Anda di halaman 1dari 81

ANALISIS IMPLEMENTASI PERANAN LEMBAGA REHABILITASI

MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP


PENYALAHGUNAAN, KORBAN PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU
NARKOTIKA DALAM PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP
NARKOTIKA.
(analisis implementasi Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Program Studi Ilmu Hukum Program Pendidikan Pascasarjana (S2)
Universitas Bandar Lampung

Oleh :

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara Hukum (rechstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Supremasi hukum menjadi

landasan utama bagi seluruh warga negara dan Pemerintah selaku

penyelenggara negara dalam melaksanakan perannya dalam kehidupan

bernegara.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh peran anggota masyarakat sebagai warga negara. Dukungan

masyarakat diperlukan guna menunjang kelancaran jalannya pemerintahan.

Ketaatan masyarakat akan aturan dan hukum sebagai salah satu bentuk

dukungan masyarakat, merupakan tujuan penerapan suatu aturan. Dalam

pelaksanaannya masih terdapat bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan

berupa tindak pidana, salah satu bentuk tindak pidana tersebut adalah

penyalahgunaan narkoba.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia berpotensi menjadi ancaman yang


serius bagi generasi penerus bangsa. Pengaruh dari narkoba tersebut sangatlah
buruk, baik dari segi kesehatan pribadinya dan juga dampak sosial yang
diakibatkannya. Bagi korban narkotika akan merasakan tekanan psikologis
dan sosial. Walaupun demikian, usaha agresif bangsa Indonesia terus
dilakukan dalam tiga tindakan utama, antara lain; pencegahan, rehabilitasi dan
penegakkan hukum.1

1
Syamsuddin, R., & Aris dalam https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogi hukum,
Implementasi Proses Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika di Panti Rehabilitasi Yayasan
Anargya Bali.. Diakses pada 20 Agustus 2022.
Dari ketiga tindakan utama ini harus diberikan sanksi secara seimbang

dengan demikian permintaan dan penyediaan narkoba bisa dikurangi. Oleh

sebab itu, pemecahan masalah yang harus dilakukan dengan cara memberikan

penjelasan untuk memberikan tempat membantu dalam hal pemulihan bagi

para pemakai narkoba tersebut.

Pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia

Indonesia guna mewujudkan kesejahteraan rakyat melakukan upaya

peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain

dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat

dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan

bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika sebagai salah satu upaya yang dlakukan Pemerintah guna

mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika di masyarakat.

Perncegahan penyalahgunaan narkoba harus dilakukan bersama oleh segenap

komponen negara termasuk adanya dukungan masyarakat terutama terhadap

korban penyalahgunaan narkoba. Hal tersebut ditegaskan BNN dalam artikel

yang diakses pada https.BNN.go.id, berbunyi :

“Upaya harus dimulai dengan meningkatkan kesadaran publik, meningkatkan


program pencegahan narkoba dan pendidikan, dan yang penting adalah
membuka tempat yang aman untuk dialog terbuka tentang perilaku berisiko.
Para penyalahguna harus diberikan kesempatan dengan bijaksana dan petugas
menjadi referensi utama mereka ketika mereka ingin kembali menjadi
manusia normal, sehat 100%”2

2
https://bnn.go.id/mencari-jalan-keluar-pecandu-narkoba diakses pada 20 April 2022./
Terhadap pengguna narkoba yang menjadi korban atas penyalahgunaan

narkoba serta menderita dan mengalami ketergantungan obat akibat dari

pemakaian narkoba. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika menegaskan bahwa “Pecandu narkoba dan korban

penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya sendiri wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 54 dijelaskan bahwa “Yang dimaksud

dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak

sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,

dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika”. Berdasarkan penjelasan

tersebut dapat disimpulkan bahwa kategori terhadap “korban penyalahgunaan

narkoba adalah terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba sepanjang

memenuhi kriteria dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan Narkotika, sehingga terdapat perbedaan mendasar terhadap

pelaku yang terlibat dalam peredaran gelap narkoba sesuai jenis pelanggaran

pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Program rehabilitasi yang dilakukan ini adalah salah satu tindakan

pemerintah dalam mengurangi dan menekan penyalahguna narkoba. Kegiatan

ini adalah salah satu cara alternatif, karena si pelaku penyalahguna narkoba

merupakan korban kecanduan narkotika yang juga membutuhkan upaya

pengobatan dan pemulihan. Upaya pengobatan dan pemulihan ini dilakukan

dengan memberikan tindakan rehabilitasi bagi pengguna narkotika

(Dirdjosisworo, 1990).
Pemberian tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah alternatif

lain yang dijatuhkan oleh hakim dengan penuh perhitungan selama masa

menjalani hukuman. Namun kenyataannya masih adanya pemakai narkoba

yang setelah menyelesaikan upaya rehabilitasinya di Badan Narkotika

Nasional (BNN) kembali ke dunia hitam mereka untuk menggunakan kembali

narkoba bahkan sampai menjadi seorang pengedar.

Tindakan rehabilitasi oleh hakim diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan, “Pecandu

Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial”. Selanjutnya Pasal 103 UU Narkotika

menyebutkan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:


a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindakan pidana
Narkotika ; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindakan pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hutuf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.3

Lembaga peradilan sebagai penentu pemberian sanksi terhadap pelaku

penyalahgunaan Narkoba telah menegaskan bentuk hukuman yang dapat

dijatuhkan hakim dalam proses peradilan, berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan

pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang

3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat

dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :

a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN
dalam kondisi tertangkap tangan ;
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a dimas ditemukan barang bukti
pemakaian I (satu) hari.
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwaJpsikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap Narkotika4.

Berdasarkan edaran tersebut bahwa sepanjang pelaku penyalahgunaan

narkoba memang tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika,

Hakim dapat menjatuhkan pidana berupa perintah untuk dilakukan tindakan

hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk

secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar

putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah :

a. Lembaga rehabiltasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan

diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.

b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.

c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkcs RI).

d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis

Daerah (UPTD).

e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh

masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau

Departemen Sosial (dengan biaya sendiri).

4
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana
sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika
rehabilitasi yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba yang

pelaksanaannya dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial inilah yang

mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang peranan lembaga

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap penyalahgunaan, korban

penyalahgunaan, dan pecandu narkotika dalam penanggulangan peredaran

gelap narkotika. Sebagai bentuk implementasi Edaran Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010.

Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah guna melakukan rehabilitasi perlu

adanya keterkaitan antar lembaga penegak hukum serta lembaga Pemerintah

lain yang memiliki fungsi dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

Keselarasan antar lembga tersebut selanjutnya dirumuskan dalam Peraturan

Bersama instansi yang memiliki fungsi serta berkaitan dengan penanganan

penayalahgunan narkoba serta penanganan korban penyalahgunan narkoba

berupa Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Menteri Sosial Republik Indonesia Jaksa

Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Nomor: 01/Pb/Ma/Iii/2014

Nomor: 03 Tahun 2014 Nomor : 11/Tahun 2014 Nomor : 03 Tahun 2014

Nomor : Per-005/A/Ja/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014 Nomor :

Perber/01/Iii/2014/Bnn Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Mekanisme

penanganan perkara terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba

yang tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba secara umum telah diatur
dalam Peraturan Bersama tersebut, namun dalam pelaksanaannya measih

terkendala dengan kewenangan Lembaga Rehabilitasi mengingat dalam proses

rehabilitasi yang dilakukan juga meruapakan bentuk penerapan sanksi pidana

bagi pelaku berupa sanksi rehabilitasi.

2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian.

2.1 Permasalahan.

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, Penulis

merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses pembuktian dan peradilan terhadap pelaku yang

merupakan korban penyalahgunaan narkoba di lembaga peradilan sesuai

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 ?

2. Bagaimanakah peran dan upaya lembaga rehabilitasi yang ditunjuk guna

menanggulangi peredaran gelap narkoba ?

3. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam proses rehabilitasi terhadap

korban penyalahgunaan narkoba, serta langkah penyelesaiannya ?

2.2 Ruang Lingkup.

Ruang lingkup penelitian yang menjadi pembahasan guna membatasi

persoalan oleh Penulis meliputi :

1. Prosedur penanganan serta peradilan terhadap korban penyalahgunaan

narkoba di lembaga peradilan sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 4 Tahun 2010.

2. Peran, fungsi, dan kewenangan lembaga rehabilitasi yang ditunjuk

terhadap korban penyalahgunaan narkoba guna menanggulangi peredaran

gelap narkoba.
3. Permasalahan serta langkah yang dilakukan oleh lembaga rehabilitasi yang

ditunjuk terhadap korban penyalahgunaan narkoba.

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

3.1 Tujuan Penelitian.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai

oleh Penulis meliputi :

1. Mendapatkan pemahaman proses pembuktian dan peradilan terhadap

pelaku yang merupakan korban penyalahgunaan narkoba melalui analisis

di lembaga peradilan sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4

Tahun 2010.

2. Mendapatkan gambaran tentang peran dan upaya lembaga rehabilitasi

yang ditunjuk guna menanggulangi peredaran gelap narkoba ?

3. Memberikan pemahaman atas permasalahan yang dihadapi dalam proses

rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkoba, serta langkah

penyelesaiannya ?

3.2 Kegunaan Penelitian.

Tujuan yang dihasilkan dari penelitian ini, meliputi :

a. Tujuan yang bersifat umum.

Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum,

lembaga peradilan, dan lembaga rehabilitasi dalam proses pembuktian dan

peradilan terhadap pelaku yang merupakan korban penyalahgunaan

narkoba.
b. Tujuan Akademis.

Dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu

pengetahuan serta sebagai bahan referensi bidang hukum terkait hukum

acara pidana penanganan kejahatan tindak pidana narkoba.

4. Kerangka Pemikiran.

Dalam penelitian ini Penulis mengangkat permasalahan berdasarkan bahan hukum

berupa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

sebagai bentuk upaya negara guna mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan

narkoba. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba

merujuk pada Pasal 54, Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b, dan Bab XV Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan hasil identifikasi atas permasalahan yang timbul dalam menerapkan

ketentuan yang dimuat dalam Pasal 54, Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b, dan Bab

XV Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, Penulis melakukan penelitian dengan merumuskan kerangka fikir

sebagai landasan dalam melakukan kajian atas permasalahan yang diangkat yang

dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap jenis pelanggaran tindak

pidana terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Pelaku dapat dikenakan Sanksi

Pidana sesuai Bab XV UU Nomor 35 Tahun 2009 apabila tindak pidana yang

dilakukan terbukti memiliki keterlibatan dengan peredaran gelap Narkoba. Dalam

hal tindak pidana yang dilakukan tidak berkaitan dengan peredaran gelap narkoba

Pelaku dapat dikenakan sanksi Pidana sesuai Pasal 54 dan 103 ayat (1) huruf a

dan b UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


Pelaku yang dikategorikan memiliki keterlibatan dengan peredaran gelap Narkoba

serta diancam dengan hukuman sesuai Bab XV UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika pelaksanaan keputusan guna menjalankan Sanksi Pidana

dilakukan oleh embaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan sesuai Bab XV UU

Nomor 35 Tahun 2009

Hakim dapat memutuskan untuk dilakukan rehabilitasi apabila Pelaku tindak

pidana tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkoba. Pelaksanaan

rehabilitasi dilakukan oleh Lembaga Rehabilitasi berdasarkan Pasal 54 dan 103

ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 (Korban)

Dalam melaksanakan perannya lembaga rehabilitasi mempunyai kedudukan

sebagai pelaksana atas putusan lembaga peradilan dalam mengembalikan kondisi

fisik den mental pelaku penyalahgunaan narkoba sehingga dapat terbebas dari

ketergantungan dan peredaran gelap narkoba.

Penerapan sanksi pidana tersebut bertujuan agar setelah pelaku menjalani

hukumannya serta pada saat pengembalian kepada masyarakat merasa jera

sehingga tidak memiliki keinginan untuk mengulangi perbuatannya sebagai

bentuk tercapainya keberhasilan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkoba

5. Metode Penelitian.

Dalam melakukan penelitian ini Penulis melakukan dengan melalui tahapan

metode penelitian meliputi :


a. Pendekatan Masalah.

Pendekatan masalah yang akan digunakan Penulis dalam menyususn tesis ini

adalah pendekatan yuridis empiris. Untuk itu diperlukan penelitian yang

merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis empiris. Disebut sebagai

penelitian hukum yuridis karena dalam membahas penelitian ini menggunakan

bahan-bahan hukum baik primer dan sekunder. Sedangkan disebut sebagai

penelitian hukum empiris karena dalam melakukan penelitian ini menggunakan

data primer yang diperoleh dari lapangan. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro:

“Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman


pada peraturan-peraturan, buku-buku atau literatur-literatur hukum serta bahan-
bahan yang mempunyai hubungan permasalahan dan pembahasan dalam
penulisan penelitian hukum dan pengambilan data langsung pada objek
penelitian.” 5

b. Sumber dan Jenis Data.

Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data

primer dan data sekunder.

1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Data Sekunder Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan

studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis berbagai

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti,

asas-asas pidana, teori hukum pidana. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan

hukum, yaitu: Bahan atau materi penelitian diperoleh melalui penelitian

kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan

dengan mempelajari :
5
Ronny Hanitio S. Metodelogi Penelitian hukum. 2010. Hlm 10
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain

berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

narkotika dan rehabilitasi korban penyalahguna meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Hasil Amandemen

ke-IV.

b. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan

Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

f. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Menteri Sosial Republik Indonesia

Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Nomor

01/Pb/Ma/III/2014 Nomor 03 Tahun 2014 Nomor : 11/Tahun 2014

Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/Ja/03/2014 Nomor 1

Tahun 2014 Nomor Perber/01/Iii/2014/BNN Tentang Penanganan

Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam

Lembaga Rehabilitasi.

g. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang

Penempatan korban penyalahgunaan dan pecandu narkoba di

tempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial.


2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang

bahan hukum primer seperti tulisan ilmiah serta jurnal hukum yang

berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti. Kegunaan bahan

sekunder adalah guna memberikan arah bagi Penulis dalam melakukan

penelitian.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi lebih lanjut

mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain

Kamus Hukum Indonesia, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan

melakukan wawancara pada responden.

c. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian Ilmu Hukum Empiris, maka dalam teknik

pengumpulan data ada beberapa prosedur yang dilakukan yaitu studi pustaka,

wawancara (interview), dan observasi

1. Metode studi Pustaka, Studi pustaka merupakan tahapan awal yang digunakan

dalam setiap penelitian ilmu hukum empiris maupun penelitian ilmu hukum

normatif., karena meskipun berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu

hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi pustaka dilakukan atas

bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

2. Metode Wawancara (interview), Wawancara merupakan salah satu teknik

yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian ilmu hukum empiris.

Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada

seseorang melainkan dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang


untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian

kepada responden maupun informan.

d. Pengolahan Data.

Terhadap data yang diperoleh Penulis menginventarisir bahan dan data yang

diperoleh, kemudian dilakukan identifikasi data, mengklasifikasikan berdasarkan

jenis dan sumber data, menyusun data sesuai permasalahan. Selanjutnya terhadap

data yang telah disusun kemudian digunakan sebagai bahan dalam melakukan

analisa data.

e. Analisis Data.

Terhadap data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisa atas data yang

diperoleh dari data primer, data sekunder, maupun data tersier selanjutnya diolah

dan dianalisa berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan dan kemudian

disajikan secara deskriptif kwalitatif, melalui penjelasan, uraian dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini

guna memberikan pemahaman serta gambaran secara jelas dan rinci sebagai

kesimpulan atas hasil penelitian yang dilakukan.

6. Sistematika Penulisan.

Terhadap hasil penelitian akan Penulis sajikan dalam 5 (lima) Bab yang terdiri

dari:

Bab I PENDAHULUAN, yang memuat Latar Belakang Masalah, Permasalahan

dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran

Konsep dan Teori, Metode Penelitian, serta Sistematikan Penulisan.

Bab II KONSEP PERANAN LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN

REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PENYALAHGUNAAN, KORBAN


PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM

PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA. (analisis

implementasi Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2010), yang memuat : Pengertian Narkotika, Teori Pembuktian, Teori

Pemidanaan, dan Rehabilitasi.

Bab III HASIL PENELITIAN, yang memuat Gambaran Umum Lembaga

Rehabilitasi, Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Sosial, Implementasi Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 dalam proses pembuktian dan proses

peradilan pada lembaga peradilan terhadap pelaku yang merupakan korban

penyalahgunaan narkoba dan tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba,

Penerapan sanksi berupa rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk

terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba sebagai bagian penanggulangan

peredaran gelap narkoba, serta Pelaksanaan rehabilitasi dan penanganan korban

penyalahgunaan narkoba oleh lembaga rehabilitasi.

Bab IV ANALISIS PENELITIAN, yang memuat serta menjelaskan mengenai

Analisis terhadap implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2010 dalam proses pembuktian dan peradilan di lembaga peradilan terhadap

pelaku yang merupakan korban penyalahgunaan narkoba dan tidak terlibat dalam

peredaran gelap narkoba, Analisis mengenai pemberlakuan dan penerapan sanksi

berupa rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk terhadap pelaku

penyalahgunaan narkoba guna menanggulangi peredaran gelap narkoba, dan

Analisis pelaksanaan rehabilitasi dan penanganan korban penyalahgunaan narkoba

oleh lembaga rehabilitasi.


Bab V PENUTUP, yang memuat beberapa kesimpulan sebagai hasil penelitian

serta memuat saran mengenai Simpulan serta saran atas mekanisme penerapan

sebagai implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010

dalam proses pembuktian dan peradilan di lembaga peradilan terhadap pelaku

yang merupakan korban penyalahgunaan narkoba dan tidak terlibat dalam

peredaran gelap narkoba dan yang terkait dengan pemberlakuan dan penerapan

sanksi berupa rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk terhadap pelaku

penyalahgunaan narkoba guna menanggulangi peredaran gelap narkoba, serta

saran masukan kepada lembaga rehabilitasi dalam pelaksanaan rehabilitasi dan

penanganan korban penyalahgunaan narkoba.

BAB II
KONSEP PERANAN LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN
REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PENYALAHGUNAAN, KORBAN
PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM
PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA.

1. Pengertian Narkotika.

Narkotika merupakan kata yang telah cukup dikenal di masyarakat Indonesia

mengingat media massa, serta sarana komunikasi massa yang marak

denganmenggunakan perangkat elektronik kerap mengulas mengenai dampak

sebagai akibat penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkotika banyak

menimpa masyarakat dari setiap tingkatan usia, pendidikan, bahkan kerap juga

menimpa tokoh masyarakat.

Secara etimologi narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics yang berarti

obat bius, yang artinya sama dengan narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti

menidurkan atau membiuskan. Sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia,

narkotika berarti bahan-bahan pembius, obat bius atau penenang 6. Secara

terminologis narkoba adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghiangkan

rasa sakit ,menimbulkan rasa ngantuk atau merangsang.7

Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud Narkotika dalam undang-undang

tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.

6
Hasan Sadly, 2000, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 390
7
Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 609
Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah narcotics pada farmacologie

(farmasi), melainkan sama artinya dengan drugs, yaitu sejenis zat yang apabila

dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh pengaruh tertentu pada tubuh si

pemakai, yaitu:8

1. Mempengaruhi kesadaran.

2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia.

3. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa:

a. Penenang

b. Perangsang (bukan berhubungan dengan hubungan seksual)

c. Menimbulkan halusinasi

Soedjono dalam patologi sosial merumuskan definisi narkotika sebagai bahan-bahan

yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran.9

Rachmat Hermawan mendefinisikan narkotika adalah zat yang dimakan, diminum,

atau dimasukkan (disuntikkan) ke dalam tubuh manusia, dapat mengubah satu atau

lebih fungsi badan manusia.10

4. Pengertian narkotika menurut WHO (World Health Organization),


5. yaitu suatu zat yang apabila dimasukkan kedalam tubuh akan mempengaruhi
6. fungsi fisik dan psikologis (kecuali makanan, air, atau oksigen).46

2. Tinjauan tentang Pembuktian

2.1 Pengertian Pembuktian

Kata “Pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang artinya “sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan “pem” dan

8
Moh. Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor: Ghala Indonesia, hlm 17
9
Soedjono, 1997, Patologi Sosial, Bandung: Alumni Bandung, hlm. 78
10
Rachmat Hermawan, 1987, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Bandung : Eresco,
hlm. 10-11
akhiran “an”, maka pembuktian artinya “proses perbuatan, cara membuktikan

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, demikian pula pengertian

membuktikan yang mendapat awalan “mem” dan akhiran “an” , artinya

memperlihatkan bukti, menyakinkan dengan bukti. 11

Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem

pembuktian dalam perkara pidana, dimana dalam pasal tersebut diuraikan sebagai

berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”

Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,keadilan, kepastian

hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang

didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan Pasal 183 KUHAP di

atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa

menurut sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif, terdapat dua

komponen:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut Undang-Undang.

2. Dan keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut Undang-

Undang.

Dalam KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai “Pembuktian”, tetapi

memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum

11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen P&K, 1990), hlm. 13
yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, pengertian

“pembuktian” merujuk kepada pendapat para ahli.

Pembuktian menurut Subekti, adalah upaya meyakinkan Hakim akan hubungan

hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-

bukti dengan tindak pidana yang didakwakan. Dalam mengkonstruksikan hubungan

hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-

dalilnya dan menyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil para pihak (jaksa

ataupun terdakwa) tanpa harus dikekang oleh batasan alat-alat bukti sepanjang dalil

menerima dalil-dalil para pihak (jaksa ataupun terdakwa) tanpa harus dikekang oleh

batasan alat-alat bukti sepanjang dalil tersebut memenuhi prinsip-prinsip logika.12

J.C.T. Simorangkir berpendapat bahwa pembuktian adalah “usaha dari yang

berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang

berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh

hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut.”13

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa pembuktian merupakan masalah yang

memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui

pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Pembuktian yang merupakan ketentuan

yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh

dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.14

2.2 Teori Pembuktian

12
Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.7.

13
Simorangkir, 1983, Kamus Hukum, Jakarta, Aksara Baru, hlm. 135.

14
Yahya harahap, 2003, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHP (Penyidikan dan
Penuntutan,jakarta, Sinar Grafika, hlm. 273.
Di dalam hukum acara pidana yang berakar kepada sistem inquisiotorial, paling

tidak terdapat beberapa teori-teori mengenai sistem pembuktian

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (Conviction

Intive)

Sistem ini memberikan ajaran bahwa bersalah atau tidaknya seorang terdakwa

terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian

“keyakinan” hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada

alat bukti yang ada. Pada sistem ini kesalahan terdakwa bergantung kepada

keyakinan belaka, sehingga hakim tidak terkait oleh suatu peraturan. Dengan

demikian, putusan hakim tampak timbul nuansa subyektifnya. Teori ini

terkandung di dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan

kesan-kesan perseorangan belaka dari seorang hakim. Pengawasan terhadap

putusan-utusan hakim seperti ini adalah sulit untuk dilakukan, oleh karena

badan pengawas tidak dapat tahu apa pertimbangan-pertimbangan hakim yang

menghasilkan pendapat hakim kepada suatu putusan.15

Kelemahan pada sistem ini adalah terletak pada terlalu banyak memberikan

kepercayaan kepada hakim dan akan sulit untuk dilakukan pengawasan. Sistem

ini di khawatirkan akan menimbulkan putusan yang bebas dan tidak wajar.

2. Sistem keyakinan dengan alasan yang logis (La Conviction Rais Onne)

Pada sistem ini mengandung ajaran bahwa keyakinan hakim tetap memegang

peranan penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, namun

keyakinan hakim tersebut harus didukung dengan alasan-alasan yang logis dan

jelas.

15
Andi Sofyan , Abd Asis, 2014, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta, hlm. 234.
Sistem ini berawal dari keyakinan hakim, akan tetapi keyakinan hakim tersebut

harus didasarkan pada suatu kesimpula (conclusive) yang masuk akal, yang

tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut

ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang

pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.16

Dengan kata lain, hakim tidak terikat oleh ketentuan Undang- Undang atau alat

bukti yang sah dalam mengambil keputusan, melainkan hakim bebas untuk

memuat alasan yang logis dalam mendukung keyakinannya.

Sistem atau teori pembuktian ini jalan tengah atau yang berdasarkan keyakinan

hakim sampai batas tertentu ini terpecah menjadi dua arah, yaitu:

a. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction

raisionnee).

b. Pembuktian yang berdasar Undang-Undang secara negatif (negatief

wettwlike bewijstheorie)

Persamaan antara keduanya ialah sama-sama berdasar atas keyakinan hakim,

artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa

ia yang bersalah.

Perbedaan antara keduanya ialah:

a. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.

Keyakinan harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclution) yang logis

yang tidak didasarkan kepada Undang-undang, akan tetapi ketentuan-

ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri menurut pilihannya

sendiri tentang pembuktian mana yang ia akan pergunakan. Jadi pangkal

16
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
254
tolak pada keyakinan hakim, dan dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak

didasarkan pada Undang-undang.

b. Pembuktian yang berdasarkan Undang-undang secara negatif.

c. Aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang,

tetapi hal itu harus diikuti oleh keyakinan hakim. Pangkal tolaknya pada

ketentuan Undang-undang dan dasarnya pada ketentuan Undang- undang

yang disebut secara Limitatif. 17

Menurut Wirjono Prodjodikoro, 18


bahwa sistem pembuktian berdasarkan

Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaliknya dipertahankan

berdasarkan dua alasan:

a. Memang selayaknya harus ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa untuk


dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b. Jika terdapat aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya,
agar ada patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.

3. Pembuktian menurut Undang-undang secara positif (Positif Wettelijke Bewijs

Theorie)

Pada dasarnya, sistem pembuktian menurut teori ini adalah pembuktian positif

bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif di dalam

Undang-undang. Undang-undang telah menentukan mengenai alat-alat bukti apa

saja yang dapat digunakan oleh hakim, cara hakim menggunakan alat-alat bukti

tersebut, kekuatan pembuktian alat-alat bukti tersebut dan bagaimana ceranya

hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. 19

17
Andi Sofyan, Abd Asis, Op.Cit., hlm. 236
18
Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
229
19
Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan beban pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.
Alumni, hlm. 243
Menurut Simons20, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-

undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie) : “Untuk menyingkirkan

semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut

peaturan pembuktian yang keras.” Simons juga menjelaskan dalam bukunya

Beknopte handleideng tot het Wetboek van Strafvordering yang ditertibkan pada

tahun 1925, menjelaskan pada halaman 149, bahwa “Sistem positief wettelijk

ini dibenua Eropa biasa dipakai pada zaman masih merajalela berlakunya suatu

hukum acara pidana yang bersifat inquistoir. Peraturan Acara Pidana semacam

ini mengganggap seorang terdakwa sebagai suatu barang atau suatu obyek

belaka dalam suatu pemeriksaan yang mendekati hal mencari suatu barang atau

memburu suatu hewan, dalam mana seorang hakim hanya merupakan suatu alat

perlengkapan saja.

Menurut Wirjono Prodjodikoro2176 menyatakan tentang teori ini bahwa “Teori

ini sudah selayaknya tidak dianut lagi di Indonesia, karena sebagaimana hakim

dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada

keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim

yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat.”

4. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatif wettelijk

bewijstheorie)

Teori ini, keyakinan hakim dalam menentukan salah satu tidaknya terdakwa

harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah, yaitu sebagaimana yang telah

ditentukan oleh Undang-undang.penetapan salah atau tidaknya terdakwa


20
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 229.
21
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cip, hlm. 111
menurut teori ini tidak boleh hanya berdasarkan keyakinan hakim saja atau

berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, tetapi harus ditentukan berdasarkan

hal tersebut. Tata cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang

serta dari alat bukti tersebut timbul.

3. Tinjauan tentang Pemidanaan

Pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman

yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar

(justification) dijatuhkannnya pidana terhadp seseorang yang dengan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan

secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak

penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya

tersebut berada penuh ditangan negara dalam realitasnya sebagai roh.

a. Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat
bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan
(subsjectief strafrech). Hal inidapat terlihat jelas pada pendapatan
HezewinkelSuringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini sengan
mengutarakan keyakinan mereka bahwa Sipenjahat tidaklah boleh dilawan dan
bahwa musuh tidaklah boleh dibenci. 22Pendapatini dapat digolongkan sebagai
bentuk Negativisme, dimana para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut
menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari
Tuhan. Negativisme yang dimaksud diatas, penulis anggap sebagai bentuk
Penegakan Hukum Secara Utopis di masa Sekarang ini, dikarenakan Penegak
Hukum Agama menganggap negara adalah perpanjangan tangan Tuhan didunia.
Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara Konsep-
Konsep Sistem Pemerintahan dan Penegak Hukum dengan Ajaran- ajaran
Agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham
Sekulerisme (Walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari
22
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Azas-Azas Hukum Pidanadi Indonesia, Bandung, Refika Adhitama
Indonesia, hlm. 23
semakin banyak dipraktekan pada banyak Negara pada Sistem Ketatanegaraan
yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini terlihat jelas pada
negara kita dengan tidak diberlakukannya Hukum Agama secara mutlak dalam
Hukum Nasional kita (faktor Kemajemukan Sosial) dan juga pada negara-negara
lainnya.
b. Jadi, didapatlah kita berpedoman pada Mazhab Wiena yang menyatakan hukum
dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah
laku manusia dan satu ketertiban paksaan Kemasyarakatan.23

4. Rehabilitasi.

Pengertaian rehabilitasi menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009,  adalah

suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,

agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi

sosial dalam kehidupan masyarakat.

Dalam rangka pencegahan, pemberantasan dan peredaran gelap narkotika dan

prekursor narkotika di Indonesia, salah satu tugas Badan Narkotika Nasional

(BNN) adalah meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial pecandu narkotika.:

Jenis-Jenis Program Rehablitasi Menurut Ketentuan Umum Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai penerapan tindakan

rehabilitasi, yaitu:

a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi

Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh

Menteri Kesehatan, yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh

pemerintah, maupun oleh masyarakat. Efektivitas Rehabilitasi

23
Sutikno, 2008, Filsafat Hukum Bagian I, Bandung, Pradnya Paramitha, hlm. 63
Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Permasyarakatan rehabilitasi medis,

proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh

masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 56 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur

1. Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit oleh

Menteri.

2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu

Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Dengan merujuk kepada Pasal 4 UU Narkotika, dapat diperoleh gambaran

bahwa rehabilitasi merupakan salah satu tujuan utama diundangkannya UU

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan pengaturan mengenai

rehabilitasi mendapat bagian tersendiri, yaitu dalam Bab IX bagian kedua

tentang Rehabilitasi. Mulai dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 59 UU

Narkotika mengatur mengenai rehabilitasi bagi pengguna narkotika, selain

juga tersebar dalam berbagai pasal lainnya. Pasal 54 UU Narkotika

menyatakan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika,

rehabilitasi bersifat wajib. Seharusnya sifat rehabilitasi yang wajib ini menjadi

patokan utama bagi aparat penegak hukum serta hakim dalam melakukan

tindakan terhadap pengguna narkotika. Pasal 54 UU Narkotika berhubungan

erat dengan Pasal 127 Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Pasal

127 ayat (2), disebutkan bahwa hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal

54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dalam menjatuhkan putusan. Namun, meskipun bersifat wajib, dalam


pelaksanaannya sangat bergantung pada penyidik dan penuntut umum.

Apabila penuntut umum tidak menggunakan ketentuan Pasal 127 UU Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan atau tuntutan, maka

penempatan pengguna narkotika di lembaga rehabilitasi sulit untuk dilakukan.

Termasuk kondisi yang paling fatal, dimana hakim tetap memutus

menggunakan Pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun

tidak mempertimbangkan ketentuan rehabiltasi sebagaimana tercantum dalam

Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Terkait dengan hal tersebut, maka di dalam Surat Edaran Jaksa Agung No.

SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan

Narkotika ke Lembaga Rehabilitas Medis dan Rehabilitasi Sosial ini berisi

tentang arahan dan petunjuk bagi penuntut umum sebagai berikut:

1) Implementasi Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dilaksanakan dengan penerapan diversi bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika, dimana tuntutan pidana dan hukuman yang

akan diberikan kepada terdakwa bukan pemenjaraan melainkan

menempatkan terdakwa ke Panti Rehabilitasi, untuk menjalani proses

pengobatan dan perawatan medis dan sosial.

2) Ketentuan BAB IX Pasal 54, Pasal 55, sampai dengan Pasal 59 UU

Narkotika telah dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

2011 (LN RI No. 5211) tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu

Narkotika yang diatur dalam Pasal 13.


a) Pasal 13 ayat (3) menjelaskan bahwa pecandu narkotika yang sedang

menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga

Rehabilitasi Medis dan atau Rehabilitasi Sosial.

b) Pasal 13 ayat (4) memberi kewenangan/diskresi kepada penyidik,

penuntut umum dan hakim untuk menempatkan tersangka dan

terdakwa selama proses peradilan di Lembaga Rehabilitasi Medis dan

atau Rehabilitasi Sosial. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

50 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan

Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika, penyelenggaraan Rehabilitasi Medis dapat

dilaksanakan melalui rawat jalan/rawat inap sesuai dengan rencana

rehabilitasi yang telah disusun dengan mempertimbangkan hasil

asesmen sesuai dengan standar. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses

kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun

sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan

fungsi di masyarakat24 Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika

dapat dilakukan di Lembaga Rehabilitasi Sosial yang ditunjuk oleh

Menteri Sosial, yaitu Lembaga Rehabilitasi Sosial yang

diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat.

Selain melalui pengobatan dan /atau rehabilitasi medis, penyembuhan

Pecandu Narkotika dapat diselanggarakan oleh instansi pemerintah

atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Pasal

58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselanggarakan baik

24
Potret Efektivitas Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Permasyarakatan
Narkotika, BNN, 2020
oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasca rehabilitasi

adalah kegiatan pelayanan yang merupakan tahapan pembinaan

lanjutan yang diberikan kepada pecandu narkotika, penyalahguna

narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika, setelah menjalani

rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, yang merupakan bagian

yang integral dalam rangkaian rehabilitasi.50 d. Selanjutnya pada

Peraturan Badan Narkotika Nasional Nomor 24 Tahun 2017 tentang

Standar Pelayanan Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika, disebutkan bahwa: “Rehabilitasi

Berkelanjutan yang selanjutnya disebut Rehabilitasi adalah

serangkaian upaya pemulihan terpadu terhadap pecandu narkotika,

penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang

mencakup penerimaan awal, rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi

sosial, serta pascarehabilitasi.”

BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Lembaga Rehabilitasi.


Lembaga rehabilitasi terhadap pecandu penyalahgunaan narkoba sesuai

amanat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

telah mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan

narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini

kembali ditegaskan pada Pasal 55 ayat (1) bahwa orang tua atau wali dari

pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat

kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabiitasi

sosial.

Selanjutnya dengan pertimbangan guna menjamin hak pecandu,

penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika untuk mendapatkan

bantuan medis, intervensi psikososial, dan informasi yang diperlukan untuk

meminimalisasi risiko yang dihadapinya, pecandu, penyalahguna, dan korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis yang didahului

dengan proses wajib lapor. Rehabilitasi medis terhadap orban penyalahgunaan

narkotika untuk mendapatkan bantuan medis diatur dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima

Wajib Lapor

Sedangkan terhadap rehabilitasi Sosial dilakukan dengan berpedoman pada

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang

Asistensi Rehabilitasi Sosial.

Selain balai besar/balai/loka Rehabilitasi Sosial serta pusat kesehatan

masyarakat, rumah sakit dan lembaga rehabilitasi medis berupa klinik


pratama, klinik utama, atau lembaga lain yang melaksanakan rehabilitasi

medis, di Provinsi Lampung dalam menangani penyalahgunaan narkoba oleh

pengguna narkoba melalui rehabilitasi medis dan sosial terdapat Loka

Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional yang terletak di Kalianda, Lampung

Selatan.

a. Lembaga Rehabilitasi Medis.

Lembaga rehabilitasi medis berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima

Wajib Lapor25 adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau

lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah.

Lembaga penerima wajib lapor sebagai institusi yang berwenang melakukan

Rehabilitasi Medis yaitu suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan

Narkotika dari ketergantungan Narkotika dibentuk dalam rangka

melaksanakan rehabilitasi terhadap Wajib Lapor. Sedangkan Wajib Lapor

adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu Narkotika yang

sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari

pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima Wajib

Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi

medis.

Persyaratan yang harus dipenuhi guna dapat ditetapkan sebagai IPWL oleh

Menteri kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan lembaga

rehabilitasi medis sebagai IPWL sebagai lembaga rehabilitasi medis berupa

25
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima
Wajib Lapor
klinik pratama, klinik utama, atau lembaga lain yang melaksanakan

rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan

Narkotika sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020

tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima Wajib Lapor harus memenuhi

syarat:

1. memiliki izin operasional yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

2. ketenagaan;

Persyaratan ketenagaan sebagaimana dimaksud paling sedikit meliputi

dokter dan perawat yang terlatih di bidang gangguan penggunaan

Narkotika. Dalam hal IPWL menyelenggarakan Rehabilitasi Medis berupa

terapi rumatan, wajib memiliki apoteker atau bila IPWL yang

menyelenggarakan terapi rumatan belum dapat memenuhi tenaga apoteker

IPWL wajib bekerja sama dengan dengan fasilitas pelayanan kesehatan

yang memiliki apoteker.

3. mampu memberikan pelayanan terapi Rehabilitasi Medis Narkotika;

Pelayanan terapi Rehabilitasi Medis Narkotika sebagaimana dimaksud

meliputi pelayanan gawat darurat, manajemen putus zat, rawat jalan

rumatan, penapisan dan pengkajian, intervensi psikososial, rehabilitasi

rawat inap, komorbiditas fisik, dual diagnosis/komorbid psikiatrik,

dan/atau uji Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya

4. memiliki fasilitas pelayanan rawat jalan dan/atau rawat inap yang

memenuhi standar pelayanan rehabilitasi Narkotika.

Standar fasilitas pelayanan rawat jalan sebagaimana dimaksud meliputi:


a. memiliki ruang periksa dan intervensi psikososial;

b. memiliki program rawat jalan berupa layanan simtomatik dan

intervensi psikososial sederhana; dan

c. memiliki standar prosedur operasional untuk layanan Rehabilitasi

Medis Narkotika rawat jalan.

Standar fasilitas pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud meliputi:

a. terdapat tempat tidur untuk perawatan;

b. memiliki program Rehabilitasi Medis Narkotika rawat inap;

c. memiliki standar prosedur operasional untuk layanan Rehabilitasi

Medis Narkotika rawat inap; dan

memiliki standar keamanan minimal, meliputi:

1. pencatatan pengunjung yang masuk dan keluar;

2. pemeriksaan fisik dan barang bawaan setiap masuk layanan agar

tidak membawa Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya,

dan benda tajam ke dalam IPWL;

3. standar prosedur operasional bagi petugas penjaga keamanan; dan

4. sarana dan prasarana yang aman agar pasien terhindar dari

kemungkinan melukai dirinya sendiri, melukai orang lain, dan

melarikan diri

Untuk dapat ditetapkan sebagai IPWL, lembaga lain yang melaksanakan

rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan

Narkotika harus memenuhi syarat:

a. mendapatkan persetujuan dari Menteri sebagai Lembaga Rehabilitasi

Medis;
Persetujuan dari Menteri sebagai Lembaga Rehabilitasi Medis

sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

b. ketenagaan;

Ketenagaan sebagaimana dimaksud paling sedikit meliputi dokter dan

perawat yang terlatih di bidang gangguan pengunaan Narkotika. Dalam

hal Lembaga Rehabilitasi Medis belum dapat memenuhi persyaratan

ketenagaan sebagaimana dimaksud, Lembaga Rehabilitasi Medis wajib

bekerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang

ditetapkan sebagai IPWL.

c. mampu memberikan pelayanan terapi Rehabilitasi Medis Narkotika;

Pelayanan terapi Rehabilitasi Medis Narkotika sebagaimana dimaksud

meliputi pelayanan gawat darurat, penapisan dan pengkajian, intervensi

psikososial, uji Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, rujukan

manajemen putus zat, dan rujukan rawat jalan rumatan.

d. memiliki fasilitas pelayanan rawat jalan yang memenuhi standar

pelayanan rehabilitasi Narkotika.

Standar fasilitas pelayanan rawat jalan sebagaimana dimaksud meliputi:

1. memiliki ruang periksa;

2. memiliki program rawat jalan berupa intervensi psikososial sederhana;

dan

3. memiliki standar prosedur operasional untuk layanan Rehabilitasi

Medis Narkotika rawat jalan.


Lebih lanjut dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun

2020 tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima Wajib Lapor mengatur

jenis layanan di IPWL meliputi:

a. asesmen;

b. rencana Rehabilitasi Medis; dan/atau

c. Rehabilitasi Medis.

Asesmen meliputi wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik, hasilnya

dicatat dalam formulir asesmen.

Rencana Rehabilitasi Medis sebagaimana dimaksud disusun dengan

mempertimbangkan hasil asesmen. Rehabilitasi Medis dapat dilakukan

melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan rencana

Rehabilitasi Medis. Rehabilitasi Medis wajib dilakukan sesuai dengan

standar layanan Rehabilitasi Medis.

b. Lembaga Rehabilitasi Sosial.

Dalam rangka mengembalikan pecandu sebagai pelaku penyalahgunaan

narkoba dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi serta berperan sesuai

kemampian dan kapasitasnya dilakukan pemulihan dalam bentuk rehabilitasi

sosial.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

2021 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial yang dimaksud dengan Rehabilitasi

Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk

memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar dalam kehidupan masyarakat.


Sedangkan Asistensi Rehabilitasi Sosial yang selanjutnya disebut ATENSI

adalah layanan Rehabilitasi Sosial yang menggunakan pendekatan berbasis

keluarga, komunitas, dan/atau residensial melalui kegiatan dukungan

pemenuhan kebutuhan hidup layak, perawatan sosial dan/atau pengasuhan

anak, dukungan keluarga, terapi fisik, terapi psikososial, terapi mental

spiritual, pelatihan vokasional, pembinaan kewirausahaan, bantuan sosial dan

asistensi sosial, serta dukungan aksesibilitas.

Pelaksanaan ATENSI dilakukan oleh balai besar/balai/loka Rehabilitasi

Sosial. Selain balai besar/balai/loka Rehabilitasi Sosial sebagaimana

dimaksud, unit pelaksana teknis daerah dan LKS dapat melaksanakan

ATENSI secara mandiri.

Balai besar/balai/loka Rehabilitasi Sosial dapat bekerja sama dengan instansi

terkait, perguruan tinggi, unit pelaksana teknis daerah, badan usaha, dan/atau

LKS. Pelaksanaan ATENSI oleh unit pelaksana teknis daerah dan LKS

sebagaimana dimaksud dilakukan dengan supervisi dari Kementerian Sosial.

Sasaran Program Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan oleh balai

besar/balai/loka terdiri atas 5 (lima) kluster, meliputi:

a. anak;

b. penyandang disabilitas;

c. tuna sosial dan korban perdagangan orang;

d. korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

dan

e. lanjut usia.
Selain kluster sebagaimana dimaksud pada, sasaran Program Rehabilitasi

Sosial diberikan juga kepada:

a. korban bencana alam, sosial, dan nama lain bencana yang ditetapkan oleh

pemerintah; dan

b. PPKS lainnya.

3.2 Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010

dalam proses pembuktian dan proses peradilan pada lembaga peradilan

terhadap pelaku yang merupakan korban penyalahgunaan narkoba dan

tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba.

Pelaku sebagai korban dalam penyalahgunaan narkotika adalah objek yang

digunakan oleh pelaku kejahatan narkotika yang dengan segala daya

upayanya membuat korban memiliki ketergantungan guna memenhi

kebutuhan akan narkotika, sehingga dalam mengambil sikap dan tindakan

yang kadang berujung pada perbuatan pidana. Ketika korban melakukan

sesuatu yang dianggap salah oleh hukum, terutama yang terkait dengan

masalah narkotika, sesungguhnya pelaku sebagai korban tersebut tidak dapat

dipersalahkan sepenuhnya mengingat banyak faktor yang menyebabkannya

dapat terjerumus dalam permasalahan narkotika.

Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika telah mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial. Hal ini kembali ditegaskan pada Pasal 55 ayat (1) bahwa orang tua atau

wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk

mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan

rehabiitasi sosial.

Guna mengetahui sejauh mana rehabilitasi telah diimplementasikan kepada

apelaku sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, akan

diuraikan dengan merujuk pada hasil yang diperoleh selama masa rehabilitasi

dan pasca rehabilitasi sesuai mekanisme yang dilakukan oleh lembaga

rehabilitasi.

Berdasarkan Petunjuk Teknis Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika, Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi

Instansi Pemerintah Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional

sebagai berikut :

Rehabilitasi adalah proses layanan secara terpadu untuk membebaskan

pecandu dan korban penyalah guna narkotika dari ketergantungannya, yang

meliputi aspek fisik/kesehatan, mental, sosial, dan spiritual serta vokasional

agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam masyarakat.

Permasalahan penanganan korban penyalahgunaan narkoba dengan melalui

rehabilitasi memerlukan keterlibatan berbagai pihak termasuk lembaga,

instansi, Badan, kementerian terkait, antara lain Kementerian; Sosial,

Pendidikan, Dalam Negeri, Agama, Tenaga Kerja, Hukum dan Ham, serta

lembaga lainnya. Pada lembaga, Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam

rangka merespon masalah pelaku yang mangalami kecanduan atau penyalah

gunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Narkoba)


sebagai korban yang memerlukan perlindungan khusus yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika.

Program layanan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika mengacu pada standar pelaksanaan rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial serta standar nasional yang telah ditetapkan Pemerintah.

Sesuai Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Rehabilitasi bagi pecandu narkotika bertujuan untuk pemidanaan berupa

perawatan dan rehabilitasi yang lebih memandang pemberian pemidanaan

pada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Berdasarkan ketentuan

tersebut, terdapat dua jenis rehabilitasi yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial.

Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban atau mantan pecandu

penyalahgunaan narkotika untuk memulihkan dan mengembalikan

kemampuan fisik, mental, dan sosial yang bersangkutan. Rehabilitasi juga

sebagai media pengobatan dan perawatan bagi para pecandu narkotika untuk

memulihkan pecandu dari kecanduannya terhadap narkotika. Rehabilitasi

narkotika ditentukan oleh keputusan hakim yang akan memutuskan tersangka

akan menjalani hukuman penjara atau kurungan akan mendapatkan

pembinaan maupun pengobatan dalam Lembaga Pemasyarakatan

3.3 Penerapan sanksi berupa rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang

ditunjuk terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba sebagai bagian

penanggulangan peredaran gelap narkoba.


Penanganan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba yang merupakan

korban atas peredaran serta penyalahgunaan narkoba harus memiliki landasan

hukum guna menjamin hak dan kewajiban pelaku. Selain merujuk pada Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pelaksanaan rehabilitasi juga

merujuk pada ketentuan teknis yang mengatur rehabilitasi yaitu Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010, Peraturan Kejaksaan Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan

Keadilan Restoratif dan Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2021 tentang Penyelesasian Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan

Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai

Pelaksanaan Azas Dominus Litis Jaksa, serta Peraturan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana

Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan ketentuan tersebut telah ditegaskan bahwa, tersangka

penyalahgunaan narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, dan pecandu

narkotika, dapat menjalani rehabilitasi melalui proses hukum, yaitu:

1. Tersangka dinyatakan positif menggunakan narkotika berdasarkan hasil tes

pemeriksaan laboratorium forensik.

2. Tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan

pengguna terakhir.

3. Tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau

dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu

hari.
4. Tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika korban

penyalahgunaan narkotika atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil

asesmen terpadu.

5. Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani

rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung surat keterangan yang

dikeluarkan pejabat atau lembaga yang berwenang.

6. Adanya surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum

dari keluarga atau wali.

Berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi

dapat dilakukan berdasarkan permohonan. Permohonan rehabilitasi diawali

dengan laporan oleh tersangka atau keluarga ke lembaga rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial. Laporan permohonan rehabilitasi juga dapat diajukan secara

langsung atau daring ke Badan Narkotika Nasional.

Pemberian sanksi hukum untuk melakukan rehabilitasi dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut 26:

1. Tahap Penerimaan Awal (Intake Process)

Penerimaan awal merupakan suatu tahap proses penerimaan calon residen

sebelum memulai tahap rehabilitasi selanjutnya, dengan tahapan sebagai

berikut:

- Tes Urine (Urine test): tes yang dilakukan pertama kali pada saat

penerimaan calon residen.

- Assestment: anamnesis dan pemeriksaan fisik.

26
Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, Standar Nasional Pelayanan
Ketergantungan Narkoba Bagi Unit dan atau Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah, 2012.
- Informed consent oleh keluarga dan residen berupa pengisian berkas-

berkas administrasi.

2. Detoksifikasi

Detoksifikasi merupakan suatu proses pelayanan perawatan residen

penyalahgunaan narkoba yang mengalami gejala putus zat yang dilaksanakan

dalam waktu antara 7 (tujuh) sampai dengan 14 (empat belas) hari.

Detoksifikasi juga digunakan untuk menilai klien dengan gangguan mental

dan perilaku.

3. Stabilitasi dan Orientasi (Entry Unit)

Entry Unit merupakan suatu proses penatalaksanaan dan evaluasi klien setelah

detoksifikasi. Selain itu juga merupakan tahapan orientasi program bagi klien/

residen dalam menjalani tahap berikutnya. Waktu yan dibutuhkan dalam

kegiatan ini adalah 14 (empat belas) hari. Beberapa tahapan dalam

pelaksanaan kegiatan ini

terdiri dari:

a. Assestment psikiater, dokter umum dan psikolog.

b. Klien di observasi minimal 1 (satu) minggu atau sampai ada konfirmasi

penanggung jawab.

c. Konsultasi program. Klien dengan kasus sulit atau khusus akan di

putuskan melalui case conference.

Rehabilitasi Sosial pun terdiri atas beberapa tahapan, sebagai berikut:

1. Program Primary
Program primary adalah tahapan program untuk menstabilkan kondisi fisik

dan psikologis. Pada tahap ini residen mulai bergabung dalam komunitas

terstruktur yang mempunyai hierarki, jadwal harian, terapi kelompok, grup

seminar, konseling dan departemen kerja sebagai media pendukung

perubahan diri. Pelaksanaan program primary membutuhkan waktu selama 4

(empat) bulan yang dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:

- Fase Younger Member

Memfasilitasi residen dalam hal pengenalan program rehabilitasi dengan

modalitas Therapeutic Community, adaptasi dengan lingkungan program,

perangkat yang digunakan, peraturan yang berlaku, norma dan nilai yang

dijunjung tinggi dalam program. Fase ini membutuhkan waktu 1 (satu)

bulan.

- Fase Middle Member

Memfasilitasi residen untuk mengembangkan diri sesuai dengan nilai dan

norma yang berlaku di masyarakat, memahami hubungan antara program

yang dijalankan dengan kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata. Fase ini

membutuhkan waktu 2 (dua) bulan.

- Fase Older Member

Memfasilitasi residen untuk melatih jiwa kepemimpinan (leadership skill),

tanggung jawab, keterampilan interpersonal dan pemahaman tentang aspek-

aspek kehidupan yang lebih mendalam. Fase ini membutuhkan waktu 1

(satu) bulan. Kegiatan dalam tahap ini terdiri dari terapi aktifitas kelompok,

konseling, terapi kejiwaan, terapi edukasi, terapi vokasional, terapi

keluarga, terapi spiritual, pemeriksaan kesehatan, rujukan spesialistik.


2. Program Re-Entry

Proses adaptasi dan persiapan kembali bersosialisasi dengan masyarakat di

luar komunitas dengan melakukan separasi, asimilasi, dan mendapat informasi

untuk membuat pencegahan kekambuhan (relapse). Waktu yang dibutuhkan

untuk program ini adalah 4 (empat) minggu dengan tahapan program sebagai

berikut:

- Minggu Pertama

Memfasilitasi residen pengenalan program Re-Entry,melakukan

psikotest, pemeriksaan kesehatan, evaluasi dari professional dan

konseling.

- Minggu Kedua

Memfasilitasi residen untuk mendapat informasi dan edukasi mengenai

pencegahan kekambuhan dari segi internal, membuat rencana aksi dan

evaluasi dari profesional.

- Minggu Ketiga

Memfasilitasi residen untuk mendapat informasi dan edukasi

pencegahan kekambuhan dari segi eksternal, membuat rencana aksi,

melaksanakan konseling keluarga dan evaluasi dari professional.

- Minggu Keempat

Memfasilitasi residen untuk mempersiapkan diri melanjutkan ke

program pasca-rehab, konseling keluarga dan evaluasi dari profesional.

Kegiatan dalam tahap ini terdiri dari terapi kejiwaan, terapi edukasi,

terapi vokasional (dalam tahap pengenalan vokasional), terapi keluarga,

terapi spiritual, pemeriksaan kesehatan, rujukan spesialistik.


Upaya rehabilitasi bagi tersangka dan/atau terdakwa pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika dalam proses peradilan harus tetap sesuai dengan

prinsip-prinsip dasar terapi dan rehabilitasi meliputi :

1. Tidak ada satu terapi tunggal yang sesuai bagi semua individu;

2. Terapi harus selalu tersedia;

3. Terapi yang efektif tidak hanya memperhatikan masalah penggunaan

narkotikanya tetapi juga berbagai kebutuhan indvidu dan permasalahan lain

terkait masalah penggunaan narkotika;

4. Rencana terapi individu harus dinilai terus menerus dan dimodifikasi sesuai

kebutuhan;

5. Menjalankan terapi memerlukan waktu yang cukup dalam mendukung

keberhasilan terapi;

6. Konseling individu dan/atau kelompok serta terapi perilaku lain adalah

komponen penting bagi keberhasilan terapi adiksi;

7. Pemberian obat-obatan adalah unsur yang penting dalam terapi, dengan tetap

mengkombinasikan konseling dan terapi perilaku lainnya;

8. Individu yang mempunyai gangguan penggunaan narkotika dan gangguan

mental harus mendapat terapi untuk keduanya secara bersamaan;

9. Detoksifikasi medis merupakan langkah awal terapi penyalahgunaan

narkotika;

10. Terapi tidak perlu harus dilakukan secara sukarela untuk bisa efektif;

11. Kemungkinan penggunaan narkotika selama menjalani terapi harus dimonitor

secara terus-menerus;
12. Program-program terapi haruslah menyediakan assesmen untuk HIV dan

AIDS, hepatitis B dan C, dan penyakit infeksi lainnya; dan

13. Pemulihan penyalahgunaan narkotika dapat merupakan proses jangka panjang

dan seringkali membutuhkan beberapa episode terapi.

3.4 Pelaksanaan rehabilitasi dan penanganan korban penyalahgunaan

narkoba oleh lembaga rehabilitasi.

Pelaksanaan Program layanan rehabilitasi bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika harus dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta standar nasional yang telah

ditetapkan. Tahapan rehabilitasi terrdiri atas penerimaan awal, asesmen,

rehabilitasi, dan pascarehabilitasi.

Rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sesuai standar

yang telah ditetapkan harus dilakukan oleh tenaga yang telah diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan

Institusi Penerima Wajib Lapor

Sedangkan terhadap rehabilitasi Sosial dilakukan dengan berpedoman pada

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang

Asistensi Rehabilitasi Sosial, paling sedikit terdiri dari :

a. Teknis Rehabilitasi

1) Dokter umum yang memiliki sertifikasi asesor dari Kementerian

Kesehatan;

2) Sarjana psikologi;

3) Pekerja sosial (social worker);

4) Konselor adiksi;
5) Tenaga pendidik;

6) Instruktur vokasional;

7) Pembimbing rohani;

8) Pengasuh.

Dalam hal tidak terdapat Dokter umum, maka harus memiliki kerjasama/

sistem rujukan ke fasilitas institusi penerima wajib lapor Kementerian

Kesehatan.

b. Administrasi

1) Petugas administrasi;

2) Petugas keuangan;

3) Petugas pencatatan dan pelaporan.

4) Penunjang

a. Petugas kebersihan;

b. Petugas keamanan;

c. Petugas dapur.

Pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika

meliputi beberapa tahapan, terdiri dari:

1) Penerimaan

Penerimaan merupakan suatu proses sebelum memulai tahap rehabilitasi bagi

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, meliputi tahapan sebagai

berikut:

a. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang datang ke pelayanan

rehabilitasi bersama orangtua/ wali, diterima oleh petugas layanan

rehabilitasi.
b. Petugas layanan rehabilitasi menjelaskan mengenai alur dan program

rehabilitasi yang akan dijalani oleh pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika serta memberikan form pendaftaran dan surat pernyataan

menyetujui rehabilitasi dan tindakan yang akan dilakukan (informed

concent) yang ditandatangani oleh pihak keluarga.

c. Petugas melakukan pemeriksaan urin terhadap pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika.

d. Petugas menjelaskan tentang pelaksanaan asesmen dan pelaksanaan

rehanilitasi di lembaga rehabilitasi dan ditandatangani oleh pecandu dan

korban penyalahgunaan narkotika.

e. Petugas mendokumentasikan seluruh hasil pemeriksaan di dalam rekam

medis.

2) Skrinning

Skrinning adalah proses mengidentifikasi kemungkinan penyalahgunaan zat

atau masalah penggunaan zat (narkotika) seseorang dan menentukan tindakan

berikutnya yang sesuai dan dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk

mengidentifikasi adanya gangguan penggunaan zat dan perlu tidaknya

penilaian yang lebih komprehensif untuk gangguan penggunaan zat tersebut,

dengan mengungkap indikator-indikator yang berhubungan.

Tahapan skrining diawali dengan pemeriksaan urin yang dilakukan untuk

menegaskan hasil skrinning hingga diagnosis tahap berikutnya, khususnya

untuk mengetahui riwayat jenis napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya) yang digunakan oleh klien dengan menggunakan alat tes cepat (rapid

test) untuk pengungkapan hingga 7 (tujuh) jenis napza. Apabila dibutuhkan,


klien dapat menjalani pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat dan mendalam,

dengan cara merujuk pada instansi yang memiliki fasilitas laboratorium

khusus napza, seperti yang ada di BNN, Balai Rehabilitasi BNN, Rumah Sakit

Ketergantungan Obat, dan lain-lain. Hasil skrining akan menghasilkan

gambaran umum mengenai taraf permasalahan dari seorang klien.

3) Asesmen

Asesmen bertujuan untuk mengidentifikasi jenis permasalahan klien dan

mendapatkan gambaran klinis maupun masalah yang lebih mendalam secara

komprehensif sehingga dapat menentukan rencana terapi yang tepat bagi

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Adapun hasil dari assesmen

adalah identifikasi atas :

a. Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik;

b. Meningkatkan kesadaran tentang besar dan dalamnya masalah yang

dihadapi oleh klien terkait penggunaan narkotika;

c. Mengkaji masalah medis dan kondisi lain yang perlu menjadi perhatian

khusus;

d. Menegakkan diagnosis;

e. Menyusun rencana terapi;

f. Memberikan umpan balik, dan

g. Memotivasi perubahan perilaku.

4) Wawancara

Proses tanya jawab yang dilakukan baik dengan menggunakan instrumen atau

formulir tertentu maupun tanpa instrumen (hanya dengan beberapa pertanyaan


kunci saja), khususnya untuk klien yang ketika akan masuk sedang dalam

kondisi intoksikasi (keracunan yang disebabkan oleh masuknya obat atau zat

kimia ken dalam tubuh melalui mulut) maupun mengalami gejala putus zat.

Namun apabila memungkinkan, maka disarankan wawancara dilakukan secara

terstruktur dengan menggunakan instrumen khusus yang singkat.

Selanjutnya apabila hasil penerimaan diarahkan guna dilakukan rehabilitasi

melalui rawat inap atau rawat jalan, alternatif rehabilitasi melalui rawat jalan

rawat jalan sebagai bagian program rehabilitasi merupakan alternatif sementara

bagi calon residen yang tidak memperoleh tempat di program rawat inap. Rawat

jalan dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi korban dari

ketergantungannya terhadap penggunaan narkotika sebelum akhirnya mengikuti

program rehabilitasi rawat inap. Halini berkaitan dengan kapasitas sarana yang

dimiliki oleh lembaga rehabilitasi. Rehabilitasi rawat jalan dapat dilakukan kurang

lebih 8 (delapan) kali pertemuan dalam periode 2 (dua) bulan disesuaikan dengan

hasil asesmen dan kebutuhan. Pemberian terapi dapat diberikan berdasarkan

diagnosa, terkait kondisi fisik/ psikis dan intervensi psikososial untuk

mempertahankan kondisi pulih dari gangguan penggunaan narkotika selama

menjalani program rawat jalan.

Partisipasi aktif dari keluarga sangat diperlukan dalam program rehabilitasi ini

untuk keberhasilan pemulihan. Tujuan dari program ini adalah pecandu dan

korban penyalahgunaan narkotika mempertahankan kondisi abstinensia. Program

rehabilitasi rawat jalan ini dilakukan dengan kunjungan ke Balai Rehabilitasi/

BNN Provinsi/ BNN Kabupaten/ BNN Kota didampingi oleh keluarga. b.

Program Rehabilitasi Rawat Inap


1) Evaluasi Fisik dan Psikiatrik

Evaluasi fisik dan psikiatrik berlangsung kurang lebih 1 (satu) minggu dan

tergantung penilaian gejala putus zat, gaduh gelisah, dan masalah mental

yang menyertai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik bertujuan untuk menilai masalah fisik

serta masalah gangguan mental dan perilaku pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika serta dilakukan pelaksanaan detoksifikasi yaitu

suatu proses pelayanan perawatan penyalah gunaan zat yang mengalami

gejala putus zat. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah:

a) Melakukan penilaian asesmen medis lanjutan terhadap kondisi fisik,

psikiatri dan gejala putus zatnya yang dilakukan oleh psikiater dan

dokter umum.

b) Perawat meakukan kajian keperawatan dan menegakkan diagnosa

keperawatan serta melakukan asuhan dan intervensi keperawatan kepada

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika serta terapi edukasi dan

okupasi.

c) Petugas rehabilitasi melakukan pemeriksaan darah lengkap untuk

menunjang diagnosa dokter jika fasilitas dan kompetensi lembaga

memenuhi.

d) Pemeriksaan psikiatri dilakukan secara menyeluruh jika dibutuhkan dan

terdapat Psikiater di lembaga rehabilitasi atau dilakukan rujukan.

e) Psikoterapi serta grup terapi dilakukan untuk meningkatkan motivasi

mengikuti program melalui Motivational Interviewing (MI) /


Motivational Enhancement Therapy (MET) dan perubahan kognitif serta

perilaku yang menyimpang melalui Cognitive Behavior Therapy (CBT).

2) Stabilisasi

Fase stabilisasi merupakan suatu proses penatalaksanaan dan evaluasi

pecandu dan korban narkotika setelah evaluasi fisik dan psikiatrik. Selain itu

juga merupakan tahapan orientasi program bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika dalam menjalani tahap berikutnya. Secara umum

kegiatan pada tahap ini bertujuan untuk mempersiapkan dan memantapkan

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk mengikuti program

rehabilitasi sosial.

Pada tahap ini pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika telah selesai

menjalani tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik, dimana kondisi fisik, mental

serta emosional secara umum sudah stabil. Melalui tahapan stabilisasi,

pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diharapkan:

a) Termotivasi untuk mengikuti program rehabilitasi;

b) Kondisi fisik, psikologis, sosial relatif stabil;

c) Keluarga/ instansi mendukung dan memahami program rehabilitasi

melalui Family Support Group (FSG).

BAB IV
IMPLEMENTASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4
TAHUN 2010 TERHADAP PELAKU KORBAN PENYALAHGUNAAN
NARKOBA

4.1 Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Dalam

Proses Pembuktian Dan Peradilan Di Lembaga Peradilan Terhadap Pelaku

Yang Merupakan Korban Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba di masyarakat cenderung mengalami kenaikan dari

tahun ke tahun. Hal ini menandakan ancaman narkoba di masyarakat sangat

mengkhawatirkan. Upaya rehabilitasi penting untuk dilaksanakan sejak dini agar

penanganannya tidak menjadi lebih berat terutama bila tingkat ketergantungan

atas penyalahgunaan narkoba semakin tinggi.

Upa yang dilakukan Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan dan

kepastian hukum di masyarakat dalam mengatasi penyalahgunaan narkoba

sebenarnya telah dilakukan. Upaya mengatasi penyalahgunaan narkoba antara

lain dilakukan dengan :

1. Membentuk serta menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

2. Membentuk lembaga yang khusus membidangi urusan guna mengatasi

penyalahgunaan narkotika dengan membentuk Badan Narkotika Nasional.

3. Menerapkan sistem hukum yang lebih manusiawi dan mengedepankan upaya

mengatasi masalah dengan menerapkan rehabilitasi kepada pecandu

narkoba.
Upaya tersebut merupakan bentuk nyata yang telah dilakukan disamping bentuk

upaya lainnya seperti penegakan hukum kepada pengedar narkoba, sosialisasi,

penyuluhan, serta banyak upaya lainnya.

Pembentukan lembaga yang khusus membidangi urusan guna mengatasi

penyalahgunaan narkotika dengan membentuk Badan Narkotika Nasional.

Pemberian layanan berupa rehabilitasi terhadap pengguna narkoba yang dilakukan

oleh BNN dilakukan dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis yang bertugas

memberikan layanan rehabilitasi bagi pecandu narkoba berdasarkan Peraturan

Badan Narkotika Nasional Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Organisasi Dan Tata

Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Narkotika Nasional. Unit Pelaksana Teknis

yang berada di bawah BNN yang memiliki tugas dan fungsi pelayanan rehabilitasi

pecandu narkoba di lingkungan BNN, terdiri atas:

a. Balai Besar Rehabilitasi BNN;

Mempunyai tugas melaksanakan pelayanan terpadu rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial sebagai pusat tujukan nasional, fasilitasi pengkajian dan

pengembangan rehabilitasi, dan pelayanan wajib lapor serta memberikan

dukungan informasi dalam rangka pelaksanaan P4GN

b. Balai Rehabilitasi BNN;

Mempunyai tugas melaksanakan rehabilitasi terhadap pecandu dan/atau

penyalah guna narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, fasilitasi

pengembangan metoda rehabilitasi dan peningkatan kompetensi sumber daya

manusia di bidang rehabilitasi, serta pelayanan wajib lapor.


c. Loka Rehabilitasi BNN.

Mempunyai tugas melaksanakan rehabilitasi terhadap penyalah guna dan/atau

pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, dan pelayanan

wajib lapor.

Dari sisi penegakan hukum upaya penegakan hukum berupa penerapan sanksi

terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba terutama pada pelaku yang

mengedarkan atau turut serta dalam peredaran gelap narkoba merupakan sikap

tegas pemerintah dalam menegakan hukum. Sejalan dengan hal tersebut

dilakukan upaya penegakan hukum dengan mempertimbangkan posisi pelaku

penyalahgunaan narkoba sepanjang tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba.

Hal tersebut dilakukan dengan berlandaskan pada Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa “Pecandu narkoba

dan korban penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya sendiri wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Penegasan lebih lanjut terkait kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika menyebutkan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu

Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindakan pidana

Narkotika ; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu


Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindakan pidana

Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hutuf a diperhitungkan sebagai masa

menjalani hukuman

Lebih lanjut teknis pemberian sanksi rehabilitasi tersebut secara teknis diatur

dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur

tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :

a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan ;
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a dimas ditemukan barang bukti
pemakaian I (satu) hari.
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap Narkotika27.

Peraturan yang mengatur teknis penerapan rehabilitasi medis dan sosial pelaku

sebagai korban penyelahgunaan narkoba selain Surat Edaran Mahkamah Agung

RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan

Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur dalam Peraturan Bersama Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Menteri Kesehatan Republik Indonesia Menteri Sosial

27
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana
sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Nomor:

01/Pb/Ma/Iii/2014 Nomor: 03 Tahun 2014 Nomor : 11/Tahun 2014 Nomor : 03

Tahun 2014 Nomor : Per-005/A/Ja/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014 Nomor :

Perber/01/Iii/2014/Bnn Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan terakhir

terdapat Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020

Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Pedoman

Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesasian

Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan

Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Azas Dominus Litis Jaksa,

serta Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021

tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dalam pelaksanaannya guna menerapkan rehabilitasi sebagai bentuk pemberian

sanksi terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba tentu memoiliki juga berbagai

kendala antara lain :

1. Belum adanya landasan hukum yang bersifat teknis serta berlaku secara

lintas sektoral pada setiap tingkatan penegak hukum, mengingats secara

parsial masih diatur pada jajaran yang memiliki kewenangan dalam proses

peradilan pidana sehingga keseragaman penerapan rehabilitasi belum

sepenuhnya berjalan.

2. Belum sepenuhnya dapat mengakomodir sarana prasarana dalam melakukan

rehabilitasi medis dan sosial mengingat jumlah fasilitas rehabilitasi dan


tenaga sumber daya manusia yang menangani rehabilitasi secara medis

maupun sosial belum sepenuhnya dapat terpenuhi.

3. Kurangnya dukungan moril serta keinginan baik dari pelaku serta keluarga

yang masih mempertimbangkan rasa malu, kurangnya kesadaran pelaku

untuk tidak lebih jauh terjerumus , serta dukungan masyarakat sekitar yang

belum memahami mekanisme rehabilitasi terutama rehabilitasi sosial kepada

pelaku.

4.2 Pemberlakuan Dan Penerapan Sanksi Berupa Rehabilitasi Pada Lembaga

Rehabilitasi Yang Ditunjuk Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkoba

Guna Menanggulangi Peredaran Gelap Narkoba.

Upaya merehabilitasi pelaku penyalahgunaan narkotika kepada pengguna yang

tidak terlibat dalam peredaran gelap narkotika merupakan bentuk perlakuan

hukum yang berkeadilan mengingat pelaku yang tertangkap tangan dan terbukti

hanya sebagai pengguna juga merupakan korban penyalahgunaan narkotika

sehiungga sudah seyogyanya bagi Kita merubah paradigma penilaian terhadap

korban penyalah guna narkotika.

Mengingat pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani

pengobatan dengan menempatkan mereka di lembaga rehabilitasi medis dan/atau

rehabilitasi sosial. Pertimbangan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa

sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus tindak pidana Narkotika

masuk dalam kategori penyalahguna Narkotika dan merupakan orang yang

bermasalah. Oleh sebab itu memidanakan penyalahguna Narkotika tanpa

memperhatikan permasalahan yang mandasarinya bukanlah langkah yang tepat


karena hal tersebut merupakan bentuk pengabaian kepentingan guna mengatasi

permasalahan.

Penanganan serta pemberian layanan rehabilitasi bagi pecandu narkoba

dilakukan sesuai Peraturan Badan Narkotika Nasional Nomor 7 Tahun 2020

Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Narkotika

Nasional. Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah BNN. Dalam wilayah

kerja BNN Provinsi Lampung rehabilitasi pecandu narkoba dilakukan oleh Loka

Rehabilitasi Narkoba yang berkedudukan di Kalianda Lampung Selatan yang

mempunyai tugas melaksanakan rehabilitasi terhadap penyalah guna dan/atau

pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, dan pelayanan wajib

lapor. Loka Rehabilitasi BNN dipimpin oleh Kepala Loka yang membawahi

Kelompok Jabatan Fungsional, dengan struktur organisasi sebagai berikut :

KEPALA LOKA

KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL

Dalam melaksanakan tugasnya Loka Rehabilitasi BNN menyelenggarakan

fungsi:

a. penyusunan perencanaan, program, dan anggaran Loka Rehabilitasi BNN;

b. pelaksanaan pelayanan kegawatdaruratan medik terhadap penyalah guna

dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

c. pelaksanaan pelayanan poliklinik umum dan spesialistik, rumah obat, serta

pemeriksaan penunjang medik lainnya;


d. pelaksanaan detoksifikasi terhadap penyalah guna dan/atau pecandu

narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

e. pelaksanaan pelayanan terapi psiko edukasi dan psiko sosial termasuk

metode therapeutic community terhadap penyalah guna dan/atau pecandu

narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

f. pelaksanaan pemberian pengetahuan dasar tentang adiksi kepada penyalah

guna dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

g. pelaksanaan pemberian dan penyiapan keterampilan terhadap penyalah guna

dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

h. pelaksanaan asesmen persiapan program rehabilitasi dan pasca rehabilitasi

bagi penyalah guna dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan

adiktif lainnya;

i. pelaksanaan pembekalan untuk persiapan kembali kedalam masyarakat dan

keluarga bagi penyalah guna dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan

bahan adiktif lainnya;

j. pelaksanaan persiapan pemantauan pemulihan penyalah guna dan/atau

pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;

k. penerimaan wajib lapor penyalah guna dan/atau pecandu narkotika,

psikotropika, dan bahan adiktif lainnya serta pelayanan bantuan saksi ahli

medis;

l. pelaksanaan pemberian bantuan informasi dalam rangka pemutusan jaringan

peredaran gelap narkoba berdasarkan hasil asesmen terhadap penyalah guna

dan/atau pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya;


m. pelaksanaan penyelenggaraan pemutakhiran data di lingkungan Loka

Rehabilitasi BNN;

n. pelaksanaan ketatausahaan dan rumah tangga Loka Rehabilitasi BNN; dan

o. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan perencanaan, program, dan anggaran

Loka Rehabilitasi BNN.

Pemberian layanan program rehabilitasi, terdapat alur dan jenis layanan yang

harus dilakukan secara berkelanjutan yang diharapkan Pecandu dan Korban

Penyalahgunaan Narkoba akan menjadi pulih. Rehabilitasi berkelanjutan

merupakan serangkaian proses yang mencakup rehabilitasi medis. sosial dan

pascarehabilitasi yang dilakukan secara kontinu dalam satu kesatuan layanan

rehabilitasi. Pelaksanaan rehabilitasi berkelanjutan bagi Pecandu dan Karban

Penyalahgunaan Narkoba terdiri dari serangkaian kegiatan mulai dari proses

penerimaan awal hingga pelaksanaan program Pascarehabilitasi.

Dalam melaksanakan Rehabilitasi bagi pecandu Narkoba sesuai buku pedoman

Standar Pelayanan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan

Narkoba BNN Tahun 2016 dilakukan dengan tahapan :

a. Penerimaan Awal

Penerimaan awal dilakukan melalui asesmen yang merupakan rangkaian

pemeriksaan secara menyeluruh untuk mendapatkan informasi gambaran

klinis dan masalah secara komprehensif dari seorang klien, baik terkait

penggunaan narkobanya maupun kondisi bio-psiko sosial lainnya. Asesmen

dilakukan pada saat klien memulai program, selama menjalani program,

hingga selesai mengikuti program. lnstrumen yang digunakan dalam proses

asesmen menggunakan form asesmen wajib lapor yang dimodifikasi dari


standar instrumen internasional yaitu Addiction Severity Index (ASI) yang

didalamnya memuat 7 (tujuh) domain utama dalam proses asesmen pada

Pecandu dan Karban Penyalahgunaan Narkoba. Pelaksanaan asesmen

dilakukan oleh petugas layanan rehabilitasi yang telah terlatih, diantaranya

dokter perawat psikolog pekerja sosial konselor. ldealnya ditangani oleh tim

sehingga informasi yang diperoleh semakin komprehensif. Domain utama

dalam ASI terdiri dari riwayat medis, riwayat pekerjaan dan dukungan

hidup, riwayat penggunaan Napza. riwayat penggunaan alkohol, riwayat

keterlibatan dalam tindak kriminalitas, riwayat keluarga dan sosial serta

riwayat psikiatrik. Modifikasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan

mengintegrasikan riwayat penggunaan Napza dengan alkohol, sehingga

secara keseluruhan formulir asesmen hanya mengukur 6 (enam) domain.

Petugas yang melakukan asesmen perlu menilai derajat masalah (tingkat

keparahan) masing-masing domain, sebagai dasar penyusunan rencana terapi

atau intervensi.

b. Rehabilitasi

Setiap orang dengan penggunaan Narkoba. baik itu pecandu, penyalah guna

atau korban penyalahgunaan Narkoba memiliki karakteristik, masalah dan

kebutuhan terapi dan rehabilitasi yang berbeda-beda. Karenanya layanan

terapi dan rehabilitasi diharapkan dapat menawarkan berbagai komponen

dasar dan jejaring layanan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan

individual. Secara umum sub-populasi dari populasi orang yang

menggunakan Narkoba dikelompokan, dimana masing-masing

membutuhkan kebutuhan layanan yang berbeda dan mencari keluaran yang


berbeda. Oleh karena itu kategorisasi sub-populasi ini perlu dipertimbangkan

dalam proses asesmen, penyusunan rencana terapi dan penyediaan layanan.

Keenam sub-populasi tersebut adalah:

1. Pengguna Narkoba yang tidak mengalami ketergantungan

(Nondependent drug users) Adalah individu yang mengalami masalah

berkaitan dengan penggunaan Narkobanya tetapi tidak memenuhi kriteria

ketergantungan. Dalam kelompok ini termasuk pengguna usia muda

(anak remaja) yang memulai menggunakan Narkoba beberapa waktu

belakangan ini. Banyak pengguna pada kelompok ini menggunakan

secara rekreasional dan tidak berpikir bahwa itu merupakan suatu

masalah, apalagi berpikir untuk mencari pertolongan perawatan. Namun

demikian perilaku mereka berisiko untuk penggunaan yang lebih serius,

sehingga secara ideal individu pada kelompok ini memerlukan layanan

intervensi dan deteksi dini.

2. Pengguna Narkoba dengan cara suntik (injecting drug users) Umumnya

memillki pola penggunaan ketergantungan dan mengalami dampak

buruk berkaitan dengan penggunaan Narkobanya, seperti tertular HIV

dan/atau Hepatitis. Mereka ini umumnya memerlukan layanan

penjangkauan yang ditujukan untuk mengurangi konsekuensi buruk pada

kesehatannya dan juga memerlukan layanan terapi dan rehabiltiasi yang

terstruktur sesuai kondisi dan kebutuhannya.

3. Pecandu (dependent drug users) Biasanya membutuhkan layanan terapi

dan rehabilitasi yang spesifik, bersifat intensif dan atau residensial, serta

layanan pascarehabilitasi (aftercare support) bersamaan dengan layanan


sosial lainnya untuk mengatasi masalah yang ada, seperti layanan

perumahan, pekerjaan dan pelatihan ketrampilan.

4. Pengguna Narkoba yang terintoksikasi secara akut (acutely intoxicated

drug users) Memiliki risiko morbiditas (penyakit) dan mortalitas

(kematian) yang tinggi terkait dengan pola penggunaannya yang bersifat

impulsif, atau berkait dengan efek samping zat yang digunakan, atau

overdosis zat. Kondisi intoksikasi akut bisa bersifat independen, tidak

selalu terkait dengan kondisi ketergantungannya. Sehingga umumnya

layanan intoksikasi akut berada pada unit gawat darurat, dan tidak selalu

tersedia pada layanan terapi dan rehabilitasi.

5. Pengguna Narkoba dalam kondisi gejala putus zat (drug users in

withdrawal) Akan mengalami tanda dan gejala putus zat terkait dengan

jenis zat yang biasa digunakan. Sebagai contoh, penghentian penggunaan

zat jenis opiat dapat menghasilkan gejala putus zat dengan efek fisiologis

yang dapat diamati, maupun efek somatik yang bersifat subyektif (rasa

nyeri, gangguan tidur dan rasa cemas). Dalam kondisi seperti ini individu

tersebut mungkin memerlukan perhatian medis dan manajemen putus zat

yang terencana, baik melalui perawatan residensial maupun rawat jalan,

tergantung kebutuhan.

6. Pengguna Narkoba dalam masa pemulihan (drug users in recovery)

Adalah mereka yang telah berada dalam kondisi abstinensia dari jenis zat

utama (atau beberapa jenis zat) dan umumnya telah melalui periode

terapi dan rehabilitasi. Mereka mungkin saja memerlukan layanan Jain


yang dapat membantu mempertahankan pemulihannya, seperti pelatihan

vokasional, program pascarehabilitasi, program bantu diri.

c. Pascarehabilitasi

Pelaksanaan pascarehabilitasi merupakan tahapan pembinaan lanjutan yang

diberikan kepada Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkoba setelah

menjalani rehabilitasi dan merupakan bagian yang terintegrasi dalam

rangkaian rehabilitasi ketergantungan narkoba. Dengan layanan

pascarehabilitasi klien memiliki keterampilan sosial dan mampu menjadi

manusia yang hidup normatif, mandiri dan produktif.

Proses rehabilitasi yang dilakukan terhadap pecandu narkoba dilakukan melalui

rehabilitasi medis dan rehbilitasi sosial. Pelaksanaan rehabilitasi tersebut harus

memenuhi standar yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 421 Menkes SK Ill 2011 tentang Standar Pelayanan Terapi dan

Rehabilitasi angguan Penggunaan NAPZA dan Peraturan Menteri Kesehatan Rl

Nomor 2415 MENKES PER II 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,

Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. pelaksanaan rehabilitasi

rawat inap dan rawat jalan meliputi status lembaga, struktur organisasi, program

layanan, sumber daya man usia (SDM), dan sarana dan prasarana.

Program layanan minimal yang harus dipenuhi dalam memberikan layanan

rehabilitasi medis bagi pecandu narkoba meliputi :

1. Program Layanan Minimal

a. Asesmen

Asesmen meliputi wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik terhadap

pecandu dan korban penyalahgunaan Narkoba. Asesmen dilakukan pada


awal, selama dan setelah proses rehabilitasi. Asesmen selama proses

rehabilitasi dilakukan sekurang-kurangnya setiap 6 bulan sekali.

Asesmen dilakukan oleh tim yang terdiri dari dokter sebagai

penanggung jawab dan tenaga kesehatan lain yang terlatih dibidang

asesmen gangguan penggunaan Narkoba. Hasil asesmen bersifat rahasia

dan merupakan dasar rencana rehabilitasi medis terhadap pecandu, dan

korban penyalahgunaan Narkoba yang bersangkutan.

b. Pelayanan Detoksifikasi

Merupakan proses atau tindakan medis untuk membantu klien dalam

mengatasi gejala putus zat yang bertujuan untuk mengurangi rasa

ketidaknyamanan fisik dan atau psikis akibat dikurangi atau dihentikan

penggunaan zatnya. Penatalaksanaan dan pengelolaan pelayanan

detoksifikasi terdiri dari:

1) Pelayanan minimal

a) Tindakan putus zat bertahap untuk opioida, benzodiazepine,

dan alkohol

b) Medikasi simptomatik untuk semua jenis zat.

2) Pelayanan lainnya

Untuk detoksifikasi opioida, apabila sarana dan prasarana yang

memadai dapat menggunakan metode: medikasi agonis, medikasi

agonis parsial, dan detoksifikasi cepat (menggunakan clonidi dan

naltre one).

c. Pelayanan Rawat Jalan dengan Terapi Simtomatik


Pemberian terapi sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan dengan

memberikan terapi simptomatis, terapi terkait kondisi fisik psikis dan

intervensi psikososial untuk mecapai dan mempertahankan kondisi pulih

dari gangguan penggunaan zat, dengan tujuan untuk membantu klien

memepertahankan kondisi bebas zat (abstinensia) dan memulihkan

kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Penatalaksanaan dan

pengelolaan pelayanan rawat jalan dengan terapi simtomatik terdiri dari:

1) Pelayanan Minimal

a) Terapi simptomatik

b) Konseling adiksi konseling individu

c) Wawancara Motivasional

d) Pencegahan Kekambuhan

e) Rujukan Pelayanan spesialistik bila perlu

2) Pilihan lainnya

a) Terapi kognitif dan perilaku

b) Konseling keluarga

c) Konseling pasangan amrital

d) Konseling vokasional

e) Kelompok Dukungan Keluarga

d. Pelayanan Tes Urine

Tindakan pemeriksaan urin pada tubuh seseorang menggunakan

berbagai metode, tidak untuk proses penegakan hukum, yang bertujuan

untuk menunjang penegakan diagnosis, membantu menentukan terapi

selanjutnya, membantu memonitor kemajuan klien dalam fase


penyembuhan. Penatalaksanaan dan pengelolaan pelayanan tes urin

harus disertai dengan wawancara dan pemeriksan klinis yang dapat

memperkuat hasil pemeriksaan tersebut. Pada saat dilakukan

pemeriksaan urin zat, sangat mungkin terjadi tes urin zat tersebut tidak

dapat mendeteksi adanya penggunaan NPS (New Psychoactive

Substances). Oleh karena itu pelaksanaan tes urin zat dapat dilakukan

dengan cara:

1. Tipe dasar

Tes cepat (menggunakan test pack) dengan menggunakan 6 (enam)

parameter yaitu ·Amp, Met, THC, Heroin, K2, B 0.

2. Tipe lanjutan

Tes menggunakan peralatan laboratorium metode EMIT ETS

dengan konfirmasi melalui CMS bila sarana memadai.

2. Program Layanan Pilihan

a. Pelayanan Gawat Darurat Narkoba Proses atau tindakan untuk mengatasi

kondisi gawat dan darurat baik fisik maupun psikis akibat penggunaan

zat yang dapat mengancam kehidupan diri sendiri dan orang lain, dengan

tujuan mengatasi keadaan akut klien dan menurunkan angka kematian

akibat kondisi akut yang diderita klien.

1) Jenis penatalaksanaan

a) Penyelamatan kehidupan

b) Pengendalian kegaduhgelisahan

2) Pengelolaan

a) Kondisi intoksikasi zat


b) Kondisi putus zat kriteria berat

c) Kondisi gaduh gelisah akibat efek zat

d) Kondisi medik lainnya yang diakibatkan oleh penggunaan

zat

b. Pelayanan rehabilitasl rawat lnap

Upaya terapi berbasis bukti yang mencakup perawatan medis,

psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan inap jangka pendek

maupun panjang, dengan tujuan untuk membantu klien mempertahankan

kondisi bebas zat dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, dan sosial.

Penatalaksanaan dan pengelolaan pelayanan rehabilitasi rawat inap

menggunakan model medis (gabungan model TC dan Minnesota serta

layanan medis).

c. Rawat Jalan Rumatan

Merupakan suatu terapi jangka panjang minimal 6 bulan bagi klien

ketergantungan opioida dengan menggunakan golongan opioida sintetis

agonis atau agonis parsial dengan cara oral sub-lingual dibawah

pengawasan dokter yang terlatih, dengan merujuk pada pedoman

nasional. Layanan ini bertujuan untuk mengurangi dampak buruk yang

disebabkan gangguan penggunaan opioida. Penatalaksanaan dan

pengelolaan rawat jalan rumatan yaitu dengan menggunakan zat:

1) Agonis (Metadon) Merujuk pada pedoman nasional program terapi

rumatan metadon
2) Agonis Parsial (Buprenorfin buprenorfin nato on) Merujuk pada

pedoman penggunaan burprenorfin yang dikeluarkan oleh

Kementerian Kesehatan

d. Penatalaksanaan Dual Diagnosis Pelayanan medikopsikiatrik terhadap

gangguan kejiwaan yang secara bersama terdapat pada individu yang

mengalami gangguan zat dalam suatu periode, baik penyakit primer

maupun sekunder yang saling terkait dan dapat memperburuk kondisi

klinis klien. Pelayanan ini untuk meningkatkan kualitas hidup klien.

Penatalaksanaan dan pengelolaan penatalaksanaan dual diagnosis terdiri

dari:

1) Farmakoterapi

a) Antiseptik neuroleptika

b) Antidepresan

c) Obat anti mania

d) Obat antian ietas

e) Obat anti insomnia

f) Obat anti hiperaktivitas

g) Obat anti konvulsi

h) Obat anti parkinsonisme

2) Konseling

a) Konseling individu

b) Psikoedukasi keluarga
Pelayanan Rehabilitasi Sosial dilakukan sesuai Keputusan Menteri Sosial Nomor

26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan

Narkotika, Psikotropika dan atAdiktif Lainnya dan Peraturan Menteri Sosial

Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya

Layanan rehabilitasi sosial yang wajibdilakukan oleh Lembaga Penyelenggara

meliputi :

a. Penerimaan awal

Penerimaan awal merupakan prosedur awal yang dilakukan sebelum Pecandu

dan Korban Penyalahgunaan Narkoba menjalani program rehabilitasi. Dalam

penerimaan awal dilakukan skrining singkat untuk melihat ada tidaknya

masalah penyalahgunaan narkoba pada klien. Proses ini dilakukan

menggunakan instrumen singkat yang valid dan cepat hanya untuk

mendapatkan informasi adakah suatu faktor risiko dan atau masalah yang

terkait dengan penggunaan narkoba. Apabila hasil skrining menunjukkan

hasil yang positif terhadap risiko ketergantungan narkoba, proses penerimaan

dilanjutkan dengan mengisi kelengkapan administrasi seperti:

1) Pengisian form registrasi,

2) Pengisian biodata klien,

3) Pengisian informed consent (kesediaan untuk direhabilitasi),

4) Persyaratan lain yang disepakati oleh penyelenggara layanan.

b. Asesmen

Asesmen merupakan rangkaian pemeriksaan yang dilakukan secara

menyeluruh tentang keadaan klien terkait pemakaian narkoba dan


dampaknya terhadap dirinya serta lingkungannya. Asesmen dilakukan untuk

mendapatkan informasi gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam

dari klien secara komprehensif, yang dapat diberikan pada awal program,

selama dalam program, dan menjelang selesai program.

c. Perencanaan terapi atau intervensi

Perencanaan terapi intervensi merupakan kegiatan yang dilakukan secara

sistematis dan terencana berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan

untuk mengubah keadaan seseorang menuju perbaikan atau mencegah

ketergantungan yang lebih parah. Dalam penyusunan rencana terapi perlu

dijabarkan dengan lebih detail mengenai rencana intervensi yang akan

dilakukan, terutama menyangkut frekuensi, durasi dan jenis layanan program

yang akan diberikan.

d. lntervensi Psikososial

Berbeda dengan pemberian intervensi psikososial pada rehabilitasi medis

yang merupakan layanan penunjang, maka intervensi psikososial pada

rehabilitasi sosial merupakan layanan inti. Dalam intervensi psikosial klien

mendapatkan beragam pendekatan dan terapi baik dilakukan secara

individual maupun kelompok, dimana konten terapi, frekuensi dan durasinya

disesuaikan dengan kebutuhan klien. lntervensi psikososial juga bertujuan

merekonstruksi perilaku maladaptif akibat penyalahgunaan zat menjadi

perilaku yang adaptif. Jenis intervensi psikososial yang dianjurkan antara

lain:

1) Konseling Individual

2) Konseling Motivasi (MI)


3) Konseling Kognitif-Perilaku

4) Konseling pengurangan Risiko

5) Pencegahan Kekambuhan

6) Psikoedukasi bagi klien dan keluarganya

e. Monitoring penggunaan zat secara berkala

Merupakan metode untuk mengecek ada tidaknya kemungkinan klien

menggunakan narkotika kembali, baik penggunaan sekali-kali atau menjadi

kambuh (slip, lapse atau relapse). Monitoring ini perlu dilakukan terutama

untuk menilai konsistensi dan kepatuhan terhadap terapi. Pendekatan ini

dapat dilakukan pada layanan rawat jalan untuk menilai konsistensi dan

kepatuhan dan dapat pula diberikan pada layanan rawat inap terutama setelah

klien mendapatkan ijin keluar panti karena suatu keperluan. Metode

monitoring penggunaan zat yang digunakan dapat berupa tes urine dengan

rapid test minimal 4 (empat) parameter (Amp, Met, THC, Heroin), metode

lapor diri dalam kondisi hubungan terapeutik atau metode lainnya yang

berbasis bukti.

Penegakan hukum yang hanya menekankan pada pemberian sanksi pidana saja,

cenderung menghasilkan masalah baru antara lain berkurangnya pemenuhan

nafkah keluarga pelaku, beban pada lembaga pemasyarakatan yang menjadi

melampaui kapasitas sehingga dapat berdampak pada tidak terpenuhinya hak

narapidana, serta permasalahan lain. Namun juga merupakan upaya solutif

mengingat pemidanaan dapat memberikan efek jera pada pelakunya

sertamencegah berulangnya pernuatan pidana.


Guna mengimplementasikan bentuk pemberian sanksi pidana rehabilitasi

terhadap pelaku yang merupakan korban penyalahgunan narkoba perlu

melakukan evaluasi atas landasan hukum berupa Undang-Undang yang dapat

memayungi pelaksana aturan sesuai kewenangannya serta menjadi pedoman

teknis dalam penanganan pecandu narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau

narapidana dalam menjalani rehabilitasi medi dan/atau rehabilitasi sosial.Selain

bertujuan pula agar proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat

penyidikan, penuntutan, serta persidangan dapat terlaksana secara sinergis dan

terpadu.
BAB V

PENUTUP

V.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penulis mencoba

menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

2. Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010

mengatur tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1)

huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkoti melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan

narkotika belum dapat berjalan secara optimal. Hal tersebut terjadimengingat

belum adanya kesatuan mekanisme yang mengatur penanganan secara terpadu

antar institusi penegakan hukum guna menerapkan rehabilitasi

penyalahgunaan narkoba.

3. Terdapat beberapa permasalahan yang menghambat implementasi rehabilitasi

terhadap korban penyalahgunaan narkotika antara lain belum adanya landasan

hukum yang bersifat teknis serta berlaku secara lintas sektoral pada setiap

tingkatan penegak hukum, belum terpenuhinya sarana prasarana dalam

melakukan rehabilitasi medis dan sosial mengingat jumlah fasilitas

rehabilitasi dan tenaga sumber daya manusia yang menangani rehabilitasi

secara medis maupun sosial, serta masih kurangnya dukungan moril serta

keinginan baik dari pelaku serta keluarga yang masih mempertimbangkan rasa

malu.
V.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut Penulis merekomendasikan saran sebagai

berikut:

1. Secara bersama instansi yang berwenang dalam penegakan hukum atas

penyalahgunaan Narkoba agar mengusulkan untukmengevaluasi Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, agar pelaksanaan

rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika dapat berjalan lebih

efektif .

2. Pemerintah perlulebih meningkatkan pemahaman masyarakat dalam

penanggulangan penyalahgunaan narkotika sejalan dengan upaya penegakan

bhukum yang semakin ditingkatkan.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Andi Sofyan , Abd Asis, 2014, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta.

Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia

B. Simanjuntak (1979), Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung.

Dirdjosisworo, S. (1990). Hukum Narkotika Indonesia. Bandung: Citra Aditya


Bakti.

Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia


Indonesia. Jakarta. 2001.

Khudzaifah Dimyati (1990), Teori hukum studi tentang perkembangan pemikiran


hukum di Inmdonesia, 1 yogyakarta, Genta Publicshing.

Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan beban pembuktian Tindak Pidana Korupsi,


Bandung, PT. Alumni

Moh. Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor: Ghala Indonesia

Martiman Prodjohamidjojo (1983), Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti,


Jakarta: Ghalia,

Rachmat Hermawan, 1987, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja,


Bandung : Eresco

Syamsuddin, R., & Aris, I. (2009). Merajut Hukum di Indonesia. Jakarta: Mitra
Wacana Media.

Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita

Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia


Indonesia

Wirjono Prodjodikoro, 2008, Azas-Azas Hukum Pidanadi Indonesia, Bandung,


Refika Adhitama Indonesia

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta


Amandemennya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana telah


diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor


Pecandu Narkotika.

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Menteri Hukum


Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Menteri Sosial Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik Nomor: 01/Pb/Ma/Iii/2014 Nomor: 03 Tahun 2014 Nomor : 11/Tahun
2014 Nomor : 03 Tahun 2014 Nomor : Per-005/A/Ja/03/2014 Nomor : 1 Tahun
2014 Nomor : Perber/01/Iii/2014/Bnn Tentang Penanganan Pecandu Narkotika
Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Peraturan Badan Narkotika Nasional Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Organisasi


Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Narkotika Nasional.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan


korban penyalahgunaan dan pecandu narkoba di tempatkan ke dalam lembaga
rehabilitasi medis dan sosial

D. SUMBER LAIN.

www.kamushukum.com, Definisi Kamus Hukum Online

Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Hasan Sadly, 2000, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia

Bambang Hartono dan J.P Widodo, Sistem Peradilan Pidana (SPP)/ Criminal
Justice Sistem (CJS), Makalah, Universitas Bandar Lampung, 2007

Jurnal Hukum Universitas Bandar Lampung Volume 12 No 2 Juli 2017,


Implementasi Penegakan Hukum Bagi Pengedar Narkotika Di Indonesia.
Jurnal Hukum Universitas Bandar Lampung Volume 13 No 2 Juli 2018,
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkotika yang
Dilakukan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Way Huwi Provinsi Lampung

Jurnal Hukum Universitas Bandar Lampung Volume 13 No 1 Maret 2022,


Analisis Implementasi Peraturan Bersama Tahun 2010 Tentang Sinkronisasi
Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum
Yang Berkeadilan Berkaitan Dengan Koordinasi Antara Penyidik Dengan Jaksa
Penuntut Umum Pada Proses Prapen.

Potret Efektivitas Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Permasyarakatan


Narkotika, BNN, 2020

https://bnn.go.id/mencari-jalan-keluar-pecandu-narkoba (diakses pada 20 April


2022).

https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogi hukum, Implementasi Proses


Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika di Panti Rehabilitasi Yayasan
Anargya Bali. Diakses pada 20 Agustus 2022.

Anda mungkin juga menyukai