Anda di halaman 1dari 6

HUKUM DIANTARA KEHARUSAN DAN KESADARAN PADA FENOMENA

EFEKTIVVITAS PIDANA MATI KASUS PENYALAHGUNAAN DAN


PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI INDONESIA

Risty Alifah Putri, SH


NPM A2021191095
Tugas Filsafat Ilmu Dosen Pengampu Dr. Firdaus Achmad, SH, M.Hum Kelas A
Magister Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak

Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di Indonesia


sungguh sangat mengkhawatirkan, karena penyalahgunaan Narkotika jelas
mengancam masa depan anak-anak bangsa. Masalah penyalahgunaan
Narkotika mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudut
medik, psikiatri, maupun kesehatan jiwa. Penyalahguna Narkotika dapat
merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan
lingkungan sekolahnya, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan
ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan
negara Indonesia.
Berkembangnya angka kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika berkaitan dengan sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia,
hal tersebut diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana
Narkotika. Perlu ada keharusan atau peraturan hukum yang dibuat dalam
rangka penegakan hukum yang dilakukan, oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa penyalahgunaan Narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif
yang berlaku di Negara Indonesia. Sebagai wujud dari Das Sollen yaitu
tentang apa yang sebaiknya dilakukan, atau sebuah impian yang menjadi
keinginan dan harapan setiap manusia, maka setelah Indonesia merdeka,
diadakan penataan dalam perundangan-undangan nasional. Undang-undang
yang lahir pada jaman kemerdekaan mengenai Narkotika adalah Undang-
Undang Nomor 9 tahun 1976. Cakupan dan substansi yang diatur dalam
Undang-undang ini lebih luas dengan disertai ancaman pidana yang lebih
berat. Tahun berganti dengan bentuk perkembangan yang makin maju serta
globalisasi yang melanda setiap sisi dan aspek hidup, menunjukkan bahwa
Undang-undang ini dianggap sudah tidak dapat menampung situasi

1
kejahatan yang ada, dimana kejahatan narkotika sudah merupakan
transnasional crime1, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Disamping Undang-Undang ini, Undang-Undang
yang bersinergi dengan ini yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Kedua Undang-Undang ini menjadi dasar pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana narkotika Pemidanaan dapat diartikan
sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana.
Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Selanjutnya disingkat Undang-Undang Narkotika) terdapat beberapa sanksi,
seperti sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, maupun sanksi
pidana denda dan penerapannya dilakukan secara kumulatif. Agar
penggunaan Narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat
manusia, peredarannya harus di awasi secara ketat sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang Narkotika.
Hukuman mati merupakan sanksi yang terberat dari semua pidana
yag diancamkan terhadap pelaku kejahatan. Hukuman mati yang selanjutnya
disebut pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh
hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang–
Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memuat dua macam hukuman, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok terdiri dari
hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.
Hukuman tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan
barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Di dalam
perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat
ancaman hukuman mati,14 yaitu UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997
yang dirubah dengan Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Undang–Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.

1
Dalam “menimbang point e” dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.
2
Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Pasal 1 ayat (3).

2
Dalam undang-undang narkotika memang dikenal pidana penjara
minimum agar efek jera pidana penjara bisa efektif bagi terdakwa. Pidana
penjara minimum dalam perkara tindak pidana narkotika ini diharapkan
memang menjadi tempat bagi terdakwa untuk memperbaiki diri.
Efektifitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan
pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si
pelaku. Dilihat aspek dari perlindungan masyarakat, maka suatu pidana
dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau
mengurangi kejahatan. Jadi kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh
frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku,
maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special
prevention) dari pidana.3
Dengan diterapkannya peraturan perundang-undangan tentang
tindak pidana narkotika, seharusnya kasus tindak pidana narkotika yang
terjadi setiap tahunnya tidak meningkat, namun pada kenyataannya berbeda,
hal tersebut dikarenakan manusia sebagai makhluk individu tanpa kita
sadari banyak melakukan (Das Sein) atau tindakan nyata di lingkungan
tempat yang kita tinggali. Disini manusia bertindak sebagai seorang individu
yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya tanpa memikirkan
kepentingan yang lain. Hal ini dapat terlihat dalam  self-orientation collective-
orientation (dalam poloma, 2004:173174) yang menyatakan bahwa seseorang
individu yang mengejar kepentingan pribadinya saja. 4 Pidana penjara bagi
pelaku tindak pidana narkotika masih belum bisa memberikan suatu
efektivitas dalam membuat terpidana untuk memperbaiki diri dan sarana
untuk merubah sikap. Bahkan pidana penjara justru malah dapat dijadikan
suatu tempat untuk mengendalikan bisnis narkotika di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (yang selanjutnya disingkat LAPAS). Seperti yang pernah
kita tahu yang dilakukan oleh terpidana mati Freddy Budiman yang ada
dugaan kuat bahwa Freddy Budiman menjalankan bisnis narkobanya di
dalam LAPAS. Pada tahun 2016 ini Freddy Budiman sempat menggegerkan
masyarakat, di mana dia mengendalikan bisnis narkotika dalam LAPAS

3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 210-214.
4
http://dekdenok.blogspot.com/2014/01/studi-masyarakat-indonesia-das-sein-dan.html,
diakses pada tanggal 10 Nopember 2019.

3
terkait narkotika yang di impor dari China yang diselundupkan dalam pipa
baja. Modus ini tergolong cukup lincah, akan tetapi aparat penegak hukum
kita berhasil untuk menggagalkan peredaran gelap narkotika tersebut.
Padahal apabila kita merujuk pada sistem pemidanaan di Indonesia,
Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu: pertama, Untuk
menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti
orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau kedua, Untuk mendidik
atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi
orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana
perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan
pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa
bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu
nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.5
Namun belajar dari kasus Freddy Budiman ini menunjukkan bahwa
pidana penjara pun masih belum memberikan efek jera, hal itu justru
mempermudah seorang terpidana untuk tetap dapat mengendalikan bisnis
narkoba. Hal itu bisa dilakukan di dalam LAPAS, karena terpidana pasti
bekerja sama dengan pihak oknum-oknum LAPAS untuk membantu agar
terpidana seperti Freddy Budiman dapat menjalankan bisnis haramnya itu.
Sehingga apabila dikatakan LAPAS bebas dari oknum-oknum yang nakal itu
hanyalah semboyan belaka. Karena pada fakta yang terjadi di lapangan,
masih banyak oknum-oknum lapas yang nakal. Dari kasus di atas itu baru
satu contoh kasus narkotika dengan terpidana mati Freddy Budiman, itu
belum termasuk sindikat-sindikat terpidana narkoba lain di seluruh
Indonesia yang mungkin bisa atau hampir sama dengan Freddy Budiman
yang juga ikut mengendalikan bisnis peredaran narkotika di dalam LAPAS,
mengingat oknum-oknum LAPAS banyak yang mengambil peran untuk
membantu terpidana.

5
Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2009, h. 6.

4
Pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia memang sudah
sangat tegas ditunjukan oleh para penegak hukum kita. Penerapan pidana
mati bagi pelaku tindak pidana narkotika yang tidak bisa ditoleransi lagi
memang sudah memenuhi unsur keadilan, mengingat pelaku tindak pidana
narkotika yang mendapat pidana penjara yang dijatuhkan masih belum
dapat memberikan efek jera. Tindakan represif berupa pidana mati dalam
pemberantasan tindak pidana narkotika memang menjadi alternatif sanksi
untuk benar-benar memberikan efek jera, sehingga Indonesia merupakan
negara yang berdaulat untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia,
khususnya bagi mereka yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana
narkotika ditemukan beberapa hambatan, diantaranya adalah hambatan
yang ada pada budaya atau kebiasaan masyarakat Indonesia, yaitu masih
rendahnya pemahaman masyarakat tentang bahaya narkotika dan terkadang
masyarakat tidak peduli dengan lingkungan, sehingga apabila di
lingkungannya diketahui ada yang mengunakan narkotika tidak mau
melapor kepada pihak yang berwajib. Kondisi seperti ini akan
menumbuhkembangkan peredaran gelap narkotika. Dan boleh di bilang
jarang ada laporan dari masyarakat yang menginformasikan adanya kegiatan
peredaran narkotika di lingkungannya, masyarakat takut apabila melaporkan
mereka bisa menjadi sasaran dari sindikat itu.
Melihat berbagai fenomena tersebut diatas, bahwa pengaturan
mengenai tindak pidana narkotika telah dibuat sedemikian rupa, dengan
memperhatikan berbagai macam aspek, pada Undang-Undang Narkotika
terdapat suatu hukuman yang menimbulkan polemik yaitu pidana mati,
pidana mati masih perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap
pelaku kejahatan narkotika.
Upaya peningkatan peran penegak hukum di Indonesia juga tak henti-
hentinya melakukan upaya yang bersifat preventif sebagai bentuk
pencegahan bagi mereka yang belum bersentuhan atau pertama kali terlibat
dengan penggunaan dan penyalahgunaan narkotika dan sejenisnya.
Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi atau penyuluhan
terhadap generasi muda yang menjadi sasaran atas penyalahgunaan narkoba,
baik di lingkungan pendidikan, termasuk di dalamnya pesantren, baik di

5
instansi negeri atau swasta. Di mana penyuluhan tersebut dilakukan guna
menjelaskan dan memberikan edukasi kepada mereka tentang bahaya
narkotika dan dampak yang ditimbulkan yang berujung pada kematian yang
masif. Namun pada kenyataannya, Pidana penjara belum bisa memberikan
efek jera. Dan bahkan pidana penjara dijadikan tempat untuk mengontrol
peredaran narkoba di Indonesia dari dalam LAPAS, hal itu seperti yang
dilakukan oleh terpidana mati yakni Freddy Budiman.
Peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam rangka upaya
preventif maupun upaya represif terhadap pemberantasan tindak pidana
narkotika. Sehingga masyarakat apabila mengetahui tentang peredaran
narkotika atau korban penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekitarnya
agar segera melapor ke instansi penegak hukum.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Priyatno, Dwija, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama.
Ayu, Dhenok. 2014. STUDI MASYARAKAT INDONESIA, Das Sein dan Das Sollen.
http://dekdenok.blogspot.com/2014/01/studi-masyarakat-indonesia-das-sein-
dan.html, diakses pada 10 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai