Oleh :
PENDAHULUAN
bernegara.
Ketaatan masyarakat akan aturan dan hukum sebagai salah satu bentuk
berupa tindak pidana, salah satu bentuk tindak pidana tersebut adalah
penyalahgunaan narkoba.
1
Syamsuddin, R., & Aris dalam https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogi hukum,
Implementasi Proses Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika di Panti Rehabilitasi Yayasan
Anargya Bali.. Diakses pada 20 Agustus 2022.
Dari ketiga tindakan utama ini harus diberikan sanksi secara seimbang
sebab itu, pemecahan masalah yang harus dilakukan dengan cara memberikan
tentang Narkotika sebagai salah satu upaya yang dlakukan Pemerintah guna
2
https://bnn.go.id/mencari-jalan-keluar-pecandu-narkoba diakses pada 20 April 2022./
Terhadap pengguna narkoba yang menjadi korban atas penyalahgunaan
pelaku yang terlibat dalam peredaran gelap narkoba sesuai jenis pelanggaran
tentang Narkotika.
ini adalah salah satu cara alternatif, karena si pelaku penyalahguna narkoba
(Dirdjosisworo, 1990).
Pemberian tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah alternatif
lain yang dijatuhkan oleh hakim dengan penuh perhitungan selama masa
menyebutkan:
pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang
3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN
dalam kondisi tertangkap tangan ;
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a dimas ditemukan barang bukti
pemakaian I (satu) hari.
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwaJpsikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap Narkotika4.
hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk
secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar
a. Lembaga rehabiltasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan
Daerah (UPTD).
4
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana
sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika
rehabilitasi yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba yang
yang tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba secara umum telah diatur
dalam Peraturan Bersama tersebut, namun dalam pelaksanaannya measih
2.1 Permasalahan.
gelap narkoba.
3. Permasalahan serta langkah yang dilakukan oleh lembaga rehabilitasi yang
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai
Tahun 2010.
penyelesaiannya ?
narkoba.
b. Tujuan Akademis.
4. Kerangka Pemikiran.
merujuk pada Pasal 54, Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b, dan Bab XV Undang-
ketentuan yang dimuat dalam Pasal 54, Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b, dan Bab
sebagai landasan dalam melakukan kajian atas permasalahan yang diangkat yang
Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Pelaku dapat dikenakan Sanksi
Pidana sesuai Bab XV UU Nomor 35 Tahun 2009 apabila tindak pidana yang
hal tindak pidana yang dilakukan tidak berkaitan dengan peredaran gelap narkoba
Pelaku dapat dikenakan sanksi Pidana sesuai Pasal 54 dan 103 ayat (1) huruf a
ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Surat Edaran
fisik den mental pelaku penyalahgunaan narkoba sehingga dapat terbebas dari
gelap narkoba
5. Metode Penelitian.
Pendekatan masalah yang akan digunakan Penulis dalam menyususn tesis ini
data primer yang diperoleh dari lapangan. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro:
Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data
1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
2. Data Sekunder Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan
asas-asas pidana, teori hukum pidana. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan
dengan mempelajari :
5
Ronny Hanitio S. Metodelogi Penelitian hukum. 2010. Hlm 10
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain
ke-IV.
Lembaga Rehabilitasi.
bahan hukum primer seperti tulisan ilmiah serta jurnal hukum yang
penelitian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi lebih lanjut
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain
pengumpulan data ada beberapa prosedur yang dilakukan yaitu studi pustaka,
1. Metode studi Pustaka, Studi pustaka merupakan tahapan awal yang digunakan
dalam setiap penelitian ilmu hukum empiris maupun penelitian ilmu hukum
hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi pustaka dilakukan atas
yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian ilmu hukum empiris.
d. Pengolahan Data.
Terhadap data yang diperoleh Penulis menginventarisir bahan dan data yang
jenis dan sumber data, menyusun data sesuai permasalahan. Selanjutnya terhadap
data yang telah disusun kemudian digunakan sebagai bahan dalam melakukan
analisa data.
e. Analisis Data.
Terhadap data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisa atas data yang
diperoleh dari data primer, data sekunder, maupun data tersier selanjutnya diolah
dan dianalisa berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan dan kemudian
guna memberikan pemahaman serta gambaran secara jelas dan rinci sebagai
6. Sistematika Penulisan.
Terhadap hasil penelitian akan Penulis sajikan dalam 5 (lima) Bab yang terdiri
dari:
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 dalam proses pembuktian dan proses
pelaku yang merupakan korban penyalahgunaan narkoba dan tidak terlibat dalam
serta memuat saran mengenai Simpulan serta saran atas mekanisme penerapan
peredaran gelap narkoba dan yang terkait dengan pemberlakuan dan penerapan
sanksi berupa rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk terhadap pelaku
BAB II
KONSEP PERANAN LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN
REHABILITASI SOSIAL TERHADAP PENYALAHGUNAAN, KORBAN
PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM
PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA.
1. Pengertian Narkotika.
menimpa masyarakat dari setiap tingkatan usia, pendidikan, bahkan kerap juga
Secara etimologi narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics yang berarti
obat bius, yang artinya sama dengan narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti
tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat
6
Hasan Sadly, 2000, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 390
7
Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 609
Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah narcotics pada farmacologie
(farmasi), melainkan sama artinya dengan drugs, yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh pengaruh tertentu pada tubuh si
pemakai, yaitu:8
1. Mempengaruhi kesadaran.
a. Penenang
c. Menimbulkan halusinasi
yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran.9
atau dimasukkan (disuntikkan) ke dalam tubuh manusia, dapat mengubah satu atau
Kata “Pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang artinya “sesuatu yang
8
Moh. Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor: Ghala Indonesia, hlm 17
9
Soedjono, 1997, Patologi Sosial, Bandung: Alumni Bandung, hlm. 78
10
Rachmat Hermawan, 1987, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Bandung : Eresco,
hlm. 10-11
akhiran “an”, maka pembuktian artinya “proses perbuatan, cara membuktikan
Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem
pembuktian dalam perkara pidana, dimana dalam pasal tersebut diuraikan sebagai
berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”
hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang
didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan Pasal 183 KUHAP di
atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa
komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang.
2. Dan keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut Undang-
Undang.
memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen P&K, 1990), hlm. 13
yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, pengertian
hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-
hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-
dalilnya dan menyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil para pihak (jaksa
ataupun terdakwa) tanpa harus dikekang oleh batasan alat-alat bukti sepanjang dalil
menerima dalil-dalil para pihak (jaksa ataupun terdakwa) tanpa harus dikekang oleh
berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh
12
Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.7.
13
Simorangkir, 1983, Kamus Hukum, Jakarta, Aksara Baru, hlm. 135.
14
Yahya harahap, 2003, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHP (Penyidikan dan
Penuntutan,jakarta, Sinar Grafika, hlm. 273.
Di dalam hukum acara pidana yang berakar kepada sistem inquisiotorial, paling
Intive)
Sistem ini memberikan ajaran bahwa bersalah atau tidaknya seorang terdakwa
“keyakinan” hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada
alat bukti yang ada. Pada sistem ini kesalahan terdakwa bergantung kepada
keyakinan belaka, sehingga hakim tidak terkait oleh suatu peraturan. Dengan
putusan-utusan hakim seperti ini adalah sulit untuk dilakukan, oleh karena
Kelemahan pada sistem ini adalah terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan kepada hakim dan akan sulit untuk dilakukan pengawasan. Sistem
ini di khawatirkan akan menimbulkan putusan yang bebas dan tidak wajar.
2. Sistem keyakinan dengan alasan yang logis (La Conviction Rais Onne)
Pada sistem ini mengandung ajaran bahwa keyakinan hakim tetap memegang
keyakinan hakim tersebut harus didukung dengan alasan-alasan yang logis dan
jelas.
15
Andi Sofyan , Abd Asis, 2014, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta, hlm. 234.
Sistem ini berawal dari keyakinan hakim, akan tetapi keyakinan hakim tersebut
harus didasarkan pada suatu kesimpula (conclusive) yang masuk akal, yang
Dengan kata lain, hakim tidak terikat oleh ketentuan Undang- Undang atau alat
bukti yang sah dalam mengambil keputusan, melainkan hakim bebas untuk
Sistem atau teori pembuktian ini jalan tengah atau yang berdasarkan keyakinan
hakim sampai batas tertentu ini terpecah menjadi dua arah, yaitu:
raisionnee).
wettwlike bewijstheorie)
artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa
ia yang bersalah.
16
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
254
tolak pada keyakinan hakim, dan dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak
tetapi hal itu harus diikuti oleh keyakinan hakim. Pangkal tolaknya pada
Theorie)
Pada dasarnya, sistem pembuktian menurut teori ini adalah pembuktian positif
saja yang dapat digunakan oleh hakim, cara hakim menggunakan alat-alat bukti
hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. 19
17
Andi Sofyan, Abd Asis, Op.Cit., hlm. 236
18
Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.
229
19
Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan beban pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.
Alumni, hlm. 243
Menurut Simons20, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-
semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
Beknopte handleideng tot het Wetboek van Strafvordering yang ditertibkan pada
tahun 1925, menjelaskan pada halaman 149, bahwa “Sistem positief wettelijk
ini dibenua Eropa biasa dipakai pada zaman masih merajalela berlakunya suatu
hukum acara pidana yang bersifat inquistoir. Peraturan Acara Pidana semacam
ini mengganggap seorang terdakwa sebagai suatu barang atau suatu obyek
belaka dalam suatu pemeriksaan yang mendekati hal mencari suatu barang atau
memburu suatu hewan, dalam mana seorang hakim hanya merupakan suatu alat
perlengkapan saja.
ini sudah selayaknya tidak dianut lagi di Indonesia, karena sebagaimana hakim
keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim
yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan
masyarakat.”
bewijstheorie)
Teori ini, keyakinan hakim dalam menentukan salah satu tidaknya terdakwa
harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah, yaitu sebagaimana yang telah
berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, tetapi harus ditentukan berdasarkan
hal tersebut. Tata cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak
a. Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat
bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan
(subsjectief strafrech). Hal inidapat terlihat jelas pada pendapatan
HezewinkelSuringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini sengan
mengutarakan keyakinan mereka bahwa Sipenjahat tidaklah boleh dilawan dan
bahwa musuh tidaklah boleh dibenci. 22Pendapatini dapat digolongkan sebagai
bentuk Negativisme, dimana para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut
menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari
Tuhan. Negativisme yang dimaksud diatas, penulis anggap sebagai bentuk
Penegakan Hukum Secara Utopis di masa Sekarang ini, dikarenakan Penegak
Hukum Agama menganggap negara adalah perpanjangan tangan Tuhan didunia.
Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara Konsep-
Konsep Sistem Pemerintahan dan Penegak Hukum dengan Ajaran- ajaran
Agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham
Sekulerisme (Walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari
22
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Azas-Azas Hukum Pidanadi Indonesia, Bandung, Refika Adhitama
Indonesia, hlm. 23
semakin banyak dipraktekan pada banyak Negara pada Sistem Ketatanegaraan
yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini terlihat jelas pada
negara kita dengan tidak diberlakukannya Hukum Agama secara mutlak dalam
Hukum Nasional kita (faktor Kemajemukan Sosial) dan juga pada negara-negara
lainnya.
b. Jadi, didapatlah kita berpedoman pada Mazhab Wiena yang menyatakan hukum
dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah
laku manusia dan satu ketertiban paksaan Kemasyarakatan.23
4. Rehabilitasi.
suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,
sosial dalam kehidupan masyarakat.
rehabilitasi, yaitu:
Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh
23
Sutikno, 2008, Filsafat Hukum Bagian I, Bandung, Pradnya Paramitha, hlm. 63
Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Permasyarakatan rehabilitasi medis,
Menteri.
rehabilitasi bersifat wajib. Seharusnya sifat rehabilitasi yang wajib ini menjadi
patokan utama bagi aparat penegak hukum serta hakim dalam melakukan
erat dengan Pasal 127 Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Pasal
127 ayat (2), disebutkan bahwa hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal
54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Terkait dengan hal tersebut, maka di dalam Surat Edaran Jaksa Agung No.
24
Potret Efektivitas Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Permasyarakatan
Narkotika, BNN, 2020
oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasca rehabilitasi
BAB III
HASIL PENELITIAN
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini
kembali ditegaskan pada Pasal 55 ayat (1) bahwa orang tua atau wali dari
pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat
sosial.
Wajib Lapor
Selatan.
adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu Narkotika yang
sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari
pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima Wajib
medis.
Persyaratan yang harus dipenuhi guna dapat ditetapkan sebagai IPWL oleh
25
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Institusi Penerima
Wajib Lapor
klinik pratama, klinik utama, atau lembaga lain yang melaksanakan
syarat:
perundang-undangan;
2. ketenagaan;
melarikan diri
Medis;
Persetujuan dari Menteri sebagai Lembaga Rehabilitasi Medis
perundang-undangan.
b. ketenagaan;
dan
a. asesmen;
c. Rehabilitasi Medis.
sosial.
terkait, perguruan tinggi, unit pelaksana teknis daerah, badan usaha, dan/atau
LKS. Pelaksanaan ATENSI oleh unit pelaksana teknis daerah dan LKS
a. anak;
b. penyandang disabilitas;
dan
e. lanjut usia.
Selain kluster sebagaimana dimaksud pada, sasaran Program Rehabilitasi
a. korban bencana alam, sosial, dan nama lain bencana yang ditetapkan oleh
pemerintah; dan
b. PPKS lainnya.
sesuatu yang dianggap salah oleh hukum, terutama yang terkait dengan
sosial. Hal ini kembali ditegaskan pada Pasal 55 ayat (1) bahwa orang tua atau
wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
rehabiitasi sosial.
diuraikan dengan merujuk pada hasil yang diperoleh selama masa rehabilitasi
rehabilitasi.
sebagai berikut :
Pendidikan, Dalam Negeri, Agama, Tenaga Kerja, Hukum dan Ham, serta
penyalahgunaan narkotika.
tersebut, terdapat dua jenis rehabilitasi yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
sebagai media pengobatan dan perawatan bagi para pecandu narkotika untuk
hukum guna menjamin hak dan kewajiban pelaku. Selain merujuk pada Undang-
merujuk pada ketentuan teknis yang mengatur rehabilitasi yaitu Surat Edaran
pengguna terakhir.
3. Tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau
dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian satu
hari.
4. Tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika korban
asesmen terpadu.
rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung surat keterangan yang
dengan laporan oleh tersangka atau keluarga ke lembaga rehabilitasi medis dan
berikut:
- Tes Urine (Urine test): tes yang dilakukan pertama kali pada saat
26
Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, Standar Nasional Pelayanan
Ketergantungan Narkoba Bagi Unit dan atau Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah, 2012.
- Informed consent oleh keluarga dan residen berupa pengisian berkas-
berkas administrasi.
2. Detoksifikasi
dan perilaku.
Entry Unit merupakan suatu proses penatalaksanaan dan evaluasi klien setelah
detoksifikasi. Selain itu juga merupakan tahapan orientasi program bagi klien/
terdiri dari:
penanggung jawab.
1. Program Primary
Program primary adalah tahapan program untuk menstabilkan kondisi fisik
dan psikologis. Pada tahap ini residen mulai bergabung dalam komunitas
perangkat yang digunakan, peraturan yang berlaku, norma dan nilai yang
bulan.
yang dijalankan dengan kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata. Fase ini
(satu) bulan. Kegiatan dalam tahap ini terdiri dari terapi aktifitas kelompok,
untuk program ini adalah 4 (empat) minggu dengan tahapan program sebagai
berikut:
- Minggu Pertama
konseling.
- Minggu Kedua
- Minggu Ketiga
- Minggu Keempat
Kegiatan dalam tahap ini terdiri dari terapi kejiwaan, terapi edukasi,
1. Tidak ada satu terapi tunggal yang sesuai bagi semua individu;
4. Rencana terapi individu harus dinilai terus menerus dan dimodifikasi sesuai
kebutuhan;
keberhasilan terapi;
7. Pemberian obat-obatan adalah unsur yang penting dalam terapi, dengan tetap
narkotika;
10. Terapi tidak perlu harus dilakukan secara sukarela untuk bisa efektif;
secara terus-menerus;
12. Program-program terapi haruslah menyediakan assesmen untuk HIV dan
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta standar nasional yang telah
yang telah ditetapkan harus dilakukan oleh tenaga yang telah diatur dalam
a. Teknis Rehabilitasi
Kesehatan;
2) Sarjana psikologi;
4) Konselor adiksi;
5) Tenaga pendidik;
6) Instruktur vokasional;
7) Pembimbing rohani;
8) Pengasuh.
Dalam hal tidak terdapat Dokter umum, maka harus memiliki kerjasama/
Kesehatan.
b. Administrasi
1) Petugas administrasi;
2) Petugas keuangan;
4) Penunjang
a. Petugas kebersihan;
b. Petugas keamanan;
c. Petugas dapur.
1) Penerimaan
berikut:
rehabilitasi.
b. Petugas layanan rehabilitasi menjelaskan mengenai alur dan program
penyalahgunaan narkotika.
medis.
2) Skrinning
untuk mengetahui riwayat jenis napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya) yang digunakan oleh klien dengan menggunakan alat tes cepat (rapid
khusus napza, seperti yang ada di BNN, Balai Rehabilitasi BNN, Rumah Sakit
3) Asesmen
c. Mengkaji masalah medis dan kondisi lain yang perlu menjadi perhatian
khusus;
d. Menegakkan diagnosis;
4) Wawancara
Proses tanya jawab yang dilakukan baik dengan menggunakan instrumen atau
kondisi intoksikasi (keracunan yang disebabkan oleh masuknya obat atau zat
kimia ken dalam tubuh melalui mulut) maupun mengalami gejala putus zat.
melalui rawat inap atau rawat jalan, alternatif rehabilitasi melalui rawat jalan
bagi calon residen yang tidak memperoleh tempat di program rawat inap. Rawat
program rehabilitasi rawat inap. Halini berkaitan dengan kapasitas sarana yang
dimiliki oleh lembaga rehabilitasi. Rehabilitasi rawat jalan dapat dilakukan kurang
lebih 8 (delapan) kali pertemuan dalam periode 2 (dua) bulan disesuaikan dengan
Partisipasi aktif dari keluarga sangat diperlukan dalam program rehabilitasi ini
untuk keberhasilan pemulihan. Tujuan dari program ini adalah pecandu dan
Evaluasi fisik dan psikiatrik berlangsung kurang lebih 1 (satu) minggu dan
tergantung penilaian gejala putus zat, gaduh gelisah, dan masalah mental
Tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik bertujuan untuk menilai masalah fisik
psikiatri dan gejala putus zatnya yang dilakukan oleh psikiater dan
dokter umum.
okupasi.
memenuhi.
2) Stabilisasi
pecandu dan korban narkotika setelah evaluasi fisik dan psikiatrik. Selain itu
rehabilitasi sosial.
Pada tahap ini pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika telah selesai
menjalani tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik, dimana kondisi fisik, mental
BAB IV
IMPLEMENTASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4
TAHUN 2010 TERHADAP PELAKU KORBAN PENYALAHGUNAAN
NARKOBA
4.1 Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Dalam
tentang Narkotika.
narkoba.
Upaya tersebut merupakan bentuk nyata yang telah dilakukan disamping bentuk
oleh BNN dilakukan dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis yang bertugas
Badan Narkotika Nasional Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Narkotika Nasional. Unit Pelaksana Teknis
yang berada di bawah BNN yang memiliki tugas dan fungsi pelayanan rehabilitasi
wajib lapor.
Dari sisi penegakan hukum upaya penegakan hukum berupa penerapan sanksi
mengedarkan atau turut serta dalam peredaran gelap narkoba merupakan sikap
Narkotika ; atau
Narkotika.
menjalani hukuman
Lebih lanjut teknis pemberian sanksi rehabilitasi tersebut secara teknis diatur
tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan ;
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a dimas ditemukan barang bukti
pemakaian I (satu) hari.
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap Narkotika27.
Peraturan yang mengatur teknis penerapan rehabilitasi medis dan sosial pelaku
RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan
Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur dalam Peraturan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
27
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 mengatur tentang penjatuhan pidana
sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara
1. Belum adanya landasan hukum yang bersifat teknis serta berlaku secara
parsial masih diatur pada jajaran yang memiliki kewenangan dalam proses
sepenuhnya berjalan.
3. Kurangnya dukungan moril serta keinginan baik dari pelaku serta keluarga
untuk tidak lebih jauh terjerumus , serta dukungan masyarakat sekitar yang
pelaku.
hukum yang berkeadilan mengingat pelaku yang tertangkap tangan dan terbukti
sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus tindak pidana Narkotika
permasalahan.
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Narkotika
Nasional. Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah BNN. Dalam wilayah
kerja BNN Provinsi Lampung rehabilitasi pecandu narkoba dilakukan oleh Loka
pecandu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, dan pelayanan wajib
lapor. Loka Rehabilitasi BNN dipimpin oleh Kepala Loka yang membawahi
KEPALA LOKA
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
fungsi:
adiktif lainnya;
psikotropika, dan bahan adiktif lainnya serta pelayanan bantuan saksi ahli
medis;
Rehabilitasi BNN;
Pemberian layanan program rehabilitasi, terdapat alur dan jenis layanan yang
a. Penerimaan Awal
klinis dan masalah secara komprehensif dari seorang klien, baik terkait
dokter perawat psikolog pekerja sosial konselor. ldealnya ditangani oleh tim
dalam ASI terdiri dari riwayat medis, riwayat pekerjaan dan dukungan
atau intervensi.
b. Rehabilitasi
Setiap orang dengan penggunaan Narkoba. baik itu pecandu, penyalah guna
dan rehabilitasi yang spesifik, bersifat intensif dan atau residensial, serta
impulsif, atau berkait dengan efek samping zat yang digunakan, atau
layanan intoksikasi akut berada pada unit gawat darurat, dan tidak selalu
withdrawal) Akan mengalami tanda dan gejala putus zat terkait dengan
zat jenis opiat dapat menghasilkan gejala putus zat dengan efek fisiologis
yang dapat diamati, maupun efek somatik yang bersifat subyektif (rasa
nyeri, gangguan tidur dan rasa cemas). Dalam kondisi seperti ini individu
tergantung kebutuhan.
Adalah mereka yang telah berada dalam kondisi abstinensia dari jenis zat
utama (atau beberapa jenis zat) dan umumnya telah melalui periode
c. Pascarehabilitasi
Nomor 421 Menkes SK Ill 2011 tentang Standar Pelayanan Terapi dan
rawat inap dan rawat jalan meliputi status lembaga, struktur organisasi, program
layanan, sumber daya man usia (SDM), dan sarana dan prasarana.
a. Asesmen
b. Pelayanan Detoksifikasi
1) Pelayanan minimal
dan alkohol
2) Pelayanan lainnya
naltre one).
1) Pelayanan Minimal
a) Terapi simptomatik
c) Wawancara Motivasional
d) Pencegahan Kekambuhan
2) Pilihan lainnya
b) Konseling keluarga
d) Konseling vokasional
pemeriksaan urin zat, sangat mungkin terjadi tes urin zat tersebut tidak
Substances). Oleh karena itu pelaksanaan tes urin zat dapat dilakukan
dengan cara:
1. Tipe dasar
2. Tipe lanjutan
kondisi gawat dan darurat baik fisik maupun psikis akibat penggunaan
zat yang dapat mengancam kehidupan diri sendiri dan orang lain, dengan
1) Jenis penatalaksanaan
a) Penyelamatan kehidupan
b) Pengendalian kegaduhgelisahan
2) Pengelolaan
zat
kondisi bebas zat dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, dan sosial.
layanan medis).
rumatan metadon
2) Agonis Parsial (Buprenorfin buprenorfin nato on) Merujuk pada
Kementerian Kesehatan
dari:
1) Farmakoterapi
a) Antiseptik neuroleptika
b) Antidepresan
2) Konseling
a) Konseling individu
b) Psikoedukasi keluarga
Pelayanan Rehabilitasi Sosial dilakukan sesuai Keputusan Menteri Sosial Nomor
meliputi :
a. Penerimaan awal
mendapatkan informasi adakah suatu faktor risiko dan atau masalah yang
b. Asesmen
dari klien secara komprehensif, yang dapat diberikan pada awal program,
d. lntervensi Psikososial
lain:
1) Konseling Individual
5) Pencegahan Kekambuhan
kambuh (slip, lapse atau relapse). Monitoring ini perlu dilakukan terutama
dapat dilakukan pada layanan rawat jalan untuk menilai konsistensi dan
kepatuhan dan dapat pula diberikan pada layanan rawat inap terutama setelah
monitoring penggunaan zat yang digunakan dapat berupa tes urine dengan
rapid test minimal 4 (empat) parameter (Amp, Met, THC, Heroin), metode
lapor diri dalam kondisi hubungan terapeutik atau metode lainnya yang
berbasis bukti.
Penegakan hukum yang hanya menekankan pada pemberian sanksi pidana saja,
bertujuan pula agar proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat
terpadu.
BAB V
PENUTUP
V.1. Simpulan
mengatur tentang penjatuhan pidana sesuai Pasal 54 dan Pasal 103 ayat (1)
penyalahgunaan narkoba.
hukum yang bersifat teknis serta berlaku secara lintas sektoral pada setiap
secara medis maupun sosial, serta masih kurangnya dukungan moril serta
keinginan baik dari pelaku serta keluarga yang masih mempertimbangkan rasa
malu.
V.2. Saran
berikut:
efektif .
A. BUKU-BUKU
Andi Sofyan , Abd Asis, 2014, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta.
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia
Moh. Taufik Makaro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor: Ghala Indonesia
Syamsuddin, R., & Aris, I. (2009). Merajut Hukum di Indonesia. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
D. SUMBER LAIN.
Anton M. Mulyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Bambang Hartono dan J.P Widodo, Sistem Peradilan Pidana (SPP)/ Criminal
Justice Sistem (CJS), Makalah, Universitas Bandar Lampung, 2007