Anda di halaman 1dari 26

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN NARKOTIKA

NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES (NPS) YANG TIDAK


TERDAFTAR DI DALAM PERMENKES NOMOR 20 TAHUN 2020
TENTANG PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA JO
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA

Untuk Memenuhi Tugas Proposal Tesis

Oleh :
Muhammad Fachrul Dewantara
NPM : 20040020003
Kelas : A

Dosen :
Prof. Dr. Nandang Sambas, S.H., M.H dan Dr. Dini Dewi Heniarti., S.H., M.H.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba telah menjadi

masalah yang sangat serius dan menunjukkan perkembangan yang sangat

signifikan, bahkan menjadi ancaman kejahatan yang serius dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.1 Sampai saat ini diprediksi lebih dua juta penduduk

Indonesia

Mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan berbahaya (narkoba) atau

narkotika, psikotropika serta zat-zat adiktif lainnya (napza). Bangsa ini terlihat

dalam “drug abused” pada tingkat yang sudah membahayakan.2

Selain itu, persoalan narkotika sudah menjadi isu internasional. Banyak

negara di dunia yang sudah mengusulkan bahwa penegakan hukum terhadap

kejahatan narkotika untuk diatur di dalam konvensi-konvensi internasional. Hal

ini terlihat dari konvensi-konvensi internasional yang menyoroti permasalahan

narkotika, salah satunya Single Convention on Narcotic Drugs 1961,

sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations

Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances

1988.3

Kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga

merupakan permasalahan social, bahkan dinyatakan sebagai the oldest social

1
Gilang Fajar Shadiq, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika New Psychoactive
Subtances Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,Jurnal Wawasan
Yuridika,Vol 1 Nomor 01,Maret 2017,Hlm.36.
2
Anton Sudanto,Penerapan Hukum Pidana Narkotika Di Indonesia,ADIL:Jurnal Hukum,Vol 7 Nomor
01,2016,Hlm. 140.
3
Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transinternasional dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 52.
2
problem. Menghadapi masalah ini telah banyak dilakukan upaya untuk

menanggulanginya. Upaya penanggulangan keajahatan dimasukkan dalam rangka

kebijakan criminal (criminal policy) adalah upaya rasional dari suatu negara untuk

menanggulangi kejahatan.4

Salah satu persoalan dalam penegakan hukum adalah terhadap kejahatan

narkotika di Indonesia yang perkembangan kategorisasi zat-zat narkotika yang

semakin luas bentuk dan cara pengolahannya. 5 Sebelumnya, ketegorisasi zat-zat

narkotika terdapat dalam lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1

angka 1 dijelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau

ketagihan yang sangat berat.6

Sedangkan menurut M. Taufik Makarao et.al., narkotika adalah sejenis zat

yang apabila digunakan akan membawa efek antara lain:

a. Penenang

b. Perangsang (bukan rangsangan seks)

c. Menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan antara

khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat)

Dalam bidang kemanusiaan, pemakaian zat narkotika ini cenderung

bersifat destruktif.7 Bersifat destruktif karena zat-zat narkotika tersebut memiliki

4
Dey Ravena dan Kristian, Kebijakan Kriminal, Kencana, Jakarta, 2017, Hlm.1.
5
M. Taufik Makarao, et.al., 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 17.
6
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1988. Hlm. 12.
7
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 65.
3
daya kecanduan yang dapat menimbulkan pemakainya untukmenggunakan secara

terus- menerus. Penggunaan dengan dosis yang melebihi ukuran normal tersebut,

apalagi dalam kasus “penyalahgunaan” akan menimbulkan efek negatif, baik

dalam kondisi ketagihan (addiction), 8maupun ketergantungan (dependence).9

narcotics are a group of substances that have a strong depressant effect on

the nervous system. the term 'narcotics' derived form greek means 'to make

numb.10

Adapun penggunaan narkotika dalam jangka waktu tertentu dapat

menimbulkan berkurangnya kepekaan terhadap bahan itu, sehingga badan

menjadi terbiasa dan sampai pada tingkat kekebalan.11 Sebagai contoh, dalam

penggunaan morfin, dosis yang digunakan semakin lama harus semakin banyak

untuk mencapai efek yang dikehendaki. Faktanya, efek tersebut tidak mungkin

tercapai, meskipun dosis ditambah terus.

Sebaliknya, jika penggunaanya dihentikan sama sekali, maka terjadilah

efek buruk yang berlangsung lama dan apabila tidak ditolong oleh dokter dapat

mendatangkan kematian.12 Ketergantungan ini disebut dengan ketergantungan

yang bersifat fisik (physical dependence).13 Ketergantungan fisik adalah suatu

kondisi dimana badan seseorang memiliki kepekaan atas suatu barang (narkotika)

dan kemudian badan tersebut menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat

kebebalan atau tolerence.14


8
Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm. 90.
9
Soedjono D., Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 3.
10
Hassan-Elrady A. Saad,Narcotic Drugs and Psychotropic Substances Under International Control, Use
Abuse and Forensic Analysis,2002,hlm.114.
11
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung,2003,hlm.25
12
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 39-40.
13
Yuliana Yuli W, Upaya Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Perpspektif Hukum Pidana,
ADIL: Jurnal Hukum, Vol.10 Nomor.1,2019,Hlm. 146.
14
Eko Soponyono, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
4
Dampak penyalahgunaan narkotika yang paling dicemaskan adalah

lumpuhnya generasi muda sebagai harapan bangsa yang memiliki potensi yang

kreatif, inovatif, dan produktif. Lebih lanjut, penyalahgunaan narkotika dapat

menyebabkan kehancuran mental, rusaknya perilaku, maraknya kejahatan, serta

terjadinya demoralisasi bangsa. Oleh karena itu, apabila perkembangan

penyalahgunaan narkotika semakin tumbuh, ada kemungkinan bahwa

Indonesia akan mengalami lost generation.15

Kenyataannya, narkotika yang beredar di masyarakat sudah semakin

bervariasi dengan kemunculan jenis-jenis baru. United Nations Office on Drugs

and Crime (UNODC) menyebut zat-zat serupa narkotika baru tersebut

sebagai New Psychoactive

Kenyataannya, narkotika yang beredar di masyarakat sudah semakin

bervariasi dengan kemunculan jenis-jenis baru. United Nations Office on Drugs

and Crime (UNODC) menyebut zat-zat serupa narkotika baru tersebut

sebagai New Psychoactive Substances (NPS).16 NPS di pasaran dikenal dengan

berbagai istilah yang antara lain: “designer drugs”, “legal highs”, herbal highs”,

“bath salts”.17 Istilah-istilah tersebut telah meluas dan termasuk di dalam

sebutan other psychoactive substances yang dibuat dengan mengubah zat-zat

yang telah dilarang dengan cara memodifikasi struktur kimianya, dengan tujuan

menghindari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.18

Sebagai contoh, ditemukan NPS di Daerah Istimewa Yogyakarta, NPS

Narkotika Pelaku Anak,Jurnal Hukum Dipenogoro,Vol.05 Nomor 03,2016,Hlm. 9.


15
Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan bahayanya, PT. Bina Aksara, Jakarta,1987, hlm.15
16
Wijayanti Puspita Dewi, Penjatuhan Pidana Penjara atas Tindak PIidana Narkotika Oleh Hakim Di
Bawah Ketentuan Minimum Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
Jurnal Hukum Magnum Opus, Vol. 2 Nomor 1,Februari 2019,Hlm.58.
17
Ibid.
18
Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Phsycoactive Substances-NPS),
Alvalaible at http://bnnp-diy.com/posting-117-narkoba-baru-nps.html., diakses pada pukul 20.25 WIB
tanggal 03 Januari 2021.
5
yang bentuknya serupa dengan ganja dimana cara pemakaiannya dengan dilinting

dan dihisap.Namun ketika dilakukan tes urine kepada pemakainya, hasil tes urine

tersebut menunjukan negatif narkotika. Adapun NPS ini mengandung

bacaline yang memberikan efek seperti memakai ganja, seperti antidepresan,

tidak merasakan kantuk, selalumerasa senang, dan menghayal. Narkoba jenis baru

ini disebut juga Good shit.19

Namun demikian, perkembangan NPS tersebut tidak dibarengi dengan

perkembangan payung hukum, khususnya Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 02 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika yang sama sekali belum mengatur zat adiktif herbal

sebagai salah satu dari New Psychoactive Substance. Padahal melihat efek

daripada penggunaan zat adiktif herbal ini sama dengan penggunaan narkotika,

tentu akan menghambat proses penegakan hukum oleh aparat hukum, sehingga

diperlukan suatu terobosan hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Berdasarkan permasalahan yang timbul terkait zat adiktif herbal yang tidak

terdaftar di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 02 Tahun 2017, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:

“Penegakan Hukum Terhadap Penggunaan Narkotika New

Psychoactive Substances (NPS) Yang Tidak Terdaftar Di Dalam Permenkes

Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika Jo

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan di dalam penelitian

ini akan dibatasi pada pembahasan yang dirumuskan sebagai berikut:


19
Dedy Priatmojo dan Daru Waskita, Mengenal Good Shit, Narkoba Jenis Baru Mirip
Ganja,http://nasional.news.viva.co.id/news/read/671480-mengenal-good-shit--narkoba-jenis-baru-mirip-
ganja, diakses pada pukul 14.40 WIB tanggal 03 Januari 2021.

6
1. Apakah penyalahgunaan zat adiktif herbal yang mempunyai dampak

yang sama dengan narkotika merupakan tindak pidana narkotika?

2. Bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana narkotika terhadap

pengguna zat adiktif herbal yang tidak di atur dalam UU Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan penelitian yang hendak dicapai, yaitu:

1. Mengetahui apakah zat-zat adiktif herbal atau zat-zat adiktif turunan

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sehingga dapat dimasukan

kedalam golongan-golongan narkotika.

2. Untuk mengkaji penegakan hukum yang dilakukan terhadap pengguna

zat adiktif herbal atau zat adiktif turunan.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penulisan hukum ini adalah:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penulisan ilmiah ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman mengenai teori-teori, asas- asas hukum, dan

doktrin-doktrin hukum pidana, khususnya Undang-Undang No.35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, memberikan pengetahuan mengenai

zat-zat adiktif herbal dan keterkaitannya dengan narkotika serta

permasalahan hukum yang terdapat di dalamnya, bagi pembaca secara

umumnya maupun pihak-pihak yang membutuhkan khususnya.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil dari penulisan ilmiah ini diharapkan dapat

diaplikasikan dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para praktisi

7
hukum ataupun pembuat undang-undang, serta pihak-pihak yang terkait

secara khusus seperti: Kepolisian RI, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.

E. Kerangka Pemikiran

Hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur

kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga dan proses-proses

yang mewujudkan hukum itu di dalam kenyataan. 20 Secara teoritis konsep negara

hukum awalnya dikenal di negara-negara Eropa Kontinental dengan istilah

Rechtstaat artinya negara berdasarkan hukum yang upayanya untuk membatasi

dan mengatur kekuasaan. (Azhary : 1995).Paham ini berkembang di negara-

negara Anglo Saxon khususnya di Inggris dengan sebutan The Rule of Law atau

negara yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum ( Bagir Manan :1996). Pengertian

hukum dalam masyarakat yang sedang membangun tidak hanya merupakan

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan manusia dalam

masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (instiutions) dan proses yang

diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (Mochtar

Koesoematmadja : 1995).21

“Laws proper, or properly so called, are commands; laws which are not

commands, are laws improper, or improperly so called”. 22 Hukum pidana

merupakan hukum yang bersifat publik, yang memiliki arti penting sebagai suatu

aturan hukum yang tegas dan dapat menimbulkan rasa takut bagi seseorang untuk

melakukan sebuah kejahatan.23 Di dalam hukum pidana terkandung aturan- aturan

yang menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang tidak boleh dilakukan

20
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 11
21
Dini Dewi Heniarti dkk, Konstruksi Model Sistem Integratif Peradilan Militer Dalam Perspektif
Pembaruan Sistem Peradilan Militer di Indonesia, Volume 2, Nomor 1, 2011, Hlm. 84.
22
John Austin, The Province of Jusriprudence Determined, edited by Wilfrid E. Rumble, Cambridge:
Cambridge University Press, 1995, hlm. 10
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm.
25-26.
8
dengan disertai ancaman berupa pidana dan syarat-syarat pemidanaan tersebut

dapat dijatuhkan.24 Criminal law is a complex system of laws and rules that define

criminal acts, set punishments, and outline the rules guiding the process from

investigation and arrest to sentencing and parole.25

Perbuatan yang tidak boleh tersebut dinamakan dengan delik. 26 Delik atau

tindak pidana ini didefinisikan menurut Simons adalah suatu perbuatan yang (a)

oleh hukum diancam dengan hukuman, (b) bertentangan dengan hukum, (c)

dilakukan oleh seorang yang bersalah, dan (d) orang itu boleh dianggap

bertanggung jawab atas perbuatannya.27 Secara teoritis dikenal dua macam subjek

hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu manusia pribadi kodrati (natuurlijk persoon)

dan badan hukum (rechtspersoon/pribadi hukum). Subjek hukum orang adalah

manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan

tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai

pendukung hak dan kewajiban. Pengakuan bahwa manusia adalah salah satu

subjek hukum dapat juga terlihat dan secara tersirat pada Pasal 6 Universal

Declaration of Human Rights yang berbunyi : "Everyone has right to recognition

everywhere as a person before the law". Kedudukan manusia sebagai subjek

hukum, sekaligus menduduki manusia memiliki kesamaan di muka hukum

(equality before the law dan man is person before the law).28

Adapun prinsip fundamental dari hukum pidana adalah asas legalitas.

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa dalam menjatuhkan pidana kepada

seseorang, harus ada aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu yang mengatur

24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Intermasa, Jakarta, 2000, hlm. 1.
25
Joshua dressler, Uderstanding Criminal Law,English,Carolina Academic Pr; 8th edition,2018, Hlm. 11.
26
E. Utrecht, Hukum Pidana I,Universitas Pajajaran, Bandung, 1958, hlm. 251.
27
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm.57
28
Prof. Dr. H. Toto Tohir Suriaatmadja, S.H., M.H., Dr. Ujang Charda S., S.H., Tranformasi Hukum
Perdata Indonesia Dari Kodifikasi Ke Sektoral,Fakultas Hukum Universitas Subang,Cetakan Ke -
1,2014,Hlm.17
9
mengenai perbuatan yang telah dilakukan oleh orang tersebut. 29 Selain itu, asas

legalitas jugan merupakan bentuk pemberian jaminan penuh bagi kemerdekaan

seseorang di hadapan hukum dan untuk membatasi kesewenang-wenangan aparat

penegak hukum.30 Asas legalitas juga dipandang sebagai pengakuan terhadap

adanya suatu kepastian hukum bagi pribadi-pribadi yang harus dijamin, yaitu

sejauh peraturan tersebut mensyaratkan bahwa perbuatan yang bersifat

mengharuskan atau yang bersifat melarang harus ada terlebih dahulu.31 Asas

legalitas menitikberatkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi

pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran

hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus

mengetahui terlebih dahulu peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan

ancaman pidananya.32

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung

tiga buah asas yang sangat penting, yaitu:33

1. hukum pidana yang berlaku merupakan hukum yang tertulis;

2. undang-undang pidana yang berlaku tidak dapat diberlakukan surut;

3. penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam

menafsirkan undang-undang pidana.

Namun ketentuan asas legalitas tersebut menimbulkan suatu persoalan

yang yang sangat penting bagi hukum pidana dan peradilan pidana. Persoalan itu

meliputi sampai batasan manakah undang-undang pidana dapat dijalankan

sehingga asas legalitas tidak dilanggar. Oleh karenanya diperlukan penafsiran oleh

29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1978, hlm. 25.
30
Moeljatno, Loc.Cit., hlm. 194.
31
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.
129.
32
Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1978, hlm. 68.
33
P. A. F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 141.
10
Hakim untuk menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian yang

konkrit dalam masyarakat.34 Dalam menafsirkan undang-undang, tidak boleh

dilakukan secara sewenang-wenang. Ada beberapa batasan mengenai kebebasan

hakim untuk menafsirkan undang-undang tersebut. Logemann mengatakan bahwa

hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang.35 Kehendak tersebut

tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata-kata undang-undang, maka

Hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-

undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-

hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-

undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan

kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak

pembuat undang-undang. Sebab itu Hakim tidak boleh menafsirkan undang-

undang secara sewenang-wenang.36

Kejahatan semakin jelas tergambar disaat kondisi negara tidak

stabil.37Bentuk tindak pidana yang baru itu perlu mendapatkan penyesuaian,

seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan

yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan

hukum yang baru. Dalam hal yang demikian, maka upaya-upaya hukum pidana

untuk menanggulangi atau mengatasi kejahatan tersebut terutama melindung

masyarakat haruslah melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan dan

pendekatan nilai.38 Begitu pula terhadap narkotika perlu adanya regulasi yang

baru, karena hokum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antar

manusia yang hidup bersama dalam suatu kumpulan manusia dan masyarakat dan

34
E. Utrecht, Op. Cit., hlm. 201.
35
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo,Jakarta,2011,hlm 121
36
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 205.
37
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Alumni, Bandung,
2007, hlm. 80.
38
Ibid, hlm83.
11
karena aturan-aturan itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk tunduk

atau terikat oleh aturan-aturan itu.39 Dengan demikian dapat ditarik garis antara

hukum dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hokum dalam hukum

pidana merupakan salah satu unsur terpenting dimana seseorang dapat

dikategorikan telah melakukan suatu tindak pidana.40

Akibat dari dilakukannya suatu tindak pidana adalah adanya suatu

mekanisme penegakan hukum dan berujung pada tujuan pemidanaan. Pemidanaan

merupakan suatu reaksi dari hukum pidana terhadap tindak pidana. “The evil

which will probably be incurred in case a command be disobeyed or (to use an

equivalent expression) in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or

an enforcement of obedience. Or (varying the phrase) the command or the duty is

said to be sanctioned or enforced by the chance of incurring the evil.”41

Tujuan pemidanaan terus berkembang sesuai dengan perkembangan

masyarakat menuju kearah tujuan yang rasional, sedangkan tujuan pidana yang

dipandang berlaku sekarang adalah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan baik

digunakan pada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang

mempunyai potensi menjadi penjahat,perlindungan kepada masyarakat dari

perbuatan jahat, dan perbaikan kepada penjahat.42 Penegakan hukum adalah,

penerapan hukum pidana secara konkrit oleh aparat penegakan hukum. Dengan

demikian penegakan hukum merupakan suatu system yang menyangkut

penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-

kaidah tersebut menjadi pedoman atau patokan, bagi perilaku dan tindakan yang

di anggap pantas atau seharusnya.43


39
Mochtar Kusumaatmadja dan Arif Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1, Alumni, Bandung, 2000,
hlm. 14.
40
Moeljatno, Op.cit, hlm. 63.
41
Mitchel P.Roth, Crime and Punishment: A History of the Criminal Justice System,English,Wadsworth
Publishing; 2nd edition,2010,Hlm.17.
42
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradya Pramita, Jakarta, 1993, hlm. 25.
43
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan
Anak serta Penerapannya, cet.2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, Hlm. 47-48.
12
Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement)

diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the

execution of law; the carrying out of a mandate or command” 44


Membicarakan

penegakan hukum tidak terlepas dari suatu sistem hukum, hal ini dikarenakan

penegakan hukum dapat terlaksana apabila suatu sistem hukum berjalan dengan

baik. Lawrence M. Friedman dalam teori sistem hukum menyatakan bahwa

berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada tiga komponen,

yaitu:45

a. Legal substance (subtansi hukum); merupakan aturan- aturan, norma-

norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu

termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam

sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau

aturan baru yang mereka susun.

b. Legal structure (struktur hukum); merupakan kerangka, bagian yang

tetap bertahan. Bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan

terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum.

c. Legal culture (budaya hukum); merupakan suasana pikiran sistem dan

kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan,

dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat.

Permasalahan serta gangguan terhadap penegakan hukum bukan tidak

mungkin terjadi, masalah pokok yang timbul dari penegakan hukum terletak pada

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor

tersebut adalah:46

44
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul Minesora, 1990,
hlm. 578.
45
Lawrance M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan M.Khozim, Nusa Media,
Bandung, 2009, hlm. 15.

46
Ibid
13
1. Faktor hukum atau undang-undang.

2. Faktor penegakan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas.

4. Faktor masyarakat.

5. Faktor kebudayaan.

Selain itu, faktor-faktor lain yang mempengaruhi penegakan hukum adalah

tidak adanya keserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. 47 Ketidakserasian

inilah yang menghalagi tercapainya tujuan hukum yakni, kepastian hukum,

kemanfaatan, dan keadilan.48 Dewasa ini, permasalahan dalam penegakan hukum

tindak pidana narkotika sudah menjadi fokus utama oleh aparat penegak hukum.

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk

pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau digunakan tidak

sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat

merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini

akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan

nilai- nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan melemahkan ketahanan

nasional.

Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pada hakikatnya ada dua poros

yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu:49

1. Segi prevensi;

2. Segi pembalasan.

Di samping itu, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana

mengandung hal-hal lain, yaitu pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan

membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk


47
Ibid, hlm. 7
48
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1980, hlm.22.
49
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 9.
14
menjadikan orang dapat diterima kembali dalam suatu masyarakat.50 Fungsi

penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar

sesuai dengan yang di cita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan

sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bungkai (frame work) yang telah di

tetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum

Kejahatan semakin jelas tergambar disaat kondisi negara tidak stabil.51

Bentuk tindak pidana yang baru itu perlu mendapatkan penyesuaian, seperti

melakukan harmonisasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang

sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi, dan membentuk ketentuan hukum

yang baru. Dalam hal yang demikian, maka upaya-upaya hukum pidana untuk

menanggulangi atau mengatasi kejahatan tersebut terutama melindung

masyarakat haruslah melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan dan

pendekatan nilai.52

Begitu pula terhadap narkotika perlu adanya regulasi yang baru, karena

hukum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antar manusia yang

hidup bersama dalam suatu kumpulan manusia dan masyarakat dan karena aturan-

aturan itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk tunduk atau terikat oleh

aturan-aturan itu.53 Dengan demikian dapat ditarik garis antara hukum dan

perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana

merupakan salah satu unsur terpenting dimana seseorang dapat dikategorikan

telah melakukan suatu tindak pidana.54 Narkotika merupakan zat atau obat yang

sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun,

50
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm.
22.
51
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Alumni, Bandung,
2007, hlm. 80.
52
Ibid, hlm83.
53
Mochtar Kusumaatmadja dan Arif Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1, Alumni, Bandung, 2000,
hlm. 14.
54
Moeljatno, Op.cit, hlm. 63.
15
jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat

menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat

khususnya generasi muda.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,

bangsa, dan Negara pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk

melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang

Narkotika dari yang lama ke Undang-Undang Narkotika yang baru yaitu Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika. 55 Dan dibuat pula

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 02 Tahun 2017 Tentang Perubahan

Penggolonga Narkotika Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika. Sebagai pelengkap untuk menjalankan segala sesuatu yang terdapat di

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, didalamnya terdapat pula

lampiran Golongan-golongan narkotika dari golongan pertama hingga golongan

ketiga.

F. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif dan ditunjang dengan pendekatan kebijakan

kriminal. Pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan dengan

menggunakan bahan pustaka atau data yang mencakup bahan hukum primer,

sekunder dan tersier yang ada sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan

yang dihadapi.56 Sedangkan pendekatan kebijakan kriminal digunakan untuk


55
Undang-Undang RI No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
56
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta,2006, hlm. 52.
16
menelaah kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum

dalam rangka menanggulangi tindak pidana. Secara spesifik metode pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan perundang- undangan dan regulasi yang

terkait dengan narkotika. Dalam penelitian ini, selain menggunakan Undang-

Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penulis

menggunakan juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 02 Tahun 2017 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Didalamnya terdapat lampiran penggolongan narkotika berupa nama-nama

zatnya.

b. Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian yang digunakan Penulis adalah deskriptif analitis,

yaitu menganalisis peraturan perundang- undangan yang berlaku, kemudian

dikaitkan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif di

Indonesia yang berkaitan dengan situasi dan keadaan yang terjadi terutama

dalam kebijakan yang dibuat untuk mengatur penggunaan narkotika.57 Dengan

pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, kemudian dianalisis untuk

menghasilkan beberapa kesimpulan.58

c. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

a) Studi Kepustakaan

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh Penulis adalah

dengan studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder untuk

mendapatkan landasan teoritis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil

tulisan- tulisan para ahli hukum serta para aparatur penegak hukum,

57
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,1990,
hlm. 97.
58
Ibid.
17
yaitu Polisi, Jaksa, dan Hakim untuk mendapatkan informasi baik

dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi.59

b) Wawancara

Wawancara digunakan sebagai penunjang dalam memperoleh

data primer, yaitu dengan pihak-pihak yang terkait dengan

permasalahan hukum yang akan dibahas di dalam penulisan ini.60 Pihak

yang terkait tersebut antara lain adalah:

a. Badan Narkotika Nasional Pusat;

b. Badan Narkotika Nasional Regional Jawa Barat;

c. Polisi Daerah Jawa Barat;

d. Teknik Analisis data

Metode analisis data yang digunakan Penulis adalah yuridis

kualitatif dimana data-data yang telah diperoleh akan dianalisis tidak

menggunakan rumus matematis dan selanjutnya disajikan secara

deskripif dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif

sehingga memudahkan dalam pemahaman hasil analisis.61

1) Lokasi Penelitian

a) Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja di Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran;

b) Kepolisian Daerah Jawa Barat;

c) Pengadilan Negeri Bandung;

d) Badan Narkotika Nasional Kota Cimahi;

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan agar dapat dimengerti oleh pembaca, akan


59
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.
80.
60
Ibid.
61
Ibid, hlm. 127
18
diuraikan susunan tiap BAB secara teratur sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan dibahas dan dijelaskan mengenai latar belakang

permasalahan, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika

penulisan tugas akhir ini.

BAB II : PENEGAKAN HUKUM, TINDAK PIDANA, ASAS

LEGALITAS, TUJUAN PEMIDANAAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian penegakan hukum,

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, penegakan

hukum pidana, unsur- unsur tindak pidana, dan tujuan pemidanaan.

BAB III : ZAT ADIKTIF HERBAL DI LUAR PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG

PELAKSANAAN UU NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

Pada bagian ini akandijelaskan mengenai data-data zat adiktif herbal

di luar PP No. 40 Tahun 2013 dan kasus-kasus terkait zat adiktif

herbal yang terjadi di Indonesia.

BAB IV : ANALISIS MENGENAI ZAT-ZAT ADIKTIF HERBAL

YANG BELUM TERMASUK KEDALAM GOLONGAN I

UU NARKOTIKA, DAN PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP PENYALAHGUNAAN ZAT-ZAT ADIKTIF

TURUAN.

Pada bagian ini akan dibahas mengenai dapatkah dimasukannya zat-

zat adiktif turunan kedalam Golongan I undang-undang narkotika,

19
dan penegakan hukumnya bagi pelaku penyalahgunaan narkotika di

indonesia.

BAB V : PENUTUP

Pada bagian ini berisi kesimpulan dan saran dari tugas akhir Penulis

DAFTAR PUSTAKA

20
A. BUKU-BUKU INDONESIA

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2004.

Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian 1, Grafindo, Jakarta,

2002.

Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradya

Pramita, Jakarta, 1993.

Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1978.

Dey Ravena dan Kristian, Kebijakan Kriminal, Kencana, Jakarta, 2017.

E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Pajajaran, Bandung, 1958.

Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2009

Lawrance M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan

M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2009.

M. Taufik Makarao, et.al., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 2003.

Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga

Rampai), Alumni, Bandung, 2007.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,

2000.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1978

21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Intermasa, Jakarta, 2000

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung, 1984.

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen

Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, cet.2, Graha

Ilmu, Yogyakarta, 2013

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1997.

Prof. Dr. H. Toto Tohir Suriaatmadja, S.H., M.H., Dr. Ujang Charda S.,

S.H., Tranformasi Hukum Perdata Indonesia Dari Kodifikasi Ke

Sektoral,Fakultas Hukum Universitas Subang,Cetakan Ke - 1,

2014.

Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan bahayanya, PT. Bina Aksara,

Jakarta,1987

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transinternasional dalam

Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1997.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta,1990.

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung,

1988.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta,

2006.

22
Soedjono D., Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1987

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta,

1989.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1980.

B. BUKU-BUKU ASING

Hassan-Elrady A. Saad,Narcotic Drugs and Psychotropic Substances Under

International Control, Use Abuse and Forensic Analysis,2002

Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West

Publishing, St. Paul Minesora, 1990

John Austin, The Province of Jusriprudence Determined, edited by Wilfrid

E. Rumble, Cambridge: Cambridge University Press, 1995

Joshua dressler, Uderstanding Criminal Law,English,Carolina Academic

Pr; 8th edition,2018

Mitchel P.Roth, Crime and Punishment: A History of the Criminal Justice

System,English,Wadsworth Publishing; 2nd edition,2010

C. JURNAL

Anton Sudanto,Penerapan Hukum Pidana Narkotika Di

Indonesia,ADIL:Jurnal Hukum,Vol 7 Nomor 01,2016.

Dini Dewi Heniarti dkk, Konstruksi Model Sistem Integratif Peradilan

Militer Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Militer di

Indonesia, Volume 2, Nomor 1, 2011.

23
Eko Soponyono, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya

Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Pelaku Anak,Jurnal

Hukum Dipenogoro,Vol.05 Nomor 03,2016,Hlm. 9.

Gilang Fajar Shadiq, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Narkotika New Psychoactive Subtances Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,Jurnal

Wawasan Yuridika,Vol 1 Nomor 01,Maret 2017.

Wijayanti Puspita Dewi, Penjatuhan Pidana Penjara atas Tindak PIidana

Narkotika Oleh Hakim Di Bawah Ketentuan Minimum Ditinjau

Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

Jurnal Hukum Magnum Opus, Vol. 2 Nomor 1,Februari 2019.

Yuliana Yuli W, Upaya Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Dalam

Perpspektif Hukum Pidana, ADIL: Jurnal Hukum, Vol.10

Nomor.1,2019.

D. SUMBER INTERNET

Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Phsycoactive

Substances-NPS), Alvalaible at http://bnnp- diy.com/posting-117-

narkoba-baru-nps.html., diakses pada pukul 20.25 WIB tanggal 03

Januari 2021

Dedy Priatmojo dan Daru Waskita, Mengenal Good Shit, Narkoba Jenis

Baru Mirip Ganja,http://nasional.news.viva.co.id/news/read/671480-

mengenal-good-shit--narkoba-jenis-baru-mirip-ganja, diakses pada

pukul 14.40 WIB tanggal 03 Januari 2021.

E. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika

25
1

Anda mungkin juga menyukai