Keberlakuan asas nasionalitas pasif atau asas
perlindungan diperluas dengan adanya ketentuan Pasal
8 KUHP yang mengatur, “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang
di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu,
melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX
Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan
mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun
dalam Ordonansi Perkapalan.” Merujuk pada pendapat
Sofjan Sastrawidjaja, ketentuan Pasal 8 KUHP
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pelayaran
Indonesia.
Berlakunya ketentuan Pasal 8 KUHP tersebut
tergantung pada keadaan si pelaku, yaitu sebagai
nahkoda atau sebagai penumpang alat pelayaran
Indonesia yang bersangkutan. P.A.F. Lamintang
berpendapat, kepentingan hukum yang ingin
dilindungi oleh berlakunya Pasal 8 KUHP adalah
terjaminnya keadaan bahwa nahkoda atau penumpang-
penumpang sebuah alat pelayaran Indonesia itu tidak
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pelayaran
di luar negeri. Di dalamhal ini, titik tekan
berlakunya ketentuan Pasal 8 KUHP tersebut adalah
pada frasa “di luar perahu”, untuk membedakannya
dengan berlakunya ketentuan Pasal 3 KUHP yang menggunakan