Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal tersebut tertuang didalam

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: ”Negara

Indonesia berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka” Hukum merupakan suatu kaidah atau peraturan yang mengatur

masyarakat. Segala tingkah laku dan perbuatan warga negaranya harus

berdasarkan atas hukum. Oleh karena itu, bagi Indonesia yang sebagai negara

hukum, wajib untuk menjalankan fungsi hukum dengan konsisten sebagai

sarana penegak keadilan.

Perkembangan jaman yang semakin maju, tentu kejahatanya pun lebih

berkembang dan terorganisir salah satu persoalan yang sering muncul ke

permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan pada

umumnya, seperti pada saat ini sering kita jumpai kenakalan berupa

penyalahgunaan narkotika.

Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan,

namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat

1
2

merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan

yang ketat dan seksama. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan di

perlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar kesehatan akan

menjadi bahaya bagi kesehatan manusia itu sendiri.

Narkotika merupakan bentuk zat yang berbeda bahan dan

penggunaannya dalam ilmu kesehatan, kemudian untuk mempermudah

penyebutannya, memudahkan orang berkomunikasi dan tidak menyebutkan

istilah yang tergolong panjang, dengan demikian dapat disingkat dengan

istilah narkoba yaitu narkotika dan obat-obatan adiktif yang berbahaya.

Namun pada umumnya orang belum tahu tentang narkotika karena

memang zat tersebut dalam penyebutannya baik di media cetak maupun

media massa lainnya telah sering diucapkan dengan istilah narkoba,

meskipun mereka hanya tahu macam dan jenis dari narkoba tersebut, di

antaranya ganja,kokain, heroin, pil koplo, sabu-sabu, dan lain sebagainya.

Penanggulangan penyalahgunaan narkotika bukanlah hal yang mudah

untuk dilaksanakan tetapi negara telah bertekad untuk memberantasnya.

penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik

miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan narkotika

dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang akhirnya merugikan kader-

kader penerus bangsa.


3

Sepanjang tahun 2017, BNN telah mengungkap 46.537 kasus narkoba

di seluruh wilayah Indonesia. atas pengungkapan kasus tersebut, BNN

menangkap 58.365 tersangka, 34 tersangka TPPU, dan 79 tersangka yang

mencoba melawan petugas ditembak mati. 1

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari 87 juta

populasi anak di Indonesia, sebanyak 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu

narkoba. Mereka jadi pecandu narkotika karena terpengaruh dari orang-

orang terdekat, dari total 87 juta anak maksimal 18 tahun, tercatat ada 5,9

juta yang tercatat sebagai pecundu, sungguh angka yang sangat

menghawatirkan.2

Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi

masalah narkotika adalah melalui penyempurnaan dalam pengaturan

dibidang hukumnya. Penyempurnaan tersebut sangat perlu dilakukan karena

pengaruh narkotika sangat besar terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa.

Demi penyempurnaan dibidang hukum yang khusus mengatur mengenai

narkotika, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang

1
https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/sepanjang-tahun-2017-bnn-ungkap-46537-
kasus-narkoba

2
https://news.okezone.com/read/2018/03/06/337/1868702/5-9-juta-anak-indonesia-jadi-pecandu-
narkoba
4

sebelumnya telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika.

Berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum

dalam Lampiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang

Narkotika No. 35 Tahun 2009 dan Lampiran mengenai jenis Psikotropika

Golongan I dan Golongan II dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997

tentang Psikotropika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian yang

tidak kalah menarik adalah ditemukannya beberapa rumusan pasal yang

secara tidak langsung mencoba melekatkan status korban kepada pelaku

tindak pidana narkotika tertentu seperti pecandu narkotika. Pecandu

narkotika yang tergolong dalam penyalahguna narkotika golongan 1 pada

dasarnya memenuhi kualifikasi sebagai pelaku tindak pidana narkotika,

namun dalam keadaan tertentu pecandu narkotika akan lebih berkedudukan

kearah korban.

Hal ini sesuai dengan pendapat Iswanto yang menyatakan bahwa :

“korban merupakan akibat perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan suka

rela, atau dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan semuanya benar benar

berisi sifat penderitaan jiwa, raga, harta dan morel serta sifat ketidakadilan”.
5

Pecandu narkotika merupakan korban dari tindak pidana yang

dilakukannya sendiri yang dipengaruhi kemauan suka rela untuk

menyalahgunakan narkotika. Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

menyatakan bahwa, "Pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial di pusat rehabilitasi ketergantungan narkotika”.

Selanjutnya Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menyebutkan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut

terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika

tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa

menjalani hukuman.

Selalu yang menjadi perhatian dalam upaya penerapan hukum adalah

tentang penegakan hukum yang sangat mendapatkan perhatian terutama

peran negara dalam ikut serta bertanggung jawab untuk memerangi

kejahatan narkotika. Peran negara melalui BNN, telah merefleksikan politik


6

hukum nasional dengan melalui sarana penal dan non penal, sebagai bagian

dari kebijakan kriminal yang sedang menggejala saat ini.

Pada dasarnya, penyalahguna narkotika adalah pelaku kejahatan dan

melupakan bahwa mereka juga adalah korban yang melekat dengan segala

hak-hak yang harus diperjuangkan disaat negara ini melanggengkan

kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, justru tidak memperhatikan apa

yang menjadi hak-haknya para korban.

Hal ini berarti bahwa walaupun seseorang itu pengguna narkotika

yang menyalahgunakan, mereka tetap memiliki hak asasi manusia karena

hak tersebut melekat dari hakikat dan martabatnya sebagai manusia. Ini

berarti negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan

hukum terhadap penyalahguna narkotika, hak atas pembinaan dan

rehabilitasi.

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memandang bahwa

“pengguna narkotika” dan “korban narkotika” merupakan dua hal yang

berbeda. Hal tersebut dapat kita cermati dari isi Pasal 54. Padahal pada

hakikatnya bahwa pengguna/penyalah guna narkotika juga merupakan

korban dari tindakannya.3

3
Akhmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm 64.
7

Untuk memaparkan bagaimana kedudukan korban narkotika dalam

ilmu hukum beserta hak-haknya, pentingnya eksistensi rehabilitasi bagi

penyalah guna narkotika. Penyalah guna narkotika tidak dipidana, karena

pengguna narkotika terutama yang sudah ada dalam tahap kecanduan

didudukan sebagai korban yang sepatutnya direhabilitasi baik secara medis

maupun sosial.

Tindakan rehabilitasi merupakan tindakan yang tepat sehingga dapat

membantu pelaku sekaligus korban penyalah guna narkotika tersebut untuk

direhabilitasi sesuai haknya. Rehabilitasi dapat memberikan kesempatan

pada pelaku sekaligus korban untuk melanjutkan cita-cita hidupnya sesuai

haknya. Hal ini berkaitan dengan hak hidup seseorang dan sekaligus pelaku

atau korban tersebut merupakan generasi penerus bangsa yang harus

dilindungi serta mendapatkan perlakuan yang layak sekalipun mereka

merupakan pelaku atau korban narkotika. Selain untuk mendapatkan

penyembuhan dalam masa rehabilitasi, juga sekaligus dapat mengasah

keterampilan mereka dalam bentuk pengarahan, dari pada membiarkan

korban atau pelaku narkotika tersebut ke dalam proses dehumanisasi.4

Ada beberapa definisi tentang rehabilitasi yang tercantum dalam

ketentuan perundang-undangan yaitu:

4
Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini, Jakarta, 2009, BNN,
hlm 4.
8

1. Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 16

Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.

2. Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 17

Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,

baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat

kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi medis dalam prakteknya kerap menerapkan metode isolasi

sebagai upaya pemulihan medis terhadap korban. Kemudian diikuti dengan

rehabilitasi sosial sehingga ketika pecandu tersebut kembali ke kehidupan

masyarakat, mereka “gagap sosial”. Oleh karena itu penyalah guna narkotika

wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 54 UU

Narkotika), dimana yang bersangkutan dan/atau keluarganya wajib

melaporkan agar mendapatkan pembinaan, pengawasan, dan upaya

rehabilitasi yang berada di pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,

dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Setiap korban narkoba berhak memperoleh kesehatan dan kesembuhan

yang diidamkannya. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang menjadi

korban narkotika, kemudian dia dipenjara apakah orang tersebut ada jaminan

akan sembuh, atau mungkin akan lebih parah ketercanduannya.


9

Setiap penelitian dalam penulisan karya ilmiah pasti mempunyai

beberapa alasan dalam pemilihan judul. Atas dasar uraian diatas, penulis

merasa tertarik untuk meneliti secara yuridis normatif mengenai suatu

putusan di pengadilan negeri kabanjahe, Terdapat suatu kasus mengenai

Penyalahgunaan Narkotika golongan 1 bagi diri sendiri, dimana Hakim

memutus terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun tanpa

rehabilitasi.

Berdasarkan pertanyaan dan uraian di atas penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak

Pidana Narkotika Dan Upaya Rehabilitasi Bagi Penyalahguna

Narkotika (Studi Kasus Putusan Perkara Pidana Nomor

3/Pid.Sus/2019/PN Kbj)”

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah putusan hakim dalam perkara pidana No 3/Pid.Sus/2019/PN Kbj

sudah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam

hal penerapan unsur delik dan sanksi pidananya ?


10

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan rancangan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe

dalam menjatuhkan perkara Nomor : 3/Pid.Sus/2019/PN Kbj telah sesuai

dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam hal penerapan

unsur delik dan sanksi pidananya?

D. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian perlu dilakukan penjelasan tentang istilah-istilah

penting yang digunakan. Penjelasan ini dilakukan dengan membuat kerangka

konseptual. Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti.

Adapun konsep tersebut antara lain :

1. Tindak Pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut.5

2. Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan

Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupaka ketentuan

khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang undang

5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 54
11

Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak

kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak

pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.6

3. Penegakan Hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep-konsep hukum yang di harapkan rakyat menjadi kenyataan.

Penegakan Hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.7

4. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

Undang-Undang ini.8

5. Pelaku adalah barangsiapa yang telah mewujudkan/memenuhi semua

unsur-unsur (termasuk unsur subjek) dari sesuatu tindak pidana sebagaimana

unsur-unsur itu dirumuskan dalam undang-undang

6. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan

untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang

meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya

6
Supramono, G. 2001. Hukum Narkotika Indonesia. Djamban, Jakarta, hlm 26
7
Dellyana, Shant. 1988, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty hlm 32
8
Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 butir 1
12

dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas.

7. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau

melawan hukum.

8. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara

fisik maupun psikis

9. Korban Penyalah guna Narkotika ialah Seseorang yang tidak sengaja

menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya,ditipu, dipaksa, dan/atau

diancam untuk menggunakan Narkotika.

10. Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun proses untuk membantu

para penderita yang mempunyai penyakit serius atau cacat yang memerlukan

pengobatan medis untuk mencapai kemampuan fisik psikologis, dan sosial

yang maksimal.

a. Rehabilitasi Medis: Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

Narkotika.

b. Rehabilitasi Sosial: Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan

pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
13

pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam

kehidupan masyarakat.

11. Putusan Hakim Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan

maka putusan hakim itu merupakan:

“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan

perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan

prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan

atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk

tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara”.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum ini mengkaji hukum normatif, yaitu

peraturan mengenai narkotika, rehabilitasi serta penyalahgunaannya di

Indonesia. Metode perolehan data melalui data sekunder yaitu data yang

tidak secara langsung diperoleh dari sumbernya melainkan melalui

penelusuran kepustakaan, terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang berasal dari aturan

hukum mengikat seperti Peraturan Perundang-Undangan maupun perjanjian

dan konvensi internasional. Dalam penulisan hukum ini meliputi Undang-


14

Undang Nomor 35 / 2009 tentang Narkotika, KUHP, serta peraturan-

peraturan yang terkait.

2 Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari

berbagai kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, makalah

dalam seminar maupun internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier yaitu data yang diambil dari kamus, ensiklopedia,

dan yearbook untuk membantu menjelaskan bahan hukum primer dan

sekunder dalam penelitian hukum ini.

F. Sistematika penulisan

Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang

tertuang dalam skripsi ini, maka berikut ini penulis membuat sistematika

penulisan atau gambaran dari skripsi ini sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, dan Kerangka Konseptual yang akan membahas Definisi

Penegakan Hukum, Definisi narkotika, Definisi pelaku, Definisi

penyalahguna narkotika, Definisi penyalahgunaan narkotika, Definisi


15

rehabilitasi, Definisi tindak pidana, serta Definisi putusan hakim yang

diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DAN UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA

NARKOTIKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai hal- hal yang berkaitan dengan

Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Narkotika, Jenis-jenis narkotika yang

terdapat dalam UU NO 35 Tahun 2009, Dampak negatif penggunaan

narkotika, Pengertian pelaku penyalahgunaan narkotika, Pengertian

rehabilitassi.

BAB III : ANALISIS PERMASALAHAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai Prosedur UU yang berlaku tentang

penerapan unsur delik dan sanksi pidananya terhadap pelaku atau korban

penyalahgunaan narkotika yang mendapatkan putusan pidana penjara selama

3 (tiga) tahun pada Putusan No. 3/Pid.Sus/2019/PN Kbj. serta pembahasan

secara sistematis guna memecahkan perumusan masalah yang akan dibahas

dalam skripsi ini.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil

dari pembahasan dan penguraian rancangan penelitian secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai