Anda di halaman 1dari 13

LEGAL OPINI DALAM PUTUSAN MK

NOMOR 31/PUU-XV/2017 tentang NARKOTIKA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Kelas D

Kelompok 6 :

1. MIFTAKHUL MASRUROH ( 170710101101 )


2. SEPTIYAN DWI CAHYANI ( 170710101102 )
3. UMI SAIDAH ( 170710101403 )
4. TASA WEHARIMA ( 170710101425 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2019
Nama : Miftakhul Masruroh

Narkotika merupkan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan ( Undang-Undang
no. 35 tahun 2009). Pada putusan mahkamah konstitusi nomor 31/PUU-XV/2017 saya setuju
mengenai amar putusan yang mengadili dengan menolak permohonan pemohon untuk
seluruhnya karena sudah jelas pada saat anggota polri mendatangi dan memeriksa orang
tersebut ditemukan barang bukti seberat netto 0,7393 gram dan orang tersebut juga
melakukan test urine dengan hasil yang positif. Maka dapat dijerat dengan pasal 112 ayat (1)
UU Narkotika “setiap warga yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dengan pidana
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp800.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”. Dengan demikian sudah jelas terdapat pasal
untuk menjerat penyalahguna Narkotika tersebut supaya mempunyai efek jera terhadap yang
bersangkutan, namun sebenarnya juga diperlukan sebuah rehabilitasi terhadap seseorang
penyalahgunaan Narkotika tersebut karena dengan melakukan rehab kemungkinan besar
penyalahguna tersebut dapat berhenti mengkonsumsi zat-zat terlarang tersebut sedangkan jika
hanya dipidana saja kemungkinan juga dapat melakukan kembali perbuatan tersebut setelah
keluar dari penjara.

Penyalahgunaan narkotika sendiri jika ditinjau dari segi sosial-ekonomi juga dapat
berpengaruh buruk, dari segi ekonomi pecandu narkotika dapat menghabiskan uang mereka
hanya untuk membeli barang tersebut dan apabila ekonomi sedang lemah maka dapat
berbagai cara yang digunakan misalnya dengan melakukan tindakan kriminal demi untuk
membeli narkotika tersebut,dalam dunia kerja juga akan mempengaruhi tingkat kemangkiran
dan kualitas kerja korban penyalahgunaan narkotika dan dampak tersebut akan menimbulkan
dampak turunan yaitu tidak kondusif serta rendahnya kualitas daya saing produk/jasa yang
dihasilkan. Secara sosial dampak narkoba juga akan mengurangi keharmonisan dalam
keluarga, mengurangi kemampuan berprestasi dalam pendidikan serta dapat mempengaruhi
kesehatan pengguna narkotika tersebut. Dalam kasus ini menurut saya penyalahgunaan
narkotika juga dilatar belakangi oleh faktor salahnya pergaulan orang tersebut sehingga
terjerumus kedalam hal-hal yang berhubungan dengan obat-obatan terlarang tersebut, bisa
juga dikarenakan faktor dari lingkungan tempat seseorang tersebut tinggal, dikarenakan
memang orang tersebut coba-coba atau merasa tertarik pada efek yang ditimbulkan oleh obat-
obatan terlarang tanpa disadari yang awalnya hanya coba-coba menjadi ketagihan untuk
melakukan berulang-ulang. Seseorang yang tertangkap sebagai penyalahguna narkoba seperti
pada kasus ini disetiap lingkungan mereka tinggal biasanya setelah keluar dari penjara akan
mendapat label dari masyarakat bahwa orang tersebut berperilaku tidak benar dan bisa jadi
dikucilkan dalam lingkungan tersebut.

Dengan banyaknya kasus narkotika yang ada dilingkungan masyarakat maka


penerapan pada pasal 60 UU nomor 35 tahun 2009 perlu ditegaskan dengan pemerintah
melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika,
mencegah penyalahgunaan narkotika supaya generasi muda dan anak usia sekolah tidak
terjerumus dalam obat-obatan terlarang termasuk dengan memasukkan pendidikan yang
berkaitan dengan narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas. Terdapat
alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang yaitu:

- karena pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar
pertumbuhan ekonomi,
- sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan
nasional,
- dan investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-
ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya dan
kependidikan.

Apabila generasi muda pada saat ini banyak yang terjerat kasus narkotika akan menimbulkan
banyak kerugian bagi negara,bahkan tidak jarang penyalahgunan narkotika yang mengalami
putus sekolah dan hal tersebut akan menyebabkan kualitas sumber daya manusia sangat
rendah dan tidak dapat bersaing dalam pembangunan nasional. Maka perbanyak sosialisasi
terhadap para remaja dan juga masyarakat-masyarakat awam tentang bahaya akan narkotika,
bahaya tentang efek jangka panjang apabila mengkonsumsi obat-obatan tersebut.
Nama : Septiyan Dwi Cahyani

Menurut saya , dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.31 /PUU-XV/2017 saya


sependapat dengan putuhan tersebut yang membahas tentang narkotika, bahwasanya dapat
dilihat dari segi kesehatan narkotika dapat membahayakan kesehatan terutama pada
penggunanya sendiri. Sebagian besar masyarakat sudah tahu bagaimana dampak buruk
narkoba terhadap kesehatan melalui berbagai penyuluhan di berbagai media cetak. Akan
tetapi tetap saja ada kasus yang muncul bahkan beberapa tokoh masyarakat pun ikut menjadi
korbannya. Padahal sebagian besar pengguna narkoba tahu dampak buruk narkoba baik
sebelum menggunakannya maupun setelah kecanduan, banyak pengguna obat-obatan ini
yang awalnya tergoda merasakan kesenangan sesaat atau sebagai pelarian dari masalah yang
dihadapi. Padahal, efek narkoba dapat merusak kesehatan secara fisik dan kejiwaan. Saat
seseorang mulai mengonsumsi narkoba, terdapat kemungkinan besar untuk mengalami
kecanduan. Makin lama, pengguna akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi demi dapat
merasakan efek yang sama. Ketika efek narkoba mulai hilang, pengguna akan merasa tidak
nyaman akibat munculnya gejala putus obat dan akan ingin kembali memakainya.Narkoba
yang larut di dalam tubuh akan dialirkan melalui darah ke seluruh tubuh, termasuk ke otak.
Efek dari obat-obatan bergantung kepada jenis yang dikonsumsi, dosis, durasi pemakaian,
dan ukuran tubuh orang yang mengonsumsinya.Selain berpengaruh pada tubuh, bahaya
narkoba juga dapat menyebabkan hal-hal yang mengganggu kualitas hidup seseorang.
Misalnya, pecandu rentan mengalami masalah di kantor, sekolah atau keluarga, kesulitan
keuangan, hingga berurusan dengan pihak kepolisian karena melanggar hukum.Seorang
pecandu juga lebih rentan mengalami infeksi menular seksual, kecelakaan, dan melakukan
upaya bunuh diri akibat berada di bawah pengaruh obat.

Karena permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah yang luar


biasa, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup penanganan
permasalahan Narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak hukum saja, tapi juga harus
didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat. Kenyataan itulah yang menjadi latar
belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN pun gencar melakukan upaya-
upaya preventif dan represif untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari narkoba tahun
2015 yang merupakan target dari seluruh negara ASEAN.
Upaya-upaya itu meliputi penyelamatan para pengguna narkoba dengan cara rehabilitasi, dan
memberantas para bandar, sindikat, dan memutus peredaran gelap narkotika. Tetapi itu tidak
cukup, karena diperlukan pula upaya preventif berupa pencegahan agar tidak muncul
pengguna/pecandu narkotika yang baru, mengingat kata pepatah yang mengatakan, “lebih
baik mencegah daripada mengobati”. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saat ini
tidak hanya ada pada kalangan yang cukup umur saja, bahkan pada kalangan yang belum
cukup umur. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika sejak
dini.

Keseriusan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika


tersebut sangat diperlukan. Terutama penyamaan kedudukan permasalahan narkotika dengan
permasalahan korupsi dan terorisme. Ketiga permasalahan tersebut sama-sama mempunyai
dampak yang sistemik, mengancam ketahanan nasional, serta merusak kesehatan masyarakat
terutama generasi muda.

Dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah dari segi penanganan para penyalahguna
narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.”

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang sangat
penting untuk keperluan pengobatan, tetapi justru akan menimbulkan masalah yang besar
apabila di salah gunakan. Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa Narkotika
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika merupakan


kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, adanya strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi
oleh Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi
Nasional P4GN.Dalam strategi tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan
para pecandu narkotika demi menurunkan prevalensi pecandu narkotika dan sebagai salah
satu cara untuk mewujudkan tahun 2015 Indonesia bebas dari narkoba.

Selain itu terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pecandu dan
korban penyalahgunaan narkotika, di mana dekriminalisasi itu adalah proses penghapusan
tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dalam tahap
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan
dimana para pecandu dan korban penyalagunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi
Penerima Wajib Lapor yang ditunjuk oleh Pemerintah yang kemudian para pecandu dan
korban penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.

Menurut saya, diperlukan persamaan persepsi antar penegak hukum dalam hal penanganan
para penyalahguna narkotika.Dalam hal persamaan persepsi antar para penegak hukum,
sudah terbit Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM,
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional. Yang ditandangani oleh Ketua MA,
Menteri Hukum & HAM, Jaksa Agung, Menkes, Mensos, dan Kepala BNN pada 11 Maret
2014.Peraturan Bersama tersebut terkait penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan bertujuan untuk mendekriminalisasikan para
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.Peraturan bersama ini merupakan langkah
konkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan
Narkotika di Indonesia.
Nama: Umi Saidah

Menurut saya putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus narkotika (Nomor


31/PUU-XV/2017) sangat tepat. Dilihat dari aspek Hukum tentunya sangat berkaitan erat,
menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU
35/2009”), adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.

Untuk Narkotika sendiri digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu Narkotika


Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. Narkotika Golongan I diantaranya yang kita
kenal adalah Opium, Kokain, dan tanaman ganja. Juga termasuk zat MDMA, MMDA, dan
Metampetamina atau Ampetamina, dimana zat-zat ini biasanya terkandung dalam
ekstasi/ineksi dan shabu-shabu yang lagi marak disalahgunakan di dalam masyarakat kita.
Salah satu tujuan dari UU Narkotika adalah untuk mencegah, melindungi, dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika. Narkotika tidak boleh
disalahgunakan, karena Narkotika menimbulkan ketergantungan yang sangat membahayakan
kesehatan. Disatu sisi memang sebagian dari zat-zat ini berkhasiat untuk kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, disisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat.

Saya setuju dengan keputusan Mahkamah kostitusi yang mengatakan bahwa


pemohon mempunyai hak konstitusional. Hak konstitusional ini sendiri telah dijamin oleh
UUD 1945, yakni pasal pasal 28 I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.

Pada pasal 28 I ayat 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap orang atau warga negara berhak
untuk hidup, tidak mendapatkan penyiksaan, bebas dalam pikiran dan hati nurani, berhak
beragama, tidak diperbudak, diakui di hadapan hukum yang berlaku sebagai seorang pribadi,
dituntut atas dasar hukum yang berlaku, dansemua hak tersebut tidak dapat dikurangi ataupun
dihilangkan dalam keadaan apapun oleh orang lain maupun orang atau warga negara itu
sendiri.

Terkait pasal 28 I ayat 1 bahwa hak konstitusional pemohon tersebut telah dirugikan
karena pemohon tidak dikenakan pasal 127 dan hanya dikenakan pasal 112 dan pasal 114 UU
narkotika. Padahal, pemohon dalam perkara pidana tindak narkotika yang pada hakikatnya
dapat dipandang sebagai korban, sebagaimana fakta hukum berupa:

- Barang bukti sebanyak 0,7393 gram atau tidak sampai dengan 1 gram (shabu)
- Test urine (positif)

Sehingga dapat dilakukan pembinaan dengan direhabilitasi atau maksimal dikenakan


hukuman pasal 127 UU Narkotika, namun ternyata pemohon justru dipidana penjara dengan
menggunakan pasal 112 UU Narotika. Hal itu disebabkan terhadap diri pemohon hanya
berupa dakwaan alternatif, yakni pasal 112 atau pasal 114 UU Narkotika. Pasal 112 Ayat ( 1 )
berbunyi:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).”

Pasal 114 Ayat ( 1 ) yang berbunyi :

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”

Pidana penjara bagi korban penyalahgunaan narkotika perlu diganti dengan tindakan
sebagaimana dianut dalam sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system) yaitu
disamping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana dapat juga dikenakan tindakan.
Karena pidana penjara bagi korban penyalagunaan Narkotika merupakan perampasan
kemerdekaan dan mengandung sisi negatif sehingga tujuan pemidanaan tidak dapat
diwujudkan secara maksimal bahkan dalam banyak kasus banyak beredar Narkotika yang
dikendalikan dalam lembaga pemasyarakatan.

Dalam ketentuan undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan


wewenang pada hakim untuk melakukan pemidanaan berupa tindakan bagi korban pecandu
narkotika untuk menjalani rehabilitasi sosial dan medis. Rehabilitasi ini merupakan masa
menjalani pengobatan atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Namun dalam vonis pengadilan majelis hakin sangat jarang menjatuhkan tindakan hukum
berupa pengobatan dan perawatan kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Oleh karena itu saya setuju dengan putusan Mahkama Konstitusi yang sangat menyayangkan
hal ini.
Nama: Tasa Weharima

Saya setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Jika kita lihat secara global apa
itu narkotika? Adakah kaitannya dengan segi ekonomi? Narkotika, menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU 35/2009”), adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Kita sudah tidak asing dengan narkotika apalagi banyak media media televisi
maupun cetak yang saat ini gempar akan narkotika di kalangan artis. Jika kita sekali
terjerumus pada narkotika, maka produktivitas kita juga akan ikut menurun. Apa saja yang
dapat memengaruhi penurunan produktivitas para pekerja tersebut? Pertama, untuk kalangan
mahasiswa yang merupakan calon sumber daya manusia sudah rusak duluan karena pengaruh
narkoba. Sehingga berkurang regenerasi untuk meneruskan apa yang harus dikaryakan para
mahasiswa jika sudah lulus nanti dalam segala sektor.

Untuk kalangan pekerja seperti Pengacara, TNI/Polri jika terkena kasus narkoba,
bagaimana dapat menegakkan hukum secara kuat jika alat negara seperti ini juga menjadi
oknum. Segala hal di masyarakat yang harus dilindunginya malah terbengkalai. Segala
masalah akan tertunda dan menggantung karena gangguan narkoba ini. Berbagai masalah
yang menggantung akan berakibat terhambatnya sebuah keputusan yang dapat memengaruhi
produktivitas.

Sedangkan Petani, jika tersandung kasus narkoba, akan lebih parah lagi.
Produktivitas padi dan kualitas panen akan terhambat, karena petani mengalami gangguan
fisik akibat narkoba serta tersandung hukum dan proses rehabilitasi yang memakan
waktulama.

Buruh dan karyawan swasta jika tersangkut kasus naroba, akan menghambat
produktivitas karyanya di suatu perusahaan tempatnya bekerja. Berapa banyak buruh yang
menjadi malas dan tak dapat lagi konsentrasi untuk bekerja karena pengaruh narkoba ini
sehingga produk yang dihasilkan suatu perusahaan sedikit dan nilai jualnya kurang.

Akibat dari pengaruh narkoba pada poin-poin diatas adalah akan terjadinya
penundaan produktivitas karena pekerja di masing-masing sektor sebagian terpengaruh
narkoba yang menjadikan fisik dan mentalnya terganggu.. Baik kesehatan maupun
psikologisnya. Kebanyakan mereka rata-rata akan menjadi malas, temperamen dan kacau
pikirannya, jadi mana bisa bekerja dalam kondisi seperti itu?

Sedangkan untuk masyarakat umum sendiri, jika salah satu atau beberapa anggota
keluarganya tersandung kasus narkoba, akan membutuhkan biaya ekstra, jika anggota
keluarganya yang terkena narkoba sedang sakaw, mereka akan memaksa minta uang untuk
dibelikan barang haram tersebut untuk memenuhi kebutuhannya disaat sakaw. Jika tidak
dikasih, biasanya akan menghalalkan segala cara dengan mencuri barang-barang yang ada di
rumah untuk dijual dan dibelikan barang haram tersebut. Dari mulai perhiasan dan barang-
barang lainnya. Ada keluarga teman saya yang adiknya kecanduan narkoba, sampai berani
menjual tabung gas yang ada di dapur karena tak punya uang lagi untuk memenuhi
kebutuhannya disaat sakaw. Otomatis, perilaku tersebut akan sangat merusak kondisi
ekonomi keluarga.

Akibat adanya narkotika juga berdampak kepada perekonomian di Indonesia,


karena pasar narkoba underground economy ilegal yang transaksinya tidak terekam. “Namun
(Sebab) Indonesia bukan lagi menjadi negara transit peredaran narkoba, melainkan sudah
menjadi negara produksi narkoba," ujar Kepala Harian BNN Dari data 2017. Menyebutkan,
kebutuhan ganja per tahun mencapai 158 ton, 219 ton sabu, ekstasi 14 juta butir. Padahal
temuan dari aparat penegak hukum hanya sekitar tiga ton sabu/ganja atau ratusan ribu butir
ekstasi saja. Badan Narkotika Nasional memperkirakan kerugian ekonomi akibat
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bakal mencapai Rp 57 triliun di tahun
2013. Jumlah tersebut naik drastis 75,93 persen ketimbang angka Rp 32,4 triliun pada 2008.
Di tahun 2008, kerugian Rp 32,4 triliun itu terdiri dari kerugian biaya individual Rp 26,5
triliun dan biaya sosial Rp 5,9 triliun. Dalam biaya individual itu, sebagian besar, yakni 58
persen, dipakai untuk mengongkosi konsumsi narkoba para pecandu. Sedangkan 66 persen
biaya sosial digunakan untuk kerugian biaya kematian dini akibat narkoba. Lebih dari 5 juta
penduduk Indonesia mengonsumsi narkoba. Maka diperlukan adanya pasal yang menjerat
dan denda yang harus dibayarkan agar tidak memakai atau mengedar narkoba tersebut.

Saya setuju dengan keputusan Mahkamah kostitusi yang menolak permohonan


pemohon atas dalilnya yang mempermasalahkan Pasal 112 Ayat ( 1 ) dan Pasal 114 Ayat (1 ).

Pasal 112 Ayat ( 1 ) berbunyi:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).”

Pasal 114 Ayat ( 1 ) yang berbunyi :

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”

Adanya Pasal 112 Ayat ( 1 ) dan Pasal 114 Ayat ( 1 ) agar para pemakai ataupun
pengedar dapat merasakan jera akan denda tersebut. Meskipun tidak ditemukan barang bukti
berupa shabu dan tidak mencapai 1 gram, harus tetap diadili. Sekalipun pemohon tidak terima
dikenakan Pasal 112 Ayat ( 1 ) dan Pasal 114 Ayat ( 1 ) bagi saya harus dikenakan agar si
pemakaipun jera bahwa tindakannya dapat merugikan dia dari segi ekonomi. Jika tidak
dikenakan pasal dan hany direhabilitasi saja bisa saja setelah keluar dari tempat rehabilitasi
pemohon bisa menggunakan barang haram tersebut. Diisi lain saya setuju dengan ditolaknya
permohon pemohon karena meskipun pemohon tidak ada alat bukti yang ditemukan, bisa jadi
sebelum adanya penggeledahan oleh kepolisian, pemohon bisa menghilangkan alat bukti
tersebut. Banyak sekarang ini modus dan motif tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang
semakin kompleks, bukan sesuatu yang mustahil apabila dalam kenyataanya ditemukan
adanya kasus dimana seseorang yang diduga menggunakan narkotika ditemukan adanya
kasus dimana seorang yang diduga memakai narkotika berdasarkan hasil tes urine dinyatakan
positif namun tidak ditemukan adanya barang bukti pada dirinya. Hal tersebut sangat
memungkinkan mengingat ketika orang yang bersangkutan tertangka tangan barang bukti
telah habis dipergunakan atau mungkin saja barang bukti tidak ditemukan karena tidak berada
dalam penguasaan orang yang bersangkutan.

Itulah kenapa Mahkamah Konstitusi menolak permohon pemohon karena


banyaknya modus yang dilakukan seeperti menghilangkan barang bukti. Sekalipun pemohon
hanya sebagai korban, tetap harus dikenakan Pasal 112 Ayar ( 1 ) dan Pasal 114 Ayat ( 1 )
agar pemohon dapat mersakan jera atas tindakaanya apalagi karena tindakannya dapat
merugikan dirinya sendiri dan berdampak pada ekonomi karenaadanya denda di dalam pasal
tersbut.

Anda mungkin juga menyukai