Anda di halaman 1dari 16

URGENSI PEMBAHARUAN UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA TERKAIT TINDAK PIDANA NEW PSYCHOACTIVE


SUBTANCES (NPS)
(KRITIK TERHADAP PASAL 6 UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA)

MATA KULIAH : PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA


DOSEN PENGAJAR : PROF. DR. ISMANSYAH, SH.MH

OLEH

FEBRI HARIANTO
NO. BP :1820112014
KELAS A

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat jenis-jenis
narkotika dan psikotropika bertambah banyak, jenis-jenisnya pun yang beredar di kalangan
pecandu makin bervariasi pula. Bukan lagi sebatas ekstasi ataupun sabu-sabu seperti yang
dikenal luas selama ini, melainkan telah bermunculan nama-nama baru yang masih terdengar
asing di telinga. Apalagi namanya masih sering mengusung nama ilmiah dengan mengacu
pada bahan pokok yang dikandungnya sebutlah ganja sintetis (synthetic cannabiods), katinon
sintetis (synthetic cathinones) serta phenetylamines. Semuanya bersifat adiktif yang
memberikan efek depresan, stimulant, euphoria, dan halusinogen.1 United Nations Office on
Drugs and Crime (UNODC) menyebut zat-zat serupa narkotika dan psikotropika baru
tersebut sebagai New Psychoactive Substances (NPS). Dalam laporan Global SMART
Programme yang dibuat oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
disebutkan bahwa:2
”These new psychoactive substances (NPS) have been known in the market by terms
such as “designer drugs”, “legal highs”, “herbal highs”, “bath salts”, “research
chemicals”, “laboratory reagents”

Lebih lanjut dalam laporan Global SMART Programme disebutkan bahwa:3


“New psychoactive substances are substances of abuse, either in a pure form or a
preparation, that are not controlled by the 1961 Single Convention on Narcotic Drugs
or the 1971 Convention on Psychotropic Substances”

Single Convention Drugs Tahun 1961 telah diratifikasi melalui Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta
Protokol 1972 yang mengubahnya. Konvensi ini menjadi landasan yuridis dari Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sedangkan Convention on Psychotropic
Subtances Tahun 1971 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang
Pengesahan Convention On Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) dan
menjadi landasan yuridis dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Terdapat perbedaan antara narkotika dan psikotropika, menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”

Sedangkan Psikotropika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997


Tentang Psikotropika adalah:
1

2
3
“Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”

Dikarenakan perbedaan tersebut, maka pengaturan mengenai kedua zat tersebut diatur
dalam undang-undang yang berbeda, narkotika ke dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun
1997 Tentang Narkotika sedangkan psikotropika diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika mengenai jenisjenis psikotropika Golongan I dan II dimasukkan ke dalam
Lampiran UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenai jenis
narkotika Golongan I. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di
bagian Ketentuan Penutup Pasal 153 disebutkan bahwa:

“Dengan berlakunya Undang-Undang ini: a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997


tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan b. Lampiran
mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika
Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Berdasarkan hal tersebut maka jenis psikotropika yang sering disalahgunakan seperti
Ganja, Sabu, dan Ectasy masuk ke dalam Golongan I Narkotika sehingga zatzat tersebut
dianggap sebagai narkotika. Setiap penyalahgunaan zat-zat tersebut dapat dikenakan
ketentuan hukum yang ada dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Sedangkan New Psychoactive Subtances (NPS) sendiri merupakan zat-zat yang
tidak dikontrol oleh Single Convention Drugs Tahun 1961 dan Convention on Psychotropic
Subtances Tahun 1971, jadi di NPS dapat berupa narkotika (narcotic) ataupun psikotropika
(Psychotropic). Di Indonesia dikarenakan Pasal 153 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika yang telah disebutkan di atas maka pengertian NPS adalah zat yang tidak
ada dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenai
jenis narkotika. Dalam Global SMART Programme disebutkan bahwa:
“The term ‘designer drugs’ had been traditionally used to identify synthetic
substances but has recently been broadened to include other psychoactive substances
that mimic the effects of illicit drugs and are produced by introducing slight
modifications to the chemical structure of controlled substances to circumvent drug
controls. l ‘Legal highs’, ‘herbal highs’, ‘research chemicals’ and ‘bath salts’ are
also common names used to refer to NPS offered as a legal alternative to controlled
drugs. These substances are frequently labelled as ‘not for human consumption”

New Psychoactive Subtances (NPS) dibuat dengan memodifikasi struktur kimia dari
zat-zat yang telah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tujuan
untuk menghindari jerat hukum, sehingga penyebutan jalanan New Psychoactive Subtances
(NPS) adalah Legal Highs. Penyalahgunaan atau peredaran zat tersebut sulit untuk dijerat
oleh hukum. Seperti contoh kasus yang terjadi di Indonesia pada tahun 2014 yaitu kasus
penggunaan 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone oleh Raffi
Ahmad. Zat tesebut tidak masuk ke dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika mengenai jenis narkotika. Hingga saat ini tidak ada kejelasan mengenai
proses hukum terhadap Raffi Ahmad tersebut, dikarenakan berkas yang dikirim oleh BNN
terus dibalikkan oleh Kejaksaan Agung karena tidak adanya kesepahaman mengenai 3,4
Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone yang saat itu belum masuk
dalam lampiran golongan narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ada
instrumen untuk menambah atau mengubah lampiran golongan narkotika tersebut yaitu
melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Dalam Pasal 6 Ayat (3) UndangUndang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa:
“Kententuan mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri”

Salah satu kasus yang mencuat adalah Zat yang disalahgunakan Artis Raffi Ahmad
pun sudah masuk ke dalam lampiran golongan narkotika dalam Undang- Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika diubah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13
Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (yang saat ini sudah diubah
kembali melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2018). Namun jenis NPS di
dunia sampai dengan saat ini, terdapat 803 jenis zat, meningkat dari 644 jenis yang dideteksi
pada tahun 2017.
Saat ini di Indonesia menurut penelitian Balai Laboratorium Badan Narkotika
Nasional terdapat 74 jenis NPS (New Psychoactive Subtances) yang beredar di Indonesia,
dari 74 jenis tersebut baru 66 jenis yang masuk lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2018.
Permenkes ini kerap muncul secara insidentil jika ditemukan kasus baru. Pada intinya
sekalipun tiap tahun ada penambahan daftar narkotika ke dalam lampiran Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 melalui Peraturan Menteri Kesehatan tetap saja Narkotika jenis baru
akan terus bermunculan dan tidak bisa tersentuh oleh penegakan hukum, hal ini
memunculkan permasalahan serius bersinggungan dengan asas kepastian hukum di tengah
masyarakat, untuk itu penulis berupaya mengupasnya dari pendekatan Sosio Politik, Sosio
Filosofi dan Sosio Budaya terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika khususnya dalam pengaturan Pasal 6 yang secara limitatif mengatur tentang yang
dimaksud dengan Narkotika dalam Undang – undang ini melalui makalah ini yang berjudul
Urgensi Pembaharuan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Terkait Tindak Pidana New Psychoactive Subtances (NPS) (Kritik Terhadap Pasal 6
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis merumuskan permasalahan yang akan
diteliti, antara lain :
1. Apakah terhadap Pelaku Penyalahgunaan atau Peredaran Gelap NPS (New Psychoactive
Subtances) yang belum diatur dalam Lampiran Golongan Narkotika dapat dikenakan
ketentuan hukum di dalam Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?
2. Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap tindak pidana narkotika gelap Tindak Pidana
Narkotika NPS (New Psychoactive Subtances) di masa yang akan datang?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Sosio Filosofis Melalui Pendekatan Teori Kepastian Hukum Terkait Pengaturan
New Psychoactive Subtances (NPS) di Indonesia
Kajian Sosio Filosofis itu mempunyai dua aktivitas antara lain konseptual yang
menjelaskan apa yang seadanya (what the really is) dan normatif yang menjelaskan apa yang
seharusnya (what the really ought to be).4 Dengan demikian untuk mengkajinya, salah satu
pendekatan yang sesuai melalui teori kepastian hukum sebagai penghubung antara kedua
aktivitas tersebut.
Hukum menghendaki, bahwa manusia dalam situasi konkret tertentu bertindak
sesuai dengan apa yang seharusnya dijalankan. Hukum yang ditimbulkan manusia, menguasai
hidup manusia. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk hukum yang berbentuk tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan
maknanya karena tidak dapat lagi dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi semua orang (Ubi
jus incertum, ibi jus nullum: di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum). 5 Salah
satu orientasi dari tujuan hukum menurut Gustav Radbruch adalah kepastian hukum.
Menurutnya, kepastian hukum merupakan tuntutan pertama kepada hukum. Tuntutan tersebut
ialah supaya ia positif, yaitu berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, supaya hukum itu
sungguh-sungguh positif.6 Namun demikian, kepastian hukum itu tidak dengan sendirinya
terwujud pada saat diundangkan dan diberlakukannya hukum. Hukum tersebut masih harus
diterapkan oleh para penegak hukum (pengemban hukum praktis). Agar kepastian hukum ini
dapat benar-benar diwujudkan, maka masih harus diperlukan pula suatu kepastian dalam
penerapannya. Hukum Positif atau Teks Otoritatif tersebut mencoba untuk memberikan
jawaban atas kebutuhan konkret masyarakat dan sekaligus ditujukan untuk mengupayakan
kepastian dan ketertiban. Namun, harus diperhatikan bahwa kepastian dari Teks Otoritatif ini
dapat dilemahkan, baik oleh kekaburan hukum maupun oleh perubahan hukum itu sendiri.7
Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo
mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni: Melindungi hak dan kewajiban
manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat (dalam
arti luas, yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan
kesejahteraan umum (bonum commune).8 O.Notohamidjojo menempatkan kehadiran hukum
dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Habitus hukum yang berpusat pada
manusia menjadikan konsep hukum yang dibangun beliau menjalin keselarasan antara rules
dan values in social life. Pandangan ini bukanlah berarti mengikis rule of law yang
berkepastian hukum, namun lebih berorientasikan pada menempatkan rule of law pada
tujuannya yaitu yang lebih berkeadilan dan memuaskan kebutuhan sosial yang
sesungguhnya.9

4
M. Taufiq Rahman, Ph. D, Pengantar Filsafat Sosial, Bandung, Lekkas, 2018 hlm. 2
5

6
7

8
9
Konsep rule of law sendiri merupakan konsep Anglo Saxon sedangkan dalam
konsep Eropa Kontinental dinamakan rechtsstaat (Negara Hukum). Penegasan Negara
Indonesia sebagai negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum (rechtsstaat)”. Dengan penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan,
masyarakat, dan negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik
anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut Dalam teori
kepastian hukum serta konsep negara hukum yang menjadi dasar adalah Asas Legalitas yang
terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang
menyebutkan bahwa Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan asas legalitas. Pertama, prinsip nullum
crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang sebelumnya konsekuensi dari makna ini adalah tidak boleh berlaku
surutnya ketentuan hukum pidana. Dalam sejarah perkembangan asas legalitas, makna ini
telah diadaptasikan di beberapa Negara dengan alasan demi melindungi kepentingan negara
dari bahaya yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Kedua prinsip nullum crimen, nulla
poena sine lege scripta. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
undangundang tertulis. Konsekuensi dari makna ini adalah harus tertulisnya semua ketentuan
pidana. Dengan kata lain, perbuatan yang dilarang maupun pidana yang diancam terhadap
perbuatan yang dilarang, harus tertulis secara expresiv verbis dalam undang-undang.10 Ketiga,
prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi selanjutnya dari makna ini
adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas, agar tidak bersifat multi tafsir sehingga
dapat membahayakan kepastian hukum. Demikian pula dalam hal penuntutan, dengan
rumusan yang jelas, penuntut umum akan dapat dengan mudah menentukan mana
perbuatanperbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dan mana yang bukan.
Keempat, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege stricta. Artinya tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Konsekuensi dari makna
ini secara implisit adalah tidak diperbolehkannya analogi. Ketentuan pidana harus ditafsirkan
secara ketat agar tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. 11 Jauh sebelum lahirnya asas
legalitas, prinsipat hukum Romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang
individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin
dibelenggu.12 Pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti
kejahatankejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antara crimine extra
ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau
durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan,

10

11
12
crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan
hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja.13
Fungsi Asas Legalitas menjadi perhatian Schaaffmeister dan kawankawan yang
menyatakan, berlakunya Asas Legalitas bertujuan agar undangundang pidana melindungi
rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini yang dinamakan
fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-
undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental yaitu pelaksanaan kekuasaan pemerintah
tegas-tegas diperbolehkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang.14
Fungsi perlindungan hanya ditujukan untuk kepentingan pelaku. Pelaku tidak akan
dituntut selama perbuatan mereka bukanlah “Mala Prohibita” (perbuatan yang dilarang
undang-undang). Fungsi pembatasan juga hanya ditujukan untuk kepentingan pelaku, karena
penguasa tidak dapat menuntut pelaku yang melakukan “crimina extra ordinaria” walaupun
menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi korban.15 Bahwa berdasarkan Asas Legalitas ini
terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika New Psychoactive Subtances tidak dapat dijerat
dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dikarenakan jenis
narkotika yang digunakan belum masuk ke dalam Lampiran Golongan Narkotika Undang.
Pelaku Tindak Pidana Narkotika hanya bisa dijerat apabila narkotika yang disalahgunakan
tersebut telah masuk ke dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Namun peluang untuk menjerat pelaku Tindak Pidana Narkotika New
Psychoactive Subtances dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
tetap ada dikarenakan dalam prinsip Asas Legalitas yang keempat yaitu prinsip nullum
crimen, noela poena sine lege stricta yang dilarang adalah analogi sedangkan penafsiran
ekstensif tidak dilarang.

B. Kajian Sosio Budaya Melalui Pendekatan Teori Penemuan Hukum Terkait Pengaturan
New Psychoactive Subtances (NPS) di Indonesia
Untuk mengetahui kerangka keseluruhan filsafat perlu diketahui terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan filsafat itu. “Filsafat” berasal dari kata Yunani filosofie. Kata
filsafat ini terdiri dari kata filo yang artinya cinta atau ingin, sedangkan sofie berarti
kebijaksanaan. Filsafat artinya cinta akan kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan hidup berarti,
bahwa apa yang difikirkan dalam filsafat adalah hidup sebagai keseluruhan pengalaman dan
pengertian. Dari beberapa cabang filsafat ilmu, pembicaraan mengenai keadilan merupakan
masalah-masalah yang dibahas oleh filsafat ilmu hukum, mengingat juga salah satu tujuan
hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat ilmu hukum.
Filsafat ilmu hukum, ada pula yang menyebutnya dengan istilah filsafat hukum,
sesungguhnya merupakan sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat
manusia. Oleh karena filsafat ilmu hukum maupun filsafat hukum adalah ilmu yang
13

14
15
mempelajari hukum secara filosofis maka objeknya adalah hukum. Mengenai pembedaaan
ilmu hukum maupun hukum, Curzon menyebutnya bahwa ilmu hukum mencakup dan
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya masalah yang
dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan, bahwa
“batas-batas-nya tidak bisa ditentukan”.
Satjipto Rahardjo selanjutnya menambahkan, sebagaimana halnya dengan setiap
cabang ilmu, maka ilmu hukum ini juga mempunyai objeknya sendiri, yaitu hukum. Seperti
diuraikan sebelumnya, betapa ilmu hukum itu mencakup bidang yang luas sekali. Sifat ini
merupakan akibat dari beban yang dipikulnya, yaitu memaparkan di hadapan kita fenomena
hukum dalam hakikatnya, sifat-sifatnya, fungsinya dalam masyarakat sehingga oleh karena
itulah bisa dimengerti, mengapa ia mengandung pikiran dan penjelasan yang cukup beragam,
baik yang falsafati, teknik maupun sosiologis. 16 Di dalam kepustakaan hukum, ilmu hukum
ini dikenal dengan nama, jurisprudence, yang berasal dari kata jus, juris, yang artinya adalah
hukum atau hak; prudensi berarti me-lihat ke depan atau mempunyai keahlian. Arti yang
umum dari jurisprudence ini adalah ilmu yang mempelajari hukum. Tetapi orang juga
mengenal tiga artinya yang lain. Para penulis Inggris memakainya dalam anatomi
perbandingan dari sistem-sistem hukum yang sudah maju. Para penulis Prancis
mengartikannya sebagai kecenderungan dari putusan yang diambil oleh pengadilan-
pengadilan. Di beberapa negara lain, terutama Amerika Serikat, kata itu dipakai sinonim dari
hukum itu sendiri.17 Dari penjelasan di atas, maka jelaslah pembedaan pemakaian filsafat ilmu
hukum maupun filsafat hukum terletak hanya pada tataran istilah saja, tanpa maksud memilah
dan membedakannya secara pokok krusial, yang sebenarnya keduanya mempelajari filsafat
yang mempunyai objek hukum.
Adapun dilihat dari pengertiannya, filsafat Ilmu Hukum yang telah berkembang
semenjak masa Yunani, didefinisikan oleh banyak pemikir dengan berbagai rumusan, yang
pada dasarnya menyatakan bahwa filsafat ilmu hukum mempersoalkan hakikat hukum itu
sendiri. Menurut Sudjito, filsafat ilmu hukum adalah institusi pencarian jawaban atas
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, mulai dari persoalan ketuhanan, alam semesta,
sampai kepada persoalan manusia itu sendiri.18
Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-
pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum,
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu. Gustav Radbruch merumuskannya
dengan sederhana yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari
hukum yang benar, sedangkan Langemeyer mengatakannya pembahasan secara filosofis
tentang hukum. Rumusan lain dari Utrecht mengetengah-kan sebagai berikut:
Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum itu
sebenarnya (persoalan adanya dan tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati
16
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hlm.3
17
Loc.cit.
18
Ibid, hlm. 9
hukum? (persoalan berlakunya hukum) Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk
baik buruknya hu-kum itu (persoalan keadilan hukum).19
Baik Stamler maupun Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan hukum. Demikian pula
Radbruch yaitu keadilan sebagai tujuan umum dapat diberikan arah yang berbeda-beda untuk
mencapai keadilan sebagai tujuan dari hukum. Oleh karena fungsi hukum adalah memelihara
kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan
dalam hidup bersama. Ketiga tujuan tersebut tidak saling bertentangan, tetapi merupakan
pengisian suatu konsep dasar, yaitu manusia harus hidup dalam suatu masyarakat dan
masyarakat itu harus diatur oleh pemerintah dengan baik berdasarkan hukum.
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ilmu hukum tidak sama
dengan teori hukum.20 Ilmu hukum itu adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik
hukum, sedangkan teori hukum adalah teorinya ilmu hukum atau ilmu hukum adalah obyek
dari teori hukum. Teori hukum dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan
hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. 21 McLeod
menandaskan akan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara teori hukum dan ilmu
hukum, yaitu bahwa teori hukum “is painted on a larger canvas”, yang bermakna pertanyaan-
pertanyaan dan obyek teori hukum lebih luas dan teoritis sifatnya daripada ilmu hukum.
Walaupun demikian, baik ilmu hukum maupun teori hukum keduanya masih merupakan
sebuah teori. Teori hukum dipelajari dengan tujuan sebagai suatu pendalaman metodologis
dalam mempelajari hukum, yang umumnya menganalisis permasalahan :“Bagaimana
(caranya) hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan bekerja? Metode apakah yang
digunakan oleh hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan ?” Tujuan mempelajari ilmu
hukum pada dasarnya adalah menguasai the power of solving legal problems.22 Meuwissen
dalam van Dijk menyatakan bahwa filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan,
atau menjelaskan hukum positif, tetapi untuk memahami dan menyelami hukum dengan sifat-
sifatnya yang umum (yang uberhauft).23 Jadi sangat jelas di sini bahwa obyek studi atau
kajian filsafat hukum tidak ditujukan kepada hukum positif, baik hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Filsafat hukum merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Dalam konteks ini, hukum sebagai obyek filsafat hukum itu dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. 24 Filsafat hukum memiliki tingkatan
abstraksi yang sangat tinggi dibandingkan ilmu hukum dan teori hukum, yang merupakan
suatu teori payung (grand theory), yang tidak dapat secara langsung digunakan sebagai suatu
landasan teoritikal untuk memecahkan masalah - masalah hukum aktual. Filsafat hukum
merupakan hasil pemikiran para filsuf, yang lazimnya dilatarbelakangi suatu aliran filsafat
tertentu, sedang teori hukum dan ilmu hukum merupakan hasil karya para ahli hukum tanpa
19
Loc.cit.
20
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka , hlm. 2-3.
21
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, hlm 60.
22
Sudikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 6-8.
23
Ibid, hlm 70
24
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 11.
mengacu pada suatu filsafat tertentu. Pada awalnya masalah yang dikaji dalam filsafat hukum
terbatas pada masalah tujuan hukum (khususnya masalah keadilan). Namun, dalam
perkembangan saat ini filsafat hukum dibutuhkan untuk mengkaji setiap masalah yang
bersifat mendasar didalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan. Filsafat hukum
sekarang mulai banyak dihasilkan oleh para ahli hukum, baik akademisi maupun praktisi,
yang sehari-harinya menghadapi masalah yang menyangkut keadilan sosial di masyarakat.25
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa filsafat hukum memainkan peranan penting
dalam membangun paradigma yang menjadi landasan berfikir ilmu hukum.
Dari pemaparan diatas, maka jelaslah filsafat hukum yang memiliki karakteristik
pemikiran mendalam tentang tujuan hukum sampai pada tingkat hakikatnya, ketika
dipraktikkan dalam penegakan hukum, akan dapat mengatasi problematika penegakan hukum
di Indonesia saat ini, atau setidak – tidaknya membuat masyarakat menjadi lega, karena
hukum telah ditegakkan sesuai dengan hakikat dan tujuannya, mengedepankan nilai – nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat dan mencerminkan sarana yang dapat mengakomodir
seluruh kepentingan masyarakat yang bersifat dinamis, acak dan tidak tersistem.

C. Implikasi Penegakan Hukum yang Bertumpu Pada Filsafat Hukum Dalam


Pelaksanaannya
Dengan menerapkan filsafat hukum dalam proses penegakan hukum akan
menciptakan iklim penegakan hukum yang bukan semata – mata menegakkan undang –
undang, namun jauh lebih substansial yakni mampu menjabarkan kepentingan masyarakat
yang mengatasnamakan nilai – nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat sebagai tujuan
dari hukum itu sendiri. Konsekuensi paling logis dari keadaan ini adalah akan adanya praktik
penegakan hukum yang keluar dari norma yang baku, demi mengejar aspek kepentingan
masyarakat yang tidak dapat terjangkau oleh karena sifat baku tersebut, karakteristik inilah
yang identik dengan klausul penegakan hukum yang responsif dan progresif.
Penegakan hukum yang responsif dapat dikatakan sebagai “conditio sine quanon”
saat ini, jika ingin hukum tetap dianggap sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Istilah hukum sebagai panglima yang berarti hukum berada di garis
depan yang mampu merespon nilai - nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera. Philippe Nonet & Philip Selznick mengintroduksi tipelogi hukum
responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespons dan
mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi dan kepentingan masyarakat, sehingga mencerminkan
sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh pemerintah yang sedang berkuasa,
khususnya dalam implementasi kebijakan pembangunan hukumnya.26
Berkaitan dengan konteks penegakan hukum di Indonesia, hukum responsif
mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah - setengah.

25
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, hlm.12
26
Jimly Assidiqie, Loc.cit
Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang- undang, tetapi harus memiliki
kepekaan sosial. Hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada logika- logika lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan
teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome Frank
(1889-1957) tujuan utama kaum realis hukum adalah untuk membuat hukum menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.27
Suatu hukum yang responsif masih harus diperjuangkan dalam tataran
implementasi, agar tidak bertentangan dengan keadilan dan dimensi HAM. Untuk itu
diperlukan suatu hukum progresif terutama dalam implementasinya. Jadi ada korelasi yang
sangat erat antara hukum responsif dengan hukum progresif. Hukum di satu sisi
mengakomodasi kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat dan di lain sisi lebih
berani dan maju dalam penegakannya terutama oleh aparatur penegak hukum. Agar
terwujudnya suatu penegakan hukum yang responsif, maka dibutuhkan hukum progresif. 28
Atas dasar itulah Satjipto Rahardjo menawarkan teori hukum progresif. Dimana Hukum
Progresif merupakan sebuah cara berhukum yang di dasarkan pada kepedulian yang tidak
kunjung henti untuk mendorong hukum yang lebih baik. Fundamen hukum progresif adalah
manusia, bukan bahan hukum. Menurut Profesor Satjipto, manusia yang menjadi fundamen
hukum itu haruslah baik dan bernurani sehingga layak menjadi modal dalam membangun
kehidupan berhukum yang progresif.29
Dalam merubah keadaan dan membebaskan diri dari krisis fungsi dan legitimasi
cara berhukum yang status quo (yang mengedepankan rules dan teksrual), hukum progresif
mendasarkan diri pada sejumlah postulat progresivisme, antara lain: (i) hukum untuk
manusia, bukan sebaliknya. Hukum adalah alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada
dunia dan kemanusiaan; (ii) Pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak pada
reakyat, dankeadilan harus didudukkan di atas peraturan; (iii) hukum progresif bertujuan
mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan; (iv) Hukum progresif
menekankan hidup baik sebagai dasar berhukum; (v) Hukum progresif berwatak responsive,
yakni hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri
(berupa mengabdi kepada manusia dan kesejahteraan); (vi) Hukum yang berhati nurani; (vii)
Hukum progresif dijalankan dengan kecerdsan spiritual, yakni usaha mencari kebenaran
makna atau nilai yang lebih dalam.30
Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo lahir dari kegelisahan menghadapi
kegelisahan hukum. Pendekatan hukum progresif pada prinsipnya menekankan pentingnya
27
Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multikultural:
Perspektif Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 18-19
28
Philippe Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, hlm. 83.
29
Bernard L Tanya, “Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis” dalam Moh. Mahfud MD, dkk, 2013,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progreif Universitas Diponegoro dan
Thafa Media (Yogyakarta), hlm. 39.
30
Ibid, hlm. 40.
kiprah pengemban hukum individual (hakim, jaksa, dan polisi). Pada saat yang sama interaksi
antara sistem politik dan sistem (hukum) di mana para pengemban hukum individual bekerja
perlu pula mendapat perhatian. Satjipto menyatakan bahwa “hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”. 31 Kritikan ini tertuju
pada dominasi pemikiran hukum negara sebagai instrumen (bangunan hukum) yang ditujukan
pada pencapaian tujuan pembangunan (ekonomi) versi negara, yang bagi Satjipto tidak
mencerminkan bangunan ide, kultur dan cita-cita dari manusia yang menjadi obyek dari
pemikiran hukum dan pembangunan. Oleh karena itu, manuisa (individu) dianggap menjadi
penentu dan mejadi orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan
oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan manusia. Itulah sebabnya hukum progresif
menganut ideologi: Hukum yang pro-rakyat dan hukum yang pro-keadilan”. Hukum harus
mewujudkan keadilan (substantif) bukan terutama kepastian prosedural. Itulah sebabnya,
dalam negara hukum Indonesia, yang diunggulkan adalah ‘olah hati nurani’ untuk mencapai
keadilan yang dimaknai sebagai rule of moral atau rule of justice.32
Pemikiran sebagaimana tersebut diatas yang bertumpu pada kepekaan sosial, ilmu
– ilmu sosial dan logika – logika lainnya hanya dapat berhasil dipahami, jika hakikat dari
hukum itu sendiri telah dipahami pula dan hanya dengan filsafat hukum, para aparat penegak
hukum mampu untuk memahami hal itu, sehingga berimplikasi pada penegakan hukum yang
responsif dan progresif, sesuai dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat.

31
Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J
Rengkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas,
Jakarta, hlm.22
32
Satjipto Rahardjo, “Mesian atau Kreativitas” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J Rengkas (eds), 2003,
Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas, Jakarta, hlm.16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai permasalahan tersebut diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. filsafat hukum yang memiliki karakteristik pemikiran mendalam tentang tujuan
hukum sampai pada tingkat hakikatnya, ketika dipraktikkan dalam penegakan hukum,
akan dapat mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia saat ini, atau
setidak – tidaknya mampu mengedepankan nilai – nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat dan mencerminkan sarana yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan
masyarakat yang bersifat dinamis, acak dan tidak tersistem, dan secara substansial
akan mengubah paradigma penegakan hukum yang bukan hanya selalu
mengedepankan aspek kepastian prosedural saja, melainkan memproyeksikan rasa
keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
2. Implikasi dari penyelesaian kompleksitas penegakan hukum di Indonesia yang
menggunakan filsafat hukum sebagai titik tolak pemikirannya adalah penegakan
hukum akan menjadi responsif dan progresif, bukan penegakan undang – undang
semata, melainkan mengedepankan kepekaan sosial, ilmu – ilmu sosial dan logika –
logika lainnya sesuai dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri.

B. Saran
Melihat fenomena problematika kompleksitas penegakan hukum di Indonesia saat
ini, yang didominasi dengan pemikiran penegakan undang – undang yang terkadang
justru mengaburkan tujuan hukum itu sendiri yakni untuk menciptakan keadilan di tengah
masyarakat, dirasa perlu untuk melakukan perubahan kebijakan atau cara pandangnya,
menjadi lebih responsif dan progresif, oleh karena dalam mewujudkannya perlu
memahami terlebih dahulu hakikat dan tujuan hukum itu sendiri yang hanya dapat
diungkap oleh filsafat hukum, maka disarankan kepada para aparat penegak hukum
menerapkan ilmu filsafat hukum dalam menegakan hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Penegakan Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.

Bernard L Tanya, “Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis” dalam Moh. Mahfud MD,
dkk, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium
Hukum Progreif Universitas Diponegoro dan Thafa Media (Yogyakarta).

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama.

J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya
Bakti.

Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 42. Bandingkan
dengan M. Husni, “Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang
Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1)
Februari 2006.

Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat


Multikultural: Perspektif Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional
Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007.

Philippe Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung,.
Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari
2006.

Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.

-------------------, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

-------------------, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia” dalam Karolus Kopong


Medan, Frans J Rengkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum
Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas, Jakarta.

-------------------, “Mesian atau Kreativitas” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J Rengkas
(eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari
hukum Indonesia, Kompas, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai