Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI LAMPUNG DALAM


PENGUNGKPAAN TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA YANG
DIKENDALIKAN OLEH NAPI(NARAPIDANA)
(Studi Putusan Nomor : 575/pid.sus/2019.PN.Tjk)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

berlimpah. Kekayaan alam tersebut digunakan semata-mata untuk meningkatkan kehidupan

masyarakat yang dikelola oleh Negara sebagai suatu tujuan Negara untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada beberapa dekade yang lalu, penggunaan narkotika di kalangan bangsa-bangsa tertentu

merupakan suatu kebudayaan, namun akhirnya narkotika menjadi suatu komoditas bisnis

yang mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga perdagangan gelap narkotika mulai

marak. Bahkan perdagangan narkoba itu telah di organisasikan dalam suatu sindikat-sindikat

yang masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti politik dan

ekonomi

Peredaran dan penyalahgunaan Narkoba merupakan salah satu permasalahan nasional yang

dipandang serius oleh pemerintah, karena dapat menyebabkan rusaknya moral bangsa. Karena

itu pemerintah sangat memberikan perhatian terhadap penanganan atas penyalahgunaan

Narkoba. Di negara kita, masalah merebaknya penyalahgunaan narkoba semakin lama

semakin meningkat. Efek domino akibat dari penyalahgunaan narkoba juga semakin beragam,

serta usaha untuk mengatasi penyalahgunaan Narkoba merupakan langkah yang tidak mudah

untuk dilaksanakan.

Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Ketika seseorang melakukan penyalagunaan Narkotika secara terus-menerus, maka orang
tersebut akan berada pada keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan
secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas1

1
http://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/997-pencegahan-
penyalahgunaannarkotika#:~:text=Penyalah%20guna%20adalah%20orang%20yang,baik%20secara%20fisik
%20maupun%20psikis.
 Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang

canggih, aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan

tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitassumber daya manusia di Indonesia,

khususnya bagi generasi penerus bangsa. Di antara aparat penegak hukum yang juga

mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkotika ialah Badan

Narkotika Nasional (BNN), yang diharapkan mampu membantu proses penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika.

Kejahatan narkotika masih menjadi masalah kronis yang menimpa Indonesia. Berbagai cara

telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas kejahatan yang telah merenggut banyak

nyawa anak bangsa ini. Salah satunya di bidang regulasi yang ditandai dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Seiring dengan

perkembangan kejahatan narkotika, undang-undang tersebut dianggap sudah tidak lagi

memadai, maka kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tujuan

pengaturan narkotika adalah:

a. Untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanankesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia daripenyalahgunaan

narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahgunadan pecandu

narkotika.

Berdasarkan Pasal 1 poin 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukantanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapatmenyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.2

2
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Narkotika
Psikotropika beserta konvensi PBB yang mengaturnya, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, DKI
Jakarta, hlm 4
Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah narcotics. Pada farmacologie (farmasi),

melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan

membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:

1. mempengaruhi kesadaran

2. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia

3. pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

a penenang

b perangsang (bukan rangsangan seks)

c menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan antara khayalan dan

kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Definisi narkoba yang dikutip Djoko Prakoso, Bambang Riyadi dan Mukhsin (1999:34)
mengemukakan “bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat
yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine, heroin, codein,
hesisch, cocain. Dan termasuk juganarkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat
yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulant.”3

Sedangkan, menurut Ghoodse, pengertian narkoba adalah zat kimia yang dibutuhkan untuk

merawat kesehatan, saat zat tersebut masuk kedalam organ tubuh maka akan terjadi satu atau

lebih perubahan fungsi didalam tubuh. Lalu dilanjutkan lagi dengan ketergantungan secara

fisik dan psikis pada tubuh, sehingga jika zat tersebut dihentikan pengkonsumsiannya maka

akan terjadi gangguan secara fisik dan psikis

Jenis-jenis narkotika di dalam Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009 pada BAB III Ruang

Lingkup pada Pasal 5 ayat 1 menegaskan bahwa narkotika di golongkan menjadi:

a) Narkotika golongan I;

Yang berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan sebagaimana pada Pasal 8

Undang Indang Nomor 35 Tahun 2009 tentatng Narkotika menetapkan :

1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan.

2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepenting

an pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnos

3
https://www.diadona.id/health/pengertian-narkoba-menurut-para-ahli-serta-dampak-penyalahgunaan-dan-

jenisnya-2004307.html
tik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas

rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sebagaimana ketentuan yang ditetapkan padaPasal 35& 36 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menetapkan bahwa :

b) Narkotika golongan II; dan

1) Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami

maupun sintesis yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan peraturan

menteri.

c) Narkotika golongan III.4

1) Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami

maupun sintesis yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan peraturan

menteri.

Sehubungan dengan penanganan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap

Narkotika, Pada Tahun 2009 telah dibentukalah Badan Narkotika Nasional yang

sebagaimana ditetapkan Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tetang Narkotika

menetapkan bahwa :

Pasal 64 :

(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaandan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk

Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.

(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non

kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada

Presiden.

Badan narkotika nasional yang beerkedudukan di wilayah ibukota Indonesiamemiliki

wilayah kerja meliput seluruh seluruh wilayah Negara republic Indonesia dan adapun BNN

yang berada di perwakilan di daerah provinsidan kabupaten merupakan instansi vertical

4
terkait dengan tugas dan tanggung jawab badan narotika nasional memiliki kewenangan

sebagaimaa ditetapkan pada pasal 70 undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

yang menetapkan bahwa :

BNN mempunyai tugas meliputi :

a.   Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan       dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan       Prekursor Narkotika

b. Mencegah dan Memberantas Penyalahgunaan dan Peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu

Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regionalmaupun internasional,

guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h.    mengembangkan laboratorium Narkotika dan PrekursorNarkotika;

i.     melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahguna

an dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang


Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.(pasal 71 undang-

undang nomr 35 tahun 2009 tentang narkotika

Adapun kewenangan penyelidikan dan penyidikan tersebut dilaksanakan oleh penyidik

BNN.(pasal 72 undang-undang nomr 35 tahun 2009 tentang narkotika)

Selain kewenangan yang telah ditetapkan sebagaimana ketentuan pasal 75 undang-undang

nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika BNN juga memiliki kewenangan meliputi :

a.       mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barangbukti,termasuk harta keka
yaan yangdisita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c.       untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h.      meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk me
lakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.5

Seiring dengan berjalannya pelaksanaan tugas pemberantasan peredaran gelap narkotika,

Badan narkotika nasional dalam hal ini BNNP lampung telah menemukan adanya kegiatan

peredaran gelap narkotika yang masih dikendalikan oleh warga binaan/ narapidana dari

dalam lembaga pemasyarakatan ( lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) dimana salah satu

kasus yang telah ditangani oleh penyidik BNN lampung yaitu tindak pidana narkotika jenis

sabu dan ekstasi yang dilakukan oleh tersangka atas nama Resti Amalia bintiabas suni dkk

5
pasal 80 undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
pada tahun 2019 dimana dalam perkara tindak pidana narkotika tersebut juga dikendalika

oleh 2 (dua) orang narapidana atas nama yandi then wijaya alias acong dan sodara imam

ghazali bin kaiman dengan kronologis singkat sebagai berikut :

Pada Hari Kamis tanggal 10 Januari 2019 sekira jam 16.00 WIB bertempat di depan pelataran

Parkir Mall Kartini yang beralamat di Jl. RA Kartini Tanjung Karang Bandar Lampung telah

Penyidik BNNP Lampung telah mendapati seorang WANITA a.n RESTI AMALIA Binti

ABAS SUNI memiliki dan menguasai paket berupa 1 (satu) bungkus plastic warna putih

ukuran sedang berisi 1 (satu) buah kotak bekas sereal koko krunch warana cuklat ukuran 330

gram berisi :

a.2 (dua) bungkus ukuran sedang berisi pil warna orang yang diduga Narkotika jenis extacy

sebanyak 1.844 butir dengan brutto total 612,62 gram.

b.2 (dua) bungkus plastic bening terbungkus lakban warna coklat berisi kristal putih yang

diduga narkotika jenis shabu dengan brutto total 205,18 gram.

Saat dilakukan tanya jawab singkat dilokasi, Sdri. RESTI AMALIA Binti ABAS SUNI

menerangkan bahwa benar paket yang dibawanya tersebut merupakan paket

Narkotika yang baru saja Ianya terima dari seorang wanita yang belum Ianya kenal.

Adapun paket Narkotika tersebut akan diserahka kembali kepada orang lain

dantugaskegiatan penjemputan dan penyerahan paket Narkotika jenis shabu dan

extacy yang dilakukan oleh Sdri. RESTI AMALIA Binti ABAS SUNI tersebut adalah

berdasarkan perintah lisan dari rekan laki-lakinya yang bernama IMAM GOJALI Bin

KALMAN yang bersetatus sebagai Narapidana kasus Narkotika yang sedang menjalani

hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I A Rajabasa Bandar Lampung.

Berkaitan denga hal tersebut selanjutnya dilakukan pengembangan terhadap orang yang

diduga sebagai penerima paket narkotika yang dibawa oleh Sdri.RESTI AMALIA Binti

ABAS SUNI.

Adapun di hari yang sama yaitu Kamis tanggal 10 Januari 2019 sekira jam 18.30 WIB

bertepat di depan Pelataran Parkit Indomart Jl. WR Mongensii Teluk Betung Bandar

Lampung Penyidik BNNP Lampung juga telahmendapati dua orang laki-laki a.n

APRIADI Alias OMPOY Bin Alm. MUSANI dan HADI FITRI Alias JON Bin
SUHAIMI mendatangi Sdri RESTI AMALIA Binti ABAS SUNI diduga bermaksud

untuk mengambil paket Narkotika yang dibawa Ianya (Sdri RESTI AMALIA Binti

ABAS SUNI).

Berdasarkan keterangan daripada Sdr. HADI FITRI Alias JON Bin SUHAIMI, yang saat

dilakukan Tanya jawab singkat dilokasi menerangangkan bahwa

kegiatanpenjemputan paket Narkotika yang mereka (Sdr. HADI FITRI Alias JON Bin

SUHAIMI dan Sdr. APRIADI Alias OMPOY Bin Alm. MUSANI) lakukan tersebut

adalah berdasarkan perintah dan petunjuk lisan dari pada rekannya yang bernama

YANDI THEN WIJAYA Alias CONG Anak Dari THEN DANI yang juga bersetatus

sebagai Narapidana kasus Narkotika yang sedang menjalani hukuman di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I A Rajabasa Bandar Lampung.

Berkaitan dengan hal tersebut dihari yang sama yaitu Kamis tanggal10 Januari 2019 sekira

jam 22.00 WIB dilakukan pula pengembangan terhadap keberadaan Sdr. YANDI THEN

WIJAYA Alias CONG Anak Dari THEN DANI dan IMAM GOJALI Bin KALMAN

diLapas Kelas I A Rajabasa Bandar Lampung dan saat dilakukan Tanya jawab singkat, baik

Sdr. YANDI THEN WIJAYA Alias CONG Anak Dari THEN DANI dan IMAM

GOJALI Bin KALMAN mengakui bahwa kegiatan peredaran gelap paket Narkotika

tersebut dapat berlangsung adalah berdasarkan perintah lisan daripada mereka (Sdr.

YANDI THEN WIJAYA Alias CONG Anak Dari THEN DANI dan IMAM GOJALI

Bin KALMAN) yang dilakukan dengan cara komunikasi dan dikendalikan via

telephone dari dalam Lapas Kelas I A Rajabasa Bandar Lampung.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam betuk

skripsi yang berjudul “ UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI

LAMPUNG DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP

NARKOTIKA YANG DIKENDALIKAN OLEH NAPI (NARAPIDANA) (Studi Putusan

Nomor 575/pid.sus/2019/PN.Tjk)sebagai judul Proposal Skripsi saya.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Faktor- faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pengendalian Peredaran Gelap

Narkotika dari dalam Lapas/Rutan ?

b. Bagaimana upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung dalam

pengungkapan tindak pidana Peredaran Gelap Narkotika yang dikendalikan oleh

napi(narapidana) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika ?

c. Apa hambatan-hambatan yang ditemui Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung

dalampengungkapan tindak pidana Peredaran Gelap Narkotika yang dikendalikan

oleh napi(narapidana)?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi ruang lingkup dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a.   Faktor- faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pengendalian Peredaran Gelap

Narkotika dari dalam Lapas/Rutan

b. Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung Dalam Pengungkapan Tindak

Pidana Peredaran Gelap Narkotika Yang Dikendalikan Oleh Napi(Narapidana)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

c.  Hambatan-Hambatan yang ditemui Badan Narkotika Nasional Provinsi   Lampung

dalampengungkapan tindak pidana peredaran Gelap Narkotika     yang dikendalikan

oleh napi(narapidana)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah :

a. Untuk Mengetahui, memahami, dan menganalisis Upaya Badan Narkotika Nasional

Provinsi Lampung Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Peredaran Gelap Narkotika


Yang Dikendalikan Oleh Napi(Narapaidana)Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika

b. Untuk Mengetahui, memahami, dan menganalisis hambatan-hambatandalam

pengungkapan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika yang dikendalikan oleh

Napi(Narapidana)

c.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembahasan mengenai narkotika

dan dapat dijadikan referensi oleh penulis dalam mengembangan wawasan dibidang

narkotika

b. Kegunaan Praktis

-Berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian hukum khususnya

mengenai narkotika

-Sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi dan meraih    gelar

Sarjana Hukum Universitas Bandar Lampung.

D. Kerangka Konsepsional

1.    Penegrtian Hukum Pidana

       Menurut Van Hamel (P.A.F. Lamintang, 1984 : 47), mengatakan bahwa: “Arti dari

pidana itu adalah straf menurut hukum positif dewasa ini, adalah suatu penderitaan yang

bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan

pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban umum bagi seorang

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan yang

harus ditegakkan oleh Negara.”


Pidana dibedakan menjadi pidana formil dan pidana materiil. Demikian merupakan

pengertian pidana formil dan pidana materiil menurut beberapa ahli / pakar hukum

diantaranya:

1. J.M. Van Bemmelen (Amir Ilyas, 2012 : 9) menjelaskan kedua hal tersebut sebagai

berikut: “Hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,

peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang

diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana

acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan

pada kesempatan itu.”

2. Wirjono Prodjokoro (Laden Marpaung, 2005 : 2) menjelaskan hukum pidana materiil

dan hukum pidana formil sebagai berikut:

Isi hukum pidana adalah:

1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum

pidana,

2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan

perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana,

3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana, dan

4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu,

merupakan suatu rangkaian pengaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan

pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna

mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

Tirtaamidjaja (Laden Marpaung, 2005 : 2) menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum

pidana formil sebagai berikut:“Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang

menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana untuk

dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum dan menetapkan hukuman atas

pelanggaran pidana.”
“Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan

hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau

dengan kata lain, mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga

diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan hakim.”

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi

larangan atau perintah yang jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana

formil adalah aturan yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana

materil.

Jenis-Jenis Pidana

Menurut ketentuan di dalam Pasal 10 KUHP, hukum Pidana Indonesia hanya mengenal dua

penggolongan pidana, yaitu:

A.  Pidana Pokok terdiri dari :

1. Pidana Mati;

2. Pidana Penjara;

3. Kurungan;

4. Denda;

5. Pidana tutupan

(Pasal 10 KUHP dan undang-undang KUHP)

B.  Pidana Tambahan terdiri dari :

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman Putusan Hakim

2.    Pengertian Hukum Acara Pidana


Pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum formal.Artinya hukum yang digunakan

untuk menegakkan hukum pidana materil.Oleh karena itu, hukum acara pidana tidak dapat

dilepaskan dengan hukum pidana materil yang memiliki hubungan dan keterkaitan yang erat

dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana.Dengan demikian dapat diartikan bahwa hukum

acara pidana adalah serangkaian aturan yang dibuat oleh negara yang bertujuan untuk

menegakkan hukum pidana materil. Apabila dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara

hukum, maka Hukum Acara Pidana dapat ditemukan dalam UU No. 8 Tahun 1981 yang biasa

disebutkan dengan “KUHAP”.

Menurut Andi Hamzah, Istilah “hukum acara pidana” dianggap sudah tepat jika dibandingkan

dengan istilah “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”.  Di Belanda istilah yang

digunakan adalah  strafvordering yang apabila diterjemahkan mengandung ari “tuntutan

pidana”. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan

undang-undang dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara

pidana.Sehingga istilah bahasa inggris Criminal Procedure Law lebih tepat digunakan

daripada istilah yang dari Belanda tersebut.

Banyak ahi dalam hukum pidana telah memberikan pendapatnya terkait dengan pengertian

hukum acara pidana seperti Simons yang mengemukakan hukum acara pidana disebut juga

hukum pidana formal yang mengatur tentang bagaimana negara melaui alat-alatnya

melaksanakan haknya untuk memidanakan dan menjatuhkan pidana. Namun menurut Andi

Hamzah, pendapat van Bemmelen terkait hukum acara pidanalah yang paling tepat dan

lengkap karena merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan

akhirnya saja. Adapun pendapat van Bemmelen terkait pengertian hukum acara pidana

tersebut adalah sebagai berikut:

Hukum Acara Pidana adalah ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan

negara, karena adannya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana yaitu sebagai

berikut:

1. Negara melalui alat-alat menyidik kebenaran;


2. Sedapat mungkin penyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu
menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5. Hakim memberikan keputusan tenang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada
terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib6.

3.    Pengertian Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif

Narkoba  yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif

berbahaya lainnya adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik

diminum, dihirup, atau disuntikan, akan dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan,

dan perilaku seseorang. Narkoba juga dapat menimbulkan ketergantungan baik fisik maupun

psikologis.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Yang termasuk jenis Narkotika

adalah :  Tanaman papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium

obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja, garam-garam dan

turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan

yang mengandung bahan yang disebutkan di atas.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang

berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang termasuk psikotropika antara lain:

Sedatin (Pil BK), Rohypnol, Magadon, Valium, Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin,

Metakualon, Metifenidat, Fenobarbital, Flunitrazepam, Ekstasi, Shabu-shabu, LSD (Lycergic

Alis Diethylamide), dan sebagainya.

Bahan Adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis maupun sintetis

yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang dapat mengganggu sistim

syaraf pusat, yaitu:  Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut)

berupa zat organik (karbon) yang menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh

6
https://www.doktorhukum.com/pengertian-hukum-acara-pidana/
minuman yang beralkohol atau obat anaestetik jika aromanya dihisap. Contoh: lem/perekat,

aceton, ether, dsb.

Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, antara lain:

 Narkotika Golongan I: Adalah narkotika yang paling berbahaya. Karena daya

adiktifnya paling tinggi. Golongan ini digunakan unutk penelitian dan ilmu

pengetahuan. Contohnya adalah Heroin, ganja, kokain, morfin, dan opium.

 Narkotika Golongan II: Adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi

bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah: Benzetidin, petidin

dan betametadol

 Narkotika Golongan III: Adalah narkotika yang memiliki daya adiktif yang ringan,

tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan

turunannya7

4.    Pengertian Narapidan dan Hak Narapidana

1.    Pengertian Narapidana

Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum

narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana

yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana

kemerdekaannya hilang.

7
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/11/pengertian-narkotika-psikotropika-zat-adiktif-contoh-manfaat-dampak-

penggunaan.html
2.    Hak-Hak Narapidana

Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak yang tidak dapat

dipisahkan dan dicabut.Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap

insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin marrtabat setiap manusia. Kedua, hak

menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembuatan hukum dari masyarakat itu

sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Adapun dasar dari hak-hak ini adalah

persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang tunduk pada pada

hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang merupakan dasar dari arti yang pertama

tersebut di atas.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Pada

Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak :

a.   melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b.   mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c.   mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d.   mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e.   menyampaikan keluhan;

f.   mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

      lainnya yang tidak dilarang;

g.   mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h.   menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i.    mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j.    mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k.   mendapatkan pembebasan bersyarat;

l.    mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m.  mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 Tentang Narkotika tersebut dapat dipahami
bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa ngeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.8
8
F Asya, Narkotika dan Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, 2009, hlm. 3
Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah tercapainya kesejahteraan

masyarakat, baik itu materil dan spiritual, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah

perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakatnya. Kalau apa yang

dikemukakan ini berlaku untuk pembentukan hukum pada umumnya, lebih perlu lagi

mendapat perhatian ialah pembentukan hukum pidana, karena menyangkut nilai-nilai

kehidupan manusia tidak hanya mengenai diri pribadi, rasa, dan kewajiban seseorang, serta

nilai-nilai masyarakat pada umumnya.

Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dibentuk dengan tujuan
menciptakan ketertiban, suatu peraturan hukum adalah untuk keperluan penghidupan
masyarakat untuk mengutamakan masyarakatnya bukan kepentingan perseorangan ataupun
golongan, hukum juga menjaga hak-hak dan menentukan kewajiban-kewajiban anggota
masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang teratur, damai, adil dan makmur.9

Perbuatan dapat dikatakan tindak pidana atau tidak bukan hanya diukur dari unsur yang
terdapat di dalamnya, tetapi pada dasarnya tindak pidana itu sendiri terbagi atas beberapa
bagian yang mana di dalam pembagian tersebut diharapkan dapat mempermudah di dalam
mencerna serta memahami semuaaturan yang terdapat didalam peraturan perundang-
undangan, yang mana pembagian dari tindak pidana meliputi10

1. Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran;

2. Tindak pidana formal dan tindak pidana materiil;

3. Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan;

4. Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan;

5. Tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis, dan tindak pidana  commissionis

per     omisionem commisa;

6. Delik yang berlangung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;

7. Delik tunggal dan delik berganda;

8. Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada pemberatannya;

9. Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat;

10. Tindak pidana ekonomi dan tindak pidana politik.

5. Badan Narkotika Nasional

Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintahan nonkementerian yang berkedudukan

di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. 11 Badan Narkotika Nasional
9
S. Wiljatmo. 1979. Pengantar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Lukman Opset. Hlm. 20.
10
Ibid. Hlm. 130-131.
11
Lihat Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagai lembaga independen diharapkan dapat bekerja lebih baik serta transparan dan

akuntabel dalam menumpas kejahatan Narkotika. Badan Narkotika Nasional juga diharapkan

dapat optimal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dan meningkatkan kerja

sama internasonal agar jaringan narkotika transnasional dapat dihancurkan.

Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak pidana narkotika
adalah suaturealitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.12

Peran Badan Narkotika Nasional dalam setiap bentuk tindakan ini nantinya akan menekan

tingginya tingkat kejahatan yang terjadi, karena setiap kejahatan merupakan tindakan yang

sangat merugikan bagi semua orang sehingga dibutuhkan keseriusan dalam menangani setiap

bentuk kejahatan yang berlaku. Pelaku kejahatan harus merasakan dampak yang ditimbulkan

atas perbuatannya, maka untuk itu setiap perbuatan yang melawan hukum harus dikenai

sanksi yang tegas.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dam

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala

bersangkutan.

Dalam melakukan kegiatan penelitian, penulis melakukan kegiatan yang terdiri dari beberapa

langkah, yaitu :

1. Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, penulis melakukan

dua pendekatan yaitu pedekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna

untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.

a.    Pendekatan Yuridis Normatif

12
Pasal 2 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan

hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum

serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan

mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang

berhubungan dengan penelitian iniyaitu Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi

Lampung dalam Pengungkapan Tindak Pidana Penyalahgunan Narkotika yang

dikendalikan Napi(Narapidana).

      b.     Pendekatan Empiris

Pendekatan Empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang

diperoleh secara langsung atau praktek lapangan melalui peneliti terhadap objek

penelitian dengan cara wawancara (interview) dengan responden atau narasumber

yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas mengenai pengungkapan

tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh napi(narapidana).

2. Sumber dan Jenis Data

Dalam melakukan penelitian, penulis memerlukan keterangan-keterangan yang terkait dengan

permasalahan yang berupa data. Adapun data yang digunakan adalah :

a. Data Sekunder

Data Sekunder Mencakup buku-buku, dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang

berbentuk dalam sebuah laporan , data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya. Untuk penulisan

skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah:

a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil

Amandmen

b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 Jo Undang-undang Nomor 73 Tahun

1985 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik

Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Pidana (KUHP).

c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


d) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

e) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarkatan,.

g) Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder meliputi referensi atau kepustakaan berupa buku literature,

artikel, makalah-makalah ataupun literature karya ilmiah yang terkait denga

penelitian yang akan diteliti oleh penulis.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan buku primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa Indonesia,

Kamus Bahasa Inggis, Kamus Hukum maupun majalah dan surat kabar/media cetak.

b. Data Primer.

Data Primer ini diperoleh langsung dari lapangan yaitu berasal dari hasil wawancara dengan

penyidik Badan narkotika Nasional Provinsi lampung.

3.    Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

 a. Prosedur Pengumpulan Data

Data penelitian ini, prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi

dokumen serta wawancara

1) Studi Kepustakaan (Library Research)

Mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan cara mempelajari melalui

studi literatur dan ketentuan perundang-undangan yang mempunyai hubungan

dengan permasalahan yang dibahas.

2) Studi Lapangan (Fieled Research)


Pengumpulan data lapangan (Fieled Research) dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :

a). Pengamatan (Observation)

Pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap objek penelitian guna

memperoleh data valid yang dilaksanakan di Badan Narkotika Nasional Provinsi

Lampung

b). Wawancara (Interview)

Pengumpulan dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan alat bantu

daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap narasumber yang berkaitan dengan

permasalahan :

1. Pihak BNN provinsi Lampung = 1 orang

2. Lembaga Permasyarakatan Kelas I A rajabasa Bandar = 1 orang

Lampung

3. Kejaksaan Tinggi lampung = 1 orang

4. Panitera Muda PN Tanjung Karang = 1 orang

Jumlah = 4 orang

b.   Prosedur Pengolahan Data

Setelah data sekunder diperoleh, selanjutnya akan diolah dengan menggunakan tahap-tahap

sebagai berikut :

1. Klasifikasi Data, yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup

lengkap, sudah benar dan sudah sesuai/ relevan dengan masalah.

2. Inventarisasi data, yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, agar

memudahkan untuk dipahami dan dipresentasikan

Sistematisasi Data, yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan

berdasarkan urutan masalah.

4.   Analisis Data
Apabila semua data sekunder telah didapatkan melalui studi pustaka (library research),

studi dokumen (document research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil

wawancara, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif,

yaitu analisis denga cara menafsirkan data-data yang dikaji dengan teori-teori dan asas-

asas, serta memperhatikan sinkronisasi antara ketentuan peraturan hukum yang satu

dengan ketentuan peraturan hukum yang lain dengan memperhatikan hierarki peraturan

perundang-undangan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, Bab iniberisi Latar Belakang masalah, Permasalahan Penelitian dan

Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Konsepsional dan

Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, Bab ini berisi Tinjauan Pustaka dari berbagai konsep atau kajian

yang berhubungan yaitu Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Narkotika, Pengertian

Narapidana, Pengertian Penyalahgunaan , dan Pengertian Badan Narkotika Nasional.

Bab III Metode Penelitian, Bab ini berisi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data,

Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

Bab IV UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI LAMPUNG DALAM

PENGUNGKPAAN TINDAK PIDANA PEDARAN GELAP NARKOTIKA YANG

DIKENDALIKAN OLEH NAPI(NARAPIDANA) (Studi Putusan Nomor :

575/pid.sus/2019.PN.Tjk),

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan yaitu

menganalisis upaya BNNP lampung dalam Menanggulangi pengungkapan tindak pidana

peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh napi(narapidana) Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, fakor penghambat terhadap

pengungkapan tindak pidana peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh

napi(narapidana).

Bab V Penutup Berisi kesimpulan dari hasil pembahasan terhadap penelitian yang

merupakan jawaban terhadap permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran
berhubungan dengan hasil penelitian dan ditunjukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai