Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ni Nyoman Ratih Sukmantari

NIM : 1904551280
Kelas : D

1. Sebut dan jelaskan Asas Asas Hukum Pidana yang Sdr ketahui (minimal 5, maksimal
10) !

 Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Jika kata-katanya yang asli di
dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan
berbunyi: “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.Asas legalitas yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: “Nullum
delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin ke dalam bahasa
Indonesia kata demi kata dengan: “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: “Nullum crimen sine lege
stricta”, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan: “Tidak ada delik tanpa ketentuan
yang tegas”.

 Asas Keberlakuan Hukum pidana

Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi negatif dan segi
positif. Segi negatif dikaitkan berlakunya KUHP dengan waktu terjadinya perbuatan
pidana. Artinya bahwa KUHP tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat dilihat dari
ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP. Bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu : “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Kekuasaan berlakunya
KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa kekuatan berlakunya KUHP tersebut
dikaitkan dengan tempat terjadinya perbuatan pidana. Kekuasaan berlakunya KUHP
yang dikaitkan dengan tempat diatur dalam pasal 1 sampai 9 KUHP. Asas berlakunya
undang-undang hukum pidana menurut tempat dapat dibedakan menjadi empat asas,
yaitu territorial (territorialiteitsbeginsel), asas personal (personaliteitsbeginsel), asas
perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau passief
nationaliteitbeginsel), dan asas universal (universaliteitsbeginsel).

 Asas Teritorialitas (Kewilayahan)


Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah
negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat
dikatakan semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi
patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Asas
wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP: Pasal 2 yang
berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.” Pasal 3 yang berbunyi:
“Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia.”

 Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif


Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana
Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia berada. Asas ini bagaikan ransel
yang melekat pada punggung warga negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas
ini tercantum di dalam pasal 5 KUHP.

 Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif


Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapa pun
juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah
Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas
ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan
tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu.
Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2, dan 4 KUHP. Di sini yang dilindungi
bukanlah kepentingan individual orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau
kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di
wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia
tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan hukum di
wilayahnya sendiri.
 Asas Universalitas
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan
pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan
kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang
tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut
adalah keselamatan internasional. Contoh: pembajakan kapal di lautan bebas,
pemalsuan mata uang negara tertentu bukan negara Indonesia.Jadi di sini mengenai
perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak termasuk
kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan terbuka, atau di daerah
kutub.Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan
yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari
kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di
seantero dunia) jenis kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas.
Demikianlah, sehingga orang Jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas
hukum dunia). Di sini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi
pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau
domisili terdakwa. Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan
atas pertimbangan, seolah-olah di seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.

 Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana


Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam
hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau tiada pidana tanpa
kesalahan. Di samping itu juga dikenal beberapa asas yang berlaku dalam ilmu
pengetahuan pidana, tetapi dalam beberapa hal telah ada yang dirumuskan terbatas
dalam undang-undang:
a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang benar;
b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat kesalahan
dari terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum tetapi tidak pidana;
c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu pernyataan tidak
menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum yang disebabkan
konflik kepentingan dengan lebih mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak
menuntut.
Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana yang sebagian besar masih
berkembang di dalam doktrin ilmu pengetahuan itu, apabila banyak para sarjana yang
menganjurkan untuk dirumuskan secara tertulis di dalam undang-undang hukum
pidana, akan mengalami kesulitan untuk membuat batasan berhubung dengan sifatnya
asas-asas itu terus menyesuaikan (fleksibel) terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Kedua asas hukum pidana tentang kesalahan dan penghapusan pidana
itu mempunyai arti penting untuk menentukan dipidana atau tidak dipidananya
seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan tetapi tidak terpenuhi unsur dari
asas-asas tersebut di atas.

2. Kasus fiktif:
Seorang penumpang bernama Jayadrata (WNI) naik pesawat Air Asia dari Italia
menuju ke Bandara Soeta Cengkareng – Indonesia. Dalam penerbangan diketahui ada
salah satu penumpang (WNA keturunan Italia) mengalami gangguan jiwa, dan saking
kesalnya dia melakukan penganiayaan yang hampir menyebabkan tewasnya
penumpang tsb. Banyak yang berteriak agar pelakunya di isolasi. Karena
menimbulkan kegaduhan, pesawat akhirnya mendarat darurat di Hongkong. Dengan
sigap, kepolisian Hongkong mengamankan dan menangani WNI tersebut. Sementara
pihak Air Asia merasa memiliki kewenangan mengadili di Malaysia, demikian pula
dengan Indonesia karena pelakunya berasal dari Indonesia. Selesaikan Masalah ini
dengan mengingat berlakunya hukum pidana menurut waktu dan tempat !

 Melihat dari fakta yang terjadi dalam kasus fiktif tersebut, yang pertama dari segi
tempat peristiwa tersebut terjadi, dapat kita lihat bahwa kejadian tersebut berlangsung
pada saat penerbangan di dalam pesawat milik pihak Air Asia yang mana hal tersebut
berarti menjadi kewenangan dari pihak Air Asia untuk mengadili kasus tersebut di
negara Malaysia. Yang kedua, dari segi waktu saat peristiwa tersebut terjadi yaitu
ketika saat dalam penerbangan berlangsung dalam artian kejadian tersebut terjadi di
udara, yang pada saat itu belum mendarat di tempat tujuan dan tidak dijelaskan secara
rinci mengenai perbatasan atau batas wilayah pasti di udara (langit) tempat kejadian
tersebut berlangsung dalam kasus fiktif tersebut. Sehingga dari kedua fakta tersebut
menurut saya, maka WNI tersebut berhak diadili oleh pihak Air Asia di Negara
Malaysia karena berdasarkan atas fakta tempat atau wilayah berlangsungnya peristiwa
yaitu di dalam pesawat milik pihak Air Asia yang kemungkinan beridentitaskan
negara Malaysia atau dengan kata lain pesawat tersebut milik negara Malaysia
sehingga dapat saya ambil kesimpulan bahwa lokasi berlangsungnya kejadian tersebut
masih berada di lokasi atau lebih spesifiknya dapat dikatakan wilayah bergerak milik
Malaysia sehingga pihak Air Asia berkehendak untuk mengadili kasus tersebut di
Negara Malaysia. Hal ini juga sesuai dengan asas territorial. Asas wilayah ini
menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah negara tempat
berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Yang menjadi patokan
ialah “tempat atau wilayah” sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Asas wilayah
atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3 KUHP.

3. Ajaran Kausalitet / Sebab – Akibat :


a) Makna Ajaran Kausalitas
Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk
menentukan tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai
sebab dari munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa
yang menjadi fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah apa makna yang dapat
dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa
yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu.

b) Pembagian Ajaran Kausalitas dalam Hukum Pidana

1. Teori Conditio Sine Qua Non

Teori dari Von Buri (ahli hukum Jerman), teori ini tidak membedakan mana faktor
syarat yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu
peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya.
Oleh karena itu, menurut teori ini, keensam faktor yang menjadi contoh, tidak ada
yang merupakan menjadi syarat semuanya menjadi penyebab.. semua faktor dinilai
sama pengaruhnya. Tanpa salah satu faktor tersebut, tidak akan terjadi akibat menurut
waktu, dan tempat keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.

Dengan ajaran ini maka menjadi diperluasnya pertanggungan jawab dalam hukum
pidana, hal ini karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekedar
syarat saja dari timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh case diatas. Si
pengemudi dinilai bertanggungjawab.

Kelemahan ajaran ini ialah tidak membedakan antara faktor syarat dan faktor
penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh diatas si pengemudi
mobil dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena
pada dirinya tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya
peristiwa tadi, dan artinya bertentangan dengan asas hukum pidana tiada pidana
tanpa kesalahan.

Untuk mengatasi kelemahan teori ini maka Van Hammel melakukan penyempurnaan
dengan menambahkan ajaran tentang kesalahan. Bahwa tidak semua orang yang
perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu
peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggungjawab atas timbulnya
akibat itu, melainkan apabila pada diri si pembuat dalam mewujudkan tingkah
lakunya itu terdapa unsur kesalahan baik kesengajaan maupun keaalpaan.

2. Teori yang Mengindivualisir

Teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari tiombulnya suatu akibat
dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapa setelah perbuatan
dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar benar terjadi
secara konkret. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi maka di anatara sekian
faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupaka faktor penyebab.
Faktor penyebab itu adalah hanya beruipa faktor yang paling berperan atau paling
dominan atau mempunya andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat,
sedangkan faktor lain dianggap sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.

Menurut Birkmeyer tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai
sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut
kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor
yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat.
Menurut pendapat ini pada contoh diatas, faktor “serangan penyakit” jantunglah yang
paling dominan peranannya terhadap kematian itu.
Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga
kelemahannya berhubung ada dua kesulitan yaitu :

1. Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh
yang paling kuat
2. Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama
kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.

3. Teori yang Menggenaralisir

Teori yang dalam mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau
berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor
mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya
menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari penyebab dan menilainya tidak berdasarkan
pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada
umumya menurut akal dan kewajaran manusia.

a. Teori Adequat Subjektif

Dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor
yang menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat
yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai
adequat untuk menimbulkan akibat. Jadi dalam teori ini faktor subjektif dan sikap
batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya
hubungan kausal.

Pada contoh diatas, maka pengendara mobil tidaklah dapat dipersalahkan atas
kematian bapak tadi, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara slip tidak
dapat dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian.

b. Teori Adequat Objektif

Teori ini dipelopori oleh Rumelin, pada ajaran ini tidak memperlihatkan bagaimana
sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada
setelah peristiwa beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal
(objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam
pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan
bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi setelah akibatnya, apakah
faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.

Perbedaan antara teori adequat subjektif dan objektif yang dikemukakan oleh Prof
Moeljatno, contohnya :

Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada
seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada si pasien,
ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada
obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah
dimasukkan racun, maka racu itu menimbulkan akibat matinya pasien.

Menurut ajaran adequat subjektif karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau
tidak mengetahui perihal diamsukkannya racun, maka perbuatan meminumkan obat
pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat
dengan kematian, tidak ada hubungan kausal.

Dipandang dari ajaran adequat objektif , karena perbuatan orang lain memasukkan
racun ke dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab
matinya, walaupun tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat yang
meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya,
karenanya itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien.

c) Ajaran Kausalitas yang Paling Sering Digunakan untuk Menyelesaikan Kasus di


Indonesia :
Ajaran kausalitas (causation) dalam hukum pidana digunakan untuk menemukan
pertanggungjawaban pidana dalam jenis tindak pidana yang menghasilkan akibat
yang dilarang, artinya sebuah tindak pidana baru bisa dimintakan
pertanggungjawaban pidana jika konsekuensi perbuatan tersebut muncul. Dalam
civil law, sebuah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang sering disebut
dengan istilah tindak pidana materiil sementara dalam common law tindak pidana
yang menimbulkan akibat yang dilarang sering disebut dengan result crimes.
Beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori tindak pidana meteriil atau result
crimes diantaranya pembunuhan, penganiyaan, pembakaran, pengrusakan. Namun,
ajaran ini begitu pentingnya sehingga sulit bagi hakim menemukan kebenaran dalam
menghadapi kasus-kasus yang rangkaian penyebab panjang dan rumit. Pengadilan di
Indonesia memaknai ajaran kausalitas sebagai sebuah nalar berfikir dalam mencari
hubungan antara fakta-fakta hukum, fakta-fakta hukum itu didapat dari rangkaian
perbuatan dan kesalahan terdakwa yang memunculkan akibat yang dilarang. Dengan
demikian actus reus dan mens rea dipertimbangkan sekaligus ketika mencari
pertanggungjawaban pidana.

Anda mungkin juga menyukai