Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan permasalahan yang dihadapi

oleh banyak negara saat ini. Hal tersebut tentunya sangat meresahkan dan

menimbulkan berbagai dampak negatif bagi penggunaan narkotika. Pemerintah dan

mayarakat tentunya perlu melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terkait

dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika, bahkan pemerintah telah

menetapkan peringatan bahwa Indonesia merupakan negara darurat narkotika.

Berdasarkan hal tersebut maka para pengguna, pembeli, pengedar dan pihak-pihak

lainnya yang terlibat dalam peredaran dan penyalahgunaan narkotika semestinya

mendapatkan sanksi yang sesuai dengan tindakan yang telah dilakukan. 1 Peredaran

dan penggunaan narkotika tidak hanya beredar di kota besar, tetapi telah merambah

ke seluruh masyarakat desa dengan berbagai kalangan ekonomi baik tingkat atas

hingga menengah ke bawah, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika menjelaskan bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

1
Fransiska Novita Eleanora, 2011, “Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha
Pencegahan Dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis)”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung, Vol XXV, No. 1, hal. 439-440.
2

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan yang dibedakan ke dalam beberapa golongan. Undang-undang

mensyaratkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

penyalahgunaan narkotika serta ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang

dan disertai dengan ancaman pidana bagi pihak-pihak yang melanggar.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

dalam Pasal 7 mengatur bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan teknologi.

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak semua pihak berhak dan bisa mempergunakan

narkotika. Tindakan lainnya yang dilakukan diluar tujuan penggunaan narkotika dan

dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berhak untuk mempergunakannya merupakan

suatu bentuk dari tindak pidana terhadap narkotika. Penyalahgunaan narkotika

merupakan bentuk tindak pidana dan seorang penyalahguna merupakan pelaku tindak

pidana. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menyatakan

bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau

melawan hukum.

Ketersediaan narkotika diperlukan dalam upaya peningkatan di bidang

pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan akan

menimbulkan dampak yang berbahaya bagi penggunanya karena pengguna akan

mengalami ketergantungan yang sangat merugikan apabila penggunaannya dilakukan

dibawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
3

kewenangan untuk itu, sehingga harus dilakukan pengendalian dan pengawasan. 2

Narkotika tidak hanya memberikan kerugian bagi pihak-pihak yang

menyalahgunakannya, tetapi juga memberikan dampak terhadap ekonomi, sosial dan

keamanan nasional.

Narkotika memberikan kerugian terhadap fisik dan mental yang berdampak bagi

pribadi yaitu menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan

hingga mengurangi rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan bagi diri sendiri.

Dampak lainnya yang ditimbulkan yaitu bagi masyarakat seperti menyebabkan

kecelakaan, menimbulkan tindak kejahatan atau kriminal, serta gangguan-gangguan

lainnya terhadap masyarakat. Banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam tindak

pidana narkotika memerlukan perhatian serius dan komitmen bersama untuk

mencegah dan menghapusnya dengan menggunakan sanksi pidana. Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah memberi

perlakuan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkotika.

Pengguna atau pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika

diberikan sanksi pidana penjara, sedangkan pecandu narkotika yang merupakan

korban diberikan sanksi berupa rehabilitasi. Hal tersebut juga sebagaimana diatur

pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang

Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke

dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial adalah orang yang

2
Kusno Adi, 2009, Diversi Sebagai Upaya Alternative Penaggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, UM Press, Malang, hal. 4.
4

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik

secara fisik maupun psikis. Hal ini berarti menempatkan penyalah guna narkotika

sebagai korban kejahatan narkotika.

Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika juga mengatur tentang rehabilitasi yang menyebutkan bahwa pecandu

narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis merupakan suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

narkotika. Reahabilitasi medis pecandu narkotika dapat dilakukan di rumah sakit

yang ditunjuk oleh menteri kesehatan yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik

oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui

rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan

oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sedangkan

rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara

fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat segera kembali

melakukan fungsi sosial dalam melakukan kehidupan masyarakat.

Bekas pecandu narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan

terhadap narkotika secara fisik dan psikis. Meskipun rehabilitasi telah diatur, namun

dalam Pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika menyebutkan bahwa penyalah guna dijadikan subyek yang dapat dipidana

dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai

korban narkotika.
5

Meningkatnya tindak pidana narkotika mengindikasikan bahwa Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum cukup efektif

dalam memenuhi tujuan pemidanaan yang hendak dicapai untuk memberikan efek

jera, menakut-nakuti dan mengembalikan kondisi sosial masyarakat akibat kejahatan

yang dilakukan serta melakukan pembinaan terhadap terpidana dengan cara

memasyarakatkannya kembali. Penjatuhan pidana terhadap penyalahguna narkotika

tentunya diharapkan tidak saja memberikan efek jera bagi pelakunya namun juga

sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Eksistensi penegakan hukum baik di

tingkat penyidik, penuntut sampai tingkat pengadilan, harus memiliki presensi yang

sama sesuai tuntutan hukum dan keadilan masyarakat.

Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang

menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, serta tidak

ada masyarakat yang terhindar dari kejahatan. Perilaku menyimpang tersebut

merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial

yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial sehingga dapat menimbulkan

ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan

ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.3 Beberapa pihak

berpendapat bahwa keistimewaan yang diberikan kepada pengguna narkotika di

Indonesia adalah mendapatkan hak untuk direhabilitasi, sehingga banyak pihak-pihak

yang memakai narkotika untuk dirinya sendiri dikarenakan penegakan hukum yang

3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2013, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, hal. 42.
6

tidak tegas dan tidak memberikan efek jera meskipun undang-undang telah mengatur

mengenai penerapan sanksi pidana yang berat kepada para pelaku kejahatan berupa

pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara. Oleh karena itu, dalam kebijakan

kriminal atau penjatuhan sanksi pidana harus menentukan perbuatan apa yang

seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan kepada pelanggarnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut

dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Sanksi

Terkait Tindak Pidana Narkotika”

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis mengangkat dua

permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sanksi terhadap tindak pidana narkotika?

2. Bagaimana hambatan dan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika?

3. Ruang lingkup masalah

Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Secara umum akan diuraikan mengenai hukum pidana,

pertangungjawaban pidana, tindak pidana, dan pemidanaan.

2. Secara umum akan dibahas mengenai kepastian hukum dan penegakan

hukum.
7

3. Secara umum akan dibahas mengenai narkotika.

4. Akan diuraikan mengenai penerapan sanksi terhadap tindak pidana

narkotika.

5. Akan diuraikan mengenai hambatan dan upaya penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika.

4. Landasan teori

a. Teori kepastian hukum.

Kelsen memberikan pengertian hukum sebagai sebuah sistem norma.

Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek das sollen atau apa

yang seharusnya, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa

yang harus dilakukan. Norma-norma merupakan produk dan aksi manusia

yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum merupakan pedoman bagi setiap individu untuk bertingkah laku,

baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam

hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi batasan

bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap

individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan

kepastian hukum.4

Utrecht memberikan pengertian bahwa kepastian hukum mengandung

pengertian adanya aturan yang bersifat umum agar individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Selain itu, kepastian
4
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 158.
8

hukum juga mengandung pengertian berupa keamanan hukum bagi setiap

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

yang bersifat umum tersebut, individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap setiap individu.

Kepastian hukum itu tidak dengan sendirinya terwujud pada saat

diundangkan dan diberlakukannya hukum. Hukum masih harus diterapkan

oleh para penegak hukum dan agar kepastian hukum dapat benar-benar

diwujudkan, maka masih harus diperlukan pula suatu kepastian dalam

penerapannya. Hukum yang berlaku mencoba untuk memberikan jawaban

atas kebutuhan konkret masyarakat dan sekaligus ditujukan agar

tercapainya kepastian dan ketertiban. Penegakkan hukum harus

memperhatikan unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Hal-

hal tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Tanpa adanya kepastian hukum, maka para pihak tidak tahu apa yang

harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Namun, apabila terlalu

menitik beratkan pada kepastian hukum atau mentaati peraturan hukum

yang kaku, maka kadangkala rasa keadilan tidak dapat tercapai.

Syafruddin Kalo menyatakan bahwa kepastian hukum dapat kita lihat

dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum dan kepastian karena hukum.

Kepastian dalam hukum mengandung pengertian bahwa setiap norma

hukum tersebut harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat yang

tidak mengandung penafsiran berbeda-beda. Hal tersebut dapat


9

mengakibatkan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap

hukum. Dalam prakteknya, ketika peristiwa hukum dihadapkan dengan

substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau

kurang sempurna sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda

yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum. Sedangkan

terkait dengan kepastian karena hukum, hal tersebut dikarenakan hukum

itu sendirilah yang menimbulkan adanya kepastian. Sebagai contoh,

hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, sehingga dengan lewat

waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Hal tersebut

berarti bahwa hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang

dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau

akan kehilangan sesuatu hak tertentu.

Kepastian hukum menjadi suatu harapan bagi pencari keadilan

terhadap tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum. Dengan adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan

mengetahui kejelasan akan hak dan kewajibannya menurut hukum. Tanpa

ada kepastian hukum, maka orang tidak akan tahu apa yang harus

diperbuat, tidak mengetahui apakah perbuatan yang dilakukannya benar

atau salah, dilarang atau tidak menurut hukum.

Kepastian hukum merupakan jaminan terhadap hukum yang

mengandung unsur keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan

harus dapat berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Gustav Radbruch


10

menyatakan bahwa keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-

bagian yang tetap dari hukum. Keadilan dan kepastian hukum harus

diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban

suatu negara. Pada akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.

Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai

keadilan dan kebahagiaan.

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim didasarkan

pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta

dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim dituntut untuk dapat

menafsirkan makna yang terkandung di dalam berbagai peraturan yang

menjadi dasar atau diterapkan dalam persidangan. Hal tersebut menjadi

hal yang penting, karena dengan adanya kepastian hukum akan

mempengaruhi wibawa para hakim dan elektabilitas pengadilan tersebut.

Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan

memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

hukum. Hal tersebut dikarenakan putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan

menjadi acuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

b. Teori pertanggungjawaban pidana.

Hukum Pidana sebagai terjemahan dari bahasa belanda strafrecht

merupakan semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang

memakai sanksi atau ancaman hukuman bagi mereka yang melanggarnya.


11

Hukum pidana di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi hukum

pidana materil yang merupakan seluruh ketentuan dan peraturan yang

menunjukkan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapa pihak-pihak

yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap tindakan-tindakan

tersebut dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap pihak-pihak

tersebut. Selanjutnya adalah hukum pidana formil sebagai sejumlah

peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya

untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang

diduga melakukan tindakan pidana, atau dengan kata lain adalah

bagaimana hukum pidana materil harus diberlakukan secara konkrit.5

Terkait pertanggungjawaban pidana, sering disebut dengan istilah

criminal responsibility atau criminal liability. Pertanggungjawaban pidana

adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau

terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang

telah terjadi. Roscoe pound memberikan pengertian pertanggungjawaban

pidana sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan

diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban

yang dilakukan tersebut tidak hanya terkait dengan masalah hukum, tetapi

menyangkut juga masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada

dalam suatu masyarakat.

5
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2.
12

Pertanggungjawaban pidana dapat juga diartikan sebagai

diteruskannya celaan yang objektif pada perbuatan pidana dan secara

subjektif memenuhi syarat untuk dapt dipidana karena perbuatannya.

Celaan objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, dimana

perbuatan tersebut dilarang. Perbuatan dilarang merupakan perbuatan

yang bertentangan atau dialarang oleh hukum baik hukum formil maupun

hukum materil. Sedangkan yang dimaksud dengan celaan subjektif

merujuk kepada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang atau

bertentangan dengan hukum.

Pertanggungjawaban pidana memiliki perbedaan dengan perbuatan

pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan

diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang

melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, hal tersebut tergantung

dari pada perbuatan yang dilakukan apakah mengandung unsur kesalahan

atau tidak. Sebab asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana adalah

tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau actus non facit reum nisi

mens sis rea yang artinya penilaian pertanggungjawaban pidana itu

ditujukan kepada sikap batin pelakunya, bukan penilaian terhadap

perbuatannya. Kesalahan dapat disamakan dengan pengertian

pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan


13

perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum.

Meskipun seseorang telah melakukan perbuatan pidana, bukan berarti

seseorang tersebut dapat dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan

pidana hanya dapat dipidana apabila telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan kesalahan.6

Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila telah memenuhi syarat

bahwa tindakan yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila dilihat dari

sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang dapat dimintakan

pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan, apabila

tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau

peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Selanjutnya, apabila dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab,

maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat

dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatanya. Dalam hal dipidananya

seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum tergantung

dari apakah dalam melakukan perbuatan tersebut terdapat unsur kesalahan

dan apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut memang melawan

hukum, maka seseorang tersebut dapat dipidana.

6
Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana
Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 11.
14

Ruslan Saleh mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya untuk

mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila

perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum. Terlebih dahulu

harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan semua unsur-

unsur kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang

dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan

dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah melakukan perbuatan

pidana, mampu bertanggung jawab, dengan kesengajaan atau kealpaan,

dan tidak adanya alasan pemaaf.7 Apabila hal tersebut terpenuhi, maka

orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dapat dinyatakan

mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

Seseorang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana

haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan.

c. Teori pemidanaan.

Pidana dimaksudkan sebagai pembalasan terhadap pihak-pihak yang

melakukan kesalahan, sedangkan tindakan dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pihak-pihak yang

melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat dan juga untuk

melakukan pembinaan terhadap pihak-pihak yang melakukan kesalahan

tersebut. Oleh karena itu maka, adanya perkembangan sanksi dalam

bidang hukum pidana berupa tindakan. Tujuan dari kebijakan pemidanaan


7
Moeljatna, 2007, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 80.
15

yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.

Dalam hal ini yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan.

Pemidanaan secara sederhana dapat diartikan sebagai penghukuman.

Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan

alasan-alasan pembenar dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang

dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana.

Pemidanaan merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada

orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.8

Pemidanaan juga diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada

umumnya diartikan sebagai hukuman sedangkan “pemidanaan” diartikan

sebagai penghukuman. Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh

hakim untuk memidana seorang terdakwa. Penghukuman berasal dari kata

dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau

memutuskan tentang hukumnya. Pemidanaan sebagai suatu proses

penjatuhan pidana hendaknya dilakukan sebijak mungkin, sehingga perlu

mempertimbangkan pidana yang bagaimana sesuai dengan kondisi

8
M. Ali Zaidin, 2016, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 218.
16

terdakwa. Harus diakui bahwa pidana tidak berakibat sama pada setiap

orang, hal tersebut dikarenakan pidana merupakan suatu hal yang relatif.9

Pemidanaan tidak hanya terkait dengan pembalasan kepada pelaku

kejahatan atau sebagai pencegahan agar dapat melindungi masyarakat,

tetapi lebih luas lagi hingga pada suatu sistem pidana yang terpadu dan

menyatukan berbagai sendi penegak hukum dalam melaksanakan sistem

tersebut sesuai dengan yang dicita-citakan. Tanggung jawab sistem pidana

harus dimulai sejak dilakukannya pencegahan terhadap kejahatan,

terciptanya kejahatan oleh pelaku kejahatan, dan tahapan-tahapan lainnya

hingga pada berintegrasinya kembali pelaku kejahatan sebagai manusia

yang seutuhnya di dalam masyarakat serta kuatnya penegakan hukum di

dalamnya.

Pidana dijatuhkan bukan karena seseorang tersebut telah melakukan

tindak kejahatan, tetapi juga agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat

dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pemidanaan tidak

dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya

pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya

preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemidanaan harus

mengandung semacam kehilangan atau kesengsaraan yang biasanya secara

wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Setiap

9
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 40.
17

pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum dan

penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya

kepada subyek yang telah terbukti secara sengaja melakukan pelanggaran

terhadap hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Terdapat beberapa hal terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dengan

suatu pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu

sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-

kejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak

mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-

penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki

lagi.10 Selain itu, terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa tujuan

pemidanaan harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang

menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan

pelaku dan harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara

solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara

dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Terdapat beberapa teori terkait

pemidanaan, antara lain:

1) Teori absolute atau pembalasan

Teori ini menyebutkan bahwa dasar dari adanya pemidanaan

harus dicari pada kejahatan yang dilakukan untuk menunjukan

10
P.A.F. Lamintang, 2016, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 23.
18

bahwa hal tersebut sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai

pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh

karena kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi orang

lain yang menjadi korban. Pembalasan yang diberikan oleh negara

yang bertujuan untuk memberikan penderitaan kepada pelaku

tindak pidana akibat perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa

puas bagi orang yang dirugikannya. Teori pembalasan

membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan

suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus

diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan

akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Pidana merupakan akibat

mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana

terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

2) Teori relatif atau tujuan

Teori relatif atau teori tujuan lahir sebagai reaksi terhadap teori

absolut. Tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar

pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam

masyarakat. Teori ini mengungkapkan bahwa hukuman dijatuhkan

untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni

memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat suatu

tindak kejahatan. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal


19

dan untuk mencegah kejahatan. Tujuan pidana adalah sebagai alat

untuk menyelenggarakan, menegakkan dan mempertahankan serta

melindungi kepentingan pribadi dan publik, serta mempertahankan

tata tertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat sebagai

prevensi terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, untuk

merealisasikannya diperlukan pemidanaan yang menurut sifatnya

adalah menakuti, memperbaiki, atau membinasakan. Tujuan

hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, untuk

menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan, baik

menakut-nakuti orang banyak, maupun menakut-nakuti orang

tertentu yang telah melakukan kejahatan agar di kemudian hari

tidak melakukan kejahatan lagi, dan untuk mendidik atau

memperbaiki orang yang sudah menandakan suka melakukan

kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga

bermanfaat bagi masyarakat.

3) Teori gabungan

Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

tertib pertahanan tata tertib masyarakat, sehingga dua alasan

tersebut menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori

gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif.

Gabungan kedua teori tersebut menjelaskan bahwa penjatuhan

hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam


20

masyarakat dan memperbaiki pribadi pelaku kejahatan. Teori

gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu

teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat

dan teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

5. Tujuan penelitian

a. Tujuan umum.

Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah:

1) Untuk mengetahui mengenai hukum pidana, pertangungjawaban

pidana, tindak pidana, dan pemidanaan.

2) Untuk mengetahui mengenai kepastian hukum dan penegakan

hukum.

b. Tujuan khusus.

Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah:

3) Untuk menganalisis penerapan sanksi terhadap tindak pidana

narkotika.

4) Untuk menganalisis hambatan dan upaya penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika.


21

6. Metode penelitian

a. Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk

ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti

penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan

sistem norma. Peter Mahmud Marzuki memberikan pengertian mengenai

penelitian hukum normative sebagai suatu proses untuk menemukan suatu

aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

untuk menjawab permasalahan hukum. Penelitian hukum normatif

dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru

sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.11

b. Jenis pendekatan.

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum.

Pendekatan perundang-undangan merupakan penelitian yang

mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan

sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini

dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang

bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang dibahas pada

11
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 34.
22

skripsi ini. Selanjutnya, pendekatan konsep hukum memberikan sudut

pandang analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum

dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau

bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan

sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan.

c. Sumber bahan hukum.

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

antara lain:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat umum, terdiri atas asas peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar

dan perjanjian internasional. Adapun sejumlah bahan hukum

primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan serta

ketentuan-ketentuan yang lebih khusus yang berkaitan dan

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain :

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika

- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun

2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban


23

Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam

Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun

2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika

di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi

Sosial

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti

rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-

buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, pamflet, brosur, karya tulis

hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat di media massa

dan berita di internet.12 Terkait skripsi ini maka digunakan sumber

dari kepustakaan seperti buku-buku, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun

berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,

yaitu mengenai penerapan sanksi terhadap tindak pidana narkotika.

3) Bahan hukum tersier merupakan bahan non hukum yang

digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

d. Teknik pengumpulan bahan hukum.

12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 47.
24

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah

teknik studi kepustakaan, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum

terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang

dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum

tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang

berhubungan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini.

Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara

mengumpulan instrument hukum yang berkaitan dengan masalah yang

dibahas. Seanjutnya pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan

dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan

bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, karya tulis hukum atau

pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di

internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dan

pengumpulan bahan hukum tersier dilakukan dengan menggunakan kamus

hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.

e. Teknik pengolahan dan analisis

Teknik pegolahan dan analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah teknik kualitatif dengan menggunakan bahan hukum primer,

sekunder dan tersier yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian atau

evaluasi dan kemudian dilakukan interpretasi.

f. Teknik penyajian.
25

Teknik penyajian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu

deskripsi kualitatif. Setelah bahan-bahan hukum yang terkumpul

dianalisis dan diberikan penelian, maka hasil interpretasi atas bahan-bahan

hukum tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk argumentasi.


26

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak

Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta.

Kusno Adi, 2009, Diversi Sebagai Upaya Alternative Penaggulangan Tindak

Pidana Narkotika Oleh Anak, UM Press, Malang.

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2013, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative &

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Moeljatna, 2007, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

M. Ali Zaidin, 2016, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta.

Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Pemidanaan,

Sinar Grafika, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, 2016, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.


27

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam

Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2011 tentang Penempatan

Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial.

Jurnal

Fransiska Novita Eleanora, 2011, “Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha

Pencegahan Dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis)”, Jurnal

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Vol XXV, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai