Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Jenis-Jenis Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Melihat dari hasil penelusuran terhadap berbagai literatur yang

membahas dan menjadikan narkotika sebagai topik kajiannya, ternyata

sangat sulit menemukan adanya kesatuan dan kesamaan dalam

memberikan batasan “narkotika”. Hal ini tentunnya dapat dipahami

karena adanya perbedaan optik dalam pengkajian terhadap “narkotika”

oleh Para Sarjana.6

Secara umum pengertian narkotika adalah sejenis zat yang dapat

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

mengunakanya, yaitu dengan cara memasukan kedalam tubuh. Istilah

Narkotika yang yang digunakan disini bukanlah “narcotics” pada

farmacogie (farmasi), melainkan sama artinya dengan Drug´’ yaitu

sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan

pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai,7 yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap

perilaku manusia.

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

1) Penenang
6
Ycna Weebly, Tindak-Pidana Narkotika Dalam Hukum Positif Indonesia, Gerbang Article,
vol 12, No. 12, 2021, Hlm 45
7
Ratna WP. 2017. Aspek Pidana Penyalahgunaan Narkotka. Yogyakarta:Legality. Hlm. 10

19
2) Perangsang (bukan rangsangan Sex)

3) Menimbulkan halusinasi dan kenyataan, kehilangan

kesadaran akan waktu dan tempat. 8

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani yang

disebut “Narkotikos” yang berarti kaku seperti patung atau tidur.

Seseorang menjadi kaku seperti patung atau tidur bila orang ini

menggunakan bahan-bahan tertentu. Bahan-bahan tertentu ini dalam

bahasa Yunani disebut Narkotika. Selain itu ada yang mengatakan lain

bahwa narkotika juga berasal dari perkataan Yunani “narke” yang

berarti 9terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika ialah zat

yang digunakan menyebabkan seseorang kaku seperti patung atau tidur

(narkotikos). Lama kelamaan istilah narkotika tidak terbatas pada

bahan yang menyebabkan keadaan yang kaku seperti patung atau tidur,

tetapi juga bahan yang menimbulkan keadaan yang sebaliknya sudah

dimasukkan pada kelompok narkotika.

8
Moh. Taufik Makarao & Drs Suhasril, 2020, Tindak Pidana Narkotika, Bandung, Ghalia indonesia,
Hlm.16-17
9
Moh. Taufik Makarao & Drs Suhasril, 2020, Tindak Pidana Narkotika, Bandung, Ghalia indonesia,
Hlm.35-37

20
Menurut Prof. Sudarto SH, dalam bukunya kapita selekta hokum

pidana mengatakan bahwa. Narkotika berasal dari perkataan Yunani

“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.

Menurut Smith Klime dan French Clinical staff juga membuat

definisi tentang narkotika adalah zat (obat) yang dapat mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja

mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini

sudah termasuk jenis candu ( morphine, codein, heroin) dan candu

sintesis (meperidine, methadona).

Definisi lain dari Bio Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam

bukunya “Narcotic Indetification Manual” Narkotika adalah ca, ganja,

kkain, zat-zat yang bahan mentanya diambil dari benda-benda tersebut,

yakni morp, heroin, codein, hasisch, coca, dan juga termasuk narkotika

sintesis yang menghasilkan Zat-Zat, obat-obatan yang tergolong dalam

hallucinogen dan stimulant.

Sedangkan menurut verdoovende Middelen Staatblad 1972 No. 278

jo. No. 536 telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai Undang-

Undang Obat Bius Narkotika adalah bahan-bahan yang terutama

mempunyai efek kerja pemus atau yang dapat menurunkan kesadaran.

Di samping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala

fisik dan mental lainya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar

21
dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan

tersebut. 10

Pengertian narkotika secara farmakologis medis, menurut

ensiklopedia VI adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa

nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek

stupor (bengong, masih sadar tapi harus digertak) serta adiksi.

Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika yang berlaku adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika. Pada masa ini terasa kesimpang siuran pengertian

narkotika. Ada yang menyatakan bahwa narkotika itu adalah obat bius,

sebagian mengatakan obat keras atau obat berbahaya.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo narkotika adalah “Zat yang bisa

menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan

memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa

pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi

atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui

dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi

pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan,

menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 :

10
Moh. Taufik Makarao & Drs Suhasril, 2020, Tindak Pidana Narkotika, Bandung, Ghalia Indonesia,
Hlm.18-19

22
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat

tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat

pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Kebijakan Hukum Pidana yang tertuang dalam Undang-Undang

Narkotika (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009) dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Narkotika. Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan

Narkotika ini,

a. Sebagai pengguna dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal

116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.

b. Sebagai pengedar dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal

81 dan 82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika,

dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun + denda.

23
c. Sebagai produsen dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal

113 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, dengan ancaman

hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.

d. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.11

e. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, yaitu : Penyalahgunaan adalah orang yang

menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

f. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika, memberikan pengertian Peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian

kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum

yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor

Narkotika.

g. Direhabilitasi Narkotika adalah Pecandu Narkotika dan korban

penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial. Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat (1)

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun

2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa

Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke

11
Sumarno Ma’asum, 1987, Penanggulangan Bahaya Narkotika Dan Ketergantungan Obat,
Jakarta, CV. Mas Agung, Hlm 18

24
Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) yang

mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka

dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang

menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di

pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam

lembaga rehabilitasi.

Tindak Pidana Narkotika diatur didalam Undang-Undang No. 35

Tahun 2009. Dikemukakan oleh SUDARTO, pada hakikatnya hukum

itu mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan

menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan

sebaliknya. Hukum dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai

dengan hukum atau mendiskusikannya sebagai melawan hukum.

Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan

tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang

melawan hukum, bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum

ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan

melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu)

maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi

(onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang

merupakan penegakan hukum. Terhadap perbuatan yang melawan

hukum tersedia sanksi. Melihat tata hukum secara skematis, maka

dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, ialah sistem -

25
sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan

sistem penegakan hukum administrasi. Berturut-turut sistem sanksi

hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum

administrasi (tata usaha negara). Ketiga sistem penegakan hukum

tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat

perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum,

yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri pula.12

Dalam Tindak Pidana Narkotika terdapat sebuah sistem

pemidanaan yang dikenal dengan “Double Track System”. Double

track system menuntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan

sanksi tindakan. C.S. Lewis mengatakan bahwa rehabilitasi yang

pendekatannya melalui treatment telah mengundang tirani individu dan

penolakan terhadap hak asasi manusia. Atas kesadaran itulah, maka

double track system menghendaki agar unsur pencelaan/penderitaan

dan unsur pembinaan sama – sama diakomodasi dalam sistem sanksi

hukum pidana. Double track system diterapkan bagi pelaku

penyalahgunaan narkotika untuk menimbulkan efek jera dan proses

penyembuhan dari pelaku kejahatan narkotika tersebut tetap dapat

berjalan, sehingga dengan proses ini para pelaku kejahatan narkotika

diharapkan akan mampu untuk sembuh dari ketergantungan

12
Gatot Supramono, 2009, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta , Djambatan Indonesia, Hlm.
50

26
penggunaan Narkotika dan jera karena adanya sanksi pidana.

Perbedaan dari sanksi pidana dan sanksi tindakan itu sendiri yakni13:

1) Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan

pemidanaan”, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar

“untuk apa diadakan pemidanaan itu”

2) Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu

perbuatan, sanksi tindakan lebih bersifat antipatif terhadap pelaku

perbuatan tersebut

3) Sanksi pidana lebih menekankan kepada unsur pembalasan. Ia

merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada yang

melakukan kejahatan. Sanksi tindakan menekankan kepada ide

dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan

kepada si pembuat

4) Sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk

kejahatan yang dilakukan, sanksi tindakan mempunyai tujuan

yang bersifat sosial.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Narkotika

Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur dalam Undang

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :

a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan

Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman , Pasal 111; Setiap


13
Berliandista Yustianjarnimas Irianto. Disparitas Pidana Pada Penyalahguna Narkotika,
jurnal-Diction, Vol 3, No.3, 2020. Hlm 830

27
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,

memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika

Golongan I bukan tanaman, Pasal 112

b. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,

Pasal 113

c. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I,

Pasal 114.

d. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,

mengirim, mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I,

Pasal 115.

e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan

Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan

Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, Pasal 116.

f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II,

Pasal 117.

g. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan

II, Pasal 119.

28
h. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II,

Pasal 20.

i. Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan

III, Pasal 124.

j. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri

sendiri Pasal 127; Orang tua atau wali dari pecandu yang belum

cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang

sengaja tidak melapor, Pasal 128.

k. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor

Narkotika untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk

pembuatan Narkotika; Menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika Pasal 129.

l. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak

pidana Narkotika Pasal 130.

m. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika Pasal 131.

29
n. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,

memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,

memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan,

melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup

umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika; Untuk

menggunakan Narkotika Pasal 133.

o. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja

tidak melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang

dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut Pasal

134.

Uraian diatas adalah mengenai Ketentuan Pidana yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan

hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila

penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “agak terganggu”.

Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan

perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah

sanksi pidana yang tersedia bagi Hakim dan Jaksa di lain pihak,

merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan yang

cukup sulit14.

14
Badan Narkotika Nasional Indonesia. 2017, Undang-undang Narkotika, Bandung. Hlm. 38-
48

30
B. Disparitas

1. Pengertian Disparitas

Disparitas pidana adalah penjatuhan hukuman terhadap

karakteristik tindak pidana yang sama bagi terdakwa, di satu sisi

disparitas pidana merupakan diskresi yang dimiliki oleh hakim namun

disisi lain bahwa disparitas pidana dapat membawa ketidakpuasan

untuk terdakwa. Pembahasan dalam tulisan ini ialah disparitas pidana

tindak pidana narkotika karena semakin tingginya kasus narkotika yang

ditangani oleh aparat penegak hukum maka akan berpeluang terjadi

disparitas pidana yang semakin tinggi pula sebab putusan pemidanaan

merupakan hal yang subjektif yang dapat dijatuhkan oleh hakim.15

Disparitas artinya perbedaan. Demikian definisi disparitas

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Disparitas Pidana

dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana yang tidak sama kepada

terpidana dalam kasus yang sama atau kasus yang hampir sama tingkat

kejahatannya, baik itu dilakukan bersama-sama maupun tidak, tanpa

dasar yang dapat dibenarkan karena alasan yang tidak jelas. Disparitas

pidana yang terjadi mempunyai akibat yang dalam terutama bagi

terpidana, yakni hilangnya rasa keadilan terpidana. Di bidang profesi

Hakim dalam menjatuhkan putusan, disparitas adalah kebebasan yang

diberikan undang-undang kepada Hakim untuk memutus perkara sesuai

dengan ketentuan walaupun putusan tersebut saling berbeda antara satu


15
Roni G. R. Gukguk, Tindak Pidana Narkotika Sebagai Transnasional Organized Crime,
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol 1, No 3, 2019, hlm 339

31
perkara dengan perkara yang lain. Kebebasan diberikan kepada Hakim

karena fakta-fakta persidangan dari satu perkara yang beda dengan

perkara yang lainnya.

Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti

Harkrisnowo, disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori

yaitu:

a. Disparitas antara tindak pidana yang sama.

b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan

yang sama.

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu Majelis Hakim.

d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang

berbeda untuk tindak pidana yang sama16

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo, maka Penulis

menyimpulkan bahwa masalah yang penulis angkat termasuk dalam

kategori ke 4 (empat) yaitu disparitas antara pidana yang dijatuhkan

oleh Majelis Hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga

pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan

Hakim, baik satu Majelis Hakim maupun oleh Majelis Hakim yang

berbeda untuk perkara yang sama. Kenyataan mengenai ruang lingkup

16
Mulady & Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung. Sinar
grafis, hlm 48-49

32
tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan

peradilan.17

2. Akibat Terjadinya Disparitas Pidana

Disparitas Pidana yang masih sering terjadi dapat berakibat fatal,

akibat dari disparitas piadana dapat berdampak bagi terpidana dan

masyarakat secara luas. Dampak disparitas pidana bagi terpidana yaitu

apabila terpidana setelah dijatuhi hukuman membandingkan pidana

diterimanya. Terdakwa yang merasa diperlakukan tidak adil oleh hakim

dapat dipahami, karena pada umumnya keadilan merupakan perlakuan

“yustisable”.18

Terfokus kepada 8 putusan tindak pidana narkotika yang penulis

teliti di peradilam yaitu :

1. Putusan nomor 640/pid.sus/2014/pn smr.

2. Putusan nomor 143/pid/2014/pt.smr

3. Putusan nomor 1269k/pid.sus/2015.

4. Putusan nomor 90pk/pid.sus.2017

5. Putusan nomor 286/pid.sus/2016/pn.plp

6. Putusan nomor 470 / pid. sus / 2016 / pt. mks.

7. Putusan nomor 888 k/pid.sus/2017

8. Putusan nomor 250 pk/pid.sus/2018

17
Harkristuti Harkrisnowo, 2003 “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap
Proses Legislai Dan Pemidanaan Di Indonesia” Dalam Majalah KHN Newsletter, Jakarta,
KHN, hlm 34-36)
18
Ibid.

33
Dari 8 (delapan) putusan tersebut telah terjadi disparitas putusan

hakim, dimana perkara 1 Terdakwa H.M. Namir Alias H. Amir Bin

Palalang tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki Narkotika Golongan I

bukan tanaman” sebagaimana dalam dakwaan dengan pidana penjara

selama 1 (satu) tahun pada PN dan 3 tahun 6 bulan pada PT dan 10

tahun pada Ma dan menolak Permohonan dari pemohon PK.

Begitu juga pada perkara ke Dua terdakwa Syaharuddin, S.H., Bin

Mustafa Syam tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki Narkotika

Golongan I bukan tanaman” sebagaimana dalam dakwaan dengan

pidana penjara 4 tahun pada PN dan 4 tahun penjara pada PN dan 5

tahun penjara, denda 1 meliar dan menolak Permohonan dari pemohon

PK.

Problematika mengenai disparitas pidana dalam penegakan

hukum di Indonesia khususnya pada 8 putusan memang tidak dapat

dihapuskan begitu saja. Upaya yang dapat ditempuh hanyalah upaya-

upaya dalam rangka meminimalisasi disparitas pidana yang terjadi

dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan

dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka

solusinya dapatlah kita gunakan pandangan dari yang menyatakan

bahwa upaya terpenting yang harus ditempuh dalam menghadapi

problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim

34
terhadap asas Proporsinalitas antara kepentingan masyarakat,

kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan

kepentingan korban tindak pidana.

C. Penegakan Hukum

1. Penyelidikan atas Penyidik

Penyelidikan merupakan tahap permulaan dalam proses

penyidikan, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari fungsi penyidikan, karena untuk melakukan proses penyidikan

yang menentukan tersangka dalam tindak pidana harus dilakukan

penyelidikan terlebih dahulu untuk menentukan apakah perbuatan

tertentu merupakan perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan

penyelidik dengan mengumpulkan bukti permulaan yang cukup.

Fungsi penyelidikan antara lain sebagai perlindungan dan jaminan

terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang

ketat dalam penggunaan alat-alat pemaksa, ketatnya pengawasan dan

adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak

semua peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu

terlihat bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana.

Seperti penyelidikan yang dilakukan oleh , saksi Syaiful Huda

Dan Saksi Yunus Setiawan (anggota Polresta Samarinda) segera

menuju ke Samarinda Seberang dan menangkap saksi Akbar serta

saksi Erwin Saputra lalu menemukan 4 (empat) poket Narkotika jenis

35
sabu-sabu yang disimpan dikantong celana belakang sebelah kanan

saksi AKBAR. Kemudian berdasarkan pengembangan atas

penangkapan saksi Akbar dan saksi Erwin Saputra, lalu saksi Syaiful

Huda dan saksi Yunus Setiawan melakukan pengejaran terhadap

terdakwa H.M. Namir Alias H. Amir Bin Palalang hingga terdakwa

ditangkap di pinggir Jalan Ciptomangunkusumo dan dibawa ke kantor

Polresta Samarinda

Begitu juga penyelidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika

Nasional terhadap Terdakwa ditahan pada hari Jumat tanggal 13 Mei

2016 sekitar jam 15.00 Wita bertempat di Jalan Pemuda Raya,

Kelurahan Takkalala, Kecamatan Wara Selatan, Kota Palopo setelah

Terdakwa datang mengklarifikasi namun Terdakwa telah dilakukan

pemanggilan sebanyak 2 (dua) kali oleh BNN Kota Palopo, namun

Terdakwa tidak pernah datang memenuhi pemanggilan dengan alasan

yang tidak jelas maka saksi bersama Tim BNN Kota Palopo telah

dipérintahkan langsung oleh Kepala BNN Kota Palopo Bapak

Maximillian Sahese. AP melakukan penangkapan terhadap Terdakwa

karena berawal ketika dilakukan penangkapan terhadap saksi

Nazaruddin Alias Naz dan setelah dilakukan interogasi dan

pemeriksaan terhadap saksi Nazaruddin Alias Naz kemudian

menjelaskan bahwa Narkotika Sabu-sabu merupakan milik Terdakwa.

Berdasarkan dalam Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

36
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.19

Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 huruf (a) dan (b) KUHAP tentang tugas

dan wewenang penyelidik adalah:

a. Karena kewajiban mempunyai wewenang :


1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana.
2. Mencari keterangan dan barang bukti.
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri.
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukuman yang
bertanggungjawab.
b. Atas perintah penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan.
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

2. Penyidikan Atas Penyidik

Dalam bahasa Belanda penyidikan sama dengan opsporing.

Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang

segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang

sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran. Tugas

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI (Polisi Republik

Indonesia) adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana

umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan

tanggung jawab yang sangat besar, karena penyidikan merupakan tahap

19
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 199

37
awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang artinya

akan berpengaruh bagi tahap proses pradilan selanjutnya.

Misalnya dalam kasus yang penulis teliti, Penyidikan terhadap

terdakwa Namir alias H. Amir bin Palalang yang bermula dari “saksi

Syaiful Huda Dan Saksi Yunus Setiawan (anggota Polresta

Samarinda)” dan Pelaku dalam tahapan penyidikan yaitu berdasarkan

informasi dari masyarakat tentang adanya peredaran narkotika jenis

sabu-sabu disekitar Samarinda Seberang, saksi Syaiful Huda dan saksi

Yunus Setiawan (anggota Polresta Samarinda) segera menuju ke

Samarinda Seberang dan menangkap saksi Akbar serta saksi Erwin

Saputra lalu menemukan 4 (empat) poket Narkotika jenis sabu-sabu

yang disimpan dikantong celana belakang sebelah kanan saksi Akbar.

Dan juga terhadap Terdakwa Syaharuddin, S.H. Bin Mustafa

Syam yang bermula dari Badan Narkotika Nasional Kota Palopo

(BNNK) melakukan penangkapan terhadap saudara Firdaus. Hk Alias

Daus Bin H. Kamaruddin (Penuntutan dilakukan Secara Terpisah) dan

ditemukan 1 (satu) Sachet kecil Narkotika jenis Sabu

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pasal 1 angka 2
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangka”20

20
Ibid

38
Pasal 1 angka 1
“penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri spil tertentu yang diberikan wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melekukan penyidikan”
3. Penuntutan

Penuntutan adalah suatu keputusan yang dilakukan oleh penuntut

umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri

terhadap terdakwa agar memperoleh putusan hakim. Definisi menurut

Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah sebagai berikut:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan


perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang
pengadilan.”21

Penuntutna yang dilakukan bahwa tuntutan pidana dari Penuntut

Umum tersebut pada Hasil Penyidikan Terdakwa Melanggar Hukum

Di Indonesia di kenal dua asas penuntutan yaitu asas Legalitas dan

asas Opportunitas, dalam asas Opportunitas yang dapat melaksanakan

“asas tersebut Jaksa Agung dan tidak kepada setiap jaksa selaku

Penuntut Umum dikarenakan kedudukan jaksa agung merupakan

penuntut umum tertinggi”3 Pengertian dari kedua asas tersebut sebagai

berikut:

a. Asas legalitas yaitu Penutut Umum diwajibkan melakukan

penuntutan terhadap setiap orang yang melakukan suatu tindak

pidana dimana tindakan tersebut disengaja maupun tidak tetap

21
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 200

39
harus menjalankan hukuman. Asas ini adalah suatu perwujudan

dari asas Equality before the law.

b. Asas oppurtunitas yaitu Jaksa selaku Penuntut Umum tidak

diwajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang meskipun

seseorang telah melakukan tindak pidana yang dapat di proses

secara hukum.

4. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar Hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu

didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan

sehingga didapatkan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga

didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran

teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum

kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui

putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian

hukum.22

Misalnya dasar pertimmbangan hakim dalam kasus yang penulis

cari yaitu terdakwa terbukti tampak hak dan melangar hukum pasal 114

ayat 1 dan ayat 2 undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Pokoknya kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta didalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009. Undang-Undang Dasar menjamin

adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas


22
Lukman Santoso AZ, 2017, Panduan Lengkap Beracara Pidana dan Perdata dari tahap
pelaporan hingga proses perkara di pengadilan, Yogyakarta, Laksana, Hlm 78

40
dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan pasal 24 ayat 1

dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu

kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.23

a. Judex Facti

Judex facti merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin

judex yang berarti hakim dan factie yang berarti fakta. Maka yang di

maksud judex factie adalah hakim yang memeriksa duduknya

perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemui dipersidangan

baik tingkat pertama pengadilan negeri maupun tingkat banding

pengadilan tinggi. Fakta-fakta hukum itu sendiri diperoleh

berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.

b. Judex Juris

Judex juris merupakan hakim pada tingkat kasasi yang

memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara yang sebelumnya

telah diperiksa oleh hakim pada pengadilan di tingkat bawahnya.

Mahkamah Agung yang merupakan badan peradilan tertinggi di

tingkatannya merupakan judex juris. Hal tersebut dikarenakan

23
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm.94

41
mahkamah agung hanya memeriksa mengenai penerapan hukum

terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh judex facti.

D. Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan,

bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut

dalam Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Seperti putusan terhadap Pelaku tindak pidana Narkotika,

terdakwa Namir alias H. Amir bin Palalang pengadilan tingkatan

Pertama menjatukan pidana penjara terhadap terdakwa 1 tahun penjara

pada PN, 3 tahun 6 bulan pada PT, 10 tahun pada MA dan 10 tahun

pada PK. Sedangkan terhadap Terdakwa Syaharuddin, S.H. Bin

Mustafa Syam PN menjatukan Pidana penjara 4 tahun, PT menguatkan

PN dan MA menjatukan Pidana Penjara 5 tajun dan/atau PK 5 Tahun.

Maruar Sihaan dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengutip pendapat Mr.

M.P Stein mengatakan bahwa putusan dalam peradilan merupakan

perbuatan hukim sebagai pejabat Negara berwenang yang diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk

mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya

42
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 195 KUHAP

yang berbunyi, “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempuanyi

kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum.”

2. Jenis-Jenis Putusan Pengadilan

Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang disebutkan dalam

KUHAP tersebut. Maka dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan

tersebut berupa:

a. Putusan Sela

Putusan Sela (Interim Meascure) adalah merupakan putusan

yang dijatuhkan oleh hakim sebelum hakim memeriksa pokok

perkara baik perkara Pidana maupun perkara Perdata. Dalam praktik

pemeriksaan perkara Pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan

karena adanya eksepsi dari terdakwa atau penasihat hukumnya.

b. Putusan Akhir

Dalam rangka hukum acara pidana, putusan akhir merupakan

bagian terakhir dalam penyelesaian perkara pidana pada peradilan

tingkat pertama. Dalam pasal; 1 angka 11 KUHAP disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan yaitu :

1) Pemidanaan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 193 Ayat (1)

KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah

43
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka

pengadilan menjatuhkan pidana”.24

2) Putusan Bebas (Vrijspraak).

Disebutkan dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP bahwa yang

dimaksud dengan putusan bebas adalah “jika pengadilan

berpendapat bahwadari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus

bebas”.25

3) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag Van Alle

Recht Vervolging).

Yang dimaksud dengan putusan lepas dari segala tuntutan

hukum adalah “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan

yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu

tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa dituntut

lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat (2)

KUHAP)”26

Jenis-jenis putusan yang diterapkan dalam putusan yang penulis

kajih yaitu Putusan Pemidanaan

c. Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum


24
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 273
25
Ibid, Hlm. 274-275.
26
Ibid

44
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 143 Ayat (3) KUHAP

“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. 27


Jaksa

Penuntut Umum tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap

mengenai tindak pidana yang dituduhkan/didakwakan dengan

menyebutkan waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan,

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b

KUHAP.28

d. Putusan Yang Menyatakan Tidak Berwenang Mengadili.

Bentuk putusan seperti ini berarti pada awal persidangan,

terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan yang

isinya adalah: pengadilan yang mengadili perkara itu tidak

berwenang baik secara absolute yakni kewenangan untuk setiap

lingkungan peradilan atau pengadilan khusus, ataupun yang

berkaitan dengan kewenangan relative yakni kewenangan

berdasarkan wilayah hukum (misalnya Pengadilan Negeri Denpasar

dangan Pengadilan Negeri Pontianak). Jika keberatan itu diterima,

maka pengadilan menyatakan diri tidak berwenang mengadili

perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 84 KUHAP Ayat (1) “Pengadilan negeri berwenang

mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan

dalam daerah hukumnya”, (2) “Pengadilan negeri yang didalam

27
Ibid, Hlm. 254.
28
Ibid, Hlm. 254.

45
daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di

tempat ia diketemukan atau di tahan, hanya berwenang mengadili

perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagai saksi

yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari

pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya

tindak pidana itu dilakukan”, (3) “Apabila seorang terdakwa

melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai

pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing

berwenang mengadili perkara pidana itu”, dan (4) “Terhadap

beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya

dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai

pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri

dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara

tersebut”.29

e. Putusan yang menyatakan kewenangan untuk mengajukan tuntutan

gugur.

Bahwa kewenangan untuk mengajukan tuntutan hukum kepada

terdakwa sudah gugur. Misalnya ada unsur Nebis In Idem (Perkara

tersebut sudah pernah diputus dan sudah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 156 Ayat (1)

KUHAP “Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan

keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya

29
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 232-233

46
atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus

dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum

untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan

keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”30

E. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk

tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding

atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan

kembali dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang

ini31. Upaya hukum dalam perkara pidana dibagi atas dua yaitu:

1. Upaya Hukum Biasa

a. Upaya Hukum Banding

Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat

diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara

terhadap satu putusan pengadilan negeri. Berdasarkan Pasal 67

KUHAP menyebutkan bahwa “terdakwa atau penuntut umum

berhak untuk meminta banding terhadap putusan tingkat pertama

kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum

yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan

putusan pengadilan dalam acara cepat”.32

30
R. Soenarto Soerodibrooto. 2018, KUHAP dan KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm.260
31
Ibid, Hlm 200
32
Ibid, Hlm. 226

47
b. Upaya Hukum Kasasi

Menurut Hadari Djenawi Tahir, kasasi merupakan upaya

hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh

pengadilan tinggi atau tingkat banding. Berdasarkan Pasal 244

KUHAP sebagai dasar dari pengajuan kasasi menyatakan bahwa

“terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat

terahir oleh pengadilan lain selain daripada mahkamah agung,

terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan

pemeriksaan kasasi kepada mahkamah agung kecuali terhadap

putusan bebas”33

2. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya Hukum Luar Biasa yaitu berupa Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali dilakukan atas putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (Herziening) berdasarkan Pasal 263

Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau

lepas telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana atau ahli

warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada

mahkamah agung.34

Dalam penelitian yang penulis teliti upaya Hukum yang dilakukan

dalam peradilan baik yang dilakukan Oleh Terdakwa atau Penasehat

33
Ibid, Hlm. 295
34
Ibid, Hlm. 303

48
Hukum dan atau oleh Jaksa Penuntut Umum sampai Pada Upaya Hukum

Luar Biasa atau Peninjauan Kembali (PK).

49

Anda mungkin juga menyukai