Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I.PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.Begitu pula dengan Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau obat, baik

alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku.Di satu sisi narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat

di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di

sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan

tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

Narkotika dan psikotropika merupakan dua bentuk zat yang berbeda bahan dan

penggunaannya dalam ilmu kesehatan, kemudian untuk mempermudah penyebutannya,

memudahkan orang berkomunikasi dan tidak menyebutkan istilah yang tergolong panjang,

dengan demikian dapat disingkat dengan istilah ”narkoba” yaitu narkotika dan obat-obatan

aditif yang berbahaya. Namun pada umumnya orang belum tahu tentang narkotika dan

psikotropika karena memang dua zat tersebut dalam penyebutannya baik di media cetak

maupun elektronika lebih sering diucapkan dengan istilah narkoba, meskipun mereka hanya

tahu macam dan jenis dari narkoba tersebut, di antaranya ganja, kokain, heroin, pil koplo,

sabu-sabu dan lain sebagainya.


2

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Agar pembahasan dalam penulisan tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari

pokok permasalahan yang diharapkan penulis, perlu kiranya diadakan pembatasan masalah

dengan harapan dapat mempermudah penulis dalam membuat penulisan, mengingat begitu

banyak kebijakan yang telah dikeluarkan dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dan

psikotropika, maka penilitian ini dibatasi dalam lingkup permasalahan:

1. Pengertian Narkotika, Siapa yang dapat dijadikan tersangka kasus narkotika dan

Kebijakan Hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Narkotika dan

Undang-Undang Psikotropika, khususnya kebijakan mengenai perumusan norma

dan sanksi pidana, kebijakan mengenai kualifikasi tindak pidana, kebijakan

mengenai pertanggung jawaban pidana korporasi,kebijakan mengenai percobaan,

pembantuan dan pemufakatan jahat.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka

mencapai tujuan penelitian. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti biasanya telah memiliki

dugaan berdasarkan teori yang ia gunakan, dugaan tersebut disebut dengan hipotesis.Adapun Metode

Pengumpulan data yang digunakan pada makalah ini adalah :

1. Studi Dokumen

Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung kepada

subjek penelitian.
3

BAB II.GAMBARAN KEADAAN

A. DATA DAN FAKTA

Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35

tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu

pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap

narkotika.

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat

mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga

pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika. Berita kriminal di media

masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika.

Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah

tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan

mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi. Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah

didapati di Indonesia.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh

aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan.

Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya

peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif

dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika

tersebut.
4

Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun

2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat

dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para

pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana

tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.

Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya

penanggulangannya saat ini sedang mencuat dnan menjadi perdebatan para ahli hukum.

Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat

membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada

pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV.

Perkembangan kejahatan narkotika pada saat ini telah menakutkan kehidupan

masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia , telah berupaya untuk meningkatkan

program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan

pasokan narkoba atau narkotika.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai

berikut:

1. Apa pengertian narkotika serta jenis-jenis Narkotika?

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang

Narkotika (UU No. 35/2009 ) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika ?


5

3. Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

4. Bagaimana sangsi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika?


6

BAB III. KERANGKA KONSEP DAN ANALISIS MASALAH

A. KERANGKA KONSEP

Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang - Undang No. 22

tahun 1997 tentang Narkotika diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 1997 nomor 10

dan Nomor 67 serta Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3671 dan Nomor 3698 kemudian

mulai berlaku sejak undang-undang tersebut diundangkan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika,

banyak kasus-kasus yang menyangkut narkotika dan psikotropika yang berupa peredaran dan

penyalahgunaan ekstasi, pil koplo dan sabu-sabu, namun demikian pada waktu itu kasus-

kasus tersebut tidak mudah untuk ditanggulangi karena perangkat undang-undangnya yang

lemah.

Selain peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang psikotropika

memang belum ada, masalah psikotropika juga mengalami kesulitan untuk ditangani

denganUndang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan, karena psikotropika tidak diatur didalamkedua undang-

undang tersebut.Dalam konsideran Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang

Psikotropika tersebut antara lain dipertimbangkan, dalam pembangunan kesehatan dengan

memberikan perhatian terhadap pelayanan kesehatan, dalam hal ini ketersediaan dan

pencegahan penyalahgunaan obat serta pemberantasan peredaran gelap narkotika dan

psikotropika.
7

Dipertimbangkan pula, bahwa kedua zat tersebut sangat bermanfaat dan diperlukan

untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka perlu adanya jaminan

akan ketersediaan barang tersebut. Oleh karena itu penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, pada giliranya nanti

akan mengancam ketahanan nasional.Di samping itu Indonesia terikat pada ketentuan baru

dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

Narkotika dan Psikotopika Tahun 1998, karena Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi

tersebut dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances, 1998.

Berbicara mengenai kebijakan hukum pidana, tentunya tidak terlepas dari pengertian

kebijakan itu sendiri, dalam kamus besar bahasa indonesia yang dimaksud dengan kebijakan

adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintah, organisasi) dan

pernyataan cita-cita tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen

dalam usaha mencapai sasaran, haluan. Sementara itu, Marc Ancel menyatakan bahwa

kebijakan pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara

lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang - undang tetapi

juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang

menerapkan undang-undang.
8

Oleh karena itu kelemahan atau kesalahan kebijakan pidana dapat dipandang sebagai

kesalahan yang sangat strategis, karena hal ini dapat menghambat penaggulangan kejahatan

dengan hukum pidana. Di samping itu,usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan

undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat

(social welfare). Dengan demikian, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana

juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan

sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana

sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Dalam hal ini arti penegakan hukum itu

sendiri adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan keinginan hukum menjadi

kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran

badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Dengan demikian perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan

hukum akan menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.11 Dalam hal ini

peranan peraturan hukum sangat besar kaitannya dengan pelaksanaan peraturan hokum yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dapat diartikan pula bahwa keberhasilan atau

kegagalan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya telah dimulai sejak peraturan

hukum tersebut dibuat. Misalnya, badan legislative atau instansi yang berwenang membuat

peraturan tersebut telah membuat peraturan yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat, sejak
9

saat itulah awal kegagalan produk peraturan yang dibuat oleh badan tersebut. Hal ini dapat

diakibatkan dalam peraturan tersebut memerintahkan sesuatu hal yang tidak didukung oleh

sarana yang mencukupi, akibatnya, peraturan tersebut gagal untuk dilaksanakan oleh aparat

penegak hokum.Sementara itu, menurut pengertian lain dari Penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata

sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum

itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan

hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan

mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu

hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hokum tertentu untuk menjamin dan

memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu

diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.Aparatur penegak hukum menncakup

pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam

arti sempit,aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi,

polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan.Setiap aparat

dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau

perannya sendiri yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
10

pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak

hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

1. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung

dan mekanisme kerja kelembagaannya;

2. budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan

aparatnya, dan

3. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang

mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun

hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan

ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu

sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.Berdasarkan uraian di atas,

dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah pokok dalam penegakan hukum salah

satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses

penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

a) Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undang - undang saja;

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk

maupun yang menerapkan hukum;

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d) Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan;
11

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan

hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.

B. ANALISIS MASALAH

1. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk

pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai

dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi

perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan

jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat

mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa

yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

2. Kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang Narkotika (UU

No. 35/2009 ) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika

Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium

mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman
12

koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja,

garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau

sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai

pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika,

apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan,

dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau

turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau

olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.

Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, penulis dapat

menarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau bukan

setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika

menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 :

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.
13

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

3. Pelaku perbuatan pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika

Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat

beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika

berikut ini:

a. Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

b. Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation

Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic

Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

narkotika dan Psikotrapika, 1988)

c. Undang-undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU

RI No. 22 tahun 1997.

Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35

tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Sebagai pengguna

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.


14

b. Sebagai pengedar

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35

tahun 2009 tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda

c. Sebagai produsen

Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun

2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan

atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya

pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda,

pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika

untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi

medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam

masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara


15

kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak

anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan

melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu

sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan

sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal

tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang

semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang

meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan

mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini

diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan

zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan

Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika

dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.Selain

itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika

untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur

mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus,
16

pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana

mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan,

jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan

kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut

didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika

Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN

tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan

fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut

ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat

kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan

di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga

mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi

vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta

kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan

Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika

dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan
17

pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,

dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan

penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan

teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan

lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan

memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini

diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika

termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam

upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor

Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat

yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.


18

Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak

sampai pada kategori maksimal. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua

hal. Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan

dengan sanksi yang ringan pula. Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau

bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga

berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan

4. Sanksi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan

hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law

enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan

kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan

penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum

tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).

Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan

masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni:

a. takut berbuat dosa;

b. takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang

bersifat imperatif;

c. takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal

mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi


19

Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum

pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan

psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang

tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan

psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang,

khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi.

Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana

yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta

implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika

penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat

menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor

tersebut, adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang aja;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk

maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.


20

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan

hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
21

BAB IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1.Narkotika adalah zat

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Dalam UU No. 35/2009 jenis-jenis narkotika adalah tanaman papever, opium mentah,

opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka,

kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau

turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi

sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina

yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat

menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-

sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau

bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai

narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya

pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana

penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan

dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan social.


22

B. SARAN

Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan NARKOTIKA

merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya berada pada

pundak kepolisian ataupun pemerintah saja. Namun, seluruh komponen masyarakat

diharapkan ikut perperan dalam upaya penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah

diamanatkan dalam pelbagai perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 tahun 2009

tentang narkotika

pandangan Agama narkoba adalah barang yang merusak akal pikiran, ingatan, hati,

jiwa, mental dan kesehatan fisik seperti halnya khomar. Oleh karena itu maka Narkoba juga

termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah SWT.


23

DAFTAR PUSTAKA

Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers.

Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers.

Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV.

Rajawali. H

Anda mungkin juga menyukai