Anda di halaman 1dari 174

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS HUKUM

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan


Tinggi
Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Penerapan Rehabilitasi bagi Penyalahguna Narkotika Anak dan Pengedar


Narkotika Anak

OLEH
Myelva Musfirah
NPM : 2012200037

PEMBIMBING
Agustinus Pohan, S.H., MS.

Penulisan Hukum

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program


Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN


Hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih
daripada satu pengertian, maka dapat dimengerti bahwa tidak ada satupun
rumusan di antara rumusan-rumusan yang ada, yang dapat dianggap
sebagai rumusan yang sempurna untuk dapat diberlakukan secara umum.1
Menurut Prof. Moeljatno, S.H dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.2

Hukum pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum pidana biasa
/ umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder
strafrecht). Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan
sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada
umumnya. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan
sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja
misalnya bagi anggota-anggota Anggota Bersenjata, ataupun merupakan
hukum pidana yang mnegatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak
pidana fiskal.3
Hukum pidana umum merupakan hukum pidana yang diatur di
dalam KUHP, karena ketentuan didalamnya berlaku untuk semua orang.

1 P.A.F. LAMINTANG. DASAR-DASAR HUKUM PIDANA INDONESIA 1, (PT CITRA ADITYA BAKTI,
Bandung, 2011)
2 MOELJATNO. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 1, (Rineka Cipta, Jakarta, 2009)
3 P.A.F. LAMINTANG, supra catatan no. 1, pada 12

2
Hukum pidana khusus merupakan hukum pidana yang ketentuan
pidananya diatur di luar KUHP (misalnya Undang-Undang Narkotika,
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang, dan lain-lain)
Narkotika merupakan tindak pidana khusus karena terdapat
Undang-undang tersendiri diluar KUHP yaitu Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, selanjutnya disebut UU Narkotika).
Kekhususannya meliputi hukum materiil maupun hukum formil.4
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang sudah
tidak asing lagi di telinga kita. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Narkotika yang
dimaksud dengan Narkotika adalah sebagai berikut :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang
ini.

Jika narkotika ini digunakan untuk tujuan yang tepat dengan dosis
yang tepat maka itu menjadi tidak masalah. Seperti halnya kebutuhan
dalam dunia kedokteran. Hal tersebut memberikan manfaat yang besar
untuk manusia. Ketersediaan narkotika jenis tertentu sangat dibutuhkan
sebagai obat, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.5 Namun apabila terjadi penggunaan atau pemakaian yang
berlebihan atau dengan dosis yang tidak sesuai takaran, maka hal
tersebutlah akan menjadi masalah besar. Salah satu masalah besar yang
akan terjadi adalah menyebabkan kematian. Jadi mengingat ada dampak
yang ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila narkotika

4 HARI SASANGKA. NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DALAM HUKUM PIDANA UNTUK MAHASISWA
DAN PRAKTISI SERTA PENYULUH MASALAH NARKOBA 169-170 (CV Mandar Maju, Bandung, 2003)
5 KUSNO ADI. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH
ANAK 18, (UMM Press, Malang, 2009)

3
digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus
dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.6
Zaman sekarang narkotika tidak hanya disalahgunakan dan
diedarkan oleh orang-orang dewasa, ternyata sudah sampai pada kategori
anak. Kita harus ingat betul bahwa anak pada dasarnya adalah karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Ia adalah amanah dan titipan yang harus dijaga
oleh kedua orangtua nya atau ayah dan ibu nya. Anak masih membutuhkan
bimbingan yang baik dari orang dewasa (termasuk orangtuanya), sebab
dilihat dari sisi psikologis dan jasmani ia dikatakan belum matang. Namun
sayang ternyata cukup banyak kasus anak yang terlibat tindak pidana
narkotika di Indonesia. Kita tidak tahu mengapa hal tersebut terjadi.
Tindak pidana narkotika pastinya merupakan racun yang
menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak bangsa. Anak
merupakan generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu
generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara, tidak
terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi
potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya,
menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.7
Agar kelak ia dapat bertanggungjawab untuk menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan, maka ia
perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan perlindungan. Hal inilah yang
menjadi salah satu pertimbangan dibuatnya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, selanjutnya disebut dengan UU

6 Id
7 NASHRIANA. PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA BAGI ANAK DI INDONESIA 1, (PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014)

4
Perlindungan Anak) yang sekarang terdapat pula Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 297).
Menurut Pasal 1 UU Perlindungan Anak yang dimaksud dengan
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Setiap anak harus diberi perlindungan
mengingat kelak ia akan menjadi penerus suatu bangsa. Menurut Pasal 1
butir 2 UU Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan Perlindungan anak
adalah :
Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

UU Perlindungan Anak mengatakan bahwa tujuan dari


perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat tumbuh, hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan kodrat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Berdasarkan Pasal 1 UU
Perlindungan Anak, Hak anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang
wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Tidak menutup kemungkinan anak akan melakukan sebuah tindak
pidana atau akan berkonflik dengan hukum pidana. Dalam hal ini tindak
pidana yang dilakukan adalah tindak pidana narkotika. Hal ini akan terjadi
jika ia tidak dibimbing dengan baik oleh orang dewasa dan juga mengingat
psikologis dan jasmaninya yang belum matang. Menurut Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
selanjutnya disebut UU SPPA), anak yang berkonflik dengan hukum

5
adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Tindak pidana narkotika yang dilakukan anak dapat berupa
penyalahgunaan narkotika dan pengedaran narkotika. Menurut UU
Narkotika yang disebut sebagai penyalahguna adalah :
Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum

Pada intinya, penyalahguna akan menggunakan narkotika tidak


sesuai dengan hukum dan tidak memiliki hak, seperti ia menggunakannya
diluar jangkauan medis atau tidak dengan dosis yang benar.
Penyalahgunaan narkotika pada akhirnya dapat menyebabkan kecanduan
pada narkotika. Di UU Narkotika hal itu dikenal pula dengan pecandu
narkotika. Pecandu narkotika menurut UU Narkotika adalah :
Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis

Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa pecandu narkotika


adalah penyalahguna yang sudah mencapai tingkat ketergantungan. Selain
itu, anak dapat mengedarkan narkotika. Peredaran yang dilakukan pasti
peredaran gelap atau tidak sesuai dengan hukum. Peredaran gelap
narkotika menurut UU Narkotika adalah :
Setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak
pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Zaman sekarang banyak sekali anak yang mengedarkan narkotika.


Dalam Bab ini akan diperlihatkan data rekapitulasi penyalahgunaan serta
peredaran anak yang dilakukan di Indonesia. Jika anak menyalahgunakan
narkotika dan mengedarkan narkotika, maka mereka dikatakan melakukan
suatu tindak pidana. Jika anak melakukan tindak pidana, maka ia disebut
sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Terhadap anak yang

6
berhadapan dengan hukum konsep atau tindakan yang harus diberikan
adalah Restorative Justice atau keadilan yang restoratif.
United Nations Children Fund (UNICEF) mengembangkan konsep
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) untuk melindungi anak yang
berhadapan dengan hukum. Konsep keadilan restoratif dari UNICEF
menitikberatkan kepada keadilan yang dapat memulihkan, yaitu
memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan masyarakat yang
terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut.8
Konsep Restorative Justice atau keadilan restoratif atau keadilan
pemulihan dari UNICEF didasarkan pada instrumen-instrumen Hukum
Internasional bagi anak yang mempunyai masalah hukum, yaitu :
1. Resolusi Majelis Umum PBB 40/33, tanggal 29 November 1985,
mengenai United Nations Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile justice (The Beijing Rules);
2. Resolusi Majelis Umum PBB 44/25, tanggal 20 November 1989,
mengenai Convention on the Rights of the Child (Konvensi hak-
hak anak);
3. Resolusi Majelis Umum PBB 45/112, tanggal 14 Desember 1990
mengenai United Nations Guidelines fot the Prevention of
Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines);
4. Resolusi Majelis Umum PBB 45/113, tanggal 14 Desember 1990,
mengenai United Nations Rules for the Protection of Juvenile
Deprived of their Liberty9

Dari empat instrumen Hukum Internasional diatas, konvensi hak-


hak anak adalah instrumen Hukum Internasional yang disahkan oleh
Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the
Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Karena adanya
Keputusan Presiden mengenai pengesahan konvensi tentang hak-hak anak
yang menjadi dasar konsep Restorative Justice atau keadilan yang
restoratif, maka Indonesia dapat dikatakan turut memperjuangkan keadilan
yang restoratif terhadap anak yang mempunyai masalah hukum.

8 WAGIATI SOETEDJO DAN MELANI. HUKUM PIDANA ANAK 134, (PT Refika Aditama, Bandung,
2013)
9 Id

7
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia ternyata
mengedepankan keadilan restoratif. Hal itu tegas dikatakan dalam Pasal 5
UU SPPA. Menurut Pasal 1 UU SPPA yang dimaksud dengan keadilan
restoratif adalah :
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.

Jadi dengan hal ini diharapkan ada bentuk penegakkan hukum


yang mengutamakan keadilan restoratif bagi anak yang berhadapan
dengan hukum ataupun yang berkonflik dengan hukum, khususnya yang
dalam hal ini berkaitan dengan narkotika.
Konsep keadilan restoratif terhadap anak yang melakukan tindak
pidana narkotika (dalam hal ini penyalahgunaaan narkotika dan
pengedaran narkotika) juga tampak pada Pasal 67 UU Perlindungan Anak
yang mengatakan bahwa :
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan
terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat.

Pasal 59 pada UU Perlindungan Anak sendiri mengatakan bahwa:


Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.

8
Menurut Pasal 67 UU Perlindungan Anak ini anak sebagai
penyalahguna narkotika (baik ia hanya penyalahguna maupun sudah
mencapai tingkat ketergantungan) dan anak sebagai pengedar narkotika
dianggap sebagai korban. Terhadap korban kita harus mengedepankan
restorative justice, sebab pembuat Undang-Undang menginginkan anak
yang dianggap korban tersebut harus diberi perlindungan khusus berupa
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. Bentuk
perlindungan khusus ini merupakan bentuk kegiatan yang ingin
memulihkan kembali kondisi anak sebagai korban tersebut kepada
keadaan semula. Lalu, yang dinamakan korban tidak bisa dikriminalisasi
atau diberi sanksi pidana. Maka seharusnya anak sebagai korban
penyalahgunaan narkotika tidak dapat diberi sanksi pidana, melainkan
diberi upaya rehabilitasi.
UU Narkotika mengenal sebutan korban penyalahgunaan
narkotika. Terhadap korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan
Pasal 54 UU Narkotika wajib menjalani rehabilitasi. Menurut UU
Narkotika korban penyalahgunaan narkotika adalah :
Seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk
menggunakan narkotika

Namun UU Narkotika memiliki kelemahan, yaitu, ia membedakan


mana pecandu narkotika yang belum cukup umur, mana penyalahguna,
dan mana korban penyalahgunaan narkotika. Jadi belum tentu menurut UU
Narkotika bahwa anak pecandu narkotika atau anak penyalahguna
narkotika merupakan korban seperti yang dimaksud dalam UU
Perlindungan Anak Pasal 67. Karena pada Pasal 127 UU Narkotika
dikatakan bahwa terhadap penyalahguna dikenai sanksi, jika ia dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika barulah
diberi kewajiban untuk menjalani rehabilitasi. Padahal seharusnya menurut
UU Perlindungan Anak mau si anak terbukti atau tidak sebagai korban

9
penyalahgunaan narkotika ia tetap diberi upaya rehabilitasi, dan
terhadapnya tidak dapat dikenai sanksi pidana.
Mengenai anak sebagai penyalahguna narkotika yang sudah
memiliki ketergantungan (pecandu narkotika yang belum cukup umur)
maka terhadapnya berdasarkan Pasal 128 ayat (2) ia tidak dituntut pidana.
Disamping itu juga menurut Pasal 55 ayat (1) anak tersebut harus dirawat
melalui rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan UU Perlindungan Anak
bahwasannya mereka tetap dianggap korban dan terhadapnya tidak
dapat dikenai sanksi pidana.
Jika kita menghadapi kasus-kasus tindak pidana anak, maka
seharusnya UU Perlindungan Anak harus dipegang teguh dan menjadi
khusus dari Undang-Undang lainnya. Maka menurut UU Perlindungan
Anak, anak sebagai penyalahguna narkotika (bahkan ia sebagai
penyalahguna yang sudah ketergantungan) tetap dianggap korban, dan
terhadapnya harus diberi perlindungan khusus salah satunya rehabilitasi.
Perlindungan khusus inilah yang disebut sebagai restorative justice bagi
anak.
Kelemahan lain pada UU Narkotika adalah ia tidak mengatur
secara eksplisit bagaimana hukumnya jika anak sebagai pengedar
narkotika. Dalam UU Narkotika Pasal 133 hanya diatur bagaimana jika
ada orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana narkotika tertentu dan/atau menggunakan narkotika maka ia
akan dipidana. Hal ini menandakan tidak adanya keadilan restoratif dalam
UU Narkotika yang diberikan pada anak sebagai alat untuk mengedarkan
narkotika karena ruang itu hanya diberikan bagi anak sebagai
penyalahguna narkotika yang telah ketergantungan (pecandu) atau anak
sebagai korban penyalagunaan narkotika. Sekilas ini memberikan kesan
diskriminasi. Konvensi Hak-Hak Anak dan UU Perlindungan Anak

10
mengatakan hal yang sama bahwa terhadap perlindungan anak berlaku
prinsip-prinsip umum yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, kelangsungan hidup dan tumbuh berkembang, dan menghargai
partisipasi anak. Jadi seharusnya mereka dapat diberikan treatment atau
perlakuan yang sama oleh UU Narkotika, yaitu sama-sama mendapatkan
rehabilitasi. Karena kembali lagi pada makna dari keadilan restoratif yang
diberikan pada anak yaitu adanya pemulihan kembali kondisi mereka pada
semula, dan bentuknya dapat berupa rehabilitasi mengingat ini untuk
kepentingan tarbaik anak, keberlangsungan hidup dan tumbuh
berkembang, dan juga tidak boleh mendiskriminasikan anak. Padahal, UU
Perlindungan Anak secara tegas mengatakan bahwa jika anak terlibat
dalam distribusi dan produksi narkotika maka ia dianggap korban, dan
terhadapnya harus diberi perlindungan khusus selayaknya anak sebagai
penyalahguna narkotika (Pasal 67), dan terhadapnya pula karena ia
korban maka tidak dapat dikenai sanksi pidana menurut UU
Perlindungan Anak. Kita dapat menilai bahwa UU Narkotika dan UU
Perlindungan Anak tidak sinkron dalam mengatur anak sebagai pengedar.
Anak sebagai pengedar narkotika harus diupayakan rehabilitasi
didukung oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Badan
Narkotika Nasional (BNN) dalam nota kesepahaman yang telah mereka
tandatangani yaitu mengenai langkah perlindungan anak terhadap bahaya
narkoba. Disitu dikatakan terkait permasalahan hukum yang diberikan
kepada anak dalam kasus narkoba baik sebagai pengedar maupun
pemakai, harusnya anak tersebut direhabilitasi. Hal ini semata-mata karena
kita harus memposisikan anak sebagai korban dimana ia hanya dijadikan
alat. Kenyataannya dilapangan ada sekian banyak anak yang seharusnya
mendapat rehabilitasi tetapi justru malah dipenjara. Jadi dengan adanya
nota ini kedua pihak memiliki kewajiban untuk melakukan pendampingan

11
terhadap anak yang mengalami ketergantungan narkotika, untuk
selanjutnya diarahkan ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).10
Dari pernyataan ini kita tahu ternyata seharusnya anak
mendapatkan tindakan yang bersifat restoratif, bukan retributif. Dalam
kata lain mendapatkan suatu pemulihan kembali yaitu rehabilitasi, bukan
yang sifatnya menjerakan.
Lantas apa itu rehabilitasi? Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang dimaksud dengan Rehabilitasi adalah :
rehabilitasi /rhabilitasi/ n 1 pemulihan kpd kedudukan
(keadaan, nama baik) yg dahulu (semula); 2 perbaikan anggota
tubuh yg cacat dsb atas individu (msl pasien rumah sakit, korban
bencana) supaya menjadi manusia yg berguna dan memiliki tempat
dl masyarakat;

merehabilitasi v 1 melakukan rehabilitasi; memulihkan kpd


(keadaan) yg dahulu (semula); 2 memulihkan kehormatan (nama
baik): pengadilan ~ nama tertuduh yg tidak terbukti
kesalahannya;

Dari pengertian diatas maka kita tahu bahwa rehabilitasi tidak


hanya memulihkan seseorang yang sakit, namun juga memulihkan
keadaan atau nama baik orang tersebut agar dapat kembali pada keadaan
semula.
Terdapat banyak sekali kasus tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak, baik ia sebagai penyalahguna ataupun pengedar
narkotika di Indonesia. Beberapa kasus yang penulis ambil dari
penelurusan internet (akan dilampirkan pada lampiran 1) membuktikan
adanya fakta bahwa terdapat anak yang melakukan penyalahgunaan
narkotika dan peredaran narkotika. Fakta ini diteliti dan dibuktikan oleh
BNN, KPAI, berdasarkan hasil penulis mengunjungi LPKA Bandung, dan
instansi lain. Berikut hasil rekapitulasi dari kasus-kasus tersebut :

10 Pikiran Rakyat. Jumlah Pengedar Narkoba Anak Meningkat Hingga 300 Persen. 2015.
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/04/28/325186/jumlah-pengedar-narkoba-anak-
meningkat-hingga-300-persen

12
Tabel 1.

Tahun Tempat Anak yang Anak Sebagai Anak Anak Sebagai Tidak
Melakukan Penyalahguna Sebagai Penyalahguna terdapat
Tindak Narkotika Pengedar dan Pengedar data
Pidana Narkotik Narkotika yang
a spesifik
2006 Indonesia - 8.500 Siswa - - -
SD
2007 Kota - 40 50 Siswa - - -
Bekasi SD
2009 - - - - 113 Siswa SD -
2012 - - - 17 Anak - -
2013 - - - 31 Anak - -
2014 - - - 42 Anak - -
2015 LAPAS 184 Anak - - - 84 Anak
anak di
Tangerang

LPKA di
Bandung 196 Anak - - - 35 Anak
(5/08/15)

LPKA di
Bandung 173 Anak - - - 49 Anak
(26/09/15)

LPKA di
Bandung 178 Anak - 20 Anak - -
(23/03/16)

Sumber :
Harian terbit. 2015.
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/28/26655/25/25/Miris-
Angka-Anak-Korban-Narkoba-Naik-400-Persen
Pikiran Rakyat. Jumlah Pengedar Narkoba Anak Meningkat Hingga 300
Persen. 2015. http://www.pikiran-

13
rakyat.com/nasional/2015/04/28/325186/jumlah-pengedar-narkoba-anak-
meningkat-hingga-300-persen
Detik News. Asusila, Narkoba, dan Pembunuhan Tiga Besar Kasus Anak
di LPKA Bandung. 2015. http://news.detik.com/berita/2984291/asusila-
narkoba-dan-pembunuhan-tiga-besar-kasus-anak-di-lpka-bandung
Selamatkan Anak Kita Dari Narkoba. 2009.
https://m.facebook.com/notes/selamatkan-anak-kita-dari-narkoba/kasus-
narkoba-dari-anak-sd-hingga-jaksa/169362358183/

Memang data-data diatas tidak mencakup keseluruhan kasus


narkotika terkait anak di Indonesia, namun dari gambaran diatas kita
menjadi tahu bahwa anak sebagai penyalahguna narkotika dan pengedar
narkotika saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dan perlu menjadi fokus.
Pada buku Maidin Gultom yang berjudul Perlindungan Hukum
terhadap Anak dan Perempuan dikatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitian, seseorang menggunakan narkotika sebanyak 81,30%
dipengaruhi oleh bujukan teman, kemudian terjadi pemakaian narkotika
yang disediakan teman sehingga terjadi kekambuhan 58,36%.11
Dari data diatas (tabel 1) tampak bahwa anak sebagai pengedar
narkotika banyak yang dipenjara. Seharusnya berdasarkan UU
Perlindungan Anak ia wajib menjalani rehabilitasi, dan karena ia dianggap
korban maka tidak dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan hasil
wawancara dengan pihak LPKA di Bandung, ternyata tidak ada fasilitas
khusus yang diberikan pada para narapidana narkotika bagi anak. Jadi
semua treatment yang diberikan pada anak sama. Mau ia melakukan
tindak pidana pembunuhan, pencurian, seksual, bahkan narkotika akan
diberikan treatment yang sama. Dengan kata lain, tidak ada upaya
rehabilitasi secara medis maupun sosial bagi anak sebagai penyalahguna
atau pengedar narkotika dalam LPKA di Bandung.

11 MAIDIN GULTOM. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN 125, (PT Refika
Aditama, Bandung, 2013)

14
Anak yang terlibat tindak pidana narkotika tidak layak
diperlakukan sebagai pelaku kejahatan dan diberi tindakan yang bersifat
retributive justice karena ia sebenarnya merupakan korban dari sebuah
sindikat kejahatan. Dengan adanya restorative justice anak mendapat
ruang dari sebuah sistem peradilan karena anak hanya sebagai korban dari
sindikat kejahatan. Dengan kata lain, para penegak hukum harus berusaha
semampu mereka untuk menjauhkan anak dari penjara dan mendekatkan
anak pada rehabilitasi.
Tidak menutup kemungkinan ada anak yang secara psikologis akan
terganggu karena pidana penjara yang diberikan kepadanya. Beberapa
pernyataan dari L.H.C Hulsman mengenai pidana penjara bahwa dengan
adanya pidana penjara maka ada pandangan rendah terhadap manusia, ia
menjadi dungu. Lalu mematikan rasa percaya diri si pelaku, kemudian
menghapuskan relasi antar orang, dan menghilangkan rasa penerimaan
dari masyarakat saat bebas nanti. Bayangkan jika hal ini terjadi pada anak,
padahal ia memiliki hak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik.12 UU SPPA yang berlaku bagi anak memiliki konsep tujuan
pemidanaan bagi anak yaitu bahwa penjara merupayakan upaya terakhir
bagi anak. Jadi, penjara hanyalah alternatif pemidanaan yang bukan
merupakan prioritas. Maka hendaknya kita tetap mendekatkan anak pada
rehabilitasi.
Keuntungan dari pemberian program rehabilitasi bagi anak juga
banyak, seperti ia akan kembali sehat secara jasmani dan rohani, jauh dari
dampak penjara yang mungkin menjadi sarang bandar narkotika, jauh dari
dampak penjara yang membatasi kemerdekaan anak, dan ia akan merasa
terlahir kembali dengan masa depan yang cerah.13
Maka dari itu, baik anak sebagai penyalahguna narkotika ataupun
pengedar narkotika, kita harus tetap memperjuangkan keadilan restoratif

12 C. DJISMAN SAMOSIR. SEKELUMIT TENTANG PENOLOGI & PEMASYARAKATAN 27-28, (Penerbit


Nuansa Aulia, Bandung, 2014)
13 Pedro Gondem. 7 Keuntungan Rehabilitasi. http://pedrogondem.blogspot.co.id/2014/04/7-
keuntungan-rehabilitasi.html

15
untuk mereka, yang dalam hal ini mereka haruslah mendapatkan
penanganan yang sifatnya memulihkan kembali anak tersebut pada
keadaan semula (mengingat adanya keadilan restoratif) dan bukan
penanganan yang sifatnya retributif. Hal tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk pemberian program rehabilitasi. Oleh karena itu penulis melakukan
penelitian yang akan dilakukan di Kota Bandung dan penulisan hukum
dengan judul :

PENERAPAN REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA


ANAK DAN PENGEDAR NARKOTIKA ANAK

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


1. Dari latar belakang di atas diketahui bahwa UU Perlindungan Anak dan
UU Narkotika tidak mengatur hal yang sama mengenai penyalahguna
narkotika anak. Hal ini mempengaruhi pemberian upaya rehabilitasi bagi
anak. Maka dilakukan penelitian sejauh mana penyalahguna narkotika
anak mendapatkan rehabilitasi dalam praktek.
2. Selain anak sebagai penyalahguna narkotika, anak sebagai pengedar
narkotika harus dianggap sebagai korban berdasarkan UU Perlindungan
Anak. Maka terhadapnya harus diberi upaya rehabilitasi dan tidak diberi
sanksi pidana. Namun, UU Narkotika tidak mengatur hal tersebut. Maka
dilakukan penelitian apakah dimungkinkan pengedar narkotika anak
mendapat program rehabilitasi untuk mencapai restorative justice? Jika
tidak dimungkinkan, apa yang menjadi alasannya?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka tujuan
dari manfaat dari penulisan hukum ini adalah :
1. Untuk memberi gambaran bagaimana peraturan perundang-undangan
mengenai anak-anak yang terlibat kasus tindak pidana narkotika.
2. Untuk mengetahui bagaimana sikap dari para penegak hukum jika
berhadapan dengan kasus anak yang terlibat tindak pidana narkotika.

16
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan rehabilitasi
bagi anak sebagai penyalahguna narkotika.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah mungkin rehabilitasi
diupayakan bagi anak sebagai pengedar narkotika.

1.4 KEGUNAAN PENULISAN


1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana yang
bersinggungan dengan anak, dalam hal ini adalah tindak pidana narkotika.
Sehingga kita menjadi satu pemahaman terhadap anak yang melakukan
tindak pidana narkotika. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan menyelaraskan aturan-aturan mengenai anak yang terlibat
tindak pidana narkotika.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
para penegak hukum untuk menangani tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak serta cara pandang kita sebagai masyarakat terhadap
anak yang melakukan tindak pidana narkotika.

1.5 METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA


1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini menggunakan metode
pendekatan yuridis sosiologis. Metode pendekatan yuridis sosiologis
adalah pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam
masyarakat.14 Jadi penulis mengetahui bagaimana hukum bekerja di
masyarakat (law in action) yang dalam hal ini adalah bagaimana UU
Perlindungan Anak dan UU Narkotika dapat bekerja didalam masyarakat
khususnya yang berhubungan dengan kegiatan tindak pidana narkotika
oleh anak.
1. Dari sudut yuridis : penelitian dengan cara melakukan kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang akan diteliti. Peraturan
perundang-undangan ini dibenturkan, dikaji, dan diteliti dengan

14 H. ZAINUDDIN ALI. METODE PENELITIAN HUKUM 105, (Sinar Grafika, Jakarta, 2014)

17
permasalahan yang ada, yaitu yang terdapat dalam
identifikasi/perumusan masalah diatas.
2. Dari sudut sosiologis : berdasarkan pengkajian peraturan yang ada
kemudian diselaraskan dengan kenyataan, yaitu dengan cara
mengadakan penelitian secara kualitatif di lapangan.
3. Penelitian secara kualitatif merupakan hal yang sangat penting dalam
metode pendekatan yuridis sosiologis. Kualitatif disini adalah suatu
tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptis-analitis, yaitu
apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.15

2. Metode Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan data yang objektif maka penelitian ini didapatkan
dari pengumpulan data yang berasal dari berbagai sumber dengan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan fakta-fakta yang dikumpulkan dari
hasil penelitian lapangan yang dapat menjawab perumusan
masalah. Cara mendapatkan sumber data primer adalah dilakukan
wawancara secara terstruktur. Seperti yang dikatakan sebelumnya
bahwa penelitian akan dilakukan secara kualitatif. Sebelumnya
wawancara akan dilakukan dengan pihak-pihak yang berwenang
di:
1. Badan Narkotika Nasional (BNN) di Bandung
2. Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) di Bandung
3. Pengadilan (seperti Hakim dan Jaksa yang khusus menangani
perkara anak dengan narkotika)
4. Panti Rehabilitasi
5. Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Bandung
6. Polrestabes Bandung

Namun karena penulis merasa butuh untuk mencari informasi lebih


dalam dari instansi lain, dan juga karena terdapat rekomendasi

15 SOERJONO SOEKANTO. PENGANTAR PENELITIAN HUKUM 250-251, (Penerbit Universitas


Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2014)

18
tempat dari intansi yang telah penulis kunjungi, maka pihak-pihak
yang diwawancara bertambah. Jadi, secara keseluruhan wawancara
dilakukan dengan :
1. Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung
2. Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat
3. Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
4. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung
5. Anak Pidana Narkotika di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
di Bandung
6. Lembaga Swadaya Masyarakat Narkotika
7. Lembaga Perlindungan Anak
8. Lembaga Advokasi Hak Anak
9. Rumah Cemara (Panti Rehabilitasi)
10. Hakim Anak

Objek penelitian dilakukan di wilayah kota Bandung untuk


mempermudah melakukan penelitian ini.

b. Sumber Data Sekunder


Sumber Data Sekunder yaitu pengumpulan data yang didapatkan
dari bahan-bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah, atau
pengertian tentang fakta yang diketahui dan hal lain yang terkait.
Sumber data sekunder ini di dapat dari :
(1) Bahan hukum primer : bahan hukum yang sifatnya mengikat
yang terdapat dalam asas dan perundang-undangan.
(2) Bahan hukum sekunder : bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari
buku-buku, makalah, penelusuran internet, dan hasil
penelitian.
(3) Bahan hukum tersier : bahan hukum yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder yang terdiri dari kamus dan ensiklopedia.

Jadi, dalam penulisan hukum ini pada awalnya penulis


memaparkan terlebih dahulu teori-teori mengenai anak sebagai pelaku
tindak pidana narkotika yang menjelaskan apa itu tindak pidana narkotika,
bagaimana jika anak melakukan tindak pidana narkotika, dan apa

19
sebenarnya yang dimaksud dengan anak hingga menjelaskan pula anak
yang berhadapan dengan hukum.
Kemudian, setelah melakukan pemaparan teori, penulis
memaparkan hasil dari penelitian atau paparan beberapa sumber data
primer dan sekunder. Pada bagian ini dianalisis bagaimana
penanggulangan terhadap anak yang terlibat tindak pidana narkotika
dilihat dari para penegak hukum dan juga menurut peraturan-peraturan
yang terkait dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan anak.
Dalam penulisan hukum ini pasti terdapat beberapa masalah yang
penulis hadapi, antara lain seperti sulitnya mendapatkan data-data yang
dibutuhkan untuk memperkuat hasil penelitian penulis. Hal ini disebabkan
oleh ada beberapa hal yang tidak boleh dipublikasikan menurut beberapa
instansi atau beberapa narasumber. Namun hal ini dapat diatas oleh penulis
dengan mencoba menggali informasi dengan narasumber tersebut tanpa
harus memberi data eksplisit dan menggali informasi dari narasumber lain
yang saling berkaitan. Selain itu, masalah yang penulis hadapi juga
mengenai adanya perbedaan sudut pandang antara beberapa penegak
hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Seperti
ada yang seharusnya anak direhabilitasi, namun ada yang mengatakan
anak tidak perlu direhabilitasi. Namun pada dasarnya jawaban-jawaban
dari beberapa penegak hukum tersebut dapat penulis analisis serta
menjawab pula permasalahan hukum yang ada. Kesulitan lainnya adalah
karena penelitian dilakukan secara yuridis sosiologis dengan metode
kualitatif, maka sedikit sulit bagi penulis untuk mengerjakannya
menggunakan target waktu. Namun penulis berusaha untuk mengatasi hal
tersebut untuk terus melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing
serta mengerjakan penulisan hukum ini dengan tekun.

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN


Untuk mempermudah pengkajian materi dari penulisan ini, maka
penulisan ini disusun secara sistematis. Sistematika penulisan hukum ini
dikelompokkan dan bab-bab yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN

20
Berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kegunaan penulisan, metode penelitian dan teknik
pengumpulan data, serta sistematika penulisan.

BAB II : ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA


Bab ini membahas teori-teori mengenai tindak pidana narkotika, lalu
bagaimana kebijakan Negara jika anak sebagai penyalahguna
narkotika dan pengedar narkotika, serta pada dasarnya apa sebenarnya
yang dimaksud dengan seorang anak.

BAB III : PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA


NARKOTIKA YANG MELIBATKAN ANAK SEBAGAI
PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA
Bab ini membahas hasil penelitian yang dilakukan di kota Bandung
sesuai dengan metode penelitian dalam bab I. Pada bagian ini penulis
membahas praktek penanggulangan anak sebagai penyalahguna
narkotika dan pengedar narkotika bagaimana dilihat dari peraturan
perundang-undangan serta bagaimana yang sebenarnya terjadi pada
kenyataannya. Pada bagian ini akan dipaparkan hasil penelitian
penulis dengan beberapa narasumber serta paparan tentang hasil
penelitian yang dilakukan oleh orang lain untuk menyempurnakan
penulisan hukum penulis.

BAB IV : PENERAPAN REHABILITASI BAGI ANAK


SEBAGAI PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA
Bab ini akan membahas tinjauan yuridis sosiologis dari permasalahan
hukum menggunakan hasil penelitian pada bab III dan juga teori-teori
yang ada pada bab II yang kemudian akan menjawab permasalahan
dalam bab I.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

21
Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dari seluruh bab yang
menjadi pembahasan dalam penelitian ini, serta saran yang dapat
digunakan terkait dari hasil penelitian.

BAB II

ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

2.1 TINDAK PIDANA NARKOTIKA


2.1.1 Tindak Pidana Narkotika
Perkataan narkotika berasal dari bahasa yunani, yaitu narcois
yang berarti narkose atau menidurkan, yaitu suatu zat atau obat-obatan
yang membiuskan sehingga tidak merasakan apa-apa. Pada perkembangan
zaman terjadilah perubahan, ternyata tidak hanya terbatas pada pengertian
obat yang menyebabkan seseorang dapat tidur, berubah menjadi bahan
atau zat yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya menjadi
tidur, yang disebut obat perangsang susunan saraf pusat.16
Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh
tertentu bagi mereka yang menggunakannya. Narkotika dapat digunakan
dengan cara pembiusan. Efek dari narkotika adalah untuk menghilangkan

16 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 121

22
rasa sakit, timbulnya rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya
khayalan-khayalan. Dalam dunia medis narkotika dimanfaatkan untuk
pengobatan seperti di bidang pembedahan (berlangsungnya operasi) yang
tujuannya untuk menghilangkan rasa sakit.17
Indonesia memiliki regulasi mengenai narkotika, yaitu pada
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, selanjutnya disebut
UU Narkotika). Dalam Pasal 1 UU Narkotika yang disebut dengan
narkotika adalah:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang
ini.

Padal Pasal 7 dan Pasal 8 UU Narkotika menegaskan batasan


penggunaan narkotika. Pasal 7 UU Narkotika mengatakan bahwa:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi

Pasal 8 UU Narkotika mengatakan bahwa:


(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostic,
serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan.

Maka penggunaan narkotika diluar daripada Pasal 7 dan Pasal 8


dapat dikatakan melanggar UU Narkotika. Pertanyaannya adalah darimana
orang yang menggunakan narkotika tersebut mendapatkan narkotika diluar

17 Id

23
Pasal 7 dan 8? Menurut penelusuran Rakyat Merdeka untuk mendapatkan
narkotika tidaklah sulit. Ditempat-tempat malam di Jakarta pil ekstasi
dengan mudah untuk didapatkan. Begitu juga dengan ganja dan shabu-
shabu. Transaksi yang dilakukanpun secara diam-diam. 18 Hal ini
merupakan suatu tindak pidana. Jadi baik orang yang menggunakan
maupun yang mengedarkan narkotika dapat dikatakan mereka melakukan
tindak pidana narkotika.
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus dalam hukum
pidana. Pengaturannya diluar dari KUHP, dengan kata lain ia memiliki
regulasinya sendiri yaitu UU Narkotika. Kekhususan dalam UU Narkotika
dalam hukum materiilnya antara lain adalah :
1. Ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda minimum
dalam beberapa pasalnya
2. Putusan pidana denda apabila tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
pidana narkotika, dijatuhkan pidana penjara pengganti benda (Pasal
148)
3. Pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda bisa dijatuhkan
bersama-sama (kumulatif) dalam beberapa pasal
4. Pelaku percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana narkotika tertentu, diancam dengan pidana yang sama sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut
(Pasal 132 ayat (1))
5. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan
terorganisasi (Pasal 132 ayat (2)) atau yang dilakukan oleh korporasi
(Pasal 130) lebih berat
6. Ada pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan
tertentu dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk
melakukan tindak pidana narkotika tertentu (Pasal 133)

18 Kantor Berita Politik RMOL. 3,2 Juta Rakyat Indonesia Menjadi Pengguna Narkoba, Hasil
Penelitian Badan Narkotika Nasional 2011. http://www.rmol.co/read/2012/01/25/52908/3,2-Juta-
Rakyat-Indonesia-Menjadi-Pengguna-Narkoba-

24
7. Bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja
tidak melaporkan diri diancam pidana, demikian juga terhadap
keluarga pecandu narkotika juga diancam pidana (Pasal 134)
8. Bagi orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang
sengaja tidak melapor diancam pidana (Pasal 128 ayat (1)), sedangkan
pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh
orang tua atau walinya tidak dituntut pidana (Pasal 128 ayat (2))
9. Ada ketentuan khusus yang mengatur tentang residivis (Pasal 144)
Kekhususan dalam UU Narkotika terhadap hukum formalnya
antara lain :
1. Perkara tindak pidana narkotika termasuk perkara yang didahulukan
penyelesaiannya (Pasal 74 ayat (1))
2. Penyidik mempunyai wewenang tambahan dan prosedur yang
menyimpang dari KUHAP
3. Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa
perkara beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara
dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik
sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (Pasal
100 ayat (1))
4. Di dalam persidangan pengadilan saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkata tindak pidana narkotika, dilarang
menyebut nama dan alamat pelapor (Pasal 99 ayat (1))
5. Ada prosedur khusus pemusnahan barang bukti narkotika (Pasal 94)19.
Jenis-jenis narkotika terbagi ke dalam beberapa golongan, yaitu
Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. Berikut penjelasan tiap
golongan narkotika serta jenis-jenis narkotika:
1. Golongan I merupakan narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
2. Golongan II merupakan narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi

19 HARI SASANGKA. supra catatan no. 4, pada 169-170

25
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3. Golongan III merupakan narkotika yang memiliki daya aktif ringan,
tetapi bermanfaat dan berkhasiat untuk pengobatan dan penelitian.
Narkotika jenis Golongan III ini banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.20

2.1.2 Penyalahguna Narkotika dan Kebijakan Negara Terhadap


Penyalahguna Narkotika
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa batasan narkotika untuk
digunakan adalah Pasal 7 dan 8 UU Narkotika. Lantas bagaimana jika ada
orang yang menggunakan narkotika diluar daripada Pasal tersebut?
Dalam UU Narkotika dikenal tiga orang yang pada intinya sama-
sama menggunakan narkotika, yaitu Pecandu Narkotika, Penyalahguna
Narkotika, dan korban penyalahgunaan Narkotika. Apa perbedaannya?
Pada dasarnya sulit untuk mencermati perbedaan diantara tiga hal tersebut.
Karena, pada dasarnya mereka sama-sama menggunakan narkotika namun
tidak sesuai dengan melebihi apa yang disuruh oleh Pasal 7 dan Pasal 8
UU Narkotika. Untuk mempermudah membedakannya, mari kita lihat
definisi dari masing-masing definisi kata tersebut.
Pecandu narkotika menurut UU Narkotika adalah:
Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Maksud dari penyalah guna menurut UU Narkotika adalah:


Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.

Maksud dari korban penyalahgunaan narkotika menurut UU


Narkotika adalah :

20Golongan Narkotika Menurut UU 35 Tahun 2009.


http://indodrugs.blogspot.com/2013/06/golongan-golongan-narkotika.html

26
Seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika
karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika

Ketiga orang tersebut sama-sama menggunakan narkotika. Namun


jika dilihat dari pengertiannya, apakah pecandu memiliki hak dan
perbuatannya tidak melawan hukum jika menggunakan narkotika?
Jawabannya tentu saja perbuatannya tetap dikatakan melawan hukum dan
ia tidak mempunyai hak untuk menggunakan narkotika, karena terhadap
seorang pecandu dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 55 jo Pasal 103 UU Narkotika.
Pasal 127 UU Narkotika mengatakan bahwa:
(1) setiap penyalah guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 54 UU Narkotika mengatakan bahwa:


Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 55 UU Narkotika mengatakan bahwa:


(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup
umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan
diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis

27
dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 103 UU Narkotika mengatakan bahwa:


(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
1. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
2. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/ataiu perawatan bagi Pecandu
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika sama-sama


menyalahgunakan Narkotika. Mereka sama-sama melakukan perbuatannya
secara melawan hukum dan tidak memiliki hak untuk menggunakan
narkotika. Hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik
tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis. Dengan kata lain, pecandu yang ketergantungan tersebut
adalah penyalahguna yang telah ketergantungan dengan narkotika.
Sehingga bagi pecandu Narkotika hanya dikenakan tindakan berupa
kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam
jangka waktu maksimal sama dengan jangka waktu maksimal pidana
penjara sebagaimana tercantum pada Pasal 127 huruf a UU Narkotika.21
Jika kita cermati, maka sebenarnya pecandu narkotika pun
termasuk juga penyalah guna. Pecandu narkotika yang dikenai sanksi
pidana penjara (namun disertai dengan rehabilitasi) maka berstatus sebagai

21 Nugroho Prasetyo Hendro, S.H. (Hakim dan Humas pada Pengadilan Negeri Sengkang).
Kualifikasi Penyalahguna, Pecandu, Korban Penyalahguna dan Pengedar dalam Kejahatan
Narkotika. http://pn-sengkang.go.id/artikel-nugroho-p-h.pdf

28
penyalahguna narkotika pula. Namun jika tidak diberi sanksi pidana
penjara maka ia hanya sebagai pecandu narkotika dan terhadapnya
hanya dikenai tindakan rehabilitasi.
Lalu bagaimana dengan korban penyalahgunaan narkotika? Pada
dasarnya ia tetap bagian dari penyalahguna narkotika hanya saja ia
berstatus sebagai korban. Sesuai dengan Pasal 54 dan Pasal 127 UU
Narkotika maka korban penyalahgunaan narkotika berhak untuk
mendapatkan rehabilitasi.
Dalam penulisan hukum ini berdasarkan pengertian diatas maka
penulis akan menggunakan kata penyalahguna narkotika dalam artian ia
sebagai penyalahguna narkotika, pecandu narkotika, dan juga korban
penyalahgunaan narkotika. Dengan kata lain, penyalahguna narkotika
mencakup pula pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
dengan suatu kondisi tertentu (yang telah dijelaskan diatas). Maka, ketika
penulis menulis pecandu narkotika maka sama saja dengan ia sebagai
penyalahguna narkotika.
Seorang penyalahguna yang ketergantungan dengan narkotika
disebut sebagai pecandu narkotika. Ia memiliki ketergantungan
narkotika. Ketergantungan narkotika menurut UU Narkotika adalah:
Kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-
tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4


Tahun 2010 (selanjutnya disebut SEMA No. 4 Tahun 2010) menjadi tolak
ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi pecandu narkotika sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 55 jo Pasal 103 UU
Narkotika. Dalam No. 4 Tahun 2010 menyebutkan bahwa seorang pecandu
narkotika dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi, dengan kriteria
sebagai berikut:

29
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN
dalam kondisi tertangkap tangan.
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas, diketemukan barang
bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai
berikut:
1. Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
2. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
5. Kelompok Ganja seberat 5 gram.
6. Daun Koka seberat 5 gram.
7. Meskalin seberat 5 gram.
c. Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba
yang dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik
d. Perlu surat keterangan dari dokter jika / psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh hakim
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam
peredaran gelap narkotika.
SEMA No. 4 Tahun 2010 di atas digunakan untuk tolak ukur bagi
penyalahguna yang tergantung pada narkotika karena ia memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap narkotika (status sudah menjadi
pecandu narkotika). Karena itu maka si penyalahguna dapat dikenakan
pidana Pasal 127 Ayat (1), bukan dikenai pidana pada Pasal 111 atau Pasal
112 UU Narkotika walaupun antara penyalahguna dengan pelaku yang
diancam pidana pada Pasal 111 atau 112 tersebut sama-sama memiliki,
menyimpan, menguasai Narkotika.
Kita mengetahui bahwa pecandu narkotika memiliki
ketergantungan berlebih pada narkotika. Suatu hal yang bersifat
ketergantungan pasti membawa akibat yang berdampak negatif terlebih
mengenai narkotika yang penggunaannya tanpa pengendalian dan
pengawasan ketat. Akibat dari menyalahgunakan narkotika adalah
terjadinya perubahan perilaku. Lebih jelas lihat tabel berikut:

30
Tabel 2.
No. Sebelum Memakai Narkotika Sesudah Memakai Narkotika
1. Riang Menjadi pendiam, suka
memendam rasa
2. Sehat Menjadi sakit-sakitan
3. Bertenaga Menjadi loyo
4. Percaya diri Menjadi peragu
5. Sabar Menjadi mudah putus asa
6. Bersemangat Menjadi lemah semangat
7. Rajin Menjadi suka membolos
8. Ada perhatian kepada orang lain Menjadi acuh tak acuh, egois
9. Hemat Menjadi boros, sering meminta
uang dan kadang mencuri22

Jika dari sudut pandang dari kalangan medis maka akibat


penyalahgunaan narkotika dibagi atas lima kelompok, yaitu:
1. Kelompok Narkotika
Antara lain opium berat dan sedang, morfin, kodein, heroin,
hidromorfin, dan metadon.
Pengaruhnya menimbulkan euphoria, rasa kantuk berat, penciutan
pupil mata, rasa mual, dan sesak pernafasan.
Gejala bebas pengaruhnya adalah mata berair dan hidung ingusan,
sering menguap, gampang marah, gemetaran, panic, kejang otot,
rasa mual, serta menggigil disertai keringat.
2. Kelompok Depressant
Antara lain kloral hidrat, obat-obat tidur, obat penenang (valium),
dan metakualon.
Pengaruhnya menimbulkan gagap, disorientasi, dan rasa mabuk
tapi tanpa bau alcohol.
Kelebihan dosis akan menimbulkan pernafasan pendek, kulih
lembab, pelebaran pupil mata, lemah dengan disertai denyut nadi
cepat, koma dan ada kalanya kematian.
3. Kelompok Stimulant
22 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 123.

31
Antara lain kokain, penmetrazin dan metilenidat.
Pengaruhnya menimbulkan kewaspadaan yang berlebihan,
kegairahan yang berlebihan, euphoria, percepatan denyut nadi
dan peningkatan tekanan darah, susah tidur dan kehilangan nafsu
makan.
Kelebihan dosis akan menimbulkan sikap agitasi, peningkatan
suhu badan, halusinasi, kejang-kejang dan ada kalanya kematian.
Gejala bebas pengaruhnya adalah apatis, tidur lama sekali,
gampang marah, murung dan tidak disorientasi.
4. Kelompok Hallucinogen
Antara lain LSD, meskalin dan piyot, bermacam-macam
ampetamin, berat dan pensiklidin.
Pengaruhnya menimbulkan ilusi dan halusinasi, serta
memburuknya persepsi tentang jarak dan waktu.
Kelebihan dosis akan menimbulkan pengalaman menjadi kisah
yang hebat dan lama, gangguan jiwa dan ada kalanya kematian.
Gejala bebas pengaruhnya belum pernah dilaporkan orang.
5. Kelompok Cannabis (seperti ganja kering)
Antara lain semua bahan-bahan yang berasal dari tanaman
cannabis dikenal juga marijuana atau mariyuana.
Pengaruhnya menimbulkan euphoria, dikuasai perasaan santai,
peningkatan nafsu makan, dan tingkah laku disorientasi.
Kelebihan dosis akan menimbulkan kelesuan, paranoia, dan
adakalanya gangguan jiwa.
Gejala bebas pengaruhnya adalah susah tidur, hiperaktif, dan
adakalanya nafsu makan berkurang.23
Kemudian Kartini Kartono dalam buku Maidin Gultom
mengemukakan efek dan bahaya penyalahguna narkotika yang dilihat dari
beberapa sisi, yaitu:
Tabel 3.
Fisik Badan jadi ketagihan, sistem syaraf jadi lemah atau rusak
secara total. Lalu menimbulkan komplikasi kerusakan pada
lever dan jantung. Kondisi tubuh jadi rusak karena muncul
macam-macam penyakit lainnya.

23 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 123-124.

32
Psikis Ketergantungan psikis, kemauan lemah atau musnah sama
sekali. Daya pikir dan perasaan jadi rusak. Jiwanya jadi
murung depresif. Aktivitas dan kreativitas intelektualnya
hilang sama sekali.
Ekonomis Ganja dan bahan-bahan narkotika harganya sangat mahal.
Sedang untuk kebutuhan rutin diperlukan suplai yang
kontinu / terus-menerut, dan harus dipenuhi. Oleh karena itu,
betapapun besarnya harta kekayaan, si pemilik pasti jadi
pailit, ludes, bangkut, dan tidak bisa tertolong lagi.
Sosiologis Bila para pecandu tidak berduit, namun badan dan jiwanya
terus-menerus ketagihan bahan narkotika, sedang minta uang
kepada orang tua tidak diberi lagi, atau harta milik sudah
ludes bersih, maka para pecandu lalu melakukan macam-
macam tindak pidana dan tindak amoral. Berkembanglah
kemudian gejala-gejala sosial seperti prostitusi, juvenile
delinquency, kriminalitas, radikalisme ekstrem (pembunuha,
penculikan, penyanderaan, dan lain-lain), gangguan mental.
Semua ini merupakan masalah sosial yang mengganggu
ketentraman masyarakat dan tidak mudah memberantasnya.24

2.1.3 Pengedar Narkotika dan Kebijakan Negara Terhadap Pengedar


Narkotika
Kita tahu bahwa narkotika hanya dapat digunakan dengan batasan
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Narkotika. Pecandu narkotika
menggunakan narkotika diluar dari Pasal 7 dan Pasal 8. Pertanyaannya
adalah darimana pecandu narkotika mendapatkan barang atau narkotika
tersebut?
UU Narkotika mengenal istilah Peredaran Gelap Narkotika.
Dalam Pasal 1 angka 6 UU Narkotika dijelaskan maksud dari Peredaran
Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, yaitu:
Setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor narkotika

Pada dasarnya peredaran narkotika diperbolehkan hanya saja


dengan batasan yang terdapat dalam Pasal 35 UU Narkotika. Pasal 35 UU
Narkotika mengatakan bahwa:
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan

24 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 125-126.

33
narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan
perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Jadi jika peredaran narkotika dilakukan diluar dari Pasal 35 maka


hal itu disebut dengan peredaran gelap. Jadi dari hal diatas kita mengetahui
bahwa perbuatan tersebut melawan hukum dan orang yang mengedarkan
tidak memiliki hak untuk mengedarkan narkotika. Lebih spesifik lagi
bahwa tanpa hak dan melawan hukum mengartikan kegiatan peredaran
yang dilakukan adalah tanpa adanya dokumen yang sah. Seperti yang
dikatakan dalam Pasal 38 UU Narkotika bahwa:
Setiap kegiatan peredaran narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen yang sah

Dalam Pasal Penjelas Pasal 38 yang dimaksud dengan wajib


dilengkapi dengan dokumen yang sah adalah:
Bahwa setiap peredaran narkotika termasuk pemindahan
narkotika keluar kawasan pabean ke gudang importir,
eksportir, industry farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter atau apotek. Dokumen
tersebut berupa Surat Persetujuan Impor / Ekspor, faktur,
surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau
salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari narkotika bersangkutan

Perbuatan diatas dilakukan oleh seorang atau sekelompok


pengedar. Dalam UU Narkotika tidak ada definisi Pengedar secara
eksplisit. Namun berdasarkan KBBI yang dimaksud dengan Pengedar
adalah: orang yang mengedarkan, jadi dalam artian orang tersebut
membawa (menyampaikan) sesuatu dari orang yang satu kepada yang
lainnya.
Menurut Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. dalam penelitiannya yang
berjudul Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba ia
menjelaskan bahwa secara implisit dan sempit Pengedar Narkotika /
Psikotropika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan

34
penyerahan Narkotika / Psikotropika. Secara luas, pengertian pengedar
tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi pada makna penjual,
pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai,
menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor
narkotika / psikotropika.25
Dalam UU Narkotika diatur mengenai ancaman pidana bagi
pengedar narkotika. Ancaman pidana bagi pengedar narkotika minimal 4
tahun pidana penjara dan maksimal hukuman mati. Lebih jelasnya
adalah sebagai berikut:
1. Menanam, Memelihara, Memiliki, Menyimpan, Menguasai atau
Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Tanaman
(contoh: Ganja).
Pasal 111 ayat (1) Pasal 111 ayat (2)
Pidana penjara paling singkat 4 tahun Melebihi 1 kilogram atau melebihi 5
dan paling lama 12 tahun dan denda batang pohon maka dipidana penjara
paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling singkat 5 tahun dan paling lama 20
paling banyak Rp 8 miliar rupiah. tahun dan pidana denda paling banyak Rp
8 miliar rupiah ditambah 1/3.

2. Memiliki, Menyimpan, Menguasai, atau Menyediakan Narkotika


Bukan Tanaman (Contoh: Sabut, Ekstasi).
Pasal 112 ayat (1) Pasal 117 ayat (1) Pasal 122 ayat (1)
Golongan I: Pidana paling Golongan II: Pidana Golongan III: Pidana
singkat 4 tahun dan paling penjara paling singkat 3 penjara paling singkat 2
lama 12 tahun denda tahun dan paling lama 10 tahun dan paling lama 7
paling sedikit Rp 800 juta tahun dan pidana denda tahun dan pidana denda
rupiah dan paling banyak paling sedikit Rp 600 juta paling sedikit Rp 400 juta
Rp 8 miliar rupiah. rupiah dan paling banyak rupiah dan paling banyak
Rp 5 miliar rupiah. Rp 3 miliar rupiah.

3. Memiliki, Menyimpan, Menguasai, atau Menyediakan Narkotika

25 HukumOnline.com. Ancaman Pidana Bagi Penangkut Narkotika.


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52688677e81e4/ancaman-pidana-bagi-pengangkut-
narkotika

35
Bukan Tanaman Lebih Dari 5 Gram :
Pasal 112 ayat (2) Pasal 117 ayat (2) Pasal 122 ayat (2)
Golongan I: Pidana Golongan II: Pidana Golongan III: Pidan
penjara paling singkat 5 penjara paling singkat 5 penjara paling singkat
tahun, dan paling lama 20 tahun dan paling lama 15 tahun dan paling lama 1
tahun dan pidana denda tahun dan pidana denda tahun dan pidana denga
paling banyak Rp 8 miliar paling banyak Rp 5 miliar paling banyak Rp 3 mili
rupiah ditambah 1/3 rupiah ditambah 1/3 ditambah 1/3

4. Memproduksi, Mengimpor, Mengeskpor, atau Menyalurkan


Narkotika :
Pasal 113 ayat (1) Pasal 118 ayat (1) Pasal 123 ayat (1)
Golongan I: dipidana Golongan II: Pidana Golongan III: Pidana
penjara paling singkat 5 penjara paling singkat 4 penjara paling singkat 3
tahun dan paling lama 15 tahun dan paling lama 12 tahun dan paling lama 10
tahun dan pidana denda tahun, dan denda paling tahun dan denda paling
paling sedikit Rp 1 miliar sedikit Rp 800 juta rupiah sedikit Rp 600 juta rupiah
rupiah dan paling banyak dan paling banyak Rp 8 dan paling banyak Rp 5
Rp 10 miliar rupiah. miliar rupiah. miliar rupiah.

5. Memproduksi, Mengimpor, Mengekspor, atau Menyalurkan


Narkotika Dalam Bentuk Tanaman Lebih Dari 1 Kilogram / 5
Batang Pohon atau Bukan Tanaman Lebih Dari 5 Gram :
Pasal 113 ayat (2) Pasal 118 ayat (2) Pasal 123 ayat (2)
Golongan I: Pidana mati, Golongan II: Pidana mati, Golongan III: Pidana
penjara seumur hidup, penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5
paling singkat 5 tahun, penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15
paling lama 20 tahun,dan tahun, paling lama 20 tahun, dan denda paling
denda maksimum 10 miliar tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah
ditambah 1/3. banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3.
ditambah 1/3.

6. Menawarkan Untuk Dijual, Menjual, Membeli, Menerima,


Menjadi Perantara Dalam Jual Beli, atau Menyerahkan :
Pasal 114 ayat (1) Pasal 119 ayat (1) Pasal 124 ayat (1)
Golongan I: Pidana Golongan II: Pidana Golongan III: Pidana
penjara seumur hidup, penjara paling singkat 4 penjara paling singkat 3

36
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 12 tahun dan paling lama 10
tahun, paling lama 20 tahun, dan pidana denda tahun, dan pidana denda
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta paling sedikit Rp 600 juta
paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak rupiah dan paling banyak
rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah. Rp 5 miliar rupiah.
Rp 10 miliar rupiah.

7. Menawarkan Untuk Dijual, Menjual, Membeli, Menerima,


Menjadi Perantara Dalam Jual Beli atau Menyerahkan :
Pasal 114 ayat (2) Pasal 119 ayat (2) Pasal 124 ayat (2)
Golongan I: Bentuk Golongan II: Beratnya Golongan III: Beratnya
tanaman beratnya lebih lebih dari 5 gram dipidana lebih dari 5 gram pelaku
dari 1 kilogram atau 5 mati, penjara seumur dipidana penjara paling
batang pohon, atau dalam hidup, penjara paling singkat 5 tahun dan paling
bentuk bukan tanaman singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, dan denda
beratnya lebih dari 5 gram lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar
pelaku dipidana mati, paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3.
penjara seumur hidup, ditambah 1/3.
paling singkat 6 tahun,
paling lama 20 tahun dan
denda paling banyak Rp
10 miliar ditambah 1/3.

8. Membawa, Mengirim, Mengangkut, atau Mentransito :


Pasal 115 ayat (1) Pasal 120 ayat (1) Pasal 125 ayat (1)
Golongan I: Pidana Golongan II: Pidana Golongan III: Pidana
penjara paling singkat 4 penjara paling singkat 3 penjara paling singkat 2
tahun dan paling lama 12 tahun, paling lama 10 tahun, paling lama 7 tahun

37
tahun dan denda paling tahun dan pidana denda dan pidana denda paling
sedikit Rp 800 juta rupiah paling sedikit Rp 600 juta sedikit Rp 400 juta rupiah
dan paling banyak Rp 8 rupiah dan paling banyak dan paling banyak Rp 3
miliar rupiah. Rp 5 miliar rupiah. miliar rupiah.

9. Membawa, Mengirim, Mengangkut atau Mentransito Narkotika


Golongan I Dalam Bentuk Tanaman Lebih Dari 1 Kilogram atau
5 Batang Pohon atau Dalam Bentuk Bukan Tanaman Beratnya
Lebih Dari 5 Gram :
Pasal 115 ayat (2) Pasal 120 ayat (2) Pasal 125 ayat (2)
Golongan I: Pidana Golongan II: Pidana Golongan III: Pidana
penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5 penjara paling singkat 3
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, paling lama 10
tahun, paling lama 20 tahun dan denda paling tahun dan denda paling
tahun dan pidana denda banyak Rp 5 miliar rupiah banyak Rp 3 miliar rupiah
paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3. ditambah 1/3.
rupiah ditambah 1/3.

10. Menggunakan Narkotika Terhadap atau Diberikan Untuk Orang


Lain :
Pasal 116 ayat (1) Pasal 121 ayat (1)
Golongan I: Pidana Golongan II: Pidana
penjara paling singkat penjara paling singkat
5 tahun, paling lama 4 tahun dan paling
15 tahun, pidana denda lama 12 tahun, dan
paling sedikit Rp 1 denda Paling sedikit
miliar rupiah dan Rp 800 juta rupiah dan
paling banyak rp 10 paling banyak Rp 8
miliar rupiah Miliar rupiah.
38
11. Menggunakan Narkotika Terhadap Atau Diberikan Untuk Orang
Lain yang Mengakibatkan Orang Lain Mati Atau Cacat
Permanen :
Pasal 116 ayat (2)
Golongan I, dipidana mati atau penjara
seumur hidup, paling singkat 5 tahun, paling
lama 20 tahun, denda paling banyak Rp 10
miliar rupiah ditambah 1/3.

Seperti yang dikatakan pada Bab sebelumnya bahwa zaman


sekarang pecandu ataupun pengedar narkotika tidak hanya dilakukan oleh
kalangan orang dewasa, namun sudah masuk pada kalangan anak-anak.
Kita tahu bahwa yang dinamakan anak adalah orang yang belum matang
fisik dan batinnya, maka pastilah ada suatu faktor yang menjadi penyebab
anak bisa menjadi candu pada narkotika bahkan mengedarkan narkotika
itu sendiri. Hal tersebut akan dibahas pada bagian berikut ini.

2.2 ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA


2.2.1 Faktor Penyebab Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika
Zaman sekarang tidak hanya orang dewasa yang menyalahgunakan
narkotika, namun sudah sampai pada tingkat anak-anak. Dari sumber-
sumber bacaan yang penulis baca, ada beberapa penyebab yang menjadi
faktor anak menyalahgunakan narkotika bahkan sampai ketergantungan.
Dalam buku Maidin Gultom dikatakan bahwa ada beberapa kategori
mengenai penyebab anak melakukan tindak pidana narkotika yang dikaji
secara teoritik. Kategori tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yang ingin mengalami (the experience seekers)
Yaitu mereka yang ingin menciptakan pengalaman baru yang
sensasional agar menarik perhatian orang tuanya bahwa ia sedang
mengalami keruwetan hidup. Menunjukkan rasa kesetiakawanan yang
mendorong rasa ingin tahu, mencoba, meniru, ataupun rasa ingin

39
mengalami bagaimana rasanya akibat dan pengaruh yang akan
ditimbulkan oleh narkotika.
2. Yang ingin menjauhi realitas (the oblivion seekers)
Yaitu mereka yang mengalami kegagalan dalam realitas hidup, penuh
tekanan, merasa kesepian, kebosanan, kegelisahan, dan berbagai
kesulitan yang sulit diatasi. Untuk menghilangkan masalah-masalah
tersebut mencari pelarian pada dunia khayal dengan menggunakan
narkotika.
Kemudian jika menurut kajian empirik, ada beberapa faktor
penyebab anak melakukan tindak pidana narkotika, yaitu:
a. Kesibukan orang tua yang tidak sempat lagi memerhatikan
kehidupan anaknya yang masih sekolah
b. Rumah tangga berantakan (broken home) sehingga anak-anak
kehilangan bimbingan
c. Perubahan sosial dan cara hidup yang berlebihan
d. Menemukan kesulitan dalam belajar
e. Mobilitas pemuda dan kelompok pemakai ganja
f. Informasi yang salah dan berlebihan tentang masalah narkotika
Dalam buku Maidin Gultom juga dikatakan bahwa berdasarkan
hasil penelitian, seseorang menggunakan narkotika sebanyak 81,30%
dipengaruhi oleh bujukan teman, kemudian terjadi pemakaian narkotika
yang disediakan teman sehingga terjadi kekambuhan 58,36%. Penggunaan
narkotika menyusup ke desa-desa bahkan masuk ke sekolah-sekolah.26
Larry J. Siegel dalam buku Kusno Adi turut memberi jawaban
mengenai What do youth take drugs? (Mengapa anak-anak / pemuda
menggunakan narkotika?) setelah ia melakukan suatu pengkajian. Maka
jawaban dari pertanyaan tersebut adalah:
1. some kids take drugs because they live in disorganized areas (social
disorganization) that have a high degree of hopelessness, poverty and
despair; (beberapa anak menggunakan narkotika karena mereka
bertempat tinggal di wilayah yang kacau / berantakan yang memiliki
tingkat keputusasaan dan kemiskinan yang tinggi)

26 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 125.

40
2. there is peer preassure to take drugs and to drink; (ada dorongan dari
teman sebaya untuk menggunakan narkotika dan minum-minuman
beralkohol)
3. kids whose parent take drugs are more likely to become abuser
themselves; (anak-anak yang orang tuanya menggunakan narkotika
lebih dominan untuk menyalahgunakan narkotika)
4. some experts believe that drug dependency is a genetic condition;
(beberapa ahli meyakini bahwa ketergantungan narkotika adalah
kondisi genetik)
5. youngster with emotional problems may be drug-prone; (anak yang
memiliki masalah emosional akan rawan terhadap narkotika)
6. drug use may be part of general problem behavior syndrome;
(penggunaan narkotika mungkin menjadi bagian dari permasalahan
umum sindrom tingkah laku)
7. drug use may also retional: kids take drugs and drink alcohol simply
because they enjoy the experience; (penggunana narkotika bisa jadi
suatu hal yang rasional yaitu anak-anak menggunakan narkotika dan
minum minuman beralkohon karena menikmati pengalaman (sensasi)
dari hal itu.
8. some users distribute small amounts of drugs, other are frequent
dealers, while another group supplements drug dealing with other
crimes; (ada beberapa pengguna yang mendistribusikan narkotika, ada
juga yang menjadi dealers, ada juga yang membuat kesepakatan
mengenai narkotika dengan penjahat lainnya)
9. some user are always in trouble and considered burnouts; (beberapa
pengguna selalu berada dalam masalah dan runtuhnya fisik atau
mental mereka)27
Setelah mengetahui hal-hal diatas, pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana pengaturan jika anak menjadi penyalahguna narkotika? Untuk
kategori anak sebagai penyalahguna narkotika ternyata terdapat regulasi
atau pengaturannya sendiri. Pertama-tama pengaturan anak sebagai

27 KUSNO ADI. supra catatan no. 5, pada 101.

41
penyalahguna narkotika terdapat dalam UU Perlindungan Anak pada Pasal
67. Pasal 67 mengatakan bahwa:
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan
melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan
rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

Pasal ini mengatakan bahwa setiap anak yang terlibat dalam


penyalahgunaan narkotika maka ia dianggap sebagai korban. Maka
terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika tersebut tidak
sama sekali diupayakan tindakan yang menjerakannya, melainkan
tindakan yang bersifat restorative justice. Karena, terdapat keinginan
dalam Pasal 67 untuk adanya rehabilitasi dan pemulihan kembali pada
kondisi semula bagi anak.
Kemudian bagaimana jika anak sebagai penyalahguna narkotika
sudah ketergantungan pada narkotika (sebagai pecandu)? Dalam UU
Narkotika dijelaskan pada Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 128 ayat (2). Pasal
55 ayat (1) mengatakan bahwa:
Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

Kemudian Pasal 128 ayat (2) mengatakan bahwa:


Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana
Jadi kedua pasal tersebut sama-sama mengatakan bahwa anak
sebagai pecandu narkotika tidak dapat dipidana, serta solusinya adalah ia
mendapat pelayanan khusus yaitu pemulihan kembali berupa rehabilitasi.
Kedua pasal ini turut mengedepankan penanganan dengan prinsip
Restorative Justice.
Jika kita melihat dari sudut pandang UU SPPA sebagai hukum

42
formal dari hukum pidana anak maka kebijakan pada anak sebagai
penyalahguna narkotika ialah adanya upaya diversi sebagai bentuk dari
Restorative Justice. Seorang penyalahguna narkotika berdasarkan Pasal
127 UU Narkotika dapat dikenai sanksi pidana, namun karena ia
merupakan Anak maka harus diperjuangkan diversi terlebih dahulu.
Kemudian, anak sebagai penyalahguna narkotika tetap kita anggap sebagai
korban maka menurut Pasal 127 UU Narkotika ia berhak untuk
mendapatkan rehabilitasi.
Jadi, berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak yang
menyalahgunakan narkotika dianggap sebagai korban, dan kepadanya
harus diperjuangkan tindakan yang mengedepankan restorative justice.
Dalam hal ini penyalahguna narkotika anak tersebut dapat berupa ia
sebagai pecandu atau hanya menggunakan tanpa hak dan melawan hukum.
Hal ini diatur berbeda oleh UU Narkotika. UU Narkotika tidak
mengatakan bahwa anak penyalahguna (tanpa ketergantungan) adalah
korban, maka terhadapnya dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal
127 UU Narkotika. Hanya saja jika anak tersebut terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika barulah ia wajib menjalani rehabilitasi. Namun
kita tidak tahu rehabilitasi akan dijalankan dimana. Berbeda dengan anak
sebagai pecandu, bahwa ia tidak dapat dikenai sanksi pidana. Lalu jika
anak diberi sanksi pidana sebagaimana Pasal 127 UU Narkotika, maka
berdasarkan UU SPPA ia berhak mendapatkan diversi terlebih dahulu.
Mengenai diversi akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

2.2.2 Faktor Penyebab Anak Sebagai Pengedar Narkotika


Zaman sekarang narkotika tidak hanya diedarkan melalui orang-
orang dewasa, melainkan anak-anak sudah mulai belajar untuk
mengedarkan narkotika. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) yaitu Asrorun Niam Sholeh membenarkan hal tersebut. Seperti yang
telah diungkap sebelumnya bahwa Asrorun mengatakan, anak yang jadi
pengedar terus meningkat. Dari 2011 hingga 2014 meningkat hampir 300%.

43
Tahun 2012 ada 17 anak, 2013 ada 31 anak, dan di 2014 mencapai 42 anak.
Untuk usia sangat bervariatif, bahkan saat ini ada anak SD yang sedang
ditangani.28
Pertanyaannya adalah darimana anak-anak tersebut mendapatkan
barang haram ini? Mengapa anak mau untuk mengedarkan barang haram
yaitu narkotika?
Pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa
peredaran narkotika menjadi marak karena berlakunya supply and demand
dalam pasar gelap narkotika. Selama demand (permintaan) masih ada, maka
selama itu supply (penyediaan) akan berusaha ada. Dengan kata lain, selama
pemakai atau pengguna atau pecandu narkotika dan pembeli masih ada,
maka selama itu penjual akan selalu ada. Siapa yang bisa mencegah
keinginan seseorang atau masyarakat untuk memakai narkotika? Jawabnya
adalah orang atau masyarakat itu sendiri. Sehingga ada atau tidaknya
peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika di seluruh dunia termasuk di
seluruh Indonesia adalah tergantung dari masyarakat di dunia dan rakyat
Indonesia itu sendiri. Sayangnya kondisi mengatakan angka peredaran
narkotika masih terbilang tinggi.
Ada yang menilai, salah satu penyebab masyarakat terjebak tindak
kejahatan narkotika dalam hal peredaran narkotika adalah faktor ekonomi.
Dengan kata lain, mereka menggeluti dunia itu, baik sebagai pelaku,
pengedar, kurir, pemasok, maupun sebagai bandar narkotika, didorong oleh
kondisi ekonomi mereka yang rendah. Apalagi penghasilan dari penjualan
narkotika tentu sangat menggoda banyak orang. Akibatnya, semakin banyak
orang yang tergoda masuk ke jaringan haram itu dipastikan para korban di
sekitar kita akan semakin banyak, termasuk anak-anak.29
Anak-anak dijadikan alat untuk perdagangan narkotika oleh orang-

28 Risman dalam Harian Terbit. Jumlah Anak di Bawah Umur yang Jadi Pengedar Narkoba
Meningkat. http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/27/26608/25/25/Jumlah-Anak-di-
Bawah-Umur-yang-Jadi-Pengedar-Narkoba-Meningkat
29 Budi Setioko. Faktor Penyebab Pengedaran Narkoba di Indonesia di Lihat dari Aspek
Sosiologi Hukum. http://zainuddion.blogspot.co.id/2009/09/faktor-penyebab-pengedaran-narkoba-
di.html

44
orang dewasa. Hal ini terbukti dari hasil wawancara penulis dengan salah
satu anggota Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat pada tanggal 17
Februari 2016. Ia mengatakan bahwa di LPKA Bandung terdapat anak yang
dipidana akibat mengedarkan narkotika yang ketika diselidiki ia diperalat
dan dimanfaatkan oleh orang dewasa. Kronologi ceritanya adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.
Si Anak (sebut saja Tono) diperintahkan oleh seseorang yang tergolong orang dewasa
(sebut saja Pak Dedi) untuk mengantarkan sebuah barang ke suatu rumah (sebut saja
rumah A). Jika Tono mau melakukan hal tersebut, maka ia akan mendapatkan
handphone dengan merek Samsung. Tono mengiyakan perintah dari Pak Dedi.
Kemudian Pak Dedi memberi handphone Samsung tersebut pada Tono. Tono
langsung melaksanakan perintah Pak Dedi dan pergi mengantarkan barang itu ke
rumah A. Lalu ketika Tono kembali ke tempat Pak Dedi, ia mendapat perintah lagi
untuk mengantarkan sebuah barang lagi ke rumah B. Jika Tono mau maka Pak Dedi
akan memberinya powerbank untuk handphone Samsungnya. Tono mengiyakan
perintah Pak Dedi, ia mendapatkan powerbank dan ia langsung mengantarkan barang
tersebut ke rumah B. Kemudian Tono disergap oleh polisi yang pada intinya
mengatakan bahwa Tono adalah pengedar narkotika. Tono mengatakan ia hanya
disuruh oleh Pak Dedi. Polisi tersebut mengatakan dimana keberadaan Pak Dedi,
ketika itu Tono langsung menunjukkan jalan dimana Pak Dedi berada. Namun ketika
ia sampai di tempat Pak Dedi, tempat tersebut kosong dan tidak ada siapa-siapa.
Polisi tetap mengatakan ia pengedar dan akan dibawa ke kantor polisi untuk diproses.
Ia menangis meraung-raung mengatakan bahwa ia bukan pengedar narkotika. Ia
memberi nomor handphone Pak Dedi namun nomor tersebut tidak aktif. Maka sampai
saat ini Tono masih mendekam di Penjara atau di LPKA Bandung.

Kisah nyata diatas hanyalah satu dari beberapa kisah nyata yang
benar adanya bahwa anak diperalat dan dimanfaatkan oleh orang dewasa
untuk melakukan perdangangan narkotika. Pemanfaatan anak oleh orang
dewasa untuk mengedarkan narkotika ini dapat pula kita sebut sebagai

45
bentuk dari eksploitasi anak. Kita tahu bahwa eksploitasi anak melanggar
hak-hak yang dimiliki oleh anak dan hal tersebut harus dicegah baik dalam
hal apapun, khususnya tidak pidana narkotika.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak masih polos, ia
belum matang fisik dan batinnya, ia masih labil, lemah, dan karena inilah ia
gampang untuk dimanfaatkan dan diiming-imingi oleh orang dewasa untuk
melakukan sesuatu. Anak mana yang tidak mau diberi suatu hadiah? Hadiah
merupakan hal terindah dimata anak. Maka kita dapat mengetahui dari kisah
tadi bahwa faktor penyebab anak terlibat dalam tindak pidana narkotika
adalah karena ia dapat dengan mudah dipengaruhi oleh orang-orang dewasa
yang memanfaatkan anak-anak untuk melakukan sesuatu yang dalam hal ini
untuk mengedarkan narkotika.
Kemudian, jika memang anak terbukti melakukan peredaran
narkotika, bagaimana pengaturan bagi anak tersebut? Jika kita lihat dari sisi
UU Perlindungan Anak, pengaturannya sama seperti anak sebagai pecandu
narkotika. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 67 UU Perlindungan Anak. Pasal
67 mengatakan bahwa:

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban


penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya,
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.

Jadi jika kita melihat UU Perlindungan Anak maka seharusnya anak


sebagai pengedar narkotika pun mendapat perlindungan khusus salah
satunya rehabilitasi. Karena menurut UU Perlindungan anak, penyalahguna
narkotika itu adalah ia sebagai orang yang menggunakan tanpa hak dan
melawan hukum, ia yang sudah ketergantungan, dan ia sebagai pengedar.
Maka terhadap mereka semua berhak diberi perlindungan khusus. Namun
sayang, dalam UU Narkotika tidak diatur mengenai bagaimana jika anak
sebagai pengedar narkotika. Akibat yang dapat muncul jika tidak diatur

46
adalah anak akan mendapat ketentuan pidana yang disamakan dengan orang
dewasa.
Upaya terakhir untuk mencegah anak mendapat sanksi pidana yang
sama dengan orang dewasa dalam hal sebagai pengedar adalah Pasal 79 UU
SPPA. Pasal 79 UU SPPA mengatur mengenai sanksi pidana anak berupa
pembatasan kebebasan karena anak melakukan tindak pidana berat atau
tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Mengedarkan narkotika
termasuk tindak pidana berat. Maka kebijakan yang diberikan adalah Pidana
Pembatasan Kebebasan yang dijatuhkan pada anak paling lama (satu
perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap
orang dewasa. Maksimum pidana penjara bagi orang dewasa maksudnya
adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP atau undang-undang
lainnya. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak.
Selain itu Pasal 81 UU SPPA juga mengatur hal yang sama yaitu
jika anak dijatuhi pidana penjara di LPKA maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak paling lama (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa dengan syarat apabila
keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Selain
itu Pasal 81 mengatakan bahwa jika tindak pidana yang dilakukan anak
merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan pada anak adalah pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Contoh kasus penerapan Pasal 79
dan Pasal 81 UU SPPA :

Tono (14 tahun) menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman.


Sesuai dengan Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika pelaku akan dipidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun. Maka dapat berlaku Pasal 79
UU SPPA, bahwa dalam hal ini Tono mendapat sanksi pidana pembatasan
kebebasan paling lama dari 12 tahun penjara, yaitu 6 tahun penjara.

47
Tono (14 tahun) menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan II yang
beratnya lebih dari 5 gram. Sesuai dengan Pasal 119 ayat (2) UU Narkotika
pelaku akan dipidana mati. Maka dapat berlaku Pasal 81 UU SPPA, bahwa
dalam hal ini Tono mendapat sanksi pidana penjara selama 10 tahun di LPKA.

Namun tetap kita harus memupuk anak sebagai pengedar narkotika


merupakan korban dari sindikat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
dewasa, maka kita tetap harus memperjuangkan Restorative Justice berupa
pemulihan kembali bagi anak dan memperhatikan hak-hak anak. Dalam hal
ini rehabilitasi pun tetap harus diperjuangkan untuk anak sebagai pengedar
narkotika.
Dari pembahasan ini kita tahu bahwa anak dapat menjadi pelaku
tindak pidana narkotika. Peristilahan anak sebagai pelaku atau anak yang
melakukan suatu tindak pidana adalah anak yang berkonflik dengan
hukum. Bagian berikut ini akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan
anak yang berkonflik dengan hukum.

2.3 ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM


2.3.1 Pengertian Anak yang Berkonflik Dengan Hukum
Dengan mengetahui bahwa tindak pidana narkotika merupakan
tindak pidana yang luar biasa, dan terdapat fakta yang melakukan tindak
pidana tersebut tidak hanya orang dewasa bahkan anak, maka apa
sebenarnya Anak itu? Adakah hak yang dimiliki oleh anak ketika ia
bersentuhan dengan hukum pidana? Hal-hal tersebut akan dibahas pada
bagian ini.
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana
pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu
Negara, tidak terkecuali Indonesia.30 Negara dan masyarakat berkewajiban
untuk mempersiapkan anak sebagai subjek pelaksana pembangunan.
Persiapan tersebut dapat dimulai dari pemberian perlindungan terhadap

30 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 1

48
anak, yaitu dengan kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini
merupakan pengertian Perlindungan Anak yang tercantum pada Pasal 1
butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak).
Anak tumbuh dan berkembang agar mencapai tingkat kematangan
yang optimal baik dari segi fisik, mental, maupun intelektual. Kita tahu
bahwa tingkat kematangan tersebut terhadap anak berbeda dengan orang
dewasa. Jadi dapat dikatakan tingkat kematangannya belum seperti atau
sematang dengan orang dewasa. Saat tumbuh dan berkembang anak
mempelajari nilai-nilai yang ada di masyarakat dan berusaha untuk
meyakini nilai-nilai tersebut adalah bagian dari dirinya. Ketika ia mulai
belajar ia harus mendapat perhatian dan dibimbing oleh orang-orang
dewasa terutama orang terdekatnya yaitu keluarga (terlebih orang tua).
Ada beberapa fase pertumbuhan dalam proses perkembangan anak
yang bisa digolongkan berdasarkan paralelitas perkembangan jasmani
anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke
dalam 3 fase, yaitu :
1. Fase pertama (usia 0 7 tahun) disebut sebagai masa anak kecil
dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-
fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan
arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan
tumbuhnya seksualitas awal pada anak.
2. Fase kedua (usia 7 14 tahun) disebut sebagai masa kanak-kanak,
dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :
1) Masa anak Sekolah Dasar (mulai usia 7 12 tahun) adalah
periode intelektual yaitu masa yang dimulai dengan memasuki
masyarakat diluar dari keluarga, yaitu seperti lingkungan
sekolah, pengamatan anak dan timbulnya perasaan pada anak,
kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai potensi, namun
hal ini masih bersifat tersimpan (masa tersembunyi).

49
2) Masa remaja / pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal
dengan sebutan periode pueral. Pada periode ini terdapat
kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya
tenaga fisik yang berlebihan dan menyebabkan tingkah laku
anak terlihat kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar, dan
lain-lain. Sejalan dengan perkembangan jasmaniah,
perkembangan intelektual juga berlangsung sangat intensif
sehingga minat pada pengetahuan dan pengalaman baru pada
dunia luar sangat besar (terutama pada suatu hal yang bersifat
konkret). Karena hal inilah anak puber disebut sebagai fragmatis
atau utilitas kecil, dimana minatnya terarah pada kegunaan-
kegunaan teknis.
3. Fase ketiga (usia 14 21 tahun) disebut sebagai masa remaja, dalam
arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, dimana terdapat
masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang
dewasa. Masa remaja ini dibagi dalam 4 fase :
1) Masa awal pubertas, disebut sebagai masa pueral / pra-pubertas.
2) Masa menentang kedua, fase negatif, trozalter kedua, periode
verneinung.
3) Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa
pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih
awal dari pada masa pubertas anak laki-laki.
4) Fase Adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai
sekitar 19 hingga 21 tahun.31
Pada fase ketiga angka 3 dan 4 anak sangat membutuhkan
perlindungan, perhatian, dan bimbingan dari orang-orang dewasa atau
Negara dan masyarakat agar ia tetap dalam jalur yang baik untuk tumbuh
dan berkembang. Karena dalam fase ketiga angka 3 dan 4 ini anak
mengalami perubahan-perubahan besar. Perubahan yang dialami ini
membawa pengaruh pada sikap dan tindakan anak ke arah yang lebih

31 WAGIATI SOETEDJO DAN MELANI. supra catatan no. 8, pada 7-8

50
agresif sehingga dapat dikatakan tindakan yang dilakukan oleh anak
tersebut menunjukkan ke arah gejala kenakalan anak.32
Terjemahan lain dari kenakalan anak adalah Juvenile
Delinquency. Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja.
Sedangkan Deliquency artinya wrong doing, terabaikan / mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki
lagi, durjan, dursila, dan lain-lain.33
Paul Moedikdo (1983) memberikan rumusan mengenai Juvenile
Delinquency (kenakalan anak), yaitu :
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua
tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti : mencuri,
menganiaya, membunuh, dan sebagainya.
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memaki celana
jengki tidak sopan.
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi
sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.34
Jadi dapat dikatakan Juvenile Delinquency (kenakalan anak) adalah
perilaku anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma (nilai-
nilai yang ada di masyarakat), yang jika dilakukan oleh orang dewasa akan
disebut sebagai kejahatan.
Kemudian menurut Maulana Hasan Wadong dalam buku Nashriana
pada hakikatnya batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang berarti
melingkup pengertian anak nakal meliputi dimensi pengertian sebagai
berikut:
1. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;

32 Id
33 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 25.
34 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 26.

51
2. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak
anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata Negara,
dengan maksud untuk mensejahterakan anak;
3. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental
spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu
sendiri;
4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;
5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.35
Beberapa tingkah laku yang menjurus pada Juvenile Delinquency
menurut Alder (1980) adalah :
1. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain
2. Perkelahian antageng, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku
(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa
3. Kriminalitas anak, remaja, dan adolesens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas,
menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong,
melakukan pembunuhan dengan menyembelih korban, mencekik,
meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lain
4. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bius, drug, opium, ganja)
yang erat kaitannya dengan kejahatan
5. Berpesta pora sambil mabuk-mabuka, melakukan hubungan seks
bebas, atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau
balau) yang mengganggu sekitarnya
6. Dan lain-lain36
Akibat dari anak yang melakukan kenakalan (anak nakal) adalah ia
harus mengikuti suatu prosedur hukum tertentu. Jadi timbul suatu istilah
yaitu anak yang berkonflik dengan hukum dimana ia adalah anak yang
melakukan kenakalan.
Kata konflik digunakan untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa
yang tidak selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa,
sehingga dapat dikatakan sebagai suatu permasalahan. Oleh karena itu

35 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 8.


36 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 31-32.

52
pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dapat diartikan dengan
anak yang mempunyai permasalahan (karena suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum), atau anak nakal.37
Sebelum lahir UU Perlindungan Anak, anak-anak yang bermasalah
dengan hukum dikategorikan dalam istilah kenakalan anak (mengacu pada
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Undang-Undang Pengadilan
Anak selanjutnya disebut sebagai UU Pengadilan Anak). Setelah lahir UU
Perlindungan anak dan UU Pengadilan anak yang berubah menjai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (selanjutnya disebut sebagai UU SPPA) maka anak yang bermasalah
dengan hukum diubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum.
Sebelumnya pada UU Pengadilan Anak yang dimaksud dengan
Anak Nakal adalah:
1. Anak yang melakukan tindak pidana;
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Nomor 2 pada pengertian diatas dapat disebut sebagai Status
Offence, yaitu perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut,
membolos sekolah, atau kabur dari rumah. Hal ini terkesan diskriminatif
bagi anak. Maka dari itu seiring berjalannya waktu dengan bergantinya
UU Pengadilan Anak menjadi UU SPPA maka pengertian anak nakal ini
dihapuskan dan diubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum.
Pengertian dari anak yang berkonflik dengan hukum terdapat dalam Pasal
1 butir 3 UU SPPA, yaitu :
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

37 David Setiawan. Implementasi Restorative Justice Dalam Penanganan Anak Bermasalah


Dengan Hukum. http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-
anak-bermasalah-dengan-hukum/

53
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
Menurut UU SPPA Anak yang berkonflik dengan hukum adalah
bagian dari anak yang berhadapan dengan hukum, hal tersebut tegas
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 yaitu :
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana

Lalu dalam kepustakaan hukum Anak yang berhadapan dengan


hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi
belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah :
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau
mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.38
Jadi Anak yang berkonflik dengan hukum dalam prakteknya di Indonesia
sering digunakan istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

2.3.2 Kebijakan Terhadap Anak yang Berkonflik Dengan Hukum


Dengan mengetahui bahwa ABH akan mengikuti serangkaian
prosedur hukum, maka timbul pertanyaan bagaimana kebijakan-kebijakan
terhadap ABH? Dengan mengingat ia adalah anak yang masih belum
matang fisik, mental maupun intelektualnya, lalu ia masih harus mendapat
bimbingan serta perhatian dari orang dewasa, dan perihal lain yang telah
disampaikan sebelumnya.
Terdapat sejumlah konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan secara nasional yang memberi kebijakan terhadap
ABH. Konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan ini
menjadi dasar atau acuan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan
atau melaksanakan peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap
anak-anak yang berada dalam sistem peradilan pidana. Konvensi
internasional yang dimaksud adalah:

38 Id

54
1. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Resolusi No. 217
A (III) tanggal 10 Desember 1948.
2. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Resolusi
Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.
3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia, Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1998.
4. Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 37 butir b sampai d, Pasal
39 dan Pasal 40, Resolusi No. 109 Tahun 1990, yang telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990.
5. Peraturan-peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap
Narapidana (Resolusi No. 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957),
Resolusi 2076 (LXII) tanggal 13 Mei 1977.
6. Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Administrai Peradilan bagi Anak (The Beijing
Rules), Resolusi No. 40/33, 1985.
7. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka pencegahan
Tindak Pidana Remaja tahun 1990 (United Nation Guidelines for the
Preventive of Juvenile Delinquency. Riyadh Guidelines), Resolusi
No. 45/112, 1990.
Kemudian secara nasional perlindungan terhadap ABH diatur
dalam perundang-undangan Republik Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
28B ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 28I.
2. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
telah diubah menjadi Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (khususnya Pasal 3, 4, dan 5).
5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

55
7. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(khususnya Pasal 59 juncto Pasal 59A juncto Pasal 64, kemudian
Pasal 16, 17, dan 18).
Konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan diatas
pada dasarnya mengatakan hal yang sama mengenai ABH (walaupun
beberapa ada yang tidak secara langsung mengatakan ABH) dan juga
mereka saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Seperti yang
dikatakan sebelumnya bahwa konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan secara nasional diatas memberi standar perlakuan
terhadap anak-anak yang berada dalam sistem peradilan pidana. Standar
tersebut berupa batasan apa yang tidak boleh dilakukan pada anak dan apa
yang menjadi hak anak.
Untuk memberi gambaran mengenai apa yang diatur dalam
konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan secara nasional
diatas, saya akan menguraikan kebijakan ABH dilihat dari sudut pandang
UU SPPA, karena konvensi internasional dan peraturan perundang-
undangan secara nasional diatas menjadi acuan dan dasar bagi pemerintah
Indonesia dalam menyelenggarakan atau melaksanakan peradilan anak,
dan kita tahu bahwa UU SPPA merupakan dasar hukum dari sistem
peradilan pidana anak di Indonesia. Dalam UU SPPA kebijakan mengenai
ABH tampak pada Pasal 3, 4, dan 5. Pasal 3 mengatakan bahwa :
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

56
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang
yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 4 mengatakan bahwa :


(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:
a. mendapat pengurangan masa pidana;
b. memperoleh asimilasi;
c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. memperoleh pembebasan bersyarat;
e. memperoleh cuti menjelang bebas;
f. memperoleh cuti bersyarat; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5 mengatakan bahwa :


(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan
pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau
tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib

57
diupayakan Diversi.

Dari pasal ini kita mengetahui apa-apa saja yang menjadi hak bagi
anak dan apa yang tidak boleh dilakukan pada anak. Untuk lebih jelas,
mengenai hak anak akan dijelaskan pada bagian E dalam Bab ini.
Kembali pada sejumlah konvensi internasional dan peraturan
perundang-undangan secara nasional diatas. Ada hal yang penting untuk
dibahas, bahwa ternyata mereka memiliki satu benang merah, yaitu
mereka sama-sama menginginkan adanya pemulihan kembali bagi anak
(memulihkan keadaan atau nama baik ABH agar dapat kembali pada
keadaan semula). Contoh seperti anak mendapatkan penanganan yang
cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi baik secara fisik, psikis,
dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
lalu anak terbebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain
yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
kemudian anak juga mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya; dan
lain-lain. Maka dari itu kebijakan-kebijakan ini mengandung Restorative
Justice bagi anak.
UNICEF mengembangkan konsep Restorative Justice untuk
melindungi pelaku tindak pidana anak atau ABH. Konsep Restorative
Justice dari UNICEF menitikberatkan kepada keadilan yang dapat
memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban
dan masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut.39
Lalu Tony Marshall (dalam Apong herlina, 2003: 1) memberikan
definisi Restorative Justice yang kemudian diadopsi oleh Kelompok Kerja
Peradilan Anak PBB. Ia mengatakan bahwa Restorative Justice adalah
suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
tertentu bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani
akibat dimasa yang akan datang / implikasinya dimasa depan.40 Jadi dalam
pelaksanaannya korban, pelaku, dan masyarakat turut dilibatkan untuk

39 WAGIATI SOETEDJO DAN MELANI. supra catatan no. 8, pada 133-134.


40 Id

58
mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi dengan mengutamakan
perbaikan, rekonsiliasi, dan perlindungan kembali (reassurance).
Menurut Agustinus Pohan apa yang dimaksud dengan Restorative
Justice adalah konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita
kenal saat ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat
retributif. Dulu UU Pengadilan Anak masih melakukan pendekatan yang
bersifat retributif. Lalu pendekatan yang bersifat rehabilitatif belum cukup
signifikan, hanya baru terbatas pada adanya pengurangan ancaman pidana
serta adanya alternatif tindakan selain pidana.41 Namun UU SPPA sekarang
sudah mencoba untuk memperjuangkan pendekatan rehabilitatif (yang
mengandung Restorative Justice).
Pada Pasal 1 UU SPPA yang dimaksud dengan Restorative Justice
(keadilan restoratif) adalah :
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.

Jadi kita mengenal ada dua macam konsep pemidanaan yang


berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan oleh para penegak hukum,
yaitu Restorative Justice dan Retributive Justice. Perbedaan kedua konsep
tersebut adalah :
Tabel 5.
Retributive Justice Restorative Justice
Fokus pada perlawanan terhadap hukum Fokus pada perusakan atau kekerasan
dan Negara terhadap manusia dan yang berhubungan
dengannya
Berusaha untuk mempertahankan hukum Berusaha membela korban dengan
dengan menetapkan kesalahan dan memperhatikan perasaan sakitnya dan
mengatur tindakan hukumannya memperhatikan pelaku dengan
menetapkan kewajiban
pertanggungjawabnya kepada korban dan
memberikan peran masyarakat yang
dirugikan sehingga semuanya
41 Id

59
mendapatkan haknya masing-masing
Melibatkan Negara dan pelaku dalam Melibatkan korban, pelaku, dan
proses peradilan formal masyarakat dalam suasana dialog untuk
mencari penyelesaian42

Dari perbedaan dua konsep pemidanaan inilah kita tahu bahwa


Restorative Justice adalah konsep yang cocok digunakan untuk anak
(khususnya ABH). Hal ini juga tergambar pada kebijakan-kebijakan
terhadap ABH dalam konvensi internasional dan peraturan perundang-
undangan secara nasional diatas yang menjadi acuan bagi Negara kita
melaksanakan peradilan anak di Indonesia. Maka dapat dikatakan Negara
kita turut memperjuangkan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
menggunakan Restorative Justice bagi ABH.
Kita tahu bahwa di Indonesia wujud dari Restorative Justice bagi
anak ada dalam sistem peradilan pidananya. Seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa dalam sistem peradilan pidana anak penegak hukum
harus mengupayakan diversi. Jika setelah diupayakan diversi namun
proses diversi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak adanya
kesepakatan diversi lantas bagaimana kebijakannya? Menurut Pasal 69 UU
SPPA anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan. Khusus
untuk anak yang belum berusia 14 tahun maka ia hanya dapat dikenai
tindakan. Namun ada suatu hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan, yaitu, ringannya
perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian (Pasal 70 UU SPPA)
Pidana pokok anak terdiri dari (Pasal 71 UU SPPA):
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat;
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan

42 MARLINA. PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA: PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN


RESTORATIVE JUSTICE 26-27, (PT Refika Aditama, Bandung, 2009)

60
c. pelatihan kerja
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
Kemudian pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
Lalu apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif
berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
Dengan adanya pengaturan pidana bagi anak namun kita harus tetap ingat
bahwa pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan
martabat anak, serta hak-hak yang ia miliki.
Kemudian sanksi tindakan yang dapat dikenakan pada anak
meliputi (Pasal 82 ayat (1) UU SPPA):
a. pengembalian kepada orangtua / wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana
Tindakan yang dimaksud dalam huruf d, e, dan f dikenakan paling
lama 1 (satu) tahun. Lalu, tindakan penyerahan anak kepada seseorang
dilakukan untuk kepentingan anak yang bersangkutan, serta tindakan
perawatan terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orangtua / wali
dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada anak yang
bersangkutan.
7 (tujuh) sanksi tindakan diatas dapat diajukan oleh penuntut
umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
Sebelumnya kita harus ingat bahwa setelah diterbitkannya UU
SPPA maka telah diaturlah secara khusus tentang hukum pidana materiil,
hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah
melakukan kenakalan. Oleh karena itu, UU SPPA merupakan hukum yang

61
khusus (lex specialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang
tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).43

2.3.3 Faktor Penyebab Kenakalan Anak


Dalam beberapa sumber bacaan terdapat banyak faktor penyebab
kenakalan anak, namun pada dasarnya sumber tersebut mengatakan hal
yang sama. Penulis akan memaparkan pendapat-pendapat serta hasil
penelitian yang memperoleh kesimpulan mengenai faktor penyebab
kenakalan.
Dalam buku Marlina dikatakan bahwa ada suatu hasil penelitian
yang menunjukkan terdapat 7 (tujuh) kriteria yang memprediksikan
perilaku anak yang beresiko menjadi pelaku tindak pidana, yaitu :
1. Umur
Anak yang lebih muda jika ia memasuki suatu sistem tertentu yang
buruk maka akan berisiko tinggi ia melakukan suatu kenakalan (tindak
pidana);
2. Pscyhological Variables
Sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang dihargai adalah perilaku
yang beresiko anak menjadi nakal;
3. School Perfomance
Anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya, seperti
pembolos, menyontek, dan lain-lain;
4. Home Adjustment
Kurang interaksi dengan orangtua dan saudara, kurang disiplin dan
pengawasan dan minggat dari rumah;
5. Drugs and Alcohol Use
Penggunaan alkohol dan obat, anak yang sudah mulai memakai
alkohol apabila orangtua punya riwayat pemakai alkohol;
6. Neighbourhood (lingkungan tetangga)
Lingkungan mudah mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah
sosial, dan perilaku;
7. Social Adjustment of Peers (pengaruh kekuatan teman sebaya)

43 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 75.

62
Pertemanan mempengaruhi perilaku termasuk delinquency, obat-
obatan, bolos, dan kekacauan di sekolah (onar), geng, sex, dan lain-
lain.44
Kemudian menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kathleen
Salle dikatakan bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan
delinquency yaitu:
1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency
Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan suatu tindak
pidana dibandingkan dengan anak laki-laki.
2. Adanya pengaruh teman bermain anak
Teman bermain yang buruk akan mempengaruhi perilaku anak
menjadi buruk.
3. Anak-anak dari kelas ekonomi rendah / lemah
Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan fasilitas untuk bermain
dan belajar yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak.
Orangtua anak juga kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya
karena keterbatasan ekonomi, sehingga pada akhirnya anak-anak
mereka harus melakukan kegiatan yang menurutnya senang tanpa
pengawasan orangtuanya. Bisa jadi karena kurangnya pengawasan
anak-anak tersebut mencuri untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Seperti kasus-kasus anak mencuri sandal, pakaian, makanan, dan lain-
lain.
4. Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home45
Selain itu terdapat hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April
tahun 2005 dengan 20 informan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
anak Tanjung Gusta Medan yang memperoleh kesimpulan penyebab anak
melakukan kejahatan diantaranya adalah :
1. Pengaruh pergaulan
Anak-anak melakukan tindak pidana karena ia berteman dengan anak-
anak yang kurang baik, contoh berteman dengan anak yang tidak
sekolah, kalaupun berteman dengan anak yang sekolah maka ia sering
membolos atau berkelahi / tawuran, dan lain-lain.
44 MARLINA. supra catatan no. 42, pada 61-62.
45 MARLINA. supra catatan no. 42, pada 62

63
2. Kurang perhatian
Anak-anak melakukan tindak pidana karena kedua orangtuanya sibuk
dan kurangnya perhatian dari saudara-saudara serumah si anak. Dari
hal ini anak merasa mendapat kurang perhatian.
3. Keluarga broken home
Anak-anak kurang mendapat pengarahan karena kondisi keluarga yang
sudah tidak normal.
4. Ekonomi
Tingkat ekonomi yang rendah pada umumnya menyebabkan orangtua
tidak memiliki waktu untuk memberikan pemenuhan kebutuhan untuk
anaknya. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anakpun akan
melakukan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhannya, dan
tindakan tersebut dapat dikatakan delinquency.
5. Pendidikan
Dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan anak tidak
punya kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berguna.46
Dari beberapa hasil penelitian diatas kita dapat menarik
kesimpulan mengenai faktor penyebab kenakalan anak menggunakan
pendekatan teori motivasi sebagai lingkup dari kriminologi yang
dikemukakan dalam buku Nashriana.47
Berbicara mengenai kenakalan anak berarti tidak terlepas dari
adanya faktor-faktor pendorong atau suatu motivasi yang membuat anak
tersebut melakukan sebuah kenakalan. Faktor seorang anak melakukan
suatu kejahatan tidak sama dengan faktor orang dewasa melakukan suatu
kejahatan. Dengan memahami faktor penyebab kenakalan anak maka kita
dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang anak
dalam memberi reaksi atas kenakalannya atau kebijakan apa yang cocok
untuk anak yang nakal. Hal inilah yang kita kenal dengan teori motivasi
sebagai konsepsi penyebab kenakalan anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
motivasi adalah :

46 MARLINA. supra catatan no. 42, pada 64-65.


47 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 35.

64
motivasi n 1 dorongan yg timbul pd diri seseorang
secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu
tindakan dng tujuan tertentu; 2 Psi usaha yg dapat
menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu
tergerak melakukan sesuatu krn ingin mencapai tujuan yg
dikehendakinya atau mendapat kepuasan dng
perbuatannya;

Menurut Romli Atmasasmita dalam buku Nashriana, bentuk faktor


pendorong atau motivasi itu ada dua macam, yaitu :
1. Motivasi Intrinsik, yaitu dorongan atau keinginan pada diri
seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar. Hal
yang termasuk motivasi intrinsik dari kenakalan anak adalah :
a. Faktor intelegensia;
Intelegensia merupakan kecerdasan seseorang atau kesanggupan
seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak nakal
memiliki intelegensia verbal lebih renda dan ia ketinggalan dalam
hal pencapaian prestasi di sekolah. Dengan kecerdasan yang
rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam maka anak-anak
tersebut mudah dipengaruhi untuk melakukan suatu kejahatan.

b. Faktor usia;
Stephen Hurwitz (1952) mengatakan bahwa usia adalah faktor
yang penting dalam sebab musabab timbulnya suatu kejahatan.
Jadi tidak terkecuali bagi anak yang melakukan tindak pidana /
kenakalan.

Seperti contoh dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Wagiati


Soetodjo terhadap narapidana anak di Lembaga Pemasyarakatan
Anak Tangerang pada tahun 1998 diperoleh bahwa yang paling
banyak melakukan kejahatan adalah mereka yang berusia antara
16 18 tahun (mencapai jumlah 119 dari 134 orang narapidana
anak). Kemudian di Palembang pada tahun 2007 ia juga meneliti
khusus terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika.
Didapatkan hasil bahwa dari 39 anak yang melakukan tindak
pidana narkotika, 24 diantaranya berusia 16 18 tahun. Jadi

65
melihat pengalaman penelitian orang ternyata usia anak yang
melakukan kenakalan cenderung dilakukan oleh anak yang
berusia 16 18 tahun.

c. Faktor kelamin;
Paul W. Tappan (1949) memberikan pendapat bahwa kenakalan
anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan.
Namun pada praktik nya anak laki-laki lebih sering melakukan
suatu tindak pidana daripada anak perempuan.

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga;


Maksud dari kedudukan anak dalam keluarga adalah urutan
kelahiran si anak tersebut, apakah ia anak sulung, anak kedua,
anak bungsu, atau bahkan anak tunggal, anak perempuan satu-
satunya, dan seterusnya.

Faktor kedudukan anak dalam keluarga ini dapat menjadi


pendorong anak melakukan kejahatan karena ada beberapa hasil
penelitian yang menyimpulkan anak urutan sekian berapa persen
melakukan suatu kejahatan.

Contoh, seorang peneliti bernama Noach meneliti kenakalan anak


di Indonesia, ia mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan
kejahatan dilakukan oleh anak pertama atau anak tunggal atau
oleh anak perempuan atau dia satu-satunya diantara sekian
saudara-saudaranya (kakak atau adiknya). Hal ini sangat dipahami
karena kebanyakan anak tunggal dimanja oleh orangtuanya dan
juga mendapat pengawasan yang luar biasa, pemenuhan
kebutuhannya pun dapat berlebihan, segala permintaannya selalu
dikabulkan. Perlakuan ini menyulitkan anak untuk dapat bergaul
dengan masyarakat. Dan hal ini dapat menimbulkan gejolak
didalam diri anak tersebut yaitu saat suatu keinginannya tidak
dikabulkan oleh orangtuanya, ia bisa frustasi dan tidak menutup
kemungkinan akan berbuat suatu kejahatan.

66
2. Motivasi Ekstrinsik, yaitu dorongan yang datang dari luar. Hal yang
termasuk motivasi ekstrinsik dari kenakalan anak adalah :
a. Faktor rumah tangga / keluarga;
Dari lahir anak langsung disambut oleh keluarganya. Keluarga
merupakan kelompok masyarakat terkecil namun memiliki peran
besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelajaran dan
pendidikan pertama anak akan didapatkan dari keluarganya.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk
membesarkan dan mendewasakan anak. Jika keluarganya baik
maka akan memberi pengaruh positif bagi anak, sebaliknya jika
keluarganya jelek maka akan memberi pengaruh negatif bagi
anak. Jadi tidak heran bila perilaku anak akan dinilai dari
keluarganya seperti apa.

Hal yang menjadi faktor anak melakukan kejahatan adalah timbul


dari keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan
jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan. Dalam
broken home prinsipnya struktur keluarga sudah tidak lengkap
lagi yang disebabkan karena adanya :
Salah satu dari kedua orangtua atau kedua-duanya meninggal
dunia;
Perceraian orangtua;
Salah satu dari kedua orangtua atau keduanya tidak hadir
secara kontinu dan tenggang waktu yang cukup lama.

Kemudian kondisi keluarga yang tidak normal tidak hanya pada


broken home, namun juga dikenal karena adanya broken home
semu yang dalam artian adalah kedua orangtuanya masih utuh
namun karena masing-masing anggota keluarga (ayah atau ibu)
mempunyai kesibukan masing-masing, sehingga orangtua tidak
sempat memberikan perhatian kepada anak-anaknya.48

48 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 35-40.

67
Pengaruh dari broken home terhadap kenakalan anak pernah
dilakukan penelitian oleh para peneliti di Amerika Serikat.
Banyak hasil penelitian empiris memberikan dukungan kenakalan
anak disebabkan oleh keadaan broken home. L. Edward Wells dan
H. Rankin mempelajari hubungan kenakalan dengan broken
home. Hasil penelitian mereka memberi kesimpulan bahwa :
Kemungkinan broken home menyebabkan kenakalan 10-15%
lebih tinggi daripada tidak broken home
Hubungan di antara broken home dan kenakalan lebih kuat
pada bentuk-bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan
tidak begitu mempengaruhi pada kriminal serius (seperti
pencurian dan kekerasan kepada seseorang)
Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat
menyebabkan kenakalan atau tidak. Contoh broken home
karena perceraian orangtua lebih kuat daripada karena orang
tua meninggal.
Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi
kenakalan
Tidak ada perbedaan pengaruh broken home pada anak laki-
laki atau perempuan.

b. Faktor pendidikan dan sekolah;


Sekolah adalah tempat pendidikan kedua setelah keluarga bagi
anak. Jadi sekolah turut bertanggungjawab terhadap pendidikan
anak, baik pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan maupun
tingkah laku.

Kenakalan anak timbul jika kurang berhasilnya sistem pendidikan


di sekolah-sekolah. Kenakalan juga dapat timbul akibat anak
melakukan interaksi antara dirinya dengan anak sesamanya.
Interaksi yang mengakibatkan kenakalan adalah misal anak
berinteraksi dengan anak lain yang nakal, yang sering tidak

68
masuk sekolah atau membolos, anak yang pada intinya tidak
berwatak baik. Hal itu berpengaruh pada anak-anak disekitarnya.
Kemudian bisa juga interaksi antara anak dengan gurunya. Misal
seperti gurunya mendidik dengan cara yang tidak benar (marah-
marah, memukul, kasar, dan lain-lain), guru yang sering tidak
masuk dan mengakibatkan anak didiknya terlantar. Hal ini dapat
menimbulkan kenakalan bagi anak.

c. Faktor pergaulan anak;


Aristoteles mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial
(zoon politicon), jadi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak
lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Hal ini dapat juga
disebut sebagai pergaulan. Jika keluarga anak terlalu longgar
maka anak dapat keluar dari lingkungan sosial keluarga dan
mencari keluarga baru. Pada keluarga baru inilah kita dapat
menyebutnya lingkungan pergaulan anak. Pergaulan mempunyai
pengaruh besar pada kepribadian anak. Jika pergaulannya baik
maka anak akan berkepribadian baik. Sebaliknya jika pergaulan
buruk maka anak akan berkepribadian buruk. Hal yang kedua
inilah yang menimbulkan kenakalan bagi anak. Ia dapat
melanggar peraturan, norma sosial, dan hukum formil.

d. Faktor mass media;


Nama lain dari mass media adalah media massa. Zaman semakin
berkembang dan berakibat teknologi semakin canggih. Namun
ada yang berpendapat bahwa media massa dapat menimbulkan
kenakalan terhadap anak. Hal ini dibenarkan karena media massa
berpengaruh pada perkembangan anak mengingat berkembangnya
suatu zaman.

Keinginan anak untuk melakukan kenakalan kadang timbul


karena pengaruh bacaan, gambar, bahkan film. Jika anak mengisi

69
waktu luang dengan bacaan-bacaan yang buruk maka dapat
berakibat menghalangi anak untuk berbuat baik. Lalu tontonan
yang memperlihatkan gambar-gambar porno akan berakibat
memberikan rangsangan seks terhadap anak, rangsangan ini akan
berpengaruh negatif bagi perkembangan anak.49 Contoh kasus
nyata :
Hallodepok.com, Depok Kasus perkosaan terhadap anak
dibawah umur, KYA (6) di Depok, Jawa Barat,
mengejutkan publik. Hal ini lantaran ketiga pelaku
pemerkosaan masih berusia dibawah umur, dan teman
korban sendiri. Mereka adalah ED (5), RI (9), dan FA (11).
Pemerkosaan ini akibat pengaruh buruk tayangan tidak
mendidik seperti di televisi dan media sosial.50

Kasus ini dapat menyimpulkan bahwa media massa sangat


berpengaruh pada perilaku anak dan dapat berujung kenakalan.
Memang pada dasarnya media massa merupakan hiburan untuk
kita, namun tidak menutup kemungkinan ada muatan negatifnya.
Contoh seperti anak bermain play station pada dasarnya tidak apa-
apa, namun ada permainan yang memuat adegan kasar seperi
tembak-tembakan, perkelahian, dan lain-lain. Dari hal ini
dibutuhkan peran orang dewasa baik itu orangtua, atau di
lingkungan sekolah maupun lingkungan sosialnya untuk dapat
menjauhkan anak dari suatu film, permainan atau bacaan yang
buruk.

Selain menyimpulkan dengan teori motivasi, kita juga dapat menarik


kesimpulan bahwa ternyata faktor-faktor diatas mengarah pada 2 (dua)
faktor dominan yang dapat dilihat secara internal maupun eksternal. Internal
berarti anak kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan,
bimbingan, dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku,
penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh.

49 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 40-45.


50 Hallolampung. Ya Ampung, Bocah Ini Diperkosa oleh Anak-Anak di Bawah Umur.
http://hallolampung.com/ya-ampun-bocah-ini-diperkosaoleh-anak-anak-di-bawah-umur

70
Lalu secara eksternal berarti ada dampak negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan
informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan cara
dan gaya hidup yang telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat.

2.3.4 Penanggulangan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum


Dari pembahasan sebelumnya kita tahu bahwa anak yang berkonflik
dengan hukum (selanjutnya disebut dengan ABH) merupakan anak yang
diduga melakukan tindak pidana karena kenakalan yang dilakukannya. Hal
ini dapat berakibat ia akan memasuki suatu prosedur hukum tertentu. Jika
berbicara mengenai prosedur hukum maka kita sedang berbicara suatu
hukum acara yang dalam hal ini yang digunakan adalah hukum acara
pidana. Kemudian mengingat lahirnya UU SPPA, maka ia menjadi hukum
yang khusus digunakan (lex specialis) yang mengesampingkan KUHAP
yang lebih umum (lex generalis). Dengan kata lain terdapat pemisahan
sidang anak dengan sidang orang dewasa, karena jika dicampurkan tidak
akan menjamin terwujudnya kesejahteraan anak. Jadi prosedur hukum yang
dilewati oleh anak berbeda dengan prosedur hukum yang dilewati oleh
orang dewasa.
Negara kita Republik Indonesia turut memperjuangkan Restorative
Justice bagi anak khususnya ABH . Hal ini terbukti dari beberapa
peraturan yang mengandung Restorative Justice. Jadi untuk
menanggulangi ABH berarti kita harus melakukan pendekatan dengan
mengingat Restorative Justice. Di Indonesia wujudnya berupa diversi. Hal
ini tegas dinyatakan dalam UU SPPA.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam Pasal 6 UU
SPPA dikatakan bahwa tujuan dari diversi adalah :
a. mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan
c. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
d. menanamkan rasa tanggung jawab anak.

71
Menurut UNICEF tujuan dari diversi bagi ABH adalah:
a. untuk menghindari penahanan;
b. untuk menghindari label sebagai penjahat;
c. untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku;
d. agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya;
e. untuk mencegah pengulangan tindak pidana;
f. untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban
dan pelaku tanpa harus melalui proses formal;
g. menghindari anak dari proses sistem peradilan;
h. menjauhkan anak-anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses
peradilan.51
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Syarat dari diversi adalah
(Pasal 7 ayat (2) UU SPPA):
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pedoman pelaksanaan Diversi dimuat dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut PERMA No. 4 tahun
2014). Dalam PERMA No. 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa maksud dari
Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara para pihak yang
melibatkan Anak dan orangtua / walinya, korban dan/atau orangtua /
walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional,
perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk
mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.
Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA dikatakan bahwa proses diversi
wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

51 Anjars blog. Konsep Diversi dan Restorative Justice.


https://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/

72
Kemudian Pasal 9 ayat (1) mengatakan bahwa penyidik, penuntun
umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas (Balai pemasyarakatan);
dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban
dan/atau keluarga korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali
untuk (Pasal 9 ayat (2) UU SPPA):
b. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
c. tindak pidana ringan;
d. tindak pidana tanpa korban; atau
e. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upa minimum provinsi
setempat.
Kesepakatan diversi untuk 4 hal diatas dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing
kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan
diversi ini dapat berbentuk (Pasal 10 UU SPPA):
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orangtua / wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling
lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan
Selain 5 bentuk hasil kesepakatan diversi yang direkomendasi oleh
penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakat diatas, hasil
kesepakatan diversi dapat berbentuk (Pasal 11 UU SPPA):
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orangtua / wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.

73
Dengan adanya Restorative Justice dalam wujud diversi maka anak
mendapat ruang dari sebuah sistem peradilan yang dimana si anak terlibat
kenakalan karena beberapa faktor penyebab yang bisa jadi disebabkan dari
pengaruh sindikat kejahatan. Dan dengan adanya diversi ini maka
diharapkan anak terhindar dari dampak buruk penjara.

2.3.5 Hak-hak yang dimiliki oleh Anak yang Berkonflik Dengan


Hukum
Seperti yang dituangkan dalam bagian B bahwa terdapat banyak
kebijakan yang mengatur mengenai ABH. Dari kebijakan-kebijakan
tersebut kita bisa mengetahui hak-hak apa saja yang dimiliki oleh ABH.
Dalam bagian ini penulis akan coba memaparkan hak-hak ABH yang juga
diuraikan dari beberapa sumber bacaan.
Menurut Arief Gosita ada beberapa hak-hak ABH yang harus
diperjuangkan pelaksanaannya. Ia membagi hak-hak ABH dari sebelum
persidangan, selama persidangan, dan setelah persidangan.
1. Sebelum Persidangan
b. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah
c. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial
dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat
penahanan misalnya)
d. Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka
mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan
datang dengan prodeo
e. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang
berwajib)
2. Selama Persidangan
a. Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan
dan kasusnya
b. Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan
c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan)

74
d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik,
sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat-
tempat penahanan misalnya)
e. Hak untuk menyatakan pendapat
f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat 22)
g. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya
3. Setelah Persidangan
a. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang
manusiawi sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai
pemasyarakatan
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik,
sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan
misalnya)
c. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orangtuanya dan
keluarganya52
Jika kita melihat perlindungan hukum terhadap anak dari perspektif
hukum pidana formil (yaitu UU SPPA khususnya Pasal 3 dan KUHAP)
maka ada beberapa hak tersangka / terdakwa anak. Hak-hak tersebut dapat
dirinci pada berikut ini:
1. Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat
bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan
2. Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan
langsung dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa didengar
oleh pejabat berwenang

52 ARIEF GOSITA. MASALAH KORBAN KEJAHATAN 10-13, (Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta,
2009)

75
3. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak tetap
dipenuhi
4. Tersangka anak berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum
5. Tersangka anak berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum
6. Tersangka anak berhak segera diadili oleh pengadilan
7. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka anak berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan padanya pada waktu pemeriksaan
dimulai
8. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka anak berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya
9. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa anak berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim
10. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa anak berhak untuk setiap waktu mendapat
bantuan juru bahasa, apabila tidak paham bahasa Indonesia
11. Dalam hal tersangka atau terdakwa anak bisu dan atau tuli, ia berhak
mendapat bantuan penerjemah, orang yang pandai bergaul dengannya
12. Untuk mendapatkan penasehat hukum, tersangka atau terdakwa anak
berhak memilih sendiri penasehat hukumnya
13. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi penasehat hukumnya sesuai dengan ketentuan KUHAP
14. Tersangka atau terdakwa anak yang berkebangsaan asing yang
dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan
perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya
15. Tersangka atau terdakwa naak yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan, baik tang ada hubungan dengan proses perkara
maupun tidak
16. Tersangka atau terdakwa anak berhak menhubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau

76
lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan
bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum
17. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang penahanan dirinya oleh pejabat yang berwenang
pada semua tingkatan pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau
terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh
tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau
jaminan bagi penangguhnya
18. Tersangka atau terdakwa anak berhak seara langsung ataupun dengan
perantaraan penasehat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya
dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan
atau untuk kepentingan kekeluargaan
19. Tersangka atau terdakwa anak berhak mengirim surat kepada
penasehat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan
alat tulis menulis
20. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima
kunjungan rohaniawan
21. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan
mengajukan saksi atau seseorang yang mempunyai keahlian khusus
guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya
22. Tersangka atau terdakwa anak tidak dibebani kewajiban pembuktian
23. Terdakwa anak berhak untuk minta banding terhadap ptusuan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat

77
24. Tersangka atau terdakwa anak berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP 53 dan
selanjutnya.54
Jika kita melihat perlindungan hukum terhadap anak dari perspektif
hukum pelaksanaan pidana (yaitu Lembaga Pemasyarakatan Anak
selanjutnya disebut dengan LAPAS Anak) kita juga dapat mengetahui hak-
hak yang dimiliki ABH. Dasar hukum dari LAPAS anak adalah Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3614, selanjutnya disebut dengan UU
Pemasyarakatan). Dalam pasal 1 angka 1 dijelaskan maksud dari
pemasyarakatan, yaitu:
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana.

Salah satu fungsi dari LAPAS anak adalah ia sebagai tempat


pendidikan dan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan, yakni:
a. anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun.
b. anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS
anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
c. anak sipil, yaitu anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orangtua,
wali, atau orangtua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan
ditempatkan di LAPAS anak untuk dididik dan dibinda sebagaimana
mestinya.

53 Pasal 95 KUHAP menyangkut hak untuk menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
54 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 97-100.

78
Masing-masing dari anak didik memiliki hak-haknya. Namun
disini anak pidana-lah yang secara tidak langsung dapat disebut sebagai
ABH. Hak yang dimilikinya adalah (Pasal 22 UU Pemasyarakatan):
1. berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
2. berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3. berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
4. berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5. berhak menyampaikan keluhan
6. berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang
7. berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang
tertentu lainnya
8. berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
9. berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjugi keluarga
10. berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
11. berhak mendapatkan cuti menjelang bebas
12. berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.55
Namun sekarang setelah lahir UU SPPA kita tidak menyebutnya
LAPAS anak, namun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (selanjutnya
disebut LPKA), yaitu lembaga atau tempat anak menjalani masa
pidananya.

55 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 161-162.

79
BAB III

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG


MELIBATKAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK DAN
PENGEDAR NARKOTIKA ANAK

3.1 PENANGGULANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NARKOTIKA


Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa UU Narkotika menegaskan
bagaimana sikap yang diambil terhadap anak sebagai penyalahguna
narkotika. Pada intinya, jika anak terbukti hanya sebagai penyalahguna
narkotika yang sudah memiliki ketergantungan terhadap narkotika (pecandu
narkotika) maka ia tidak dapat dikenai sanksi pidana dan wajib menjalani
rehabilitasi. Kemudian, jika anak terbukti tidak begitu ketergantungan namun
tetap menyalahgunakan narkotika tersebut maka terhadapnya dapat dikenai
sanksi pidana berdasarkan Pasal 127 UU Narkotika dengan syarat ia wajib
menjalani rehabilitasi (karena ia tetap dianggap sebagai korban
penyalahgunaan narkotika). Jika dikaitkan dengan UU SPPA maka jika anak
dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 127 UU Narkotika maka ia berhak
mendapatkan upaya diversi.

80
Jadi intinya baik anak memiliki ketergantungan narkotika ataupun
tidak maka ia tetap diberi upaya rehabilitasi. Rehabilitasi yang diberikan
adalah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah
suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan
pecandu dari ketergantungan narkotika. Kemudian yang dimaksud dengan
rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat
kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Lalu, bagaimana prosedur anak sebagai pecandu untuk mendapatkan
rehabilitasi? Pada Pasal 55 ayat (1) dikatakan bahwa orang tua atau wali dari
pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis atau
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Jadi, orang tua atau wali dari anak sebagai pecandu narkotika
tersebutlah yang wajib untuk melaporkan si anak agar mendapatkan
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
UU Narkotika turut mengatur bagaimana jika orang tua atau wali
sengaja untuk tidak melaporkan anaknya sebagai pecandu narkotika.
Berdasarkan hal tersebut maka orang tua atau wali akan dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000,00.
Sayangnya dalam UU Narkotika tidak dibedakan penanggulangan
yang diberikan untuk seorang pengedar narkotika dewasa maupun anak-anak
(berbagai sanksi pidana untuk para pengedar telah diuraikan pada Bab
sebelumnya). Tetapi pada kenyataannya ternyata ada suatu peraturan yang
menjadi dasar untuk penanganan pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Di dalam peraturan
tersebut diakomodir pula bagaimana jika ada seorang pengedar narkotika,
bahkan jika seorang pengedar tersebut sekaligus sebagai pecandu narkotika.
Peraturan tersebut adalah Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung

81
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014,
Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor
PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
(Selanjutnya disebut sebagai Peraturan Bersama). Peraturan Bersama ini
menjadikan UU Narkotika dan UU SPPA sebagai acuan. Dalam peraturan ini
diatur bagaimana penanganan seorang pecandu narkotika, korban
penyalahgunaan narkotika, bahkan seorang pengedar narkotika. Tujuan dari
Peraturan Bersama ini adalah:
1. Mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian
permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan jumlah pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika melalui program
pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam penanganan pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka,
terdakwa atau narapidana, dengan tetap melaksanakan pemberantasan
peredaran gelap narkotika.
2. Menjadi pedoman teknis dalam penanganan pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau
narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi
sosial.
3. Terlaksananya proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat
penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pemidanaan secara sinergis dan
terpadu.
Pelaksanaan Peraturan Bersama ini dijelaskan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 7. Pasal 3, 4, dan 5 membahas mengenai pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika yang berstatus tersangka dan/atau terdakwa
yang masih dalam proses peradilan. Sedangkan Pasal 6 dan 7 membahas
mengenai pecandu narkotika atau korban penyalahgunaan narkotika yang

82
berstatus narapidana atau telah mendapatkan penetapan atau putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Pasal-pasal tersebut pada
intinya mengatakan hal sebagai berikut:
Tabel 6.
Pasal 3 Mereka yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan,
dan persidangan di pengadilan dapat diberikan pengobatan,
perawatan, dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis
dan/atau lembaga rehabilitasi sosial
Mereka yang dimaksud pada poin pertama yang menderita
komplikasi medis dan/atau komplikasi psikiatris dapat
ditempatkan di rumah sakit pemerintah yang biayanya ditanggung
keluarga, atau bagi yang tidak mampu akan ditanggung
pemerintah sesuai dengan ketentuan yang belaku
Keamanan dan pengawasan mereka dalam lembaga rehabilitasi
medis, lembaga rehabilitasi sosial, dan rumah sakit dilaksanakan
oleh lembaga rehabilitasi dan rumah sakit yang memenuhi standar
keamanan, serta dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi
dengan polri
Mereka yang telah dilengkapi surat hasil asesmen dari Tim
Asesmen Terpadu (selanjutnya disebut TAT) dapat ditempatkan di
lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial
Pasal 4 (1) Mereka yang ditangkap tetapi tanpa barang bukti narkotika dan
positif menggunakan narkotika dapat ditempatkan di lembaga
rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang
dikelola oleh pemerintah
(2) Mereka yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat
barang bukti dengan jumlah tertentu56 dengan atau tidak memakai

56 Jumlah tertentu ini didasarkan pada SEMA No. 4 tahun 2010 yaitu menguasai:kelompok
metamphetamine (shabu): 1 gram
4.2 kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir
4.3 kelompok heroin : 1,8 gram
4.4 kelompok kokain : 1,8 gram
4.5 kelompok ganja : 5 gram
4.6 daun ganja : 5 gram
4.7 meskalin : 5 gram
4.8 kelompok psilosybin : 3 gram
4.9 kelompok LSD : 2 gram
4.10kelompok PCP : 3 gram
4.11kelompok fentanyl : 1 gram
4.12kelompok metadon : 0,5 gram
4.13kelompok petidin : 0,96 gram
4.14kelompok kodein : 72 gram
4.15kelompok bufrenorfin : 32 miligram

83
narkotika selama proses peradilannya berlangsung dapat
ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rumah sakit yang
dikelola pemerintah.
(3) Mereka yang ditangkap dengan barang bukti melebihi dari jumlah
tertentu dan positif memakai narkotika tetap ditahan di Rumah
Tahanan Negara (Rutan) atau cabang Rutan Negara di bawah
naungan Kementrian Hukum dan HAM, serta dapat diberikan
pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi
(4) Hal diatas dilakukan setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan
Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik
dan telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen TAT
(5) Hasil dari TAT wajib disimpulkan paling lama 6 hari sejak
diterimanya permohonan dari penyidik
Pasal 5 Mereka yang merangkap sebagai pengedar narkotika ditahan di
Rutan Negara dan dapat memperoleh rehabilitasi sosial yang
dilaksanakan di Rutan Negara atau Lapas
Pasal 6 Mereka yang harus menjalani pengobatan dan rehabilitasi
diserahkan oleh pihak kejaksaan ke lembaga rehabilitasi medis
dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk
Pasal 7 a. Mereka yang termasuk bukan pengedar atau Bandar atau kurir
atau produsen dapat dilakukan rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam Lapas atau Rutan
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial
yang ditunjuk pemerintah
b. Mereka yang mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai pengedar
dapat dilakukan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial di
dalam Lapas atau Rutan
c. Pelaksanaan diatas dilakukan berdasarkan hasil asesmen TAT dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

Menurut Peraturan Bersama diatas yang dimaksud dengan rehabilitasi


medis dan rehabilitasi sosial sama dengan UU Narkotika. Kemudian, yang
dimaksud dengan lembaga rehabilitasi medis adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang melaksanakan rehabilitasi medis bagi pecandu, korban
penyalahgunaan dan penyalahguna narkotika yang dikelola oleh pemerintah.
Sedangkan lembaga rehabilitasi sosial adalah tempat atau panti yang
melaksanakan rehabilitasi sosial bagi pecandu, korban penyalahgunaan dan
penyalahguna narkotika yang dikelola oleh pemerintah.

84
Dalam pelaksanaan menurut Peraturan Bersama diatas ada yang
dinamakan dengan Tim Asesmen Terpadu (selanjutnya disebut sebagai TAT).
Pengaturan mengenai TAT dalam Peraturan Bersama ada pada Pasal 8 sampai
dengan Pasal 10, pada intinya mengatakan sebagai berikut:

Tabel 7.
Pengertian TAT adalah tim yang terdiri dari tim dokter (meliputi dokter
dan psikolog) dan tim hukum (meliputi Polri, BNN,
Kejaksaan, dan Kemententerian Hukum dan HAM, khusus
untuk anak akan melibatkan Balai Pemasyarakatan atau
BAPAS). TAT diusulkan oleh masing-masing pimpinan
instansi terkait di tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten / Kota, dan ditetapkan oleh Kepala BNN, BNN
Provinsi, BNN Kabupaten / Kota.
Tugas / Tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan
Pelaksanaan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan
TAT penyalahgunaan narkotika berkoordinasi dengan penyidik
yang menangani perkara
Tim dokter bertugas melakukan asesmen dan analisis medis,
psikososial serta merekomendasi rencara terapi dan
rehabilitasi penyalahguna narkotika
Kewenanga Melakukan analisis peran seseorang (atas permintaan
n penyidik) yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai
korban penyalahgunaan narkotika, pecandu narkotika atau
pengedar narkotika.
Menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika
sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi dan
kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara
Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi terahadap
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika
Hasil dari Hasil asesmen dan analisis digunakan sebagai bahan
TAT pertimbangan TAT dalam mengambil keputusan terhadap
pemohon, dan hasil ini bersifat rahasia.

Jika berbicara mengenai anak (baik dalam hal ini ia sebagai


penyalahguna ataupun pengedar narkotika), kita tidak terhenti sampai perihal

85
diatas sebagaimana berdasarkan UU Narkotika (kemudian lebih rinci pada
Peraturan Bersama). Karena, terhadap penanggulangan anak (khususnya
sebagai penyalahguna dan pengedar narkotika) kita dapat melihat pula sudut
pandang dari UU Perlindungan Anak dan UU SPPA. Walaupun UU
Perlindungan Anak dan UU SPPA tidak secara spesifik mengatur anak
sebagai penyalahguna dan pengedar narkotika, namun ia tetap mengatur
ABH. Kita tahu bahwa anak sebagai penyalahguna dan pengedar narkotika
merupakan ABH. Maka perlu dibahas pula bagaimana sudut pandang dari
kedua Undang-Undang tersebut. Pada bagian berikut ini akan dibahas terlebih
dahulu bagaimana sudut pandang UU Perlindungan Anak.

3.2 PENANGGULANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG


PERLINDUNGAN ANAK
UU Perlindungan Anak mencoba untuk memberikan perlindungan
kepada ABH. Dalam hal ini, anak sebagai penyalahguna dan pengedar
narkotika termasuk dalam ABH. Bahkan, UU Perlindungan Anak juga secara
eksplisit dan khusus menyatakan untuk memberi perlindungan khusus
terhadap anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Hal ini
terlihat pada Pasal 59 juncto Pasal 59A juncto Pasal 64 57. Pasal 59
mengatakan sebagai berikut:
a. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Negara
lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

b. Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual;

57 Terjadi perubahan substansi pada Pasal 59 dan Pasal 64, serta terdapat penambahan pasal yaitu
Pasal 59A. Maka Undang-Undang yang menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

86
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau
perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimbang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari
pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Berdasarkan Pasal 59 diatas kita mengetahui bahwa sekalipun anak


belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (dalam artian si anak
sebagai ABH) ia tetap wajib diberikan perlindungan khusus, salah satunya
jika ia sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Terlebih jika ia bersentuhan
dengan sistem peradilan pidana.
Pada Pasal 59A dijelaskan pula upaya yang dilakukan dalam hal
pemberian perlindungan khusus kepada anak. Pasal 59A mengatakan bahwa:
Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya :
1. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau
rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta
pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
2. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan
sampai pemulihan;
3. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari
keluarga tidak mampu; dan
4. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap
proses peradilan.

Dari Pasal 59A kita tahu bahwa bukan berarti anak tidak bisa diadili,
ternyata memang anak bisa diadili karena pada Pasal tersebut dijelaskan
adanya pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses
peradilan. Jadi dari pasal ini terbukti jikalau anak memasuki proses peradilan
maka ia tetap harus diberi perlindungan khusus. Namun, jika kita cermati

87
kembali, pemberian perlindungan khusus pada anak dalam proses peradilan
merupakan upaya terakhir karena ia terdapat pada urutan terakhir. Maka yang
tetap kita upayakan terlebih dahulu adalah huruf a atau penanganan yang
cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan
sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Kemudian lebih khusus mengenai perlindungan terhadap ABH ada
pada Pasal 64. Pasal 64 mengatakan bahwa:
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (2) huruf
b dilakukan melalui:
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. Pemisahan dari orang dewasa;
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;
d. Pemberlakuan kegiatan rekresional;
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta
merendahkan martabat dan derajatnya;
f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau
pidana seumur hidup;
g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat;
h. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup
untuk umum;
i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya;
j. Pemberian pendampingan orang tua / wali dan orang
yang dipercaya oleh anak;
k. Pemberian advokasi sosial;
l. Pemberian kehidupan pribadi;
m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak
penyangdang disabilitas;
n. Pemberian pendidikan;
o. Pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.

Selain itu, Pasal 67 juga mengatakan bagaimana perlindungan khusus


yang diberikan pada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika

88
(anak sebagai penyalahguna narkotika) dan terlibat dalam produksi dan
distribusinya (anak sebagai pengedar narkotika). Pasal 67 mengatakan bahwa:
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya,
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.

UU Perlindungan Anak tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan


rehabilitasi. Namun yang pasti kita mengetahui bahwa menurut UU
Perlindungan anak proses peradilan merupakan upaya terakhir yang harus
dilakukan terhadap anak. Jikalau anak sebagai penyalahguna ataupun
pengedar memasuki proses peradilan (atau disebut dengan ABH) ia berhak
untuk mendapatkan perlindungan khusus (mengingat Pasal 59 ayat (2) huruf
b). Jikalau ia tidak melewati proses peradilan, anak sebagai penyalahguna
narkotika dan pengedarpun juga harus diberi perlindungan khusus karena
terdapat Pasal 59 ayat (2) huruf e yang mengakomodasi hal tersebut. Jadi,
walau anak sebagai penyalahguna dan pengedar narkotika memasuki proses
peradilan ataupun tidak memasuki proses peradilan, ia tetap diberi
perlindungan khusus. Namun harus kita ingat, berdasarkan Pasal 59A upaya
anak untuk masuk ke dalam proses peradilan merupakan upaya terakhir.

3.3 PENANGGULANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK
Seperti yang dikatakan pada Bab sebelumnya bahwa ciri khas dari UU
SPPA adalah pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
(persidangan) anak di pengadilan negeri terdapat upaya diversi. Diversi
merupakan perwujudan dari keadilan restoratif. Menurut UU SPPA, upaya
diversi ini bertujuan untuk:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

89
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Syarat dari dilaksanakannya diversi adalah tindak pidana yang
dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana.
Berikut akan dipaparkan bagaimana proses diversi menurut UU SPPA:
1. Terdapat musyawarah terlebih dahulu yang melibatkan anak dan orang
tua / walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan keadilan
restoratif. Jika diperlukan, dapat melibatkan pula tenaga kesejahteraan sosial,
dan/atau masyarakat.
Selama proses diversi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
a. Kepentingan korban;
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c. Penghindaran stigma negatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus


mempertimbangkan:
a. Kategori tindak pidana;
b. Umur anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

2. Musyawarah tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu kesepakatan


diversi.

3. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau


keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran
b. tindak pidana ringan
c. tindak pidana tanpa korban
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat
Kesepakatan diversi berdasarkan poin diatas dilakukan oleh penyidik
bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan,
serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

90
Kesepakatan diversi berdasarkan poin diatas dilakukan oleh penyidik atas
rekomendasi pembimbing kemasyarakatan yang dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.

4. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:


a. perdamaian dengan atau tanpa kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 bulan; atau
d. pelayanan masyarakat

5. Hasil kesepakatan diversi pada nomor 4 dituangkan dalam bentuk


kesepakatan diversi.
Hal ini akan disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung
jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan
daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 hari sejak kesepakatan
dicapai untuk memperoleh penetapan.
Penetapan tersebut diatas dilakukan dalam waktu paling lama 3 hari
terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi.
Penetapan tersebut diatas disampaikan kepada pembimbing
kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu
paling lama 3 hari sejak ditetapkan.
Setelah menerima penetapan, penyidik menerbitkan penetapan
penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penetapan
penghentian penuntutan.

6. Terdapat suatu kondisi yang pada akhirnya proses peradilan pidana anak
dilanjutkan, yaitu dalam hal:
a. proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

91
7. Terdapat pengawasan terhadap proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan
yang dihasilkan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di
setiap tingkat pemeriksaan.

8. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi


dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan
diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing
kemasyarakatan melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab.
Pejabat terebut wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7
hari.
Dari proses diversi tersebut kita tahu bahwa ada kemungkinan tidak
tercapainya suatu kesepakatan diversi. Lantas bagaimana nasib anak sebagai
pecandu narkotika? Ternyata ada harapan hakim memutuskan pidana dengan
syarat yaitu pembinaan di luar lembaga. Pembinaan di luar lembaga ini dapat
berupa tiga keharusan yang salah satunya adalah mengikuti terapi akibat
penyalagunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Berdasarkan perihal diversi diatas kita mengetahui bahwa anak
sebagai pengedar tidak mendapat kesempatan untuk melewati proses diversi.
Hal ini terjadi karena tidak terpenuhinya syarat diversi untuk anak sebagai
pengedar. Pada Bab sebelumnya telah dipaparkan sanksi pidana bagi
pengedar narkotika. Sanksi pidana tersebut melebihi pidana penjara 7 tahun
yang merupakan syarat dari diversi. Lantas bagaimana penanggulangan bagi
anak sebagai pengedar narkotika berdasarkan UU SPPA?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, UU SPPA memberi beberapa
cara untuk menanggulangi ABH (termasuk anak sebagai pengedar), yaitu:
1. Pada Pasal 21 dikatakan bahwa anak yang belum berumur 12 tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional mengambil keputusan
untuk:
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua / wali; atau

92
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 bulan.
2. Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Tindakan tersebut berupa:
a. Pengembalian kepada orang tua / wali
b. Penyerahan kepada seseorang.
c. Perawatan di rumah sakit jiwa
d. Perawatan di LPKS
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
Tindakan pada huruf d, e, dan f dikenai paling lama 1 tahun.
Tindakan-tindakan diatas dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling singkat 7 tahun.
3. Selain dari nomor 1 dan 2 diatas, anak dapat dikenai pidana. Macam-
macam pidana yang diberikan pada anak adalah sebagai berikut:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri dari:
a. Pidana peringatan;
Pidana ini merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan anak.
b. Pidana dengan syarat;
Pidana ini dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara
yang paling lama 2 tahun. Terdapat syarat umum dan syarat
khusus dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan
syarat.
Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak
pidana lagi selama menjalasi masa pidan dengan syarat.
Syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Masa
pidana dengan syarat khusus lebih lama dari pada masa

93
pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana
dengan syarat paling lama 3 tahun.
Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut
Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak
menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Kemudian ia
juga harus mengikuti wajib belajar 9 tahun.
Pidana dengan syarat dapat berbentuk:
1) Pembinaan di luar lembaga;
Pidana ini dapat berupa keharusan:
mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan
yang dilakukan oleh pejabat pembina sss
mengikuti terapi di rumah sakit jiwa
mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus,
pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada hakim
pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang
lamanya tidak melampaui maksimum 2 takli masa
pembinaan yang belum dilaksanakan.
2) Pelayanan masyarakat;
Pidana ini dilakukan dengan maksud untuk mendidik
anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan
kemasyarakatan yang positif.
Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian
kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan
masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina
dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh atau
sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan
terhadapnya.
Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan
paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus
dua puluh) jam.
3) Pengawasan.

94
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak
paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun. Lalu, Anak
ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan
dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
c. Pelatihan kerja
Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga yang
melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia Anak.
Lalu, Pidana pelatihan kerja dikenakan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pembinaan dalam lembaga;


Pidana ini dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga
pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah
maupun swasta. Kemudian, ia dijatuhkan apabila keadaan
dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat.
Pidana ini dilaksanakan paling singkat 3 bulan dan paling
lama 24 bulan.
Anak yang telah menjalani dari lamanya pembinaan di
dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 bulan berkelakuan
baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

e. Penjara.
Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan
perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling
lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa.
Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18
tahun.
Anak yang telah menjalani dari lamanya pembinaan di
LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai
upaya terakhir.

95
Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 tahun.

(2) Pidana tambahan bagi anak terdiri atas:


a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.

Lalu apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa


penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Dengan
adanya pengaturan pidana bagi anak namun kita harus tetap ingat bahwa
pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat
anak, serta hak-hak yang ia miliki.
4. Kemudian, terdapat Pidana Pembatasan Kebebasan bagi anak.
Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak
melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai
dengan kekerasan.
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling
lama dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap
orang dewasa.
Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak.
Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga
terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Jadi kita mengetahui bahwa anak sebagai penyalahguna narkotika
memenuhi syarat diversi maka ia dapat diupayakan diversi terlebih dahulu.
Mengapa memenuhi? Karena dalam Pasal 127 ancaman pidananya 4 tahun
pidana penjara (Golongan I), 2 tahun pidana penjara (Golongan II), dan 1
tahun pidana penjara (Golongan III). Jangka waktu tersebut memenuhi syarat
diversi pada Pasal 7 ayat (2) huruf a, dengan tambahan tindakannya bukan
residivis.

96
Namun sayang, anak sebagai pengedar tidak mendapat kesempatan
tersebut. Karena, ancaman yang diberikan pada seorang pengedar menurut
UU Narkotika diatas 7 tahun pidana penjara. Terhadap anak sebagai pengedar
ada ketentuan-ketentuan yang diberikan menurut UU SPPA seperti yang telah
diuraikan sebelumnya (Pada Bab II).
Berdasarkan uraian-uraian penanggulangan menurut Undang-Undang
diatas, kita dapat menarik kesimpulan bagaimana penanggulangan untuk anak
sebagai penyalahguna dan sebagai pengedar narkotika. Kesimpulan dapat
berupa sebagai berikut:
Anak sebagai penyalahguna narkotika (termasuk jika ia
ketergantungan) jika memasuki proses peradilan maka ia berhak
mendapatkan diversi menurut UU SPPA. Hasil dari kesepakatan
diversi adalah berupa pemberian rehabilitasi medis dan psikososial.
Hal ini sesuai dengan UU Narkotika bahwa anak harus diberikan
rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Rehabilitasi ini
dilaksanakan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga
rehabilitasi sosial. Namun jika anak saat ditangkap atau tertangkap
tangan memiliki barang bukti melebihi jumlah tertentu, maka ia
ditahan di Rutan atau cabang rutan, namun tetap diberikan pengobatan
dan perawatan untuk rehabilitasi. Jika diversi tidak berhasil dan anak
berstatus sebagai terdakwa atau terpidana, maka ia direhabilitasi
dalam Lapas atau Rutan, atau lembaga rehabilitasi medis dan/atau
lembaga rehabilitasi sosial. Ketika anak direhabilitasi dalam Lapas
atau Rutan pada dasarnya anak tetap ditahan atau dipenjara, hal ini
bertentangan dengan UU Perlindungan Anak Pasal 64 huruf G. Tetapi,
bisa jadi pada kenyataannya untuk menaruh anak di Lapas atau Rutan
adalah upaya terakhir yang dapat dilakukan.
Kemudian, anak sebagai pengedar narkotika tidak dapat diberi
diversi. Hal ini dikarenakan anak sebagai pengedar tidak memenuhi
syarat untuk diberikannya diversi. Jadi menurut UU SPPA anak dapat
diberi sanksi pidana atau tindakan. Lantas apakah ia tidak

97
mendapatkan rehabilitasi? Ia tetap mendapat rehabilitasi, namun
dilakukan dalam Lapas atau Rutan. Hal ini didukung berdasarkan
Peraturan Bersama.

3.4 PENANGGULANGAN BERDASARKAN PRAKTEK YANG TERJADI


Setelah mengetahui bagaimana penanggulangan tindak pidana
narkotika yang melibatkan anak sebagai penyalahguna dan pengedar
narkotika berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka pertanyaan
berikutnya bagaimana praktek penanggulangan tersebut di lapangan?
Penulis melakukan penelitian di lapangan berupa wawancara dengan
sejumlah pihak yang terkait mengenai penanggulangan tindak pidana
narkotika yang dilakukan anak. Pihak-pihak tersebut adalah Badan Narkotika
Nasional Provinsi Jawa Barat (BNNP Jabar), Balai Pemasyarakatan (Bapas),
LSM Narkotika, Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung, dan Seorang
Hakim Anak.
Wawancara yang saya lakukan merupakan wawancara tidak
terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas
dilakukan, dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.58
Menurut Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung, pada
dasarnya polisi narkoba tidak dapat memilah-milah di lapangan mana yang
orang dewasa dan mana yang anak-anak. Jadi proses Penyelidikan,
penyidikan, dan penangkapan untuk orang dewasa dan anak-anak sama saja.
Ketika ditemukan anak-anak, polisi langsung bekerjasama dengan Bapas dan

58 Penelitian Kualitatif: Metode Pengumpulan Data.


https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/penelitian-kualitatif-metode-
pengumpulan-data/

98
kejaksaan hukum. Polisi selalu menjerat pelaku anak yang terlibat tindak
pidana narkotika dengan Pasal 111, 112, 114, dan 127 UU Narkotika.
Menurut polisi narkoba, mereka tetap harus menerapkan efek jera pada tiap
pelaku, termasuk anak. Polisi narkoba mengetahui adanya TAT sebagai upaya
penanganan pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, bahkan
seorang pengedar narkotika. Kalau kondisinya orangtua mengadu perbuatan
anaknya sebagai pecandu, langkah pertama yang dilakukan adalah pemberian
TAT, maka anak akan direhabilitasi. Jika kondisinya anak tertangkap oleh
polisi, anak dititipkan di lembaga rehabilitasi namun belum dilaksanakan
rehabilitas, hanya dititipkan saja. Seharusnya seperti itu, namun kenyataannya
polisi tidak melakukan penitipan anak ke lembaga rehabilitasi karena faktor
keamanan. Jadi penahanan terhadap anak tetap dilakukan di jeruji besi. Untuk
anak sebagai pengedar narkotika disamakan dengan orang dewasa, hanya
proses persidangan yang berbeda. Polisi tidak bisa memberikan rehabilitasi
kepada anak sebagai pengedar karena ia sudah merusak orang lain. Selama ini
polisi jarang melakukan diversi, namun polisi mengatakan mereka tetap
harus mengembalikan anak-anak kepada orangtuanya. (Lihat tabel 8)

Tabel 8.
Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung (26 Februari 2016)
Selama melakukan penyelidikan, polisi tidak dapat memilah apakah terdapat anak atau tidak. Jika
pada saat penyelidikan menemukan orang yang diduga menjadi tersangka penyalahgunaan
narkotika, secara otomatis dilakukan penangkapan. Kemudian ada suatu pengembangan, jadi ia
mendapatkan narkotika darimana? ia hendak menjual kemana? Itu yang akan dikembangkan. Jika
terdapat anak-anak, polisi melakukan penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan aturan. Polisi
tidak pernah melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian polisi juga melakukan kerjasama dengan Bapas dan kejaksaan hukum. Guna kerjasama
tersebut adalah untuk melakukan gelar perkara apakah penyelidikan ini layak untuk dilanjutkan.

Jika anak memiliki barang bukti tidak melebihi ukuran yang ada pada SEMA No 4/2010, maka
dapat dikatakan sebagai pengguna. Jika melebihi, ia adalah pengedar dan polisi tetap melakukan
penyidikan seperti pada umumnya. Polisi dan para penegak hukum yang lain harus tetap
menumbuhkan efek jera pada siapapun, termasuk anak. Tapi dilakukan penelitian terlebih dahulu,
apakah ia mengedarkan narkotika ini kepada orang lain, atau hanya untuk digunakan sendiri. Polisi
selalu menjerat dengan pasal 111, 112, 114 dan 127 UU Narkotika.

Menurut UU Narkotika ada suatu ketentuan. Jika ia adalah pecandu maka ia punya kewajiban.
Pertama, orang tua atau walinya kalau melaporkan perbuatan anaknya sebagai pecandu pada

99
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) maka akan polisi tanganin. Langkah pertama yaitu dengan
adanya Tim Asesmen Terpadu (TAT) walaupun TAT ini belum 100% berjalan. Tapi, nanti tetap
dilihat asesmen medisnya seperti apa, lalu asesmen sosialnya. Kalau kondisinya seperti ini maka
anak diberikan rehabilitasi. Penerapan ini hanya untuk kalau ada kesadaran masyarakat untuk
melapor ke IPWL. Kedua, jika keadaannya mereka tertangkap dan polisi memperkirakan bahwa
yang polisi anggap sebagai tersangka itu berusia dini maka secara otomatis menurut UU proses
penyidikan tetap dilanjutkan, tidak ada pemotongan pemenggalan, jadi harus sesuai dengan UU.
Namun tidak dilakukan penahanan di dalam jeruji besi. Jadi ia dititipkan di lembaga rehabilitasi.
Dititipkan disini hanya dititipkan, belum direhabilitasi. Gunanya adalah untuk tetap
dilakukannya penyidikan dan penyelidikan.

Permasalahan dari poin diatas (jika dititipkan di lembaga rehabilitasi) adalah polisi tidak melakukan
hal tersebut. Walaupun ada anak-anak berusia 17 tahun tertangkap, tetap tidak akan dititip ke
lembaga rehabilitasi. Karena, jaminan keamanan di lembaga rehabilitasi belum 100% bagus,
sedangkan dalam proses persidangan polisi harus tetap menghadirkan tersangka. Jadi, kemungkinan
tersangka akan kabur, dan lain-lain. Mungkin di kota Bandung ada lembaga rehabilitasi milik BNN
di Lido yang panti rehabilitasinya memenuhi syarat, tapi tetap kami akan melakukan hal yang sama
(tidak dititipkan di lembaga rehabilitasi). Itu kesulitan yang dialami. Sehingga sampai saat ini pola-
pola tersebut tidak dilaksanakan. Polisi pernah mencoba untuk menitipkan anak ke lembaga
rehabilitasi, namun lembaga rehabilitasi yang bersangkutan tidak menyanggupi kecuali jika
terdapat polisi yang menjaga. Hal ini dianggap percuma bagi polisi. Lebih baik ditahan saja di jeruji
besi.

Tahun 2015 pernah menangani kasus narkotika anak. Anak tersebut berempat. Mereka positif
menggunakan narkotika. Satu anak melebihi usia yang ada pada KUHAP jadi ia boleh ditahan. Tiga
anak dikembalikan ke orang tuanya dengan diberikan saran untuk direhabilitasi. Mengapa hanya
saran? Karena polisi hanya melakukan suruhan undang-undang dan posisi mereka adalah penegak
hukum. Mau si anak akan di rehabilitasi atau tidak yang penting polisi telah memberikan saran.
Hanya saja, jangan sampai bertemu polisi dua kali karena melakukan hal yang sama. Karena, jika ia
sudah direhabilitasi dua kali dan mengulangi perbuatannya untuk yang ketiga kalinya, maka ia
harus ditahan dan masuk dalam proses penyidikan normal (bukan sesuai penyidikan untuk anak).

Hal diatas adalah untuk anak sebagai pecandu. Untuk anak sebagai pengedar, proses penyidikan
sama. Hal yang penting adalah jika memang terbukti anak dibawah umur kita selalu berusaha untuk
mengembalikan anak tersebut ke orang tuanya. Bukan berarti kita tidak mau menangani, hal ini
dilakukan karena si anak harus sekolah, dan lain-lain. Namun, jika hasil asesmen polisi si anak
adalah kurir (pengedar), kita tidak bisa melepaskannya. Harus ada proses penyidikan yang normal,
jadi disamakan dengan orang dewasa hanya saja proses persidangan berbeda. Proses sidang harus
sesuai dengan sidang anak.

Walaupun konteksnya anak-anak yang melakukan tindak pidana (sebagai pengedar), ia tetap
dianggap melakukan tindak pidana. Pantas tidak orang yang melakukan tindak pidana
dimaafkan? Tidak pantas. Secara hukum ia tidak bisa dimaafkan. Dia sebagai pengedar berarti ia
sudah merusak orang lain. Jadi, pengedar anak tidak bisa direhabilitasi. Contoh, anak kecil mencuri,
tidak dapat dimaafkan. Kita tidak boleh yaudahlah ini hanya anak kecil, karena secara hukum ia
tidak bisa dimaafkan begitu saja. Jika ia selalu dimaafkan, maka akan timbul suatu kebiasaan yang
akan terbawa sampai ia dewasa. Ia akan merasa bahwa ia memiliki kekebalan ketika melakukan
suatu tindak pidana, karena itu ia akan mengulanginya kembali. Hal ini bukan berarti polisi
memperkosa hak asasi anak, tapi beginilah cara mendidik anak. Jika kita selalu memaafkan anak,

100
mau jadi apa Negara ini?

Langkah yang dilakukan polisi didasari oleh KUHAP. UU Narkotika hanya untuk BNN.

Selama ini jarang menggunakan diversi. Hanya 1 kasus. Kasus tersebut karena ada kesalahan
pengakuan dari tersangka. Pada awalnya tersangka mengaku ia berusia 20 tahun, maka ia tidak
diberikan treatment sebagaimana anak-anak. Keluargapun mengakui anaknya tersebut berusia 20
tahun. Namun, ditengah jalan, keluarganya kembali datang ke polisi untuk mengaku bahwa si anak
masih berusia 17 tahun. Dan setelah dicek kembali, memang benar anak berusia 17 tahun. Akhirnya
dilakukan diversi, dan si anak dikirim ke lembaga rehabilitasi (karena kondisinya ia sebagai
pengguna saja). Jika ia ternyata juga sebagai pengedar, sepertinya tidak akan dilakukan diversi dan
dikirim ke lembaga rehabilitasi.

Hal yang penting, UU Narkotika menjadi patokan, kemudian didukung oleh UU SPPA. Karena
tetap walau bagaimanapun jika seorang pelaku kejahatan masih bisa diperbaiki ya akan kita
perbaiki. Jadi tidak harus semuanya sesuai dengan undang-undang, tidak semuanya harus diancam
sesuai dengan undang-undang. Jika anak sudah keliatan jeranya, polisi akan memberi kelonggaran.

Terdapat pengobatan untuk pecandu anak di dalam LPKA. Jangankan untuk anak, untuk orang
dewasa juga ada.

Kemudian, menurut Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung (Bapas),


penanggulangan bagi anak yang terlibat tindak pidana narkotika adalah
merepa selalu mendampingi anak-anak tersebut. Mereka terlebih dahulu
melihat latar belakang anak mengapa ia melakukan tindak pidana melalui
penelitian kemasyarakatan. Hasil penelitian kemasyarakatan inilah yang akan
menjadi bukti kuat untuk putusan dalam peradilan. Jika terbukti anak
menyimpan barang bukti narkotika namun ia dibujuk oleh orang dewasa,
Bapas merekomendasi untuk direhabilitasi. Namun jika ia juga
mengedarkannya, rekomendasi Bapas adalah dipenjara. Bapas mengetahui
pula ada TAT, namun ia mengakui bahwa TAT belum dilaksanakan dari pihak
Bapas karena kurangnya koordinasi antar tim-tim asesmen tersebut. Pecandu
anak tetap akan masuk ke proses peradilan, nanti didalam pengadilan akan
diputus apakah ia direhabilitasi atau penjara. Jika pada lapangannya diketahui
ada anak sebagai pecandu sekaligus pengedar, biasanya tindak pidana ia
sebagai pengedar yang akan didahulukan, maka penanganannya adalah ia
sebagai pengedar. (Lihat tabel 9)

101
Tabel 9.
Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung (3 Maret 2016)
Proses mengatasi anak yang berhadapan hukum adalah terlebih dahulu Bapas melihat latar
belakang dari anak. Latar belakang disini dalam hal lingkungan si anak. Hal ini dilakukan karena
terdapat kewajiban bagi polisi untuk meminta saran dari Bapas (berdasarkan UU SPPA). Setelah ini
Bapas melakukan penelitian kemasyarakatan. Jadi diperiksa dan diwawancara baik kepada anak,
polisi, bahkan masyaraka yang berada disekitar anak yang bersangkutan. Kuncinya adalah Bapas
melakukan tindak lanjut sesuai hasil dari wawancara. Karena dari wawancara tersebut Bapas
menjadi tahu latar belakang mengapa anak menggunakan atau mengedarkan narkotika. Untuk
semua kasus SOP nya sama, tidak ada yang dispesialkan.

Pada lapangannya, banyak sekali anak-anak yang dibujuk atau diajak oleh orang dewasa untuk
menggunakan atau mengedarkan narkotika. Pertama si anak gratis untuk mencicip narkotika. Ada
juga anak yang dititipkan barang (narkotika). Jika menemukan hal seperti itu, kita lihat lingkungan
si anak. Apakah si anak masih sekolah? Jika iya, namun si anak menyimpan barang dan ada
indikasi atas bujukan oleh orang dewasa, maka saran dari Bapas adalah di rehabilitasi, jadi tidak di
penjara. Namun jika ia sudah berkali-kali menyimpan dan menggunakan, saran polisi adalah
penjara. Karena, kasus narkotika adalah tindak pidana berat. Negara kita dalam status gawat darurat
narkotika. Jadi anak dipenjara. Apalagi jika si anak tidak ada kegiatan sekolah. Jadi kalau ia sebagai
pemakai saja sesuai dengan Pasal 127, Bapas akan memberi saran untuk direhabilitasi.

Jadi jika ketahuan anak diperalat oleh orang dewasa, maka kondisi ini akan menjadi bahan
pertimbangan tindakan yang akan disarankan oleh Bapas pada pengadilan.

Pernah menangani suatu kasus. Jadi, awalnya dilakukan razia dalam rangka pemberantasan
narkotika. Ditemukanlah ada anak kelas 3 SMA yang menggunakan narkotika. Saran dari Bapas
adalah direhabilitasi. Orang tuanya bilang jika anaknya direhabilitasi maka anaknya tidak akan
sekolah. Kemudian, kondisi anak tersebut tengah persiapan ujian akhir. Saat itu Bapas
kebingungan. Lalu, dalam UU SPPA orang tua bisa mengajukan penangguhan penahanan. Jadi saat
itu dilakukanlah penangguhan penahanan yaitu dengan dikembalikan ke orang tua dengan syarat
orang tuanya selalu wajib lapor. Jika kelak anak ditemukan menggunakan narkotika untuk yang
kedua kalinya, maka tidak ada treatment untuk penangguhan penahanan dan tidak ada musyawarah.

Pada lapangannya, rata-rata orang tua tidak mengetahui anak-anaknya merupakan pecandu atau
pengedar narkotika. Tahunya setelah si anak tertangkap.

Jika ditemukan anak sebagai pecandu ternyata juga sebagai pengedar, terkadang yang didahulukan
adalah tindak pidana ia sebagai pengedarnya. Jadi penanganan ia sebagai pengedar. Maka pada
akhirnya ia di penjara. Penanganan setelah di penjara tergantung dari LPKA.

Rata-rata anak yang telibat narkotika berada dalam kondisi ekonomi menengah kebawah.

Terdapat Tim Asesmen Terpadu (TAT). Ada tim medis dan tim hukum. Kita masuk dalam tim
hukum. Tapi selama ini belum pernah melaksanakan TAT, jadi kita belum pernah menangani kasus
disertai dengan TAT. Karena, pertama baru dibentuk, kemudian Bapas masih awam bagaimana
aplikasi di lapangannya. Harusnya, pihak BNN mengumpulkan semua tim terlebih dahulu untuk
dilakukannya satu pemahaman mengenai TAT. Kita bisa melakukan Pendidikan dan Pelatihan

102
mengenai TAT. Dan juga, harus terdapat sertifikasi sebagai asesor untuk dapat melakukan TAT.
Sertifikasi ini digunakan sebagai dasar kita melakukan TAT. Tapi hal ini belum pernah dilakukan
sama sekali. Seharusnya pihak BNN berinisiatif untuk memulai hal-hal ini. Jadi belum ada
koordinasi antara satu sama lain tim mengenai TAT ini.

Anak sebagai pengedar tidak bisa diberikan diversi. Kalau pecandu bisa didiversi namun ke arah
rehabilitasi.

Jadi rehabilitasi hanya untuk anak yang pecandu, bukan anak sebagai pengedar. Untuk pecandu
karena mereka dapat digunakan Pasal 127 UU Narkotika.

Pecandu atau pengedar tetap masuk dalam proses peradilan. Nanti peradilan yang akan
memutuskan si anak akan direhabilitasi atau penjara. Tapi, rekomendasi kami seperti tadi.

Dulu pemakai narkotika di penjara. Tapi karena over capacity jadi ada Peraturan Pemerintah yang
mengatakan mereka harus direhabilitasi.

Rehabilitasi medis dan Rehabilitasi sosial menjadi satu kesatuan.

Pendampingan Bapas terhadap anak itu berupa pada tiap tingkatan dalam proses peradilan Bapas
wajib hadir. Dalam kejaksaan ada diversi, Bapas wajib hadir. Jadi pada penyidikan dan persidangan
wajib hadir.

Dalam persidangan akan disampaikan laporan-laporan mengenai penelitian kemasyarakatan, isinya


adalah identitas anak, identitas orang tua, motivasi melakukan tindak pidana, latar belakang,
lingkungan sosial, peergroup, dan lain-lain. Hal ini dituangkan dalam laporan penelitian
kemasyarakatan. Sebelumnya, laporan ini diserahkan pada polisi dan disatukan dengan Berita
Acara Pemeriksaan, kemudian diserahkan ke Jaksa. Jika saat diserahkan ke jaksa tidak ada laporan
penelitian kemasyarakatan dari Bapas, Jaksa tidak mau dan akan menolak. Karena laporan ini
menjadi bahan pertimbangan putusan bagi anak. Laporan yang diberikan oleh Bapas haruslah yang
meringankan anak. Namun Bapas harus tetap bersikap objektif. Jadi mengungkapkan laporan
tersebut benar-benar sesuai dengan fakta di masyarakat.

Hasil rekomendasi yang biasa diberikan adalah dikembalikan pada orang tua, pidana dengan syarat,
diserahkan pada LPKS (untuk pelatihan kerja dan menitipkan anak), rehabilitasi, dan penjara.

Menurut hukum, polisi harus menyediakan pengacara pada anak. Terlebih dahulu polisi akan
menanyakan pada anak apakah ia mau menggunakan pengacara atau tidak. Jika mau, polisi wajib
menyediakan. Jika tidak, ia bisa cari bantuan hukum sendiri atau tidak menggunakan pengacara.
Pada prakteknya, jarang anak yang menggunakan pengacara karena terkait biaya.

Lalu menurut Hakim yang biasa menangani kasus narkotika anak,


bahwa seorang anak yang mengedarkan narkotika sekaligus sebagai pecandu,
ia tetap harus direhabilitasi. (Lihat tabel 10)

Tabel 10.

103
Hakim Anak (26 Oktober 2015)
Kita harus bergerak tidak hanya ke pencadu saja, ke Bandar narkoba pun harus diperhatikan. Kalau
pengedar sebagai pecandu, ia tetap harus direhabilitasi.

Restorative Justice memang bisa dilakukan diversi. Tapi kita harus membedakan diversi dengan
Restorative Justice. Kalau ia diversi, itu sistem. Kalau Restorative Justice itu masih bentuk
keadilan, jadi diluar sistem. Restorative Justice dia harus menjadi korban. Kalau ia juga sebagai
pelaku, harus didiskusikan bagaimana keadilan untuk dia. Di sidang kelak harus duduk orang-orang
yang dapat mewakili anak, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, orang tuanya, LSM-LSM,
dan lain-lain. Karena kita harus perjuangkan hak-hak anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak.

Jadi, mau si anak pecandu ataupun pengedar, ia tetap dianggap korban. Kalaupun ia sebagai
pelaku, harus ada orang-orang yang mendampinginya. Karena, si anak mau diperalat. Anak tidak
tahu dampaknya.

Disertasi bapak, bapak usulkan untuk tidak memakai sistem pidana minimum khusus pada anak
terkait UU Narkotika, keluarlah UU SPPA yang tidak berlaku sistem pidana minimum khusus bagi
anak dalam perkara apapun. Dulu hanya untuk perkara korupsi saja. Kenapa saya usulkan seperti
ini, karena ketika itu kita anggap anak dizalimin sekali, ia diperlakukan seperti orang dewasa, anak
miniatur orang dewasa, anak bukan orang dewasa karena anak adalah anak. Tapi kenapa anak
diperlakukan seperti orang dewasa dalam UU Narkotika? Kenapa diabaikan UU SPPA? Kenapa
diabaikan UU Perlindungan Anak? Jadi kalaupun ia dipidana, jangan diperlakukan sama seperti
orang dewasa.

Tempo hari ada SEMA yang mengatakan kita bisa menyimpangi UU Narkotika ketika sifat
eksepsional nya ada. Contohnya, si anak sekedar untuk berlindung dan jangan digunakan lagi
narkotika ini. Pertanyaannya, apa standardisasi eksesional tersebut? Berarti masih tergantung
Hakim.

Makanya semua orang kaget, kenapa pembuat undang-undang mengabaikan UU SPPA dan UU
Perlindungan Anak mengenai hak-hak anak? Syukurlah tahun 2014 kemarin tidak berlaku lagi
sistem pidana minimum khusus untuk anak.

Menurut Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat, baik


pecandu atau penyalahguna mereka tetap harus direhabilitasi. BNN sudah
satu pemahaman bahwa penyalahguna narkotika punya hak rehabilitasi,
namun saat masuk ke sidang peradilan ternyata jaksa dan hakim tidak
memamahi akan hak tersebut. BNN mengetahui adanya TAT dan selalu
menggunakan TAT ini. Mengenai TAT ini sudah dilakukan rapat koordinasi
dengan pihak-pihak terkait. Namun dilapangannya masih ada beberapa pihak
yang tidak mengetahui adanya TAT ini. Hakim yang menangani kasus
narkotika pernah komentar, mengapa kasus yang dibawa oleh BNN
rekomendasi selalu rehabilitasi namun dari polisi selalu penjara. Hal ini dapat

104
terjadi karena tidak melalui proses TAT dan belum satu pemahaman. Padahal
TAT ini dibuat saat kepemimpinan Bapak Anang Iskandar, saat ini Pak Anang
pindah ke bareskrim polri, TAT ini diturunkan ke polri, jadi seharusnya polri
sudah mengetahu TAT ini. Kemudian, jika anak sebagai pengedar akan
ditaruh di tahanan, namun jika ia membutuhkan medis maka akan diberikan.
Jika ia sebagai pecandu dan juga sebagai pengedar, maka ditaruh di Rutan
namun direkomendasikan ada rehabilitasi dilingkungan terlindung. (Lihat
tabel 11)

Tabel 11.
Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat (25 Februari 2016)
Pengguna ada pecandu dan penyalahguna. Kalau pecandu dia sudah ketergantungan. Kalau coba-
coba atau masih rekreasional, ia adalah penyalahguna. Mereka berdua tetap berhak untuk
mendapatkan rehabilitasi. Rehabilitasi tidak selalu rawat inap, tapi bisa rawat jalan. Tetapi
masalahnya, di UU memang mewajibkan rehabilitasi, tapi di pasal yang lain ada hukum pidananya
juga. Jadi ada sisi ambigu disitu. Maka untuk orang-orang BNN sendiri punya pemahaman bahwa
penyalahguna narkotika itu dapat hak rehabilitasi (ditingkat BNN), tapi begitu masuk ke
persidangan apakah para jaksa dan hakim sudah mengetahui hal tersebut? Ternyata para jaksa dan
hakim tidak mengetahui hal itu. Masih harus banyak pemahaman ke para penegak hukum mengenai
itu. Termasuk pada penyidik baik polisi ataupun BNN. Kalau untuk anak sendiri, kebanyakan kita
rekomendasi ke rehabilitasi. Jadi banyak orang tua atau gurunya datang kesini untuk minta
direhabilitasi.

Ada Tim Asesmen Terpadu (TAT). TAT dilakukan jika ada barang bukti. Ada dua tim, yaitu tim
hukum dan tim dokter. Tim dokter ada psikolog dan spesialis dokter jiwa. Tim hukum ada penyidik
(BNN dan Polisi), kejaksaan, dan dari Bapas. Jadi TAT ini untuk menentukan apakah ia murni
pengguna, atau ia pengguna dan pengedar, atau ia murni pengedar. TAT ini akan memilah hal
tersebut. TAT ini penerapannya belum disemua penyidik. Di BNN sudah mulai diterapkan. Jadi
kalau ada seseorang yang ditangkap karena kasus narkoba termasuk anak, maka akan dilakukan
TAT. Jadi asesemen ini tidak hanya oleh penyidik, ada tim medis yang bisa memilah apakah ia
pengguna bukan, pecandu bukan, kalau benar pecandu maka kita rekomendasikan untuk
rehabilitasi. Jadi TAT ini akan membantu hakim untuk menentukan arah putusan. Ini menjadi bahan
kuat untuk pertimbangan hakim kalau hakim sudah mengerti mengenai hal ini.

BNN sering melakukan rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Para pihak terbuka. Ada
beberapa hakim yang sudah paham, ada yang belum. TAT ini baru berjalan tahun lalu. Jadi, waktu
itu saya pernah jadi saksi ahli dipersidangan, hakim bingung kenapa sekarang ada hal seperti ini
(TAT). Kenapa kasus-kasus lain tidak ada? kenapa hanya dari BNN? Padahal kasus serupa, namun
tuntutan berbeda. Kenapa kalau kasus dari penyidik polisi dituntutnya pidana penjara, tapi dari
BNN tuntutannya rehabilitasi.

Jadi, entah itu pengedar atau pecandu pasti bisa ditangkap oleh penyidik polisi atau BNN. Biasanya
kalau BNN pasti ada rekomendasi dari TAT.

105
Tahun lalu Pak Anang Iskandar masih sebagai kepala BNN sehingga kebijakan ini lebih kuat di
BNN, dan kepolisian sendiri mereka belum mau melakukan TAT ini. Begitu Pak Anang Iskandar
pindah ke Bareskrim Polri (Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia), TAT ini
diturunkanlah ke kepolisian. Jadi tahun ini sudah mulai kepolisian melakukan TAT ini.

TAT ini diturunkan dari Peraturan Bersama. Jadi dalam Peraturan Bersama itu kita melibatkan
beberapa pihak, ada dari hakim. Mungkin hakim-hakim yang tidak tahu tadi belum tersosialisasikan
saja.

Tahun kemarin itu ada usia 18 tahun, tapi tidak ada barang bukti, hanya ganja, tapi mereka hanya
pengguna, jadi kita lakukan asesmen medis. Bukan TAT.

Jadi, penanganan pengguna anak terbagi dua, ada namanya voluntary dan terkait hukum. Kalau
hukum, ia ditangkap, ada barang bukti. Kalau voluntary ia datang secara sukarela untuk melapor,
maka kita lakukan asesmen dan menunggu rekomendasi dari tim medis seperti apa, sehingga di
asesmen medis ini tidak melibatkan tim hukum. Jadi kasus ganja tadi kita lakukan rehabilitasi.
Tergantung rekomendasi dari tim asesmen.

BNN tidak tahu di perlindungan anak terdapat pasal yang mengatakan anak sebagai korban
penyalahgunaan narkotika serta yang terlibat dalam produksi dan distribusinya harus diupayakan
rehabilitasi (Pasal 67 UU Perlindungan Anak)

BNN tidak mengetahui ada berapa jumlah anak di penjara terkait tindak pidana narkotika saat ini
(sesuai dengan data yang penulis miliki)

Bisa jadi para pecandu dan pengedar anak yang ada dipenjara itu diakibatkan karena mereka
melakukan tindak pidana lain sebagai akibat atau dampak tindak pidana narkotika.

Dulu sebelum ada TAT hanya ada asesmen medis.

TAT ini harus dilakukan selama 6 hari, jadi setelah 6 hari baru dikeluarkan rekomendasi. Kalau
melewati 6 hari, harus melalui IPWL. Kenapa 6 hari? Karena dalam jangka waktu 6 hari ini
penyidik polisi akan memutuskan untuk mengeluarkan penetapan pasal.

BNN sebagai tempat screening orang yang terkait tindak pidana narkotika harus diberi upaya apa.

Rehabilitasi harus ada karena dengan rehabilitasi diharapkan orang yang terlibat tindak pidana
narkotika tidak menggunakan narkotika lagi, ada peningkatan produktivitas, meningkat kesehatan,
dan ada perubahan perilaku.

Jika pengedar, kita taruh di tahanan terlebih dahulu. Tapi dilihat juga, dia membutuhkan medis atau
tidak. Kemarin-kemarin belum ada yang terlalu berat kondisi medisnya. Biasanya dilapangan, kalau
benar-benar pengedar maka ia pasti di Rumah Tahanan. Kalau pecandu & pengedar, di Rumah
Tahanan namun direkomendasikan ada rehabilitas dilingkungan terlindungan.

Kalau kurang dari SEMA pasti di rehabilitasi, jadi tidak ada proses hukum atau tidak masuk ke
penyidikan. Memang akan dibuatkan BAP, tapi dilimpahkan ke rehabilitasi. Jika barang bukti sudah
banyak, baru dilakukan TAT.

106
Biasanya orang tua yang membawa anaknya ke BNN untuk ditanganin kondisinya sedang
menunggu P-21 atau sudah disidang. Orang tua mereka selalu minta gimana caranya agar anak-
anak mereka bisa mendapatkan rehabilitasi. Karena tiap lembaga berbeda sudut pandang, dan
karena itu kondisinya sudah ditangani oleh kepolisian, biasanya kami menyarankan orang tua untuk
membuat surat permohonan asesmen ke penyidik, agar penyidik mau membawa orang tua tersebut
untuk di asesmen. Asesmen yang dilakukan adalah IPWL.

Di lapangan BNN suka menemukan, ketika orang tua meminta rekomendasi asesmen medis ke
penyidik polisi, penyidik polisi mengatakan buat apa dimintai rehabilitasi seperti itu? Ibu / bapak
harus ngeluarin duit berapa ratus juta untuk melakukan itu. Nah, sebenarnya untuk rehabilitasi itu
ditanggung sendiri pembiayaannya. Memang betul ada biaya, tapi tidak sebesar ratusan juta
tersebut. Biasanya departemen kesehatan atau sosial akan membiayai. Biasanya yang tadi polisi itu
untuk biaya rokok atau apa.

Mengenai Pasal dalam UU Narkotika dimana orang tua yang tidak melaporkan anaknya sebagai
pecandu akan dikenai sanksi, rata-rata orang tua yang melapor ke BNN mengakunya mereka tidak
tahu. Jadi tahunya setelah ditangkap. Jarang orang tua yang dituntut karena tidak melapor. Kecuali
kalau memang orang tuanya juga menjadi dalang.

Jadi pintu semua untuk ia direhabilitasi atau penjara adalah dari rekomendasi TAT.

Bisa jadi ketika ada anak sebagai pecandu berat dan pengedar, mungkin dia dirawat dalam lembaga
rehabilitasi terlebih dahulu karena kondisi medisnya, setelah kondisi medisnya stabil baru masalah
hukumnya tetap dilanjutkan, jadi ia ditaruh ke LPKA.

Kemudian menurut salah satu LSM di bidang narkotika, mereka


mengatakan bahwa SEMA no. 4 tahun 2010 adalah satuan ukuran apakah
orang akan dikatakan sebagai pecandu atau sebagai pengedar. Jika orang
tersebut membawa barang bukti dibawah SEMA, maka ia direhabilitasi,
namun jika lebih maka ia bisa dipenjara karena dianggap sebagai pengedar.
Pada lapangannya, ketika polisi menangkap para pecandu, polisi suka
menggunakan 86. Hal ini yang menyebabkan mengapa dipenjara masih
banyak orang-orang sebagai pecandu, termasuk anak. LSM ini pernah sampai
memperjuangkan seorang pecandu dengan upaya membayar lewat 86 ini
agar ia bisa direhabilitasi. Para pengedar besar ternyata berasal dari para
pejabat-pejabat. (Lihat tabel 12)

Tabel 12.
Lembaga Swadaya Masyarakat Narkotika
(20 Februari 2016)

107
Ada SEMA No. 4 tahun 2010 yang memberi satuan ukuran apakah orang yang bersangkutan
pecendu atau pengedar. Jika dibawah SEMA, maka ia di rehabilitasi. Jika ia melebih SEMA, ia
dianggap sebagai pengedar dan bisa ke penjara.

Mengapa ada pecandu yang dipenjara, atau masalah-masalah yang penulis miliki, itu semua
berawal dari penyidikan polisi. Rata-rata pada kenyataannya, menurut pengalaman, polisi selalu
menggunakan 86. 86 disini maksudnya berkonotasi negatif, jadi setiap penanganan oleh seorang
oknum anggota polisi hendaknya dihargai sebuah penghargaan, dalam bentuk kemudahan
pelayanan atau pemberian sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus. Ini merupakan
cara damai dari LSM (ini) untuk dapat membantu para pecandu dan pengedar yang terlibat
narkotika. Budaya 86 ini terjadi karena polisi memiliki target operasi, dan tiap target operasi ada
biaya namun kurang. Jadi biaya dari 86 ini biasanya disalurkanlah untuk hal-hal seperti ini.

Sudah menangani lebih dari 50 kasus narkotika.

Panti rehabilitasi itu kasihan karena Negara tidak begitu banyak untuk memberikan anggaran
kepada mereka.

Karena kita sudah sering berurusan dengan narkotika, kita pun tahu sebenarnya pengedar besar
itu ya juga dari para pejabat-pejabat. Ini adalah pernyataan murni dan tanpa bohong, yang berasal
dari sumber terpercaya.

Jadi, polisi senang jika ada orang-orang yang baru terkena kasus narkotika, karena orang tersebut
jadi bahan ATM mereka atau sebagai perasan.

Pernyataan dari LSM diatas didukung pula dari pengalaman teman


penulis (Sebut saja A). Saat itu A masih berusia 16 tahun dan duduk dibangku
Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia memiliki janji untuk berkumpul dirumah
seorang temannya bersama teman-temannya yang lain. Saat A baru sampai di
lokasi, rumah temannya tersebut penuh dengan polisi. Ternyata polisi tersebut
menangkap basah teman-teman A sedang menggunakan narkotika jenis ganja.
Polisi langsung mengangkut teman-teman A ke mobil polisi. Salah satu polisi
berteriak pada A dan menuduh bahwa A juga turut serta dalam pemakaian
narkotika tersebut. A mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa dan baru saja
sampai dilokasi. Para polisi tidak mempercayai A, dan A turut dibawa ke
kantor polisi bersama teman-temannya yang lain. Sampai di kantor polisi, A
dengan teman-temannya mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Mereka
satu-satu dites urine untuk menguji apakah mereka positif atau negatif
menggunakan narkotika. Ternyata A negatif menggunakan narkotika, polisi
mengatakan Kamu tidak boleh pulang dulu. Kamu harus cari uang sebesar

108
Rp5.000.000,-/orang (lima juta rupiah) sebanyak jumlah teman kamu untuk
dapat membebaskan teman-teman kamu. Hal ini terlihat bahwa praktek 86
masih digunakan oleh para polisi.
Setelah mengetahui prosedur secara aturan dan pernyataan yang ada
dari para penegak hukum dan pihak lain yang terkait, penulispun merasa
harus mengetahui bagaimana proses penanggulangan tersebut dari sudut
pandang anak yang terlibat tindak pidana narkotika langsung. Penulis
melakukan wawancara dengan tiga narapidana anak yang terlibat tindak
pidana narkotika yang sekarang masih berada di LPKA Bandung. Wawancara
tersebut dilakukan pada tanggal 23 Maret 2016. Satu anak (A) mendapat
sanksi pidana penjara selama 6 Tahun, satu anak (B) mendapat sanksi pidana
penjara selama 3 tahun, dan satu anak (C) mendapat sanksi pidana penjara
selama 1 tahun 8 bulan. Mereka pada dasarnya mengatakan hal yang sama
bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi semena-mena. Mereka
dipukul dengan linggis, ditampar, ditendang, disiram dengan air kemudian
ditelanjangi, disetrum badan dan lidahnya, dan segala macam. B dan C
mengakui bahwa tindakan tersebut tidak hanya sekali, namun bisa sampai tiga
kali. Pertama saat penangkapan, kedua saat pemeriksaan, dan ketiga saat
pemeriksaan jaringan narkotika.
Pada saat melakukan wawancara, C adalah anak yang baru sebulan di
dalam LPKA. Ia menunjukkan kepada penulis memar-memar yang ada pada
kakinya, tangannya, dan wajahnya. Ia mengaku bahwa itu semua perbuatan
dari para kepolisian saat proses tadi.
Kemudian, B mengaku bahwa ia ditahan di sel monyet dan sel
tikus. Saat ditahan di sel monyet, ia tidak diberi makan sama sekali hingga
keluar dari tahanan yaitu selama 2 hari 1 malam. Kemudian begitu pula saat
dipindahkan ke sel tikus. Sel tikus disini berukuran kecil yang hanya muat
untuk dua orang. Posisi kedua orang tersebut pun jika ingin muat dalam sel
tikus harus dalam posisi jongkok. Buang air kecil harus disana.

109
A ditawarkan pengacara oleh pihak kepolisian, namun beda dengan B
dan C. A memilih untuk tidak menggunakan pengacara. B dan C tidak punya
pilihan maka mereka harus menerima pengacara yang diberikan oleh polisi.
A mengaku bahwa pada awalnya ia diberi ancaman pidana penjara
sebesar 10 tahun oleh jaksa. Namun hakim menurunkannya hingga 6 tahun. B
juga mengaku bahwa pada awalnya jaksa menuntut 12 tahun penjara, namun
hakim menurunkannya hingga 3 tahun karena alasan usia dan hakim
meyakini B akan berubah. A, B dan C sama-sama dikenai Pasal 114 UU
Narkotika. Berikut data dari ketiga anak tersebut:

Nomor Nama Kota Usia Tingkat Hukuman Tanggal Tanggal Tanggal Pe


Registrasi (saat pendidikan Masuk Mulai Ekspirasi
Instansi ini) Ditahan
B I 32/14 A Cianjur 19 SMK 6 tahun 05/06/2014 09/05/2014 09/05/2020 Tu
AP.NR
B I 32/15 B Bekasi 18 SMK 3 tahun 02/06/2015 05/02/2015 08/10/2017 P
AP.NR m
B I 15/16 C Bekasi 16 SMK 1 tahun 8 12/02/2016 14/11/2015 12/07/2017 P
AP.NR bulan m
Tabel 13.

Sumber : LPKA Jawa Barat

Selain itu, melalui penelusuran buku ternyata ada beberapa buku yang
membahas pada kenyataannya bagaimana dasar pertimbangan hakim anak
dalam mengambil keputusan. Buku pertama yang saya gunakan adalah buku
Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.Hum. Ia adalah seorang Ketua atau hakim tinggi
di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Walaupun buku pertama tidak spesifik
membahas dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana
narkotika yang melibatkan anak, namun ini bisa menjadi gambaran kita
mengenai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Buku
kedua adalah buku dari Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., MS. Ia adalah seorang
akademisi lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (S-1 dan
S-3) dan Universitas Airlangga (S-2) yang memiliki concern terhadap aspek-
aspek hukum pidana. Buku kedua membahas dasar pertimbangan hakim

110
dalam menjatuhkan putusan pidana penjara pada anak yang
menyalahgunakan narkotika.
Buku Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.Hum mengatakan bahwa
berdasarkan hasil penelitian Makaroda Hafad, pada saat persidangan,
perdebatan-perdebatan antara jaksa dengan penasihat hukum lebih banyak
berkisar pada upaya pembuktian perbuatan pidana (criminal act), dan sangat
sedikit saksi yang mengemukakan tentang kondisi objektif (fisik dan psikis
serta kondisi sosial) dari terdakwa. Dalam tahapan pemberian pendapat oleh
orang tua/wali/orang tua asuh, dan pembimbing kemasyarakatan,
pertimbangannya lebih bersifat permintaan (misalnya dijatuhi putusan yang
seadil-adilnya), dan sangat sedikit yang memberikan penjelasan mengenai
kondisi anak selama ini dan masa depan anak serta risiko-risiko yang
mungkin ditimbulkan jika putusan tersebut dijatuhkan. Pertimbangan-
pertimbangan non-yuridis yang bersifat sosiologis, kriminologis, dan
psikologis kurang diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sistem
peradilan pidana anak.
Dalam hasil penelitian tersebut tampak bahwa pihak-pihak yang
kurang memperhatikan aspek sosiologis, kriminologis, dan psikologis yang
dimaksud adalah hakim, penasihat hkum, orang tua/wali/orang tua asuh dari
tersangka, dan petugas kemasyarakatan.
Secara substansial, adanya beberapa hakim anak yang masih
mengutamakan pendekatan yuridis, dan kurang memperhatikan faktor-faktor
non-yuridis (sisi fisik, psikis, sosilogis, dan kriminoogis) dalam rangka
mempertimbangkan pemidanaan terhadap anak.
Akibat dari pertimbangan yuridis dan non-yuridis diatas adalah dasar
pertimbangan hakim kecenderungan memilih untuk menjatuhkan sanksi
pidana daripada sanksi tindakan kepada anak. Jadi hakim justru lebih
mengutamakan alasan-alasan yang bersifat yuridis, yakni sebagai
implementasi dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu Karena pidana tersebut dimungkinkan untuk dijatuhkan kepada anak.
Bahwa tindak pidana yang tergolong dalam kategori kejahatan

111
(Sebagaimana dikualifikasikan dalam buku II KUHP) sehingga dianggap
berkategori berat (diancam dengan pidana penjara antara 5-9 tahun) dan
meresahkan masyarakat. Sedangkan dalam pertimbangan non-yuridis lebih
difokuskan pada alasan sebagai upaya pembinaan, dan karena adanya
keraguan atas efektivitas sanksi berupa tindakan.
Kemudian, berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan
Negeri Semarang:
Putusan hakim dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yuridis dan
non-yuridis. Pertimbangan non-yuridis tersebut antara lain aspek
sosilogis, psikologis, etika, dan historis dari anak.
Tuntutan jaksa dapat juga mempengaruhi hakim dalam membuat putusan
hakim. Meskipun demikian, hakim tetap mempunyai kemerdekaan untuk
menentukan putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Dalam praktik, meskipun jaksa menuntun seorang terdakwa anak dengan
pidana penjara, hakim dapat pula menjatuhkan bukan pidana penjara,
misal, pidana percobaan.
Lamanya masa penahanan anak yang dilakukan pada tahap penyidikan
maupun penuntutan dapat mempengaruhi putusan hakim.
Pembelaan dari advokat juga dapat mempengaruhi putusan hakim, karena
apa yang dikemukakan advokat bukan hanya menyangkut kepentingan
anak, tetapi juga dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Bahkan jika
advokat jeli terhadap perkara anak, maka ia dapat membuat suatu
gambaran yang tepat tentang anak dan masa depannya untuk kemudian
diajukan kepada hakim dalam rangka membuat putusan.
Keterangan orang tua atau orang tua asuh atau wali dapat membantu
hakim dalam membuat keputusan karena akan diketahui tentang latar
belakang anak tersebut melakukan tindak pidana. 59
Kemudian, berdasarkan buku Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., MS,
terdapat beberapa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

59 SRI SUTATIEK. REKONSTRUKSI SISTEM SANKSI DALAM HUKUM PIDANA ANAK DI INDONESIA
(URGENSI PENERBITAN PANDUAN PEMIDANAAN UNTUK HAKIM ANAK) 31-34, (CV. ASWAJA
PRESSINDO, Yogyakarta, 2013)

112
penjara kepada anak yang menyalahhgunakan narkotika tahun 2004-2005.
Pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 14.
No Nomor Putusan Usia Jenis Sanksi Pertimbangan Hakim
.
1 172/Pid.B/2004/ 18 Pidana penjara Yang memberatkan:
PN.Mlg Tahun dan denda Perbuatannya merusak
generasi bangsa
Yang meringankan:
Mengaku terus terang
Sopan dalam persidangan
Masih muda
2 272/Pid.B/2004/ 16 Pidana penjara Yang memberatkan:
PN.Mlg Tahun dan denda Perbuatan terdakwa merusak
moral dan kesehatan bangsa
3 501/Pid.B/2005/ 17 Pidana penjara Yang memberatkan:
PN.Mlg tahun dan denda Perbuatannya meresahkan
masyarakat
Yang meringankan:
Belum pernah dihukum
Sopan dalam persidangan
Masih muda dan masih aktif
sebagai siswa SMUN
4 570/Pid.B/2005/ 17 Pidana penjara Yang memberatkan:
PN.Mlg Tahun Perbuatannya meresahkan
masyarakat dan merusak
mental generasi muda
Perbuatan terdakwa
bertentangan dengan upaya
pemerintah membasmi
narkoba
Yang meringankan:
Belum pernah dihukum
Mengaku terus terang
Masih muda dan aktif
sebagai siswa SMUN60

60 KOESNO ADI. DIVERSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK 106, (Setara Press, Malang, 2014)

113
Berdasarkan hal diatas, kita dapat mengetahui bahwa ternyata
penanggulangan tindak pidana narkotika yang melibatkan anak pada
kenyataannya ada sedikit bertentangan atau tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan yang ada. Kita mengetahui bagaimana sikap-sikap
instansi yang terkait dalam menangani tindak pidana narkotika yang
melibatkan anak berdasarkan hasil wawancara diatas. Kita pun mengetahui
apa yang diinginkan oleh peraturan perundang-undangan terkait
penanggulangan tindak pidana narkotika yang melibatkan anak. Kita juga
mengetahui pada dasarnya apa penyebab anak sebagai pecandu masih
dikenakan sanksi pidana penjara. Dari uraian diatas kita tahu bahwa anak
sebagai pecandu dan pengedar narkotika harus diberi upaya rehabilitasi.
Untuk mengetahui lebih lanjut terhadap analisis penerapan rehabilitasi bagi
anak sebagi pecandu narkotika, dan analisis terhadap pengaturan dan
penerapan rehabilitasi bagi anak sebagai pengedar narkotika akan dibahas
pada Bab selanjutnya.

BAB IV

PENERAPAN REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA


ANAK DAN PENGEDAR NARKOTIKA ANAK

4.1 PENERAPAN REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA


ANAK
Berdasarkan Bab-bab sebelumnya kita mengetahui bahwa seorang anak
yang menyalahgunakan narkotika harus diberikan upaya rehabilitasi. Hal ini
tampak pada UU Narkotika, Peraturan Bersama, UU Perlindungan Anak dan UU
SPPA. Terdapat beberapa proses agar anak sebagai penyalahguna narkotika
mendapatkan upaya rehabilitasi. Proses yang dilewati telah dijelaskan dalam Bab
III, dimana proses tersebut diatur dalam Peraturan Bersama. Kemudian, karena
tindak pidana narkotika ini menyangkut anak, maka UU SPPA turut digunakan.

114
Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa setiap proses yang dilakukan oleh ABH
harus disertai dengan hak-hak yang ia miliki sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Anak atau dengan kata lain setiap proses yang dilewati anak sebagai
penyalahguna narkotika agar mendapatkan upaya rehabilitasi harus tetap
berdasarkan UU Perlindungan Anak. Tapi apakah aturan yang mengatur proses
tersebut telah sesuai dengan UU Perlindungan Anak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas,
apakah proses penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi berdasarkan Peraturan Bersama sesuai
dengan UU Perlindungan Anak? Pada dasarnya, Pasal-pasal mengenai
pelaksanaan Peraturan Bersama tersebut yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan
Pasal 7 (lihat tabel 6) sesuai dengan UU Perlindungan Anak, terutama
terpenuhinya Pasal 59A61 yang dimana anak-anak tersebut diperjuangkan untuk
mendapatkan rehabilitasi. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada tempat
pelaksanaan rehabilitasi antar satu Pasal dengan yang lain. Hal tersebut tampak
pada Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (2) yang dimana
rehabilitasi dilaksanakan di Rutan atau Lapas. Hal ini bertentangan dengan UU
Perlindungan Anak terutama Pasal 64 huruf G62 (pada perubahan terbaru UU
Perlindungan Anak) bahwa perlindungan khusus bagi ABH salah satunya adalah
berupa penghindaran dari penangkapan, penahanan, atau penjara (kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang singkat). Selain dari tiga pasal tersebut,
anak akan direhabilitasi di lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga
rehabilitasi sosial. Seharusnya anak tetap direhabilitasi dalam lembaga-lembaga

61 Pasal 59A mengatakan bahwa: Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya :Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan
dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan
kesehatan lainnya;
2. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
3. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
4. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

62 Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum salah satunya adalah
berupa Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat.

115
tersebut, karena jika direhabilitasi di Rutan atau Lapas akan menjadi sia-sia untuk
mewujudkan perlindungan anak.
Tiga pasal tersebut juga bertentangan dengan UU Narkotika tepatnya Pasal
128 ayat (3). Pasal tersebut pada intinya mengatakan bahwa anak sebagai pecandu
tidak boleh diberi sanksi pidana. Hubungannya dengan Pasal ini adalah pada
Peraturan Bersama dikatakan bahwa pecandu atau korban penyalahgunaan
berstatus tersangka dan/atau terdakwa. Hal tersebut menandakan bahwa ia
memasuki proses peradilan. Lalu, dikatakan bahwa jika ia sudah berstatus
narapidana (baik dalam kondisi ia merangkap sebagai pengedar atau tidak)
maka rehabilitasi dilakukan di Rutan atau Lapas. Status narapidana disini
menandakan bahwa telah ada sanksi pidana yang diberikan kepada pecandu atau
korban penyalahguna tersebut. Maka dari hal inilah tiga Pasal tersebut
bertentangan dengan Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan melalui wawancara
dengan pihak LPKA Bandung pada tanggal 26 September 2015, ternyata di dalam
LPKA treatment yang diberikan pada tiap anak tanpa melihat tindak pidana yang
mereka lakukan adalah sama. Hal ini menandakan bahwa tidak ada penanganan
khusus atau dengan kata lain tidak ada rehabilitasi medis untuk anak sebagai
pecandu didalam LPKA. Kondisi tersebut pasti merugikan anak, ia dipenjara
namun tidak diberi pengobatan agar mendapatkan pemulihan secara fisik maupun
psikis. Kondisi ini juga melanggar UU Perlindungan Anak (sebagaimana
dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya) yang bahwasannya anak tidak diberi
perawatan, pemulihan, pengobatan, dan sebagainya. Maka dari itu, jika
dihubungkan dengan tiga pasal dalam Peraturan Bersama maka anak tidak akan
mungkin mendapat rehabilitasi dalam Rutan atau Lapas.
Jika kita cermati rumusan Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 (lihat tabel 6)
ternyata hampir disetiap Pasal terdapat kata dapat. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) kata dapat adalah:
1 adv mampu; sanggup; bisa; boleh; mungkin: serangan
musuh tidak -- ditahan; isi hatinya tidak -- kita ketahui; 2 v cak
menerima; memperoleh: pemuda yg membacok temannya itu --
hukuman penjara tiga bulan; 3 v ditemukan; tertangkap dsb: ke
mana pun dicarinya, anting itu tidak -- juga; cari mereka sampai

116
--; 4 v berhasil; tercapai (maksudnya dsb): mudah-mudahan -- juga
apa yg engkau cita-citakan;

Dengan mengetahui makna dari kata dapat maka menurut hemat penulis
kata dapat bisa bermakna ganda, yaitu bisa dilakukan atau tidak dilakukan
(tergantung mampu atau tidak, tergantung sanggup atau tidak, bisa atau tidak,
boleh atau tidak boleh, memungkinkan atau tidak, jika tidak maka tidak
dilakukan). Kata dapat disini bisa membahayakan pecandu anak, juga pengedar
anak (yang nanti akan dibahas pula pada bagian berikutnya). Pada awalnya
Peraturan Bersama ini terkesan mewujudkan perlindungan anak namun ternyata
bisa tidak mewujudkan perlindungan anak.
Para pecandu anak ketika melewati proses yang diatur dalam Peraturan
Bersama mereka akan ditangani pula oleh Tim Asesmen Terpadu (selanjutnya
disebut TAT). Dengan melihat proses TAT, kita dapat mengatakan TAT merupakan
pintu gerbang akan dikategorikan sebagai apa dan dibawa kemana orang-orang
yang ditangkap karena terlibat tindak pidana narkotika, apakah mereka pecandu
murni, pengedar murni, atau pecandu merangkap sebagai pengedar. Pada dasarnya
proses TAT ini merupakan langkah yang menguntungkan bagi para pecandu,
namun bisa pula merugikan. Karena, TAT haruslah bersifat objektif dan tidak
boleh salah menilai. Jika tidak, maka orang-orang yang terlibat akan diberi
rekomendasi yang salah di pengadilan dan pada akhirnya merugikan mereka.
Dalam proses TAT ini, khusus untuk anak diikutsertakan pula pihak dari Bapas.
Maka diharapkan Bapas dapat melindungi kepentingan anak. Namun berdasarkan
hasil wawancara dengan pihak Bapas, bahwa TAT belum pernah digunakan oleh
Bapas sendiri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pihak-pihak
yang terkait dalam TAT. Selain itu hal yang sama juga dinyatakan oleh pihak
kepolisian (satuan reserse narkotika bandung) bahwa penerapan TAT ini belum
100% berjalan, tandanya belum berjalan sama sekali. Pihak BNN juga
menyatakan bahwa penerapan belum disemua penyidik, namun BNN sudah mulai
menerapkan TAT ini. Dari hal ini kita tahu jadi para pihak tersebut seakan-akan
berjalan sendiri-sendiri untuk menentukan apakah orang yang terlibat narkotika
tersebut pecandu atau pengedar atau pecandu merangkap sebagai pengedar.

117
Mereka belum satu pemahaman mengenai TAT ini. Akibatnya, rekomendasi yang
keluar terhadap orang yang terlibat tindak pidana narkotika berbeda-beda, ada
yang merekomendasi untuk direhabilitasi saja, ada yang merekomendasi penjara,
ada pula yang merekomendasi penjara namun disertai rehabilitasi jika perlu.
Selain proses penanggulangan menurut Peraturan Bersama, UU SPPA
mengatur pula proses penanggulangan bagi ABH yang dalam hal ini anak sebagai
pecandu. Seperti yang dikatakan sebelumnya, pada dasarnya anak sebagai
pecandu harus melewati proses peradilan terlebih dahulu. Disitulah peran UU
SPPA dijalankan.
Berdasarkan pembahasan pada Bab-bab sebelumnya kita tahu bahwa ciri
khas peradilan anak ialah adanya proses diversi. Pada dasarnya proses diversi
merupakan perwujudan dari perlindungan anak. Diversi harus diupayakan pada
saat penyidikan, penuntutan, bahkan persidangan. Namun sayang sekali, pada
kenyataannya, berdasarkan wawancara dengan para penyidik yang dalam hal ini
pihak kepolisian (lihat tabel 8) diversi jarang dilakukan. Dari fakta ini kita dapat
menilai bahwa pihak kepolisian kurang memperhatikan upaya untuk melindungi
anak dari jeratan hukum, karena salah satu tujuan dari diversi adalah
menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Perampasan kemerdekaan
disini dengan kata lain adalah pidana penjara.
Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa jika ketika anak melakukan
tindak pidana narkotika maka ancaman pidana ada pada UU Narkotika, namun
karena tindak pidana ini menyangkut anak maka kita tidak boleh melupakan UU
Perlindungan Anak, serta dalam proses peradilan kita juga menggunakan UU
SPPA. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, ternyata begitu penting upaya
perlindungan bagi anak, termasuk ABH. Saat proses hukum yang dihadapi ABH
(dalam hal ini yang terlibat narkotika) hendaklah mengutamakan UU
Perlindungan Anak. Baru setelah itu saat menjalani persidangan digunakanlah UU
SPPA, dan tidak lupa menggunakan UU Narkotika. Maka dari hal ini dapat kita
katakan UU Narkotika seharusnya dikecualikan oleh UU Perlindungan Anak serta
UU SPPA walaupun UU Perlindungan Anak dan UU SPPA secara spesifik tidak
membahas narkotika, namun mereka khusus membahas anak (mengingat asas lex
specialis derogat legi generalis). Namun sayang, pada kenyataannya berdasarkan

118
wawancara dengan pihak kepolisian (lihat tabel 8) bahwa mereka mengutamakan
UU Narkotika terlebih dahulu, barulah didukung dengan UU SPPA. Jika hal ini
dilakukan, maka diversi mungkin saja tidak akan terjadi.
Proses diatas merupakan proses penanganan bagi pecandu anak. Pada
dasarnya penanganan pada pengedar anakpun tidak terlalu berbeda (akan dibahas
pada bagian berikutnya). Proses penanganan diatas dapat kita katakan bisa sesuai
dengan perlindungan anak, namun bisa merugikan anak.

4.1.1 UPAYA REHABILITASI HANYA UNTUK SEBAGIAN


PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK
Anak sebagai penyalahguna narkotika berdasarkan UU Narkotika
dapat dikenai sanksi pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 UU
Narkotika. Bagaimanapun juga mereka tetap dianggap sebagai korban
penyalahgunaan narkotika, karena berdasarkan UU Perlindungan Anak tiap
anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dianggap sebagai korban,
baik ia sebagai sudah sampai tingkat pecandu ataupun pengedar narkotika.
Namun yang menjadi masalah, apakah yang dimaksud korban
penyalahgunaan narkotika dalam UU Perlindungan Anak ini sama dengan apa
yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika di dalam UU
Narkotika? Penulis tidak mengetahui hal tersebut, karena dalam UU Narkotika
tidak dijelaskan apa itu korban penyalahgunaan narkotika. Akibat dari
perbedaan perspektif ini, dalam UU Narkotika bisa saja anak sebagai
penyalahguna narkotika (ataupun pecandu) serta anak sebagai pengedar
bukanlah korban penyalahgunaan hingga mereka bisa dibuktikan sebagai
korban penyalahgunaan narkotika. Sehingga treatment yang diberikan bisa
berbeda sebagaimana ia sebagai korban dan sebagai pelaku. Kita tahu
bahwa korban tidak dapat dikriminalisasi karena ia memang bukan seorang
kriminal. Korban tidak boleh diberi tindakan yang sifatnya retributive justice,
tetap diupayakan restorative justice. Maka disini seharusnya karena ini
mengenai anak, UU Perlindungan Anak tetap harus diperjuangkan. Maka
terhadap anak tersebut harus tetap diupayakan rehabilitasi mau ia sebagai
penyalahguna (atau pecandu) dan sebagai pengedar. Penjara hanya dibenarkan

119
jika memang tujuannya untuk menyembuhkan (atau merehabilitasi namun di
dalam penjara). Orientasinya tidak boleh kejahatan apa yang ia lakukan
sehingga berapa hukumannya, tetapi berapa lama ia dipenjara untuk dapat
menyembuhkan atau memulihkan anak sebagai korban penyalahguna
narkotika tersebut agar dapat kembali kepada keadaan semula.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak sebagai penyalahguna
yang dibahas di penulisan hukum ini adalah anak yang hanya menggunakan
narkotika tanpa hak dan melawan hukum, serta yang sudah mencapai tingkat
ketergantungan (pecandu). Jika terhadap pecandu anak, di dalam UU
Narkotika ditegaskan bahwa mereka tidak dikenai sanksi pidana. Hal ini
dinyatakan dalam Pasal 128 ayat (2) UU Narkotika. Disini terdapat kerancuan
terhadap konteks anak sebagai penyalahguna narkotika, karena disatu sisi ia
tidak boleh dipidana dan disatu sisi ia dapat dipidana. Disitu ada hal yang
ambigu. Hal ini juga diakui oleh pihak BNN (lihat tabel 11). Jika kita
menggunakan perspektif UU Perlindungan Anak, mau ia hanya sebagai
penyalahguna atau sudah menjadi penyalahguna yang ketergantungan maka ia
tetap dianggap korban dan terhadapnya tidak boleh diberi sanksi pidana.
Jadi terdapat perbedaan aturan dalam tiap peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika yang dilakukan
oleh anak. Kemungkinan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sulitnya
memperjuangkan rehabilitasi bagi anak sebagai penyalahguna narkotika baik
ia sudah ketergantungan pada narkotika maupun tidak. Namun pada dasarnya
tetap, baik ia sebagai pecandu atau penyalahguna saja ia tetap berhak
mendapatkan rehabilitasi. Hal tersebut dinyatakan oleh BNN (lihat tabel 11).
BNN juga mengakui bahwa mereka sudah satu pemahaman mengenai hal
tersebut, jadi jika ada kasus narkotika anak yang mereka tangani baik anak
tersebut sebagai pecandu atau hanya penyalahguna maka tetap diberi
rehabilitasi. Namun sayang, pemahaman tersebut belum sampai pada pihak-
pihak yang biasa memiliki peran penting dalam persidangan (yaitu jaksa,
hakim, dan penyidik kepolisian). Akibatnya mereka bisa saja memberi sanksi
pidana penjara bagi anak, atau bisa juga rehabilitasi namun di penjara, atau
rehabilitasi di luar penjara. Walaupun BNN mengupayakan rehabilitasi bagi

120
anak, namun sayang berdasarkan hasil wawancara mereka tidak mengetahui
bahwa dalam Pasal 67 UU Perlindungan Anak jika anak melakukan
penyalahgunaan narkotika ia tetap dianggap sebagai korban, baik ia hanya
penyalahguna, atau penyalahguna yang sudah ketergantungan (pecandu), atau
bahkan pengedar. Akibat yang dapat timbul adalah BNN tidak bersudut
pandang anak sebagai korban, melainkan sebagai pelaku tindak pidana
narkotika. Hal lain yang dapat timbul adalah BNN akan memberi tindakan si
anak sebagaimana ia pelaku, bukan korban.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa ada yang dikenal sebagai
TAT. TAT ini bertujuan untuk menentukan apakah orang (anak) yang
bersangkutan merupakan pecandu murni, pengedar murni, atau pecandu yang
merangkap sebagai pengedar. Hal ini akan mempengaruhi putusan hakim
apakah ia akan di penjara tanpa direhabilitasi, penjara dengan rehabilitasi, atau
hanya direhabilitasi diluar penjara. Dapat dikatakan bahwa peranan TAT
sangatlah penting. Namun sayang, ternyata tidak semua penyidik yang
menerapkan TAT ini. Akibatnya adalah rekomendasi para hakim untuk kasus
yang sama menjadi berbeda-beda. Hal tersebut pasti merugikan anak yang
mengalaminya.
Berdasarkan hal diatas kita tahu bahwa berarti ada kemungkinan anak
sebagai penyalahguna narkotika terkena sanksi pidana penjara. Anak-anak
yang terlibat kasus tindak pidana narkotika yang kini masih berada dalam
LPKA Jawa Barat pada dasarnya memang diberi sanksi pidana dengan pasal
pengedaran narkotika (Pasal 111 dan 114 UU Narkotika), namun setelah
diselidiki dan sesuai dengan pernyataan dari pihak LPKA bahwa sepengakuan
anak-anak yang terlibat narkotika di dalam LPKA mereka menggunakan
narkotika juga mengedarkannya (sebagai kurir, memberi kepada teman yang
lain, menyimpan, dll). Jika ia menggunakan dan juga mengedarkan maka
hal tersebut dapat kita katakan pula ia tetap menyalahgunakan narkotika
tersebut. Maka terhadapnya harus dipertimbangkan upaya rehabilitasi, walau
ia hanya coba-coba menggunakan narkotika, tapi tetap saja kita berupaya
untuk menjauhkan anak agar tidak coba-coba narkotika kembali. Karena
semua orang yang ketergantungan pada narkotika berawal dari coba-coba.

121
Seperti yang dikatakan sebelumnya, pernyataan dari BNN bahwa
pemahaman pentingnya rehabilitasi bagi anak sebagai penyalahguna atau
pecandu tidak sampai pada jaksa, hakim, bahkan polisi, terbukti dari beberapa
hasil wawancara. Terutama yang dilakukan oleh para polisi. Ternyata praktek
86 masih sering terjadi dikalangan kepolisian narkotika (lihat tabel 12).
Praktek 86 ini identik dengan adanya transaksi uang. Berdasarkan wawancara
ternyata anak-anak yang terjerobos dalam penjara adalah yang kondisi
ekonominya menengah kebawah atau tidak mampu. Maka dari sini kita bisa
menarik kesimpulan bisa jadi keluarga dari anak-anak tersebut tidak mampu
untuk memenuhi praktek 86, atau dengan kata lain tidak mampu membayar
para polisi. Akibatnya proses penyidikan dan penyelidikan dipersulit dan
justru didekatkan pada penjara. Praktek 86 ini ternyata dirasa merugikan oleh
anak-anak yang terlibat tindak pidana narkotika. Berdasarkan wawancara
dengan salah satu anak di LPKA, ia mengatakan bahwa:
Kalau aku punya duit banyak mungkin aku ga ada disini teh. Ga
sanggup aku mah kalau pakai 86 segala. Bisa sampai ratusan juga
mereun.

Dari pernyataan anak tersebut kita bisa merasakan ketidakadilan yang


dialaminya. Jika seusia mereka sudah merasa diperlakukan tidak adil, maka
kedepannya dapat menimbulkan dampak-dampak buruk seperti dendam, malu,
tidak dapat berekspresi, dan lain-lain.
Polisi juga seakan-akan tidak mengupayakan rehabilitasi bagi anak, hal
ini terbukti dari pernyataan BNN (lihat tabel 11) yang mana pihak kepolisian
mengatakan pada orangtua anak yang terlibat tindak pidana narkotika untuk
tidak usah di rehabilitasi mengingat biayanya bisa berkisar ratusan juta.
Padahal seperti yang kita tahu biaya rehabilitasi ditanggung oleh instansi-
instansi terkait, jadi sama sekali tidak dibebankan kepada orangtua anak.
Mengenai pembiayaan rehabilitasi yang ditanggung oleh instansi tertentu
diatur dalam Pasal 14 Peraturan Bersama, yang isinya :
1. Biaya rehabilitasi medis bagi terdakwa yang sudah diputus oleh
pengadilan dibebankan pada anggaran Kementrian Kesehatan.

122
2. Biaya rehabilitasi sosial bagi terdakwa yang sudah diputus oleh
pengadilan dibebankan pada anggaran Kementrian Sosial.

3. Biaya Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial bagi tersangka


dan/atau terdakwa sebagai pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika yang masih dalam proses pradilan
dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional.

4. Biaya pelaksanaan asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu


dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional.

5. Segala biaya yang timbul terkait dengan pelaksanaaan Peraturan


Bersama ini dibebankan kepada masing-masing Instansi kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Bersama ini.

Dari hal tersebut kita tahu jika memang banyak anak yang tidak
direhabilitasi berarti memang menunjukkan bahwa mereka berada dalam
kondisi ekonomi yang menengah kebawah. Mereka percaya akan apa yang
dikatakan oleh pihak kepolisian, lalu memilih untuk dipenjara saja. Atau
bahkan mereka tidak mampu membayar biaya dari praktek 86 diatas.

123
Rumah Cemara63 mengatakan hal yang sama bahwa panti rehabilitasi
memang memiliki biaya, tapi tidak sampai ratusan juta. Bahkan Rumah
Cemara sendiri sering mengadakan program rehabilitasi gratis bagi para
pecandu narkotika. Ia mengatakan, Negara tidak memberi anggaran yang
cukup pada panti-panti rehabilitasi. Hal serupa juga dikatakan oleh LSM
Narkotika (lihat tabel 12). Dari hal ini pula kita mengetahui memang terdapat
biaya namun tidak sampai pada ratusan juta. Jadi stigma orang-orang tidak
mampu terhadap biaya rehabilitasi yang mahal adalah mereka tidak mau
direhabilitasi, mereka memilih untuk dipenjara karena semua terjamin disana
(makan, baju, dll).
Selain itu, pihak kepolisian melakukan penahanan terhadap anak
sebagai penyalahguna narkotika tanpa disertai rehabilitasi. Hal itu tampak

63 Rumah cemara merupakan panti rehabilitasi berbasis komunitas bagi para


pengguna narkotika dan HIV/AIDS. Rumah cemara didirikan tahun 2003 oleh
orang-orang yang tadinya pecandu narkotika dan bahkan penderita HIV/AIDS.
Sebagai mantan pecandu narkotika dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
mereka banyak menerima sanksi sosial dari masyarakat sekitar dan bahkan dari
keluarga dekat. Kondisi ini mendorong mereka untuk mendirikan Rumah Cemara,
rumah untuk mereka yang tersisihkan dari rumah. Mereka berusaha untuk
meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dan narkotika secara fisik,
sosial, maupun spiritual. Saat ini kegiatan organisasi tersebut terbagi dalam dua
jenis yaitu penggalangan sumber daya dan kegiatan pelayanan. Mereka memiliki
jejaring di Cianjur dan Sukabumi, juga memiliki 61 grup pendukung, dan
beranggotakan 6.000 ODHA. Rumah cemara memberikan kontribusi dalam
penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terlibat narkotika dan
HIV/AIDS melalui olahraga. Rumah cemara Tahun 2011, tim Rumah Cemara
diundang oleh panitia Homeless World Cup di Perancis. Dengan semangat
menggelora walau minim dukungan, mereka berangkat ke Paris. Turnamen ini
diikuti oleh 72 negara yg dikhususkan untuk mereka yg bermasalah dengan
rumah. Dan hasilnya, tim Rumah Cemara yg mewakili Indonesia berhasil
menduduki posisi ke-6, Best New Comer dan Ginan Koesmayadi (pendiri rumah
cemara) terpilih menjadi Best Player. Oktober 2012 mereka kembali diundang
untuk ikut turnamen Homeless World Cup 2012 di Meksiko. Dalam negeri,
mereka juga sering menjuarai pertandingan sepakbola seperti juara tiga di Liga
Bandung. Mereka memberikan kontribusi dalam penghapusan stigma dan
diskriminasi terhadap mereka yang terlibat narkotika dan HIV/AIDS melalui
olahraga. Selain prestasi mereka dalam membawa mantan pencadu narkotika dan
HIV/AIDS untuk menjadi aktif, mereka juga mendalami seluk-beluk narkotika
dalam tataran internasional bahkan mendalami sejarah asal muasal narkotika
tersebut.

124
dari pernyataan mereka bahwa walau mereka ditempatkan di lembaga
rehabilitasi namun disitu hanya dititipkan, belum ada proses rehabilitasi.
Gunanya adalah untuk tetap dilakukannya penyidikan dan penyelidikan.
Namun hal ini tidak dilakukan polisi, karena jaminan keamanan di lembaga
rehabilitasi belum 100% aman. Walaupun terdapat panti rehabilitasi yang
memenuhi syarat, tetap penahanan di lembaga rehabilitasi tidak dilakukan.
Polisi pernah menitipkan anak ke lembaga rehabilitasi, namun lembaga
tersebut tidak menyanggupi kecuali jika ada polisi yang menjaga. Hal ini
dianggap percuma, jadi lebih baik ditahan di jeruji besi. Hal yang menjadi
pertanyaan adalah jika anak sudah dititipkan di lembaga rehabilitasi, kenapa
tidak dilaksanakan saja upaya rehabilitasi? Hal ini kurang selaras dengan
Peraturan Bersama (lihat tabel 6) yang mengatakan bahwa anak diupayakan
rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial baik ia didalam lembaga
rehabilitas, ataupun di Rutan atau Lapas. Selain itu, pada Peraturan Bersama
Pasal 3 huruf D dikatakan bahwa keamanan dan pengawasan pecandu dan
korban penyalahgunaan narkotika yang ditempatkan dalam lembaga
rehabilitasi medis, lembaga rehabilitasi sosial, dan rumah sakit dilaksanakan
oleh rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi yang memenuhi standar
keamanan tertentu serta dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan
Polri. Dari Pasal tersebut kita tahu bahwa seharusnya telah ada lembaga
rehabilitasi atau rumah sakit yang memenuhi standar keamanan, jika tidak,
maka sampai detik ini tiap tahanan narkotika akan ditahan di jeruji besi. Jika
polisi mengatakan belum 100% keamanan terjamin, maka di Indonesia belum
terdapat lembaga rehabilitasi yang memenuhi syarat keamanan. Walaupun
begitu, Pasal ini memberi kesempatan pada pihak lembaga dan polisi untuk
saling berkoordinasi mengenai keamanan dan pengawasan tersebut. Namun
polisi tidak menggunakan kesempatan tersebut. Padahal demi
mengedepankan kebaikan untuk anak maka seharusnya apapun itu dapat
dilakukan mengingat kondisi fisik dan batin anak. Jika penahanan dilakukan
didalam jeruji besi beruntung jika tetap diupayakan rehabilitasi didalam jeruji
besi, namun jika tidak akan menjadi sia-sia dan merugikan pecandu serta

125
korban penyalahgunaan narkotika (dalam hal ini anak). Sesuai dengan hasil
wawancara dengan tiga narapidana narkotika anak di LPKA, bahwa ternyata
saat mereka ditahan mereka juga diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
Pada intinya, mereka tidak diberikan upaya rehabilitai medis dan/atau sosial
sama sekali, melainkan sebaliknya.
Hal tersebut bertolak belakang dengan penyidik BNN, karena walau
mereka tidak menyadari anak adalah sebagai korban jika melakukan
penyalahgunaan narkotika, tapi mereka tetap mengupayakan rehabilitasi. Hal
ini terbukti dari pernyataan mereka yang mengatakan rehabilitasi harus ada
karena dengan rehabilitasi diharapkan orang yang terlibat tindak pidana
narkotika tidak menggunakan narkotika lagi, ada peningkatan produktivitas,
meningkatkan kesehatan, dan ada perubahan perilaku. Jika terbukti orang
tersebut sebagai pengedar, maka ditaruh ditahan terlebih dahulu. Namun
dilihat juga apakah ia membutuhkan medis atau tidak. Jika pecandu
merangkap sebagai pengedar ia ditaruh di Rutan namun direkomendasikan
ada rehabilitasi dilingkungan terlindung. Terkait anak bisa jadi ketika ia
pecandu berat namun merangkap sebagai pengedar mungkin bisa dirawat
terlebih dahulu dalam lembaga rehabilitasi, baru setelah stabil masalah
hukumnya dilanjutkan jadi ia ditaruh di LPKA. Jadi BNN menginginkan
anak-anak pulih terlebih dahulu barulah masalah hukumnya dilanjutkan. Hal
yang terpenting adalah upaya rehabilitasi tetap dijalankan.
Pada lapangannya, para orangtua dari anak yang menyalahgunakan
narkotika selalu beralih ke BNN dari kepolisian untuk meminta bantuan
rehabilitasi. Hal ini terjadi karena kasus sudah terlanjur ditangani polisi.
Tampak bahwa jika orangtua beralih untuk meminta rehabilitasi pada BNN
berarti kepolisian tidak merekomendasikan rehabilitasi. Karena itu BNN
memberi saran pada orangtua tersebut untuk membuat surat permohonan
untuk dilakukannya asesmen medis terlebih dahulu agar tampak apakah ia
membutuhkan rehabilitasi atau tidak, jadi jangan diberi upaya selain
rehabilitasi seperti penahanan dalam jeruji besi.
Bapas sebagai lembaga yang membantu penyidik dalam tindak pidana
narkotika juga memiliki peranan penting terutama terkait anak. Dari hasil

126
wawancara, Bapas cenderung bersikap objektif terhadap anak namun dalam
artian baik. Hal ini tampak pada perkataan dari pihak Bapas kepada penulis
bahwa saat mereka membuat dan melaporkan hasil penelitian kemasyarakatan
laporan tersebut harus yang meringankan anak, bukan memberatkan. Jadi
mengungkapkan fakta benar-benar berdasarkan apa yang ada di masyarakat.
Jika hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak seharusnya
direhabilitasi maka akan diberi rekomendasi rehabilitasi, jika dibina dalam
LPKA maka Bapas akan memberi rekomendasi ia dibina dalam LPKA. Jadi
bukan berarti anak tidak bisa di penjara, namun yang perlu diingat proses
pembinaan anak di dalam penjara (LPKA) haruslah yang dapat memulihkan
anak yaitu tetap diupayakan rehabilitasi baginya.
Hal-hal diatas dapat kita katakan merupakan penyebab-penyebab
mengapa anak sebagai penyalahguna narkotika bisa dibina dalam penjara
(LPKA) tanpa direhabilitasi. Selain hal diatas, berdasarkan hasil penelitian
dari Makaroda Hafad64 mengenai proses persidangan anak, secara substansial,
ada beberapa hakim anak yang masih mengutamakan pendekatan yuridis, dan
kurang memperhatikan faktor-faktor non-yuridis (sisi fisik, psikis, sosilogis,
dan kriminologis) dalam rangka mempertimbangkan pemidanaan terhadap
anak. Akibat dari pertimbangan yuridis dan non-yuridis diatas adalah dasar
pertimbangan hakim kecenderungan memilih untuk menjatuhkan sanksi
pidana daripada sanksi tindakan kepada anak. Dari hal tersebut kita tahu
bahwa ternyata masih ada beberapa hakim anak yang mengutamakan
implementasi dari undang-undang yang mengatur karena terdapat kejahatan
yang dilakukan anak maka dimungkinkan anak dijatuhkan suatu pidana.
Seakan-akan hakim terpaku pada sudut pandang hukum materiil mengenai
tindak pidana yang dilakukan anak. Hal ini menunjukkan bahwa hakim
mengabaikan hak-hak anak sebagaimana dalam UU Perlindungan Anak.
Hakim juga mengabaikan faktor-faktor mengapa anak melakukan tindak
pidana terutama narkotika. Hal ini juga tampak beberapa pertimbangan
hakim65 (apa unsur yang memberatkan dan unsur yang meringankan) dalam
64 SRI SUTATIEK. supra catatan no. 59, pada 31-34
65 KOESNO ADI. supra catatan no. 60, pada 106

127
hal menjatuhkan sanksi pidana. Perihal yang menjadi perhatian penulis
adalah, rata-rata unsur yang meringankan dalam pertimbangan hakim adalah
mengenai si anak telah berterus terang, ia sopan dalam persidangan, ia belum
pernah dihukum, ia masih muda serta aktif, tetapi tidak ada mengenai motif
atau faktor penyebab anak melakukan tindak pidana. Menurut pemikiran
hemat penulis, anak-anak melakukan tindak pidana narkotika bukanlah
pilihan mereka. Faktor atau motivasi anak melakukan tindak pidana narkotika
berbeda dengan orang-orang dewasa. Faktor anak melakukan tindak pidana
narkotika cenderung karena suatu hal diluar diri anak tersebut. Anak juga
masih belum bisa menentukan apa yang baik dan buruk untuk dirinya. Maka
dari itu, setiap keputusan atas tindakan yang dilakukan anak haruslah
dipertanggungjawabkan pula oleh kita orang dewasa yang tau mana yang baik
dan buruk. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas pada bagian
berikutnya.
Selain itu, anak yang menyalahgunakan narkotika bisa terjerumus
dalam penjara berdasarkan hasil wawancara bisa jadi karena ia melakukan
tindak pidana lain sebagai bentuk dari akibat ia menyalahgunakan narkotika.
Seperti pencurian, penganiayaan, atau bahkan pembunuhan. Memungkinkan
anak ditangkap dan dikenai pasal pencurian dan sebagainya (bukan
narkotika), karena yang tampak adalah ia mencuri karena kebutuhan uang,
bisa jadi ia tidak jujur karena ia butuh uang untuk membeli narkotika. Maka
ia dijebloskan kepenjara dan terhadapnya tidak diberi upaya rehabilitasi.
Namun kebenaran ini tidak penulis dalami lebih jauh karena keterbatasan
waktu. Anak sebagai pecandu yang merangkap sebagai pengedar juga
menjadi sebab ia dipenjara. Karena berdasarkan data yang ada, anak-anak
yang berada dalam LPKA adalah yang terlibat Pasal 111 dan 114 UU
Narkotika. Tapi tetap saja, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa sesuai
pengakuan dari anak-anak dalam LPKA mereka mengedarkan narkotika dan
juga menggunakan narkotika tersebut.
Hal-hal diataslah yang menjadi penyebab mengapa tidak semua anak
sebagai penyalahguna narkotika diberi upaya rehabilitasi. Pertama, karena
adanya kerancuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

128
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak (antara UU Narkotika dan
UU Perlindungan Anak). Kedua, karena tidak adanya satu pemahaman
mengenai pentingnya rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika antara para
penegak hukum. Ketiga, tidak adanya satu pemahaman antara para penyidik
mengenai pentingnya diupayakan TAT agar dapat memberi rekomendasi yang
tepat bagi putusan hakim. Keempat, masih sering terjadi praktek 86
dikalangan kepolisian yang merugikan pihak yang tidak mampu atau
berekonomi rendah. Kelima, perbedaan sikap yang diberikan dari BNN,
Kepolisian narkotika, dan Bapas. Keenam, hakim cenderung memberi
putusan yang mengutamakan pendekatan yuridis. Ketujuh, hakim tidak
menggunakan faktor anak melakukan tindak pidana sebagai unsur yang
meringankan dalam putusannya, dan Kedelapan, tidak menutup kemungkinan
anak melakukan tindak pidana lain akibat dari ia menyalahgunakan narkotika.

4.2 PENERAPAN REHABILITASI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA ANAK


Terhadap anak sebagai pengedar narkotika, jika dilihat dari sudut pandang
UU Perlindungan Anak maka seharusnya mereka tetap diupayakan rehabilitasi
karena mereka terlibat dalam produksi dan distribusi narkotika (Pasal 67 UU
Perlindungan Anak). Namun berdasarkan UU Narkotika, anak sebagai pecandu
atau korban penyalahgunaan narkotika dan anak sebagai pengedar narkotika diberi
treatment yang berbeda. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak sebagai
pecandu berhak untuk mendapatkan rehabilitasi, namun anak sebagai pengedar
tidak diatur sama sekali.
Jika kita melihat Peraturan Bersama yang notabenenya merupakan aturan
pelaksanaan dari UU Narkotika, ternyata anak sebagai pengedar memungkinkan
untuk direhabilitasi. Namun lokasi rehabilitasi tersebut tetap dilakukan di Rutan
atau Lapas. Menurut hemat penulis, jika memang benar Rutan atau Lapas tersebut
memiliki fasilitas rehabilitasi medis maupun sosial, maka menjadi tidak masalah.
Namun berdasarkan hasil wawancara, di LPKA Jawa Barat tidak ada treatment
khusus bagi narapidana anak narkotika, jadi semua diperlakukan sama. Terlebih
tidak ada rehabilitasi medis. Untuk bagian rehabilitasi sosial mungkin bisa

129
diakomodir dengan adanya kegiatan-kegiatan positif di dalam LPKA (seperti
keterampilan dan pendidikan tertentu).

4.2.1 PENGEDAR NARKOTIKA ANAK TETAP BERHAK


MENDAPATKAN REHABILITASI
UU Perlindungan Anak dalam Pasal 67 menegaskan bahwa setiap anak
yang menyalahgunakan narkotika (baik ia sebagai penyalahguna biasa atau yang
sudah ketergantungan) dan yang terlibat dalam produksi dan distribusinya
(pengedar) maka dianggap korban. Seperti yang dikatakan sebelumnya, korban
tidak dapat dikriminalisasi karena ia memang bukan seorang kriminal. Ia tidak
bisa diberi sanksi pidana. Korban tidak boleh diberi tindakan yang sifatnya
retributive justice melainkan diupayakan restorative justice. Maka bukan sanksi
pidanalah yang tepat untuknya, tetapi tindakan yang bersifat dapat memulihkan
anak tersebut agar tidak dalam jalur yang salah atau dengan kata lain agar jauh
dari segala tindak pidana narkotika dan bisa menjalani hidupnya sebagaimana
usianya. Namun sayang sekali, UU Narkotika tidak membedakan pengedar
dewasa dengan pengedar anak. Seperti yang dikatakan sebelumnya pula bahwa
UU Narkotika juga tidak menjelaskan siapa itu korban penyalahgunaan narkotika.
Karena itu, UU Narkotika tidak menegaskan bahwa anak sebagai pengedar
kedalam korban penyalahguna narkotika. Mungkin hal tersebutlah yang
membuat pada kenyataannya sulit untuk bagi para penegak hukum untuk
merehabilitasi anak sebagai pengedar narkotika, terlebih jika rehabilitasi
dilakukan diluar jeruji besi. Mereka tidak mengetahui akan kondisi anak sebagai
korban. Dikhawatirkan selama ini mereka menganggap anak sebagai pelaku,
karena treatment antara seorang korban dengan seorang pelaku pastilah berbeda.
Karena itulah tidak heran jika didalam LPKA cukup banyak anak yang mendekam
disana akibat mengedarkan narkotika. Berikut data dari anak-anak tersebut :

Usia
No Reg Tingkat Jenis Tan
Nama (Inisial) Kota (saat Pasal
Instansi Pendidikan Kejahatan Ma
ini) Kejahatan Hukuman
Sekolah pasal 111
B I 21/16
AF Karawang 16 Menengah Ayat (1) - UU 4 tahun 0 Narkotika 26/02
AP.NR
Kejuruan RI No. 35 bulan 0 hari

130
Tahun 2009
Sekolah
B I 25/15
AJ Kab. Bekasi 18 Menengah - 114 UURI 2 tahun 6 Narkotika 2/6
AP.NR
Kejuruan NO.35/2009 bulan 0 hari
Sekolah
B I 14/16
ADS Bekasi 16 Menengah - 114 RI 1 tahun 8 Narkotika 12/
AP.NR
Kejuruan NO.35/2009 bulan 0 hari
- 114 UURI
Sekolah
B I 143/15 Jakarta NO. 35
AFM 18 Menengah Narkotika 18/12
AP.NR Timur TAHUN 2 tahun 0
Kejuruan
2009 bulan 0 hari
B I 18/15 - 114 UU RI 2 tahun 6
AFA Kab. Bekasi 17 SMA Narkotika 2/6
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
Sekolah
B I 26/15
ARH Kab. Bekasi 18 Menengah - 114 UURI 2 tahun 6 Narkotika 2/6
AP.NR
Kejuruan NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 42/15 - 114 UURI 2 tahun 6
AR Jakarta Barat 18 SMP Narkotika 3/6
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 19/15 - 111 UURI 2 tahun 6
DS Bekasi 18 SMP Narkotika 2/6
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
Sekolah
B I 32/14
DHP Cianjur 19 Menengah - 114 UURI 6 tahun 0 Narkotika 5/6
AP.NR
Kejuruan NO. 35/2009 bulan 0 hari
Sekolah
B I 32/15
FR Bekasi 18 Menengah - 114 UURI 3 tahun 0 Narkotika 2/6
AP.NR
Kejuruan NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 05/15 Kab. - 114 UURI 2 tahun 6
FD 18 SD Narkotika 26/01
AP.NR Tasikmalaya NO.35/2009 bulan 0 hari
- 114 UURI
B I 144/15 Jakarta NO. 35
HD 18 SMA Narkotika 18/12
AP.NR Timur TAHUN 2 tahun 6
2009 bulan 0 hari
- 114 UURI
Sekolah
B I 85/15 NO. 35
IG Sukabumi 18 Menengah Narkotika 31/07
AP.NR TAHUN 4 tahun 0
Kejuruan
2009 bulan 0 hari
B I 11/15 - 111 UURI 2 tahun 0
IK Garut 17 SMP Narkotika 2/6
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 45/15 - 111 UURI 4 tahun 0
MH Bogor 18 SD Narkotika 15/06
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 11/16 pasal 111 - RI 1 tahun 8
MRR Bekasi 18 SMA Narkotika 12/
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
- 111 UURI
Sekolah
B I 03/14 NO. 35
OA Cianjur 19 Menengah Narkotika 25/02
AP.NR TAHUN 5 tahun 0
Kejuruan
2009 bulan 0 hari
B I 13/16 - 114 RI 1 tahun 8
RAS Bekasi 17 SMP Narkotika 12/
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 97/15 - 114 UURI 4 tahun 8
RHB Kab. Bekasi 17 SMP Narkotika 1/8
AP.NR NO.35/2009 bulan 0 hari
Sekolah
B I 15/16
RNL Bekasi 16 Menengah pasal 114 - RI 1 tahun 8 Narkotika 12/
AP.NR
Kejuruan NO.35/2009 bulan 0 hari
B I 24/16 UD Karawang 17 Sekolah pasal 111 4 tahun 0 Narkotika 26/02

131
Ayat (1) - UU
Menengah
AP.NR RI No. 35
Kejuruan
Tahun 2009 bulan 0 hari
- 111 UURI
Sekolah
B I 28/16 NO. 35
WHA Bandung 17 Menengah Narkotika 9/1
AP TAHUN 3 tahun 0
Kejuruan
2009 bulan 0 hari

Sumber: Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Jawa Barat

Diambil pada tanggal 23 Maret 2016

132
Data diatas memang tidak dijelaskan apakah terdapat pemberian
rehabilitasi bagi tiap anak atau tidak. Namun hal yang pasti, sesuai dengan hasil
wawancara dengan pihak LPKA bahwa di dalam LPKA treatment terhadap semua
anak sama saja. Tidak ada yang berbeda. Mau ia sebagai pembunuh, pencuri,
kekerasan, penganiayaan, seksual, bahkan narkotika. Dengan kata lain tidak ada
rehabilitasi medis. Untuk bagian rehabilitasi sosial mungkin bisa diakomodir
dengan adanya kegiatan-kegiatan positif di dalam LPKA (seperti keterampilan dan
pendidikan tertentu). Berdasarkan data diatas tampak pula bahwa tiap anak terlibat
tindak pidana narkotika pada dasarnya diberi sanksi pidana sesuai dengan Pasal
peredaran narkotika (telah dijelaskan dalam Bab II). Namun menurut pernyataan
dari pihak LPKA, anak-anak tersebut mengakui mereka tidak hanya mengedarkan
tapi juga memakai narkotika tersebut. Jadi dapat kita katakan, anak-anak tersebut
selain menjadi pengedar mereka juga sebagai penyalahguna narkotika. Sayang
sekali sanksi pidana yang diberikan adalah berdasarkan pasal peredaran narkotika.
Padahal jika dibandingkan dengan pasal penyalahguna narkotika pasal peredaran
narkotika ini terhitung lebih berat ancaman pidananya. Dalam pasal penyalahguna
narkotika (Pasal 127 UU Narkotika) ancaman pidana penjaranya adalah sebagai
berikut :
1. Terkait narkotika golongan I adalah pidana penjara paling lama 4 tahun
2. Terkait narkotika golongan II adalah pidana penjara paling lama 2 tahun, dan
3. Terkait narkotika golongan III adalah pidana penjara paling lama 1 tahun.
Bahkan, jika orang yang bersangkutan (dalam kasus ini adalah anak) terbukti
sebagai korban penyalahguna maka ia wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Pasal peredaran narkotika yang dikenai pada data diatas rata-
rata Pasal 111 dan Pasal 114. Pasal 111 memiliki ancaman pidana :
1. Terkait narkotika golongan I adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun, dan
paling lama 12 tahun, pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,- dan
paling banyak Rp8.000.000.000,-
2. Terkait narkotika golongan I namun melebihi 1 kilogram atau 5 batang pohon
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara saling singkat 5
tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda maksimum seperti nomor 1
namun ditambah 1/3.

133
Mengapa para penegak hukum lebih memilih mengutamakan ancaman
pidana yang terhitung berat daripada yang ringan bila berhadapan dengan anak?
Ternyata hal tersebut benar adanya. Bapas mengakui hal itu. Katanya, jika
ditemukan anak sebagai pecandu yang merangkap sebagai pengedar, pada
dasarnya didahulukan tindak pidana ia sebagai pengedar. Kemudian biasanya
penanganan ia sebagai pengedar pada akhirnya akan dipenjara. Menurut hemat
penulis, Pada dasarnya berdasarkan Pasal 74 UU Narkotika66 memang dikatakan
bahwa perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika akan didahulukan dalam pengajuan perkara ke pengadilan. Menurut
penulis mungkin pembuat undang-undang bermaksud agar diketahui dalang atau
sumber utama dari peredaran gelap tersebut. Jika memang pada kenyataannya hal
tersebut terjadi maka tidak menjadi masalah dengan syarat tetap memperhatikan
kondisi anak dan tetap memperjuangkan hak-hak anak. Namun, jika
penanganannya tetap diperlakukan sebagai pengedar, yang terjadi adalah hasil
wawancara dengan tiga narapidana di dalam LPKA. Mereka diperlakukan
semena-mena dan kejam. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka dipersamakan
dengan orang dewasa, padahal mereka masih dibawah umur (dibawah 18 tahun).
Menurut penulis hal tersebut dapat membuat para penegak hukum melupakan atau
bahkan mengabaikan UU Perlindungan Anak demi mendapatkan siapa bos atau
sumber dari pengedaran narkotika ini. Selain itu, dari pernyataan Bapas ini pula
kita mengetahui bahwa ia lebih memilih untuk memberi rekomendasi kepada para
hakim penanganan terhadap anak adalah dipenjara. Hal yang mendukung lainnya
adalah Bapas juga mengatakan bahwa anak sebagai pengedar tidak dapat
direhabilitasi. Hal itu secara tegas dikatakan oleh pihak Bapas bahwasannya
rehabilitasi hanya untuk anak yang candu, bukan anak sebagai pengedar.

66 Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, termasuk
perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.

134
Sudut pandang Bapas kurang lebih sama dengan pihak kepolisian di
bidang narkotika. Dari hasil wawancara terhadap pihak kepolisian di bidang
narkotika, kita dapat melihat bahwa polisi masih menganggap anak yang
mengedarkan narkotika sebagai pelaku. Padahal jika kita selidiki lebih lanjut, ia
tetap dikatakan korban. Karena, motivasi anak melakukan tindak pidana berbeda
dengan motivasi orang dewasa melakukan tindak pidana. Berdasarkan wawancara
yang ada pula bahwasannya anak melakukan tindak pidana karena diperalat atau
dimanfaatkan oleh orang dewasa. Mengetahui hal tersebut seharusnya kita
mengedepankan restorative justice kepada anak yang membuat anak menjadi
pulih kembali seperti semula, namun polisi tampaknya masih menerapkan
retributive justice. Namun sikap dari polisi terhadap anak yang melakukan tindak
pidana narkotika membuat kita tahu bahwa menurut mereka anak sebagai
pengedar tidak dapat direhabilitasi dalam artian direhabilitasi diluar Lapas atau
Rutan, juga di dalam Lapas atau Rutan. Karena mereka sama sekali tidak
menyebutkan pentingnya rehabilitasi bagi anak yang terlibat tindak pidana
narkotika. Mereka tetap melakukan penahanan terhadap anak di dalam jeruji besi.
Berbeda dengan BNN, BNN lebih bersikap memperjuangkan rehabilitasi
bagi anak walaupun ia sebagai pengedar. Hal ini tampak pada pernyataan dari
BNN bahwa dimungkinkan jika ada anak sebagai pecandu merangkap sebagai
pengedar maka terhadapnya dapat direhabilitasi terlebih dahulu hingga stabil
barulah ia ditaruh ke LPKA. Jadi dipulihkan terlebih dahulu, barulah proses
hukumnya dilaksanakan.
Sama halnya dengan anak sebagai penyalahguna narkotika, terhadap anak
pengedar narkotika juga dilakukan TAT. TAT ini yang akan menentukan putusan
hakim yang cocok untuknya. Sayang sekali seperti yang dikatakan sebelumnya
juga bahwa penerapan TAT belum ada disemua penyidik lain yaitu polisi dan
Bapas. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan rekomendasi terhadap putusan
hakim pada anak sebagai pengedar narkotika.
Perbedaan sudut pandang dari para penegak hukum tersebut menyulitkan
pula anak sebagai pengedar narkotika diupayakan rehabilitasi. Walaupun begitu
kita mengetahui terhadap anak harus diupayakan UU Perlindungan Anak, dan

135
dalam UU Perlindungan Anak tiap anak yang menyalahgunakan narkotika harus
diupayakan rehabilitasi, baik iya hanya sebagai penyalahguna, penyalahguna yang
sudah ketergantungan (pecandu), atau pengedar. Hal itu tampak pada Pasal 67 UU
Perlindungan Anak. Selain itu, terdapat beberapa pihak yang setuju jika anak
sebagai pengedar tetap diupayakan rehabilitasi, yaitu :
1. Hakim Anak.
Kita harus bergerak tidak hanya ke pencadu saja, ke Bandar narkoba pun
harus diperhatikan. Kalau pengedar sebagai pecandu, ia tetap harus
direhabilitasi.
2. Lembaga Perlindungan Anak.
Yang namanya anak meskipun dia pengedar tetap korban yah namanya,
harusnya ada upaya rehabilitasi dan bimbingan khusus untuk anak tersebut
3. Lembaga Advokasi Hak Anak
Anak tetap harus diupayakan rehabilitasi baik ia sebagai pecandu ataupun
pengedar.
Jadi dari beberapa pernyataan diatas kita mengetahui bahwa ada pihak-
pihak yang menurut pemikiran hematnya anak sebagai pengedar harus
direhabilitasi, namun ada pula yang mengatakan direhabilitasi namun tidak bisa di
luar Lapas atau Rutan, dan adapula yang sama sekali tidak melihat pentingnya
rehabilitasi bagi anak sebagai pengedar. Menurut penulis, bagaimanapun juga
kondisinya jika menyangkut anak kita harus tetap memperjuangkan UU
Perlindungan Anak. UU ini dibuat sedemikian rupa agar memajukan
kesejahteraan anak mengingat mereka adalah bibit bangsa dari suatu Negara.
Maka kita harus menjaga betul kondisi anak bagaimanapun juga. Jika ia menjadi
nakal, maka kita pulihkan dia agar tidak nakal. Bukan memberi tindakan yang
membuat dia berontak, dendam, dan marah yang mungkin dapat mengakibatkan ia
semakin nakal dimasa yang akan datang.

4.3 UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK TIDAK


SELALU DITERAPKAN
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan
penting untuk dilaksanakan karena terhadap anak yang memasuki proses peradilan
yang digunakan adalah UU SPPA, bukan KUHAP. UU SPPA dibuat untuk

136
menjaga harkat dan martabat anak karena mereka berhak untuk mendapatkan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Lalu,
UU SPPA dibuat juga untuk sesuai dengan UU Perlindungan Anak (yang
menjadikan konvensi hak-hak anak sebagai sumber) karena dalam UU
Perlindungan Anak dikatakan bahwa Negara berhak memberikan perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Jadi jika para
penegak hukum menggunakan UU SPPA, maka ia berusaha untuk
memperjuangkan pula upaya perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Anak.
Namun sayang, berdasarkan hasil wawancara ternyata tidak semua
penegak hukum yang menjadikan UU SPPA sebagai acuan. Bapas masih
tergolong penegak hukum yang masih menjadikan UU SPPA sebagai acuan. Saat
Bapas mengatasi ABH maka terlebih dahulu dilihat latar belakang dari anak
tersebut mengapa melakukan tindak pidana, proses tersebut dinamakan dengan
penelitian kemasyarakatan. Isinya adalah identitas anak, identitas orangtua,
motivasi melakukan tindak pidana, latar belakang, lingkungan sosial, peergroup,
dan lain-lain. Penelitian kemasyarakatan masih dilakukan karena itu merupakan
kewajiban Bapas sebagaimana diatur dalam UU SPPA khususnya Pasal 65 huruf
b67. Bapas menyadari perannya dibutuhkan karena kewajiban penyidik polisi
untuk meminta saran dari Bapas dalam hal penyidikan dan penyelidikan. Hal ini
pada dasarnya juga menggambarkan polisi bekerja sesuai dengan UU SPPA
khususnya Pasal 2768. Kemudian bentuk taatnya Bapas pada UU SPPA juga
tampak dari ia selalu mendampingi anak pada tiap tingkatan dalam proses
peradilan, seperti dalam diversi yang dilakukan jaksa, pada saat penyidikan,
bahkan persidangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA69. Bentuk
pendampingan Bapas pada ABH diakui pula oleh narapidana anak dalam LPKA

67 Pembimbing Kemasyarakatan bertugas: Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk


kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak, baik di dalam maupun
di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA.
68 Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
69 Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

137
yang penulis wawancarai. Mereka juga mengatakan saat proses peradilan mereka
diperkenalkan pada orang-orang dari Bapas. Kemudian, seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa Bapas menyampaikan laporan penelitian kemasyarakatan pada
saat persidangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 57 UU SPPA70. Proses yang dilalui
dalam hal mengumpulkan hasil penelitian kemasyarakatan haruslah yang
meringankan anak. Laporan tersebut harus sesuai dengan fakta yang ada di
masyarakat, jadi tidak melebihi atau mengurangi apa yang terjadi pada
kenyataannya. Hal ini menunjukkan sikap objektif Bapas pada ABH.
Hal terpenting dari UU SPPA adalah diupayakannya diversi. Namun
sayang sekali, pada saat wawancara, Bapas terlihat sedikit bingung untuk
menyampaikan apakah anak sebagai penyalahguna narkotika harus diberi diversi
atau tidak. Karena pada awalnya ia mengatakan penyalahguna narkotika sebagai
pecandu atau pengedar tidak dapat direhabilitasi karena narkotika merupakan
tindak pidana luar biasa. Namun lama kelamaan setelah berdiskusi barulah Bapas
mengatakan terhadap pecandu dapat dikenai Pasal 127 UU Narkotika. Pasal 127
UU Narkotika memenuhi syarat diversi, maka diversi harus diupayakan. Kondisi
ini sekilas memberi kenyataan pada penulis bahwa diversi jarang
direkomendasikan atau dilakukan oleh Bapas terhadap anak sebagai penyalahguna
narkotika.
Hal diatas juga dilakukan oleh pihak kepolisian di bidang narkotika.
Namun ekstremnya mereka mengatakan bahwa peraturan yang mereka gunakan
adalah KUHAP. Hal ini menandakan mereka tidak menjadikan UU SPPA sebagai
acuan dalam hal penyidikan dan penyelidikan bagi anak. Padahal kita mengenal
adanya asas lex specialis derogate legi generalis yang mengkhususkan UU SPPA

70 (1) Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan


membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa
kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berisi:
a. data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial
b. latar belakang dilakukannya tindak pidana
c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa
d. hal lain yang dianggap perlu
e. berita acara diversi
f. kesimpulan dan rekomendasi dari pembimbingan kemasyarakatan

138
digunakan dalam hal peradilan pidana anak dibandingkan KUHAP. Akibat dari
tidak diberlakukannya UU SPPA adalah tidak diupayakannya diversi bagi anak
sebagai penyalahguna narkotika ataupun pengedar narkotika.
Kita tahu bahwa UU SPPA telah dikemas sedemikian rupa agar dapat
melindungi hak-hak anak, berbeda dengan KUHAP yang diberlakukan secara
umum (tidak hanya untuk anak-anak). Jika proses penyidikan dan penyelidikan
disamakan secara umum, maka anak akan diperlakukan selayaknya orang dewasa.
UU SPPA dibuat agar tiap proses penyidikan dan penyelidikan (bahkan
persidangan) bagi anak dikhususkan dan dibedakan dengan orang dewasa
mengingat fisik dan batin anak serta tujuan lainnya yang menjadi alasan dibuatnya
UU SPPA. Contoh ciri khas perbedaan penyidikan anak dengan orang dewasa
adalah sebagai berikut:
penyidik anak dilakukan oleh penyidik khusus anak
penyidik anak wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
penyidik anak wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan
proses penyidikan anak wajib dirahasiakan
jangka waktu penahanan dalam penyidikan anak lebih singkat dari jangka
waktu orang dewasa, yang seharusnya 20 + (perpanjangan) 40 hari (Pasal 24
KUHAP) maka menjadi 7 + (perpanjangan) 8 hari (Pasal 33 UU SPPA)
Jika diversi tidak dilakukan, maka tidak dimajukannya restorative justice
bagi anak. Terkesan bahwa retributive justice lah yang dilakukan pada anak
sebagai penyalahguna narkotika dan pengedar narkotika. Jika perilaku penegak
hukum menyimpang UU SPPA, maka dapat dikatakan pula menyimpang dengan
UU Perlindungan Anak. Karena, UU Perlindungan Anak merupakan acuan bagi
UU SPPA.
Kemudian dalam buku Dr. Hj. Sri Sutatiek, S.H., M.Hum diuraikan hasil
penelitian dari Makaroda Hafad mengenai persidangan anak. Walaupun penelitian
Makaroda Hafad bukan persidangan khusus mengenai tindak pidana narkotika
yang melibatkan anak, namun dari hasil penelitian itu kita mendapat gambaran
bagaimana kurang lebihnya situasi dan kondisi yang terjadi dalam persidangan di
kenyataannya. Dalam hasil penelitian tersebut ada beberapa hal yang menjadi

139
perhatian bagi penulis, yaitu, pada saat persidangan, perdebatan-perdebatan antara
jaksa dengan penasihat hukum lebih banyak berkisar pada upaya pembuktian
perbuatan pidana (criminal act), dan sangat sedikit saksi yang mengemukakan
tentang kondisi objektif (fisik dan psikis serta kondisi sosial) dari terdakwa.
Dalam tahapan pemberian pendapat oleh orang tua/wali/orang tua asuh, dan
pembimbing kemasyarakatan, pertimbangannya lebih bersifat permintaan
(misalnya dijatuhi putusan yang seadil-adilnya), dan sangat sedikit yang
memberikan penjelasan mengenai kondisi anak selama ini dan masa depan anak
serta risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan jika putusan tersebut dijatuhkan.
Pertimbangan-pertimbangan non-yuridis yang bersifat sosiologis, kriminologis,
dan psikologis kurang diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sistem
peradilan pidana anak. Hal diatas menunjukkan bahwa proses persidangan yang
dilakukan jaksa dan penasihat hukum anak kurang mewujudkan dan
mengedepankan kepentingan anak serta perlindungan anak sebagaimana yang
menjadi cita-cita dalam UU SPPA dan juga UU Perlindungan Anak. Begitu pula
yang dilakukan dengan orangtua/wali/orangtua asuh si anak tersebut. Padahal
menurut hemat penulis justru merekalah yang harus berupaya semaksimal
mungkin agar hak-hak anak tetap terlindungi.
Jadi berdasarkan hal diatas kita menjadi tahu ada beberapa para penegak
hukum yang dalam prosesnya tidak menjadikan UU SPPA sebagai acuan. Hal itu
dapat mengakibatkan tidak terwujudnya perlindungan terhadap ABH yang
menjadi bahan pertimbangan dibuatnya UU SPPA. Bentuk dari perlindungan yang
diberikan adalah berupa mengedepankan restorative justice dalam bentuk diversi.
Karena diabaikannya UU SPPA maka dikhawatirkan diversi tidak diupayakan
oleh para penegak hukum.
Masguntur Laupe dalam makalahnya yang berjudul Pengadilan Anak dan
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice yang ada dalam buku
Prof. Koesno Adi, S.H., MS mengatakan bahwa secara teoritis, penyelesaian
perkara anak melalui mekanisme diversi akan memberikan berbagai manfaat
sebagai berikut:
memperbaiki kondisi anak demi masa depannya

140
meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan anak
meningkatkan peran dan kesadaran orangtua dan lingkungan keluarga
mengurangi beban kerja pengadilan.71
Selain berbagai manfaat seperti tersebut diatas yaitu pengalihan proses
yustisial ke proses non-yustisial dalam penyelesaian perkara anak, ternyata ada
urgensi dan relevansi lain, yaitu :
1. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan
menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis, khususnya
kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak hukum. Terjadinya
kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak dalam proses pemeriksaan
akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi anak. Oleh karenanya,
penyelesaian yang bersifat non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap
anak justru akan menghindarkan anak dari dampak negative karena terjadinya
kontak antara anak dengan aparat penegak hukum dalam proses peradilan. 72
Jadi diversi melindungi anak dari tindakan kekerasan yang mungkin
dilakukan oleh para penegak hukum kepada orang-orang dewasa yang
melakukan kejahatan. Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya, bahwa
ternyata pada kenyataannya memang betul terjadi proses penyidikan dan
penyelidikan yang dilakukan oleh polisi dinilai buruk atau bahkan kejam bagi
narapidana anak khususnya yang melakukan tindak pidana narkotika.
2. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui mekanisem yang
lebih elegan menurut perspektif anak. Penyelesaian secara non-yustisial tidak
dimaksudkan untuk membebaskan anak dari kemunkginan adanya
pertanggungjawaban anak terhadap segala akibat perbuatannya/ oleh
karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda.
Disatu sisi anak terhindar dari berbagai dampak negative akibat kontak
dengan aparat penegak hukum, sementara dis isis lain anak tetap dapat

71 KOESNO ADI. supra catatan no. 60, pada 123


72 Id

141
mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya tanpa harus terjadi tekanan
terhadap mental anak.73
3. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi terhadap
penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama ini.
Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan pidana termasuk
terhadap anak sering menimbulkan dampak negatif yang demikian kompleks,
sehingga menjadi faktor kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak
pidana anak.74
4. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi
berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial kepada pelaku
kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan
berbagai layanan seperti, medis, psikologi, rohani. Oleh karena sifatnya yang
demikian maka diversi hakikatnya merupakan upaya untuk menhindarkan
anak dari kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga
merupakan proses depenalisasi dan sekaligus dekriminalisasi terhadap pelaku
anak.75
Dari hal diatas kita tahu betul bahwa UU SPPA yang memperjuangkan
diversi merupakan hal penting bagi anak. Maka dari itu UU SPPA harus tetap
menjadi acuan bagi para penegak hukum.

4.4 BURUKNYA PROSES PEMERIKSAAN DALAM TAHAP PENYIDIKAN


DAN PENYELIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN
NARKOTIKA
Pada kenyataannya, banyak hasil wawancara yang menunjukkan bahwa
banyak pihak kepolisian dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan tidak
melihat kondisi yang dihadapinya adalah seorang anak. Akibatnya sering terjadi
kekerasan saat proses pemeriksaan dalam tahap penyidikan dan penyelidikan yang
dilakukan oleh polisi dibidang narkotika. Hal ini tampak dari pengalaman
Lembaga Perlindungan Anak (LPA). LPA biasa mendampingi anak-anak yang
73 Id
74 Id
75 Id

142
terlibat kasus pidana, termasuk narkotika. Suatu waktu LPA pernah menangani
kasus anak terlibat narkotika yang kondisi fisik anak tersebut cacat. Ia tidak bisa
berdiri, untuk jalan ia harus jongkok. Saat proses pemeriksaan polisi selalu
menendangnya. Polisi tidak tahu bahwa ia cacat, makanya dipaksa untuk berdiri.
Karena tahu hal tersebut kami langsung mendampingi anak cacat itu. Anak itu
pada awalnya ditahan oleh polisi. Mengingat kondisinya yang cacat, LPA
melakukan negosiasi dengan polisi agar si anak dapat dikembalikan ke Medan
yang kebetulan orangtuanya berada disana. Pada akhirnya anak dipulangkan ke
Medan dan dikembalikan ke orangtuanya (lihat tabel 15).
Tabel 15.
Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat (LPA)
(17 Februari 2016)
Terus ada kasus, dia cacat, sampai ditendang polisi disuruh berdiri, polisinya gatau kalau dia anak
cacat dan ga bisa berdiri. Jadi ditendang.. Kami tahu hal itu jadi kami damping dia.. dia kebetulan
anak medan, wkt itu ditahan dulu.. tapi karena kondisinya yg cacat kami mengusahakan ia
dipulangkan saja ke medan, akhirnya kami nego yaudah jadinya dipulangkan ke medan. Karena
dia di bandung tidak dengan ayah ibunya. Alhamdulillah dia tidak dihukum jadinya. Setelah
diselidiki pun lagi-lagi memang ia diperalat.. jalan aja gabisa, dia jalannya jongkok.

Kedua dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA). LAHA adalah


lembaga yang kurang lebih sama dengan LPA namun fokus kepada anak sebagai
pelaku tindak pidana. LAHA pada intinya mengatakan bahwa mungkin polisi
boleh secara aturan untuk melakukan kekerasan, tapi teknisnya bisa lebih dari itu.
Kita bisa mengatakan maksudnya adalah ada sesuatu diluar dari aturan yang
menyebabkan polisi selalu membentak anak dan memukul saat pemeriksaan
(Lihat tabel 16).
Tabel 16.
Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)
(19 Februari 2016)
Ada konsep do and dont, polisi tidak boleh apa dan harus apa. Polisi kalau nanya anak harus
didampingi pengacara dll, itu utk menjara mereka tidak sewenang-wenang. Memang secara aturan
dibilang kalau pakai kekerasan boleh karena jabatan. Tapi teknisnya gimana? Mereka bilang selalu
anggaran terbatas, maka makanan menjadi kecil. Okelah ada yang sifatnya anggaran ada yg tidak.
Tapikan kemauan untuk tidak membentak anak, memukul anak, itukan tidak memakai anggaran.
Itu kemungkinan pasti ada, yang tidak pakai anggaran aja ga bisa apalagi yg pake anggaran..
misal, saya mau bentak kamu tapi bisa juga engga.. itu kemauan saya kan gapake anggaran, itu aja
ga bisa, apalagi pake anggaran.. Ini dalam hal penyidikan dan penyelidikan.

143
Ketiga dari Rumah Cemara. Rumah Cemara merupakan panti rehabilitasi
yang terdapat di daerah Bandung. Para aktivis di Rumah Cemara sering
mendampingi anak-anak yang terlibat tindak pidana narkotika baik sebagai
penyalahguna maupun yang dijadikan kurir. Seperti yang dikatakan sebelumnya
bahwa terkait perihal proses pemeriksaan oleh penyidik mereka mengatakan
bahwa praktek 86 sering terjadi. LSM Narkotika yang pernah penulis
wawancara juga mengatakan hal yang sama (lihat tabel 12).
Melakukan kekerasan terhadap anak pasti telah menyimpang dari UU
Perlindungan Anak, khususnya yaitu pada Pasal 64 UU Perlindungan Anak
(perubahan dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014) yang
mengatakan bahwa ABH harus diberi perlindungan khusus, salah satunya adalah
melalui pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya. Praktek 86
juga menyimpang UU Perlindungan Anak, seakan-akan harus ada uang terlebih
dahulu agar proses pemeriksaan anak dipermudah. Hal itu terkesan merendahkan
martabat dan derajat anak. Mengetahui pernyataan dari LPA, LAHA, Rumah
Cemara, dan LSM Narkotika mengenai proses pemeriksaan yang dilakukan oleh
polisi membuat penulis menyimpulkan bahwa polisi dalam menangani kasus anak
kurang atau mungkin bahkan melupakan untuk mewujudkan perlindungan
terhadap anak, sebagaimana yang menjadi cita-cita dari UU Perlindungan Anak.
Mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap anak, hal itu dibenarkan
oleh narapidana anak yang penulis wawancarai di LPKA Jawa Barat. Mereka
dipukul dengan linggis, ditampar, ditendang, disiram dengan air kemudian
ditelanjangi, disetrum badan dan lidahnya, dan segala macam. Beberapa dari
mereka mengakui bahwa tindakan tersebut tidak hanya sekali, namun bisa sampai
tiga kali. Pertama saat penangkapan, kedua saat pemeriksaan, dan ketiga saat
pemeriksaan jaringan narkotika. Pada saat melakukan wawancara, ada salah satu
anak yang baru sebulan di dalam LPKA. Ia menunjukkan kepada penulis memar-
memar yang ada pada kakinya, tangannya, dan wajahnya. Ia mengaku bahwa itu
semua perbuatan dari para kepolisian saat proses tadi. Kemudian, salah satu anak
mengaku bahwa ia ditahan di sel monyet dan sel tikus. Saat ditahan di sel

144
monyet, ia tidak diberi makan sama sekali hingga keluar dari tahanan yaitu selama
2 hari 1 malam. Kemudian begitu pula saat dipindahkan ke sel tikus. Sel tikus
disini berukuran kecil yang hanya muat untuk dua orang. Posisi kedua orang
tersebut pun jika ingin muat dalam sel tikus harus dalam posisi jongkok. Buang
air kecil harus disana.
Tidak heran jika hal ini terjadi, karena berdasarkan hasil wawancara pula
pada dasarnya polisi tetap berupaya untuk menumbuhkan efek jera pada siapapun,
termasuk anak. Mereka mengatakan bahwa walau konteksnya adalah anak-anak
maka ia tetap dikatakan melakukan tindak pidana, dan terhadapnya tidak pantas
jika dimaafkan. Jika dimaafkan, polisi beranggapan mau jadi apa negeri ini. Bisa
jadi ia mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Pernyataan tersebut
menimbulkan pandangan bahwa polisi lebih mengedepankan retributive justice
ketimbang restorative justice (perbedaan keduanya lihat tabel 5). Karena,
keinginan untuk menumbuhkan efek jera datang dari adanya perlawanan terhadap
hukum dan Negara, maka dari itu harus dibalas dengan sanksi agar orang yang
bersangkutan jera dan tidak mengulanginya kembali. Sanksi yang diberikan pada
dasarnya adalah pidana penjara. UU SPPA dan UU Perlindungan Anak pada
dasarnya menanamkan konsep restorative justice, maka dari itu konsep
restorative justice lah yang cocok diterapkan untuk anak, bukan retributive
justice.
Mungkin memang benar tidak setiap orang yang melakukan tindak pidana
dapat dimaafkan. Hal itu dilihat dari faktor orang tersebut melakukan tindak
pidana, terlebih yang melakukannya adalah anak. Jika faktor anak melakukan
tindak pidana adalah karena disuruh orang dewasa, maka seharusnya yang tidak
dimaafkan itu adalah orang-orang dewasa yang memperalat anak, bukan anak.
Menurut hasil wawancara dengan pihak-pihak (sesuai dengan Bab III), rata-rata
faktor anak terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah karena bujuk rayu dari
orang-orang dewasa. Seharusnya polisi mengetahui akan hal tersebut dan tidak
memberi tindakan yang retributif terhadap anak. Kemudian, terdapat faktor-faktor
tertentu pula yang mengakibatkan anak mengulangi tindak pidana yang telah
dilakukannya. Kita jangan terlebih dahulu memupuk pandangan anak melakukan

145
tindak pidana kembali karena ia diberi kekebalan, tapi bisa jadi karena sistem
pembinaan anak di dalam penjara yang tidak baik, dan faktor lainnya. Mereka
juga mengatakan bahwa jika anak sudah terlihat jera barulah diberi kelonggaran.
Hal itu sangat menunjukkan bahwa polisi tersebut tidak melindungi hak-hak anak,
bahkan seakan-akan mereka tidak tahu mana orang dewasa dan mana anak.
Rata-rata anak yang terlibat tindak pidana narkotika memiliki kondisi
ekonomi keluarga yang menengah kebawah, bahkan tidak mampu. Mengetahui
kondisi tersebut maka dapat kita katakan mereka tidak mampu untuk memenuhi
praktek 86 yang sering dilakukan oleh penyidik polri. Terlebih penyidik polri
juga mengatakan pada orangtua anak bahwa biaya rehabilitasi mahal hingga
ratusan juta. Memang terdapat biaya, namun tidak semahal itu dan ditanggung
pula oleh instansi tertentu. Maka tidak heran jika banyak anak yang tidak
diperjuangkan untuk mendapat rehabilitasi dari polisi, dan tidak heran jika masih
banyak anak yang berada dipenjara. Dengan kata lain, keluarga anak tersebut
tidak mampu untuk membayar biaya rehabilitasi dan memilih untuk
memenjarakan anaknya.
Menurut hukum, penyidik polri harus menyediakan pengacara pada anak.
Terlebih dahulu penyidik polri akan menanyakan pada anak apakah ia mau
menggunakan pengacara atau tidak. Jika mau, penyidik wajib menyediakan. Jika
tidak, ia bisa cari bantuan hukum sendiri. Pada prakteknya, jarang anak yang
menggunakan pengacara karena terkait biaya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan 4 narapidana anak di LPKA, 3 diantara mereka mengatakan penyidik tidak
menanyakan terlebih dahulu apakah ia mau menggunakan pengacara atau tidak. 3
anak tersebut tiba-tiba langsung diperkenalkan dengan pengacara yang akan
membantunya di persidangan oleh penyidik polri. Jika pengacara tersebut
memang memperjuangkan hak anak, maka itu menjadi tidak masalah. Namun 2
dari mereka merasa bahwa pengacara justru memberatkan mereka dalam
persidangan. Kita tidak tahu mengapa hal itu terjadi, mungkin karena pengacara
tersebut pilihan penyidik polri yang dapat menimbulkan perilaku tidak baik
(suap). Karena berdasarkan hasil wawancara, anak-anak narapidana narkotika
tersebut sama-sama mendapatkan perlakuan yang tidak baik dan kejam dari polisi

146
selama proses pemeriksaan, dan perlakuan tersebut tidak hanya diberikan sekali
saja. Namun mungkin saja ada faktor-faktor lain seperti memang pada dasarnya
anak harus dipenjara, namun baginya putusan ia akan di penjara sangat
memberatkan dirinya.
Polisi narkotika adalah penyidik dalam tindak pidana narkotika, dalam
kasus ini tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Jika dalam melaksanakan
tugasnya mereka tidak memperhatikan UU Perlindungan Anak atau cenderung
memberikan retributive justice maka karena hal inilah ada keputusan pengadilan
yang memberi sanksi pidana penjara pada anak sebagai penyalahguna narkotika
dan pengedar narkotika. Memang pada dasarnya tidak diketahui apakah rata-rata
putusan pengadilan tersebut disertai dengan rehabilitasi atau tidak, namun yang
pasti di LPKA Jawa Barat tidak terdapat fasilitasi rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial. Jadi treatment yang diberikan pada tiap anak sama semua tanpa
melihat ia melakukan tindak pidana apa. Jadi dapat kita katakan tiap putusan
peradilan akan bergantung pada hasil pemeriksaan dalam tahap penyidikan dan
penyelidikan. Maka sudah seharusnya polisi dapat bekerja dengan baik terlebih
jika menyangkut anak. Pihak kepolisian disini kurang melindungi hak-hak anak
sebagaimana yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak. Mereka cenderung
memberi tindakan yang bersifat retributive justice, bukan restorative justice.
Mereka cenderung ingin menjerakan anak, bukan memulihkan anak. Maka dari itu
hasil pemeriksaan seakan-akan dibawa kearah mereka harus dipenjarakan, bukan
diupayakan rehabilitasi. Jikapun harus dilakukan rehabilitasi, maka dilakukan di
dalam jeruji besi. Hasil penyidikan dan penyelidikan ini tentu menjadi
pertimbangan besar dalam putusan hakim, karena adanya perbedaan putusan
(antara anak harus di penjara atau di rehabilitasi) berawal dari proses pemeriksaan
di tingkat penyidik dan penyelidik. Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan
dari LAHA. (Lihat tabel 17)
Tabel 17.
Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)
(19 Februari 2016)
Harapan seseorang dia dikategorikan pengedar atau pecandu itu kan sangat tergantung sama polisi
ya. Iya kita kan maksudnya ini ada tanda kutip, misalkan Raffi Ahmad atau Roger. Ada yg dia
misalkan cuma hanya sebagai pengguna tp karena satu dan lain hal dia ditetapkan sebagai

147
pengedar. Ya gitu yakan. Kalo hakim kan artinya tergantung dari penyelidikan awalnya. Bahkan
kadang sok siah coba aku tetapin kamu sebagai pengedar kan takut juga. Kaya gitu. Kan kalo yg
candu itu kan sebenarnya kan tidak lagi menjadi LP (re:Lembaga Pemasyarakatan), tapi menjadi
panti rehabilitasi kan harusnya.

4.5 DAMPAK BURUK PIDANA PENJARA BAGI ANAK


Anak sebagai penyalahguna narkotika maupun pengedar narkotika harus
tetap diupayakan dan diberikan rehabilitasi. Karena berdasarkan UU Perlindungan
Anak tiap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dan peredaran
narkotika maka tetap dianggap sebagai korban. Seperti yang dikatakan
sebelumnya pula terhadap korban kita tidak dapat memberi tindakan berupa
retributive justice, atau dengan kata lain tidak dapat memberi sanksi pidana
terhadapnya. Tindakan yang pantas diberikan adalah restorative justice atau segala
tindakan yang berupaya untuk memulihkan kembali keadaan anak tersebut.
Penjara merupakan upaya paling terakhir yang bisa dilakukan oleh para penegak
hukum. Para penegak hukum harus mengupayakan sebisa mungkin anak
direhabilitasi dan tidak sampai pada proses ia diberi sanksi pidana. (lihat bagan
berikut) :

Anak yang Menggunakan Memasuki Penjara


terlibat Tindak UU Sistem Proses Peradilan Rehabilitasi
Pidana Peradilan
Narkotika Pidana Anak

Anggap panah-panah yang berada di samping kotak rehabilitasi


merupakan air mengalir dari tiga wadah air (kotak) diatasnya yang mengarah ke
wadah (kotak) rehabilitasi. Berdasarkan bagan tersebut, para penegak hukum
harus berupaya untuk tidak membawa anak pada proses pemidanaan yang bersifat

148
kearah pidana penjara, tapi harus kepemberian rehabilitasi. Jadi pada tiap proses
yang ada dibagan tersebut, hendaknya air terus mengalir kebawah agar bisa
tertampung ke wadah rehabilitasi. Tujuannya adalah agar air tersebut (anggaplah
air sebagai anak) tidak dengan deras menuju ke wadah penjara, melainkan bocor
dan menuju ke wadah rehabilitasi. Hal inilah yang harus diperjuangkan oleh para
penegak hukum yang melaksanakan upaya dalam bagan diatas. Mereka harus
mengupayakan anak tidak sampai dipenjara.
Pidana penjara menurut P.A.F Lamintang adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban
menaati semua peraturan atau tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan
yang dikaitkan dengan suatu tindakan jika melanggar peraturan tersebut 76. Seperti
yang ditelah katakan pada pembahasan sebelumnya bahwa menurut L.H.C
Hulsman pidana penjara dapat memberi pandangan rendah terhadap manusia,
maka akibatnya ia dapat menjadi dungu. Kemudian dengan adanya pidana penjara
maka dapat mematikan rasa percaya diri pelaku, lalu menghapus relasi antar
77
orang, dan menghilangkan rasa penerimaan dari masyarakat saat bebas nanti.
Jika hal ini terjadi pada anak maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan
terganggu.
Dampak buruk pada anak seperti yang dikatakan diatas didukung pula oleh
pernyataan dari anggota pembinaan LPKA (berdasarkan hasil wawancara). Ia
mengatakan bahwa pada awalnya saat anak masuk ke penjara mereka merasa
kaget atas peristiwa yang mereka alami, beberapa anak memberi curahan hati
bahwa mereka merasa malu jika keluar dari penjara dan bertemu dengan teman-
temannya. Karena, terdapat stigma bahwa mereka adalah anak bekas dari penjara.
Berdasarkan wawancara dengan narapidana anak langsung, penulis juga
mendapatkan informasi yang sama. Ditambah mereka mengatakan bahwa merasa
rindu dengan keluarga yang berada diluar Bandung.

76 C. DJISMAN SAMOSIR, S.H., M.H. supra Catatan no. 12, pada 53.
77 C. DJISMAN SAMOSIR. supra catatan no. 12, pada 27-28

149
Kondisi di dalam LPKA tidak ada sarana komunikasi, sehingga anak-anak
narapidana tersebut tidak dapat berhubungan dengan keluarga mereka yang diluar
Bandung. Beruntungnya, LAHA memperjuangkan untuk memfasilitasi hal
tersebut. Jadi LAHA secara rutin berkunjung ke LPKA untuk bertemu dengan
anak-anak disana. Ada rangkaian acara yang sering dilakukan oleh LAHA, salah
satunya memfasilitasi mereka untuk telefon keluarga di luar Bandung
menggunakan telefon genggam. Dulu hal tersebut tidak diperbolehkan, namun apa
yang dilakukan LAHA memiliki tujuan. Karena, rata-rata anak-anak di LPKA
memiliki kondisi ekonomi kebawah. Orangtua mereka terkadang tidak mampu
untuk mengeluarkan biaya pulang pergi dari tempat asal ke bandung dan kembali
lagi ke tempat asal. Hal itu bagi orangtua menjadi masalah ekonomi, namun bagi
anak akan menjadi masalah untuk psikologis mereka. Ketika mereka tidak
dikunjungi oleh orangtua mereka, maka mereka akan merasa terbuang. (Lihat
tabel 17)
Kemudian, LAHA juga menyatakan bahwa petugas-petugas didalam
LPKA terdiri dari AKIP (Akademi Ilmu Pemasyarakatan) yang dimana mereka
diajarkan untuk menangani seorang penjahat. Padahal dalam hal ini jika anak
melakukan suatu tindak pidana kita jangan terlebih dahulu menganggap anak
sebagai pelaku, namun sebagai korban. Akibat dari hal ini adalah AKIP
memperlakukan anak dengan kekerasan, dan hal tersebut berdampak buruk bagi
fisik, batin, bahkan psikologis anak. Anak menjadi tidak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik didalam LPKA. Padahal kita tahu bahwa anak didalam
LPKA adalah anak yang harus dirawat dengan baik oleh Negara, karena Negara
telah mencabut hak asuh orangtua. Maka sebaiknya anak diasuh dan dirawat
dengan baik. Selain itu, berdasarkan pernyataan LAHA pula bahwa anggaran
untuk biaya makan tidak cukup. (Lihat tabel 18)
Tabel 18.
Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)
(19 Februari 2016)
Anak-anak yang di penjara itu ekonomi kebawah, didalamnya tidak hanya dari Bandung tapi se-
Jawa Barat. Ada anak yang orangtuanya di Bekasi, dia ga cukup duit untuk ke Bandung, jadi
ga pernah dikunjungin, paling cuma 4 bulan sekali atau jangka waktu yang lama, ataupun
kalau datang ke Bandung, mereka harus keluarin ongkos Rp300.000,- untuk 15 menit
pertemuan. Logikanya, mendingan beli beras daripada nengok jauh-jauh dan ketemu cuma

150
dikasih waktu 15 menit. itu efek dari anak-anak dipenjara. Bagi orangtua itu masalah ekonomi,
bagi anak-anak itu mengganggu psikologis mereka aku dibuang. Jadi, LAHA ada
channeling keluarga, kita bawa handphone kita, nanti kita kasih ke anak-anak siapa saja yang
mau hubungin keluarga.. dulu mah gaboleh pakai handphone, tapi sekarang kan ada tujuan.

Kalau kita mau netapkan, kita harus pastikan merubah lembaga penghukuman jadi lembaga
pengasuhan. Orangtua ke anak itu kan mengasuh, ada tanggung jawab. Maka disini juga harus
clear apa saja yg harus dipenuhi, pertama kebutuhan dasarnya, makannya gimana.. pakaiannya
gimana, kesehatannya gimana, pendidikannya gimana, intinya education well maka kalau
terpenuhi ia akan jadi orang.

Sayangnya di menteri keuangan atau kehakiman ga diatur berapa kebutuhan makan oleh anak,
diaturnya di UU tenaker.. nilai nominal hidup layak bujang (ada KHL, upah minimum) jadi
dibilang seorang layak hidup sebulannya berapa. Itu dihitungnya seorang diri (untuk makan).
Layaknya di menteri keuangan itu rayon jawa sehari Rp17.000,- untuk 3 kali makan, faktanya
per-anak Rp8700,- buat 3 kali makan (itu yg berlaku di lembaga pemasyarakatan sekarang).
Makan apa coba itu? Padahal Negara mencabut hak asuh orangtua. Tapi Negara tidak siap
dengan itu. itu dari urusan makan..

Kalau urusan kesehatan dulu tahun 2006-an sebelum ada LPKA mereka di Rutan kebon waru,
penghuni harusnya 700 orang, over capacity jadi 1300 orang. Anggarannya 1,5 juta/tahun
untuk semua penghuni. Jadi dibagilah tuh 1300 orang. Tahun ini mungkin di LPKA udah ada
anggaran, tp waktu itu pernah ibu di LPKA itu sampai harus racik obat yang sudah daluwarsa
karena ga ada anggaran untuk LPKA. Anggaran pembinaan nya NOL. Nah kita mau bicara apa
tentang rehabilitasi, sedangkan di LPKA aja begitu.

Ini belum bicara tentang kemampuan petugas Lapas, gimana cara komunikasi dengan anak,
mereka dari AKIP. Orang mau jadi petugas ga perlu dari AKIP, tapi dari AKIP mereka akan
jadi petugas lapas. Komunikasi anak dengan yang AKIP dan dengan yang bukan AKIP jauh
lebih baik yang bukan AKIP. AKIP itu kan harusnya diproyeksikan akan jd petugas, kurikulum
mereka yg salah. Orang AKIP itu kalau ngomong bisa pakai kaki loh.. nunjuk-nunjuk.. bentak-
bentak.. lantaran di AKIP itu dididik untuk menghadapi penjahat.

Selain itu menurut pengalaman LPA saat dulu LPKA belum ada, anak-
anak yang masuk penjara akibat narkotika saat keluar dimanfaatkan kembali oleh
orang-orang dewasa atau sindikat kejahatan yang pernah membuatnya masuk
penjara. Anak tersebut diberi reward berupa uang karena ia telah mengetahui
seluk beluk dari penjara. Lalu, beberapa anak merasa proses hukum yang ia lewati
tidak adil baginya. Seperti ia bertanya-tanya mengapa si A perbuatannya lebih
kejam namun si B tidak, tapi si A lebih cepat keluar penjara daripada si B. Hal ini
menumbuhkan rasa dendam, rasa kesal, rasa marah dan lain-lain yang diakibatkan
dari rasa ketidakadilan yang didapatkannya. (Lihat tabel 19)
Tabel 19.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
(17 Februari 2016)
Dulu waktu belum ada LPKA, anak-anak kan di tahan di Rutan kebon waru. Jadi waktu itu kita

151
pernah nanganin anak TNI, waktu ngobrol sama orangtuanya mereka bilang ini mah harus
diterpencilkan karena kalau engga anak waktu keluar penjara diincar lagi dan justru dia dapet
uang lebih karena dia udah tau seluk beluk penjara dan dia disuruh jadi pengedar. Makanya
pas keluar langsung dibawa jauh ke rumah neneknya, ia diisolasi disitu.

Waktu itu pernah bawa Mahasiswa Unpar hukum juga ke LPKA. Anak-anak LPKA nanyanya luar
biasa ke mahasiswa hukum. Mereka Tanya teh apa itu anak Negara? Kenapa saya masuk anak
Negara? Padahal ibu saya siap ngurus saya. Kenapa saya perkosa 2 orang, dia 9 orang, tapi
kenapa hukumannya lebih ringan dari saya?. Itulah yang mereka rasain. Kita mah tau ilmunya
aja, tapi mereka kan prakteknya.

Hal diatas dapat kita katakan merupakan dampak buruk dari pidana
penjara bagi anak. Selain itu berdasarkan penelusuran internet penulis juga
menemukan tulisan yang mengatakan dampak negatif dan kerugian dari pidana
penjara khususnya terhadap anak, yaitu :
1. Anak akan akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak pada
gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya
dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari
orang tua terhadap terpidana anak.
2. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya
pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka
kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari prilaku kriminal terpidana
yang lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli tentang kejahatan.
3. Anak tersebut diberi cap oleh masyarakat , hal ini dapat kita kaitkan
dengan teori labeling yang dikemukakan oleh Matza dimana memandang
para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat tetapi mereka
adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai
pemberian system peradilan pidana maupun masyarakat luas. (Topo
Santoso, Eva Achjani, 2003:98)
4. Masyarakat menolak kehadiran mantan terpidana anak, terkait dengan
stigma yang diberikan masyarakat dimana anak yang pernah menjalani
hukuman penjara maka anak tersebut tetap disebut sebagai anak yang
nakal dan memiliki peringai buruk sehingga masyarakat menolak
kehadirannya sebab masyarakat khawatir kalau anak tersebut akan
mengulangi kejahatan sama dan akan memberikan pelajaran yang tidak
baik terhadap anak-anak yang lain, padahal belum tentu demikian adanya.

152
5. Masa depan anak menjadi lebih suram (Op. cit: 1997: 131)78
Dan pada kenyatannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara mereka
justru tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan melakukan
kembali tindak pidana79, maka dari sini dapat dikatakan bahwa ternyata
penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan
yang terjadi tetapi justru menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi
anak.
Setelah mengetahui dampak dari pidana penjara dan mempertimbangkan
kondisi fisik dan batin anak, maka kita menjadi tahu bahwa betapa pentingnya
kita untuk mengedepankan UU Perlindungan Anak. Dalam hal ini kita harus dapat
memperlakukan anak sebagai penyalahguna narkotika dan pengedar narkotika
sebagai korban, bukan pelaku. Karena UU Perlindungan Anak menganggap anak
yang melakukan tindak pidana narkotika adalah korban.
Dengan mengingat regulasi Indonesia yang mengatur anak sebagai korban
penyalahgunaan harus diupayakan rehabilitasi, maka kita harus mengupayakan
anak terhindar dari proses pemeriksaan yang membawa ia ke penjara, dan
mengupayakan anak tersebut dapat direhabilitasi.

4.6 MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BUKAN PILIHAN ANAK


Sebagaimana yang kita tahu pada pembahasan sebelumnya bahwa anak
melakukan tindak pidana karena banyak faktor. Pada kenyataannya rata-rata yang
sering terjadi adalah karena broken home (sesuai dengan hasil penelitian dengan
narapidana anak narkotika di LPKA), dan diperalat oleh orang dewasa (sesuai
dengan pernyataan LPA, Bapas, dll). Menurut pemikiran hemat penulis
seharusnya ini menjadi unsur yang meringankan untuk pertimbangan hakim agar
sanksi pidana berkurang. Seperti pembahasan sebelumnya pula terbukti dari hasil
penelitian bahwa hakim tidak memperhatikan faktor anak melakukan tindak
pidana. Karena kita tahu anak melakukan tindak pidana berbeda faktornya dengan

78 Wawan Kurniawan. Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk Menanggulangi


Kejahatan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan.
https://aweygaul.wordpress.com/2012/06/10/efektifitas-pidana-penjara-bagi-pelaku-tindak-pidana-
anak/.
79 Id

153
orang dewasa, dan faktor tersebut adalah datang dari luar diri anak bukan dari
dalam diri anak. Seperti yang dikatakan sebelumnya, ada berbagai faktor yang
mengakibatkan anak melakukan tindak pidana. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kathleen Salle dikatakan bahwa ada beberapa faktor sosial yang
menyebabkan delinquency atau kenakalan anak yaitu:
1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency
Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan suatu tindak pidana
dibandingkan dengan anak laki-laki.
2. Adanya pengaruh teman bermain anak
Teman bermain yang buruk akan mempengaruhi perilaku anak menjadi
buruk.
2. Anak-anak dari kelas ekonomi rendah / lemah
Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan fasilitas untuk bermain dan
belajar yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak. Orangtua anak juga
kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya karena keterbatasan
ekonomi, sehingga pada akhirnya anak-anak mereka harus melakukan
kegiatan yang menurutnya senang tanpa pengawasan orangtuanya. Bisa jadi
karena kurangnya pengawasan anak-anak tersebut mencuri untuk dapat
memenuhi kebutuhannya. Seperti kasus-kasus anak mencuri sandal, pakaian,
makanan, dan lain-lain.
3. Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home80
Selain itu terdapat hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April tahun
2005 dengan 20 informan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan anak Tanjung
Gusta Medan yang memperoleh kesimpulan penyebab anak melakukan kejahatan
diantaranya adalah :
1. Pengaruh pergaulan
Anak-anak melakukan tindak pidana karena ia berteman dengan anak-anak
yang kurang baik, contoh berteman dengan anak yang tidak sekolah,
kalaupun berteman dengan anak yang sekolah maka ia sering membolos atau
berkelahi / tawuran, dan lain-lain.
2. Kurang perhatian

80 MARLINA. supra catatan no. 42, pada 62

154
Anak-anak melakukan tindak pidana karena kedua orangtuanya sibuk dan
kurangnya perhatian dari saudara-saudara serumah si anak. Dari hal ini anak
merasa mendapat kurang perhatian.
3. Keluarga broken home
Anak-anak kurang mendapat pengarahan karena kondisi keluarga yang sudah
tidak normal.
4. Ekonomi
Tingkat ekonomi yang rendah pada umumnya menyebabkan orangtua tidak
memiliki waktu untuk memberikan pemenuhan kebutuhan untuk anaknya.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anakpun akan melakukan suatu
tindakan untuk memenuhi kebutuhannya, dan tindakan tersebut dapat
dikatakan delinquency.
4. Pendidikan
Dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan anak tidak punya
kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berguna.81
Kemudian Menurut Romli Atmasasmita (lihat pula bab II) bahwa terdapat
motivasi intrinsik dan ektrinsik yang membuat anak melakukan tindak pidana.
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tidak datang dari luar diri anak tersebut,
dan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datang dari diri luar anak. Dari
motivasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 2 (dua) faktor dominan
yang dapat dilihat secara internal maupun eksternal. Internal berarti anak kurang
atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua,
wali, atau orang tua asuh. Lalu secara eksternal berarti ada dampak negatif dari
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi
dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan cara
dan gaya hidup yang telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat.82
Setelah mengetahui faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, lantas
secara khusus apa yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana narkotika?

81 MARLINA. supra catatan no. 42, pada 64-65.


82 NASHRIANA. supra catatan no. 7, pada 35.

155
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa menurut kajian empirik, ada beberapa
faktor penyebab anak melakukan tindak pidana narkotika, yaitu:
1. Kesibukan orang tua yang tidak sempat lagi memerhatikan kehidupan
anaknya yang masih sekolah
2. Rumah tangga berantakan (broken home) sehingga anak-anak kehilangan
bimbingan
3. Perubahan sosial dan cara hidup yang berlebihan
4. Menemukan kesulitan dalam belajar
5. Mobilitas pemuda dan kelompok pemakai ganja
6. Informasi yang salah dan berlebihan tentang masalah narkotika83
Faktor-faktor diatas didukung oleh pernyataan dari narapidana anak yang
penulis wawancarai di LPKA Jawa Barat. Mereka mengatakan bahwa mereka
menggunakan narkotika karena banyak masalah dengan orangtuanya, jarang
bersosialisasi dengan keluarganya, dan bebasnya pergaulan yang ia masuki.
Beberapa dari mereka juga mengatakan jika stress biasanya ia lari pada narkotika.
Hal ini jelas merupakan faktor diluar dari anak tersebut, anak masih belum bisa
menentukan apa yang baik atau buruk untuk dirinya.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya pula bahwa polisi mengatakan anak
tidak bisa dimaafkan, terlebih jika ia seorang pengedar. Jika ia sebagai pengedar
maka ia akan menimbulkan korban baru. Menurut penulis, mungkin memang
pada dasarnya anak yang mengedarkan narkotika itu menimbulkan korban lain.
Namun, kita harus tahu bahwa anak mengedarkan narkotika faktornya
bermacam-macam, dan yang sering terjadi di lapangan adalah karena adanya
bujukan dari orang-orang dewasa. Mereka diiming-imingi dengan suatu hadiah.
Anak jika diberi hadiah pastilah mereka senang dan tidak tahu dampak dari apa
yang dilakukannya. Karena secara perkembangan fisik dan bathin mereka
dikatakan belum matang. (Berdasarkan pengakuan LPA, lihat tabel 4 dalam Bab
II). Menurut pernyataan dari pihak LPKA pula, bahwa ada beberapa anak yang
mengaku bahwa jika ia membeli narkotika maka jika dijual kembali ia akan
mendapat uang yang besar, karena biayanya jualnya besar. Jadi untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi anak-anak tersebut mau untuk menjual narkotika.
Pengalaman Bapas juga mengatakan hal yang sama, bahwa pada lapangannya

83 MAIDIN GULTOM. supra catatan no. 11, pada 125.

156
banyak sekali anak-anak yang dibujuk atau diajak oleh orang dewasa untuk
menggunakan atau mengedarkan narkotika. Pada awalnya si anak gratis untuk
mencicip narkotika. Lalu ada juga anak yang dititipkan barang (narkotika). Hal
diatas merupakan bukti bahwa pada kenyataannya banyak anak yang
dimanfaatkan atau diperalat oleh orang-orang dewasa untuk melakukan tindak
pidana narkotika.
Lantas setelah mengetahui faktor-faktor anak melakukan tindak pidana,
tindakan seperti apa yang pantas diberikan? Kita tahu bahwa jika anak melakukan
tindak pidana narkotika itu adalah akibat dari tidak adanya pengawasan atau
kontrol secara sosial, maka yang seharusnya bertanggungjawab adalah
lingkungan sosialnya seperti orangtua atau orang-orang yang menyuruhlakukan
mereka. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak jika ia melakukan tindak
pidana. Seandainya lingkungan sosial serta keluarganya dapat memberi kontrol
yang baik maka anak tidak akan melakukan tindak pidana bahkan tidak akan
bersinggungan dengan proses peradilan pidana yang dalam kenyataannya banyak
menyimpangi UU Perlindungan Anak. Dengan mengetahui faktor anak
melakukan tindak pidana narkotika maka hendaknya tindakan yang diberikan
adalah menjauhkan anak dari pidana penjara dan mendekatkan anak pada hal
yang bersifat restorative justice, dalam kasus ini adalah memberi anak upaya
rehabilitasi. Negara harusnya mengetahui hal-hal seperti itu sehingga tidak
banyak anak yang terjerumus dalam penjara. Penjara hanya dibenarkan jika
memang didalam penjara ia dibina dengan diberikannya rehabilitasi medis
dan/atau sosial yang bertujuan untuk memulihkan kondisi anak. Kita harus
mengingat kembali hak-hak anak dalam hal ini ABH sebagaimana yang diatur
dalam UU Perlindungan Anak. Jelas dikatakan bahwa anak yang
menyalahgunakan narkotika dan mengedarkannya harus dianggap sebagai korban
dan terhadapnya tidak dapat diberi sanksi pidana. Jikapun pada kenyataannya hal
tersebut dilakukan sebagai upaya terakhir, maka hendaknya para penegak hukum
merubah tata cara bekerja mereka dan lebih mendalami UU Perlindungan Anak.
Sebab jika tidak, yang terjadi adalah jika memang anak di penjara sebagai upaya
terakhir maka hal-hal seperti ketidakadilan, kekerasan, praktek 86 lah yang akan

157
terus terjadi. Penjara hanya diperbolehkan untuk memperbaiki anak atau
memulihkan anak. Namun untuk saat ini sayangnya kondisi mengatakan bahwa
penjara masih berdampak buruk bagi anak.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab V merupakan kesimpulan dari penulisan hukum ini yang akan


menjawab identifikasi masalah pada Bab I. Setelah penulis menarik kesimpulan,
penulis akan memberikan saran-saran terhadap permasalahan yang terjadi guna
melengkapi dan menyempurnakan penulisan hukum ini.

5.1 KESIMPULAN
Tindak pidana narkotika tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa
saja. Berdasarkan data-data yang sudah disebutkan pada bab-bab sebelumnya
bahwa zaman sekarang banyak anak-anak yang sudah melakukan tindak pidana
yang berkategori luar biasa tersebut atau extraordinary crime (lihat tabel 1).
Berdasarkan UU Perlindungan Anak, penyalahguna narkotika anak dan pengedar
narkotika anak dianggap sebagai korban. Korban tidak bisa diberi sanksi
pidana, lantaran dia bukan seorang kriminal. Jadi, menurut UU Perlindungan
Anak, penyalahguna narkotika anak dan pengedar narkotika anak tidak diberi
sanksi pidana melainkan perlindungan khusus. Perlindungan khusus tersebut salah
satunya adalah berupa rehabilitasi. Namun sayang, hal tersebut tidak sesuai pada
kenyataannya. Dari data yang ada, semua anak sebagai pengedar narkotika
berakhir di penjara (dalam hal ini LPKA Bandung). Anak-anak tersebut mengaku
bahwa mereka tidak hanya mengedarkan narkotika, namun juga memakai
narkotika tersebut. Dengan kata lain, jika mereka memakai tanpa pengawasan
dokter atau tidak untuk kebutuhan medis maka mereka dikatakan sebagai
penyalahguna narkotika. Jadi, anak-anak yang berada di LPKA Bandung

158
merupakan anak-anak sebagai pengedar narkotika juga sebagai penyalahguna
narkotika. Kemudian, berdasarkan hasil wawancara bahwa di LPKA Bandung
tidak ada upaya rehabilitasi, sebab semua anak diberi treatment yang sama tanpa
melihat tindak pidana apa yang mereka lakukan. Maka, pemberian sanksi pidana
penjara bagi pengedar dan penyalahguna narkotika anak menjadi bertambah buruk
sebab tidak ada upaya rehabilitasi bagi mereka (dalam hal ini di LPKA Bandung).
Berbicara mengenai penyalahguna narkotika anak dan pengedar narkotika
anak dianggap sebagai korban menurut UU Perlindungan Anak, ternyata UU
Narkotika memiliki perbedaan sudut pandang terhadap hal tersebut. UU Narkotika
hanya mengenal korban penyalahgunaan narkotika saja. Korban
penyalahgunaan narkotika menurut UU Narkotika yaitu seseorang yang tidak
sengaja menggunakan narkotika Karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dengan kata lain, orang tersebut
menggunakan narkotika bukan karena kehendaknya namun karena kehendak
orang lain. Jadi hanya ia saja yang dianggap korban, anak sebagai pengedar tidak
dianggap korban. Bahkan, dalam Pasal 127 UU Narkotika, seorang penyalahguna
narkotika harus dibuktikan terlebih dahulu jika ia mau dikategorikan sebagai
korban penyalahguna narkotika. Akibat dari hal ini adalah anak kemungkinan
dilupakan untuk diberi upaya rehabilitasi sebagaimana yang diatur dalam UU
Perlindungan Anak. Karena, dalam UU Narkotika yang berhak mendapatkan
rehabilitasi hanya mereka yang dianggap sebagai korban penyalahguna narkotika
dan pecandu narkotika (penyalahguna narkotika yang sudah memiliki
ketergantungan terhadap narkotika). Selain itu, pecandu narkotika anak
(penyalahguna narkotika yang sudah ketergantungan) juga dianggap sebagai
korban, sebab ia tidak dapat diberi sanksi pidana menurut UU Narkotika. Namun,
jika penyalahguna anak tersebut tidak sampai ketergantungan maka ia bisa diberi
sanksi pidana.
Dari hal-hal diataslah timbul permasalahan hukum yang telah dipaparkan
dalam Bab I. Berdasarkan pembahasan pada Bab-Bab sebelumnya, terdapat
beberapa kesimpulan yang dapat penulis tarik untuk menjawab permasalahan
hukum atau identifikasi masalah yang ada pada Bab I, yaitu :

159
1. Identifikasi Masalah pertama yaitu :
UU Perlindungan Anak dan UU Narkotika tidak mengatur hal yang sama
mengenai penyalahguna narkotika anak. Hal ini mempengaruhi pemberian
upaya rehabilitasi bagi anak. Maka dilakukan penelitian sejauh mana
penyalahguna narkotika anak mendapatkan rehabilitasi dalam praktek.

Menurut penulis, ternyata tidak semua penyalahguna narkotika anak


mendapatkan rehabilitasi. Hal ini disebabkan oleh para penegak hukum
memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap penyalahguna narkotika anak.
Hal tersebut tampak pada kesimpulan dibawah ini:
a. Dimulai saat proses penyidikan dan penyelidikan, Satuan Reserse
Narkoba Polrestabes Bandung (selanjutnya disebut penyidik polri) sering
melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Dari perbuatan ini tampak
terlihat bahwa dari proses awal polisi tidak berupaya untuk memulihkan
anak. Hal ini terbukti dari pernyataan mereka bahwa mereka ingin
menjerakan anak. Maka terlihat bahwa polisi narkoba cenderung memilih
tindakan yang bersifat retributive justice daripada restorative justice
terhadap anak. Akibatnya, tindakan yang polisi menjauhkan anak pada
rehabilitasi dan mendekatkan anak pada penjara. Selain itu, sikap lain
dari pihak penyidik polri yang terlihat menjauhkan penyalahguna
narkotika anak dari rehabilitasi adalah penyidik polri menyarankan
orangtua dari penyalahguna narkotika anak untuk tidak usah
merehabilitasi anak mereka sebab biaya yang besar (hingga ratusan juta).
Namun, berdasarkan Peraturan Bersama, biaya rehabilitasi ditanggung
oleh instansi-instansi tertentu, bukan ditanggung oleh keluarga yang
bersangkutan. Lagipula, tidak berkisar ratusan juta. Pada dasarnya anak
yang terlibat tindak pidana narkotika berasal dari keluarga yang
berkondisi ekonomi menengah kebawah. Dari hal ini pasti orangtua

160
tersebut memilih untuk tidak merehabilitasi anaknya karena biaya yang
tidak dapat ditanggung mereka. Sikap ini tentu mengakibatkan anak
semakin jauh dari upaya rehabilitasi.

b. Masih sering terjadi praktek 86 dikalangan penyidik polri. Praktek


86 ini tentu tidak cocok bagi keluarga anak yang berekonomi menengah
kebawah. Akibatnya, banyak dari mereka yang dipersulit dalam proses
pemeriksaan. Hal tersebut berakibat pula mereka tidak direhabilitasi,
melainkan berakhir di penjara.

c. Panti rehabilitasi belum 100% aman untuk dijadikan tempat rehabilitasi


penyalahguna narkotika anak. Hal ini terbukti dari pernyataan penyidik
polri. Padahal, menurut aturan yang ada penyidik polri bisa melakukan
kerjasama dengan pihak panti rehabilitasi, misal salah satunya dalam hal
keamanan. Akibatnya, anak tidak dititipkan di panti rehabilitasi selama
masa penahanan, melainkan di penjara. Di dalam penjara pun ia tidak
dilakukan rehabilitasi, padahal undang-undang sudah memerintahkan
bahwa jikalau ia harus ditahan dalam rumah tahanan maka ia tetap perlu
untuk diberi rehabilitasi.

d. Penyidik polri masih terpaku pada KUHAP dan tidak memperhatikan UU


SPPA. Akibatnya, diversi jarang dilakukan. Usaha untuk merehabilitasi
anak menjadi kurang. Karena, salah satu hasil dari diversi adalah
rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain itu, jika KUHAP
digunakan maka prosedur yang dialami anak akan disamakan dengan
prosedur yang dialami oleh orang dewasa. Hal ini tentu bukan merupakan
cita-cita dari UU Perlindungan Anak, juga UU SPPA. Sebab, UU SPPA
dibuat dengan tujuan untuk melindungi anak dari prosedur yang
ditujukan kepada orang dewasa. UU SPPA harus diutamakan daripada
KUHAP mengingat asas lex specialis derogat legi generalis

e. Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat (selanjutnya disebut


BNN) tetap mengusahakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika

161
anak. Sebab, baik anak sebagai penyalahguna maupun ia sudah
kecanduan anak tetap memiliki hak untuk direhabilitasi.

f. Proses asesmen terpadu yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu


(TAT) belum dilakukan secara merata oleh tim tersebut. Hal itu terjadi
karena tidak ada satu pemahaman mengenai TAT antara para penyidik.
TAT merupakan proses yang penting untuk dilewati jika penyalahguna
tertangkap tangan memiliki barang bukti. Sebab dari hasil TAT inilah
akan direkomendasikan kepada hakim tindakan apa yang cocok untuk
diberikan kepadanya. Apakah direhabilitasi dan dijauhkan dari penjara,
atau dipenjara namun tetap menjalani rehabilitasi, atau dipenjara tanpa
adanya rehabilitasi. Akibat dari tidak satu pemahaman mengenai
pentingnya TAT adalah rekomendasi yang diterima oleh hakim berbeda-
beda antara satu penyidik dengan penyidik yang lain.

g. Balai Pemasyarakatan (Bapas) cenderung bersikap objektif pada anak,


namun dalam artian baik. Hal ini tampak pada perkataan dari pihak
Bapas kepada penulis bahwa saat mereka membuat dan melaporkan hasil
penelitian kemasyarakatan laporan tersebut harus yang meringankan
anak, bukan memberatkan. Jadi mengungkapkan fakta benar-benar
berdasarkan apa yang ada di masyarakat. Jika hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa anak seharusnya direhabilitasi maka akan diberi
rekomendasi rehabilitasi, jika dibina dalam LPKA maka Bapas akan
memberi rekomendasi ia dibina dalam LPKA. Jadi bukan berarti anak
tidak bisa di penjara, namun yang perlu diingat proses pembinaan anak di
dalam penjara (LPKA) haruslah yang dapat memulihkan anak yaitu tetap
diupayakan rehabilitasi baginya.

h. Hakim dalam menjatuhkan putusan cenderung mengutamakan


pertimbangan yang menggunakan pendekatan yuridis dibanding dengan
pendekatan non-yuridis. Akibatnya, putusan hakim tersebut mengarah

162
pada penjatuhan sanksi pidana, bukan sanksi tindakan kepada anak
seperti wajib menjalani rehabilitasi.

i. Dalam pertimbangan hakim, faktor mengapa anak melakukan tindak


pidana narkotika tidak dijadikan unsur yang meringankan. Kita tahu
bahwa motivasi anak melakukan tindak pidana narkotika berbeda dengan
orang dewasa, maka dari itu ia dianggap korban. Anak-anak masih
belum mengetahui mana yang baik atau buruk untuk dirinya, karena
secara fisik dan psikis ia dikatakan belum berkembang secara sempurna.
Karena itulah ia belum dapat menentukan perbuatan yang baik atau
buruk. Harusnya hal ini menjadi unsur yang meringankan bagi hakim
dalam menjatuhkan putusan.

j. Tidak menutup kemungkinan anak melakukan tindak pidana lain sebagai


akibat dari tindak pidana narkotika yang dilakukannya. Tindak pidana
lain yang dilakukan anak tersebut memperkuat dirinya untuk masuk ke
penjara. Karena hal inilah menurut para penegak hukum ia tidak
mendapatkan rehabilitasi, melainkan diberi sanksi pidana penjara.

2. Identifikasi masalah kedua yaitu :


Selain anak sebagai penyalahguna narkotika, anak sebagai pengedar
narkotika juga harus dianggap sebagai korban berdasarkan UU
Perlindungan Anak. Maka terhadapnya harus diberi upaya rehabilitasi dan
tidak diberi sanksi pidana. Namun, UU Narkotika tidak mengatur hal
tersebut. Maka dilakukan penelitian apakah dimungkinkan pengedar
narkotika anak mendapat program rehabilitasi untuk mencapai restorative
justice? Jika tidak dimungkinkan, apa yang menjadi alasannya?

Menurut penulis, pada kenyataannya cukup sulit untuk dapat mengupayakan


rehabilitasi bagi pengedar narkotika anak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
sudut pandang yang dimiliki oleh para penegak hukum. Ada penegak hukum
yang berpandangan pengedar anak tidak perlu direhabilitas, ada yang

163
berpandangan harus direhabilitasi, ada pula yang berpandangan tergantung
pada kondisi pengedar narkotika anak tersebut apakah ia butuh direhabilitasi
atau tidak. Hal yang menjadi alasan pandangan para penegak hukum tersebut
adalah sebagai berikut :
b. Bagi penegak hukum yang berpandangan anak sebagai pengedar tidak
perlu direhabilitasi alasannya adalah seorang pengedar baik ia dewasa
maupun anak-anak akan menimbulkan korban baru, maka terhadapnya
harus diberi sanksi pidana yang sifatnya menjerakan orang tersebut.
Maka tidak cocok apabila pengedar narkotika diberikan upaya
rehabilitasi. Karena, rehabilitasi merupakan bentuk penerapan dari
restorative justice sedangkan yang dilakukan penegak hukum ini adalah
tindakan yang lebih bersifat retributive justice.
c. Bagi penegak hukum yang berpandangan anak sebagai pengedar perlu
direhabilitasi alasannya adalah pengedar narkotika anak tersebut tetap
dianggap sebagai korban, maka dari itu terhadap dirinya harus diberi
tindakan yang bersifat memulihkan salah satunya adalah diberi upaya
rehabilitasi. Maka restorative justice harus tetap diperjuangkan.
d. Lalu ada penegak hukum yang memberikan upaya rehabilitasi bagi
pengedar narkotika anak namun tergantung dari kondisi anak tersebut.
Jika anak tersebut butuh untuk direhabilitasi atau ia merangkap pula
sebagai penyalahguna narkotika yang membutuhkan rehabilitasi, maka
rehabilitasi dilaksanakan. Namun jika tidak, maka tidak dilaksanakan.
Hal ini tergantung pada hasil Tim Asesmen Terpadu.

Menurut penulis, bagaimanapun juga kondisinya jika menyangkut anak kita


harus tetap memperjuangkan UU Perlindungan Anak. UU ini dibuat sedemikian
rupa agar memajukan kesejahteraan anak mengingat mereka adalah bibit bangsa
dari suatu Negara. Maka kita harus menjaga betul kondisi anak bagaimanapun
juga. Jika ia menjadi nakal, maka kita pulihkan dia agar tidak nakal. Bukan
memberi tindakan yang membuat dia berontak, dendam, dan marah yang mungkin
dapat mengakibatkan ia semakin nakal dimasa yang akan datang. Masalah
terbesar adalah para penegak hukum masih tidak memiliki satu pemahaman

164
terhadap seorang anak. Maka seharusnya mereka lebih mendalami apa yang
menjadi cita-cita dari UU Perlindungan Anak.

5.2 SARAN
Berdasarkan dari permasalahan serta kesimpulan yang menjawab
permasalahan tersebut, penulis memiliki beberapa saran antara lain :
1. Mengingat adanya ketidakselarasan antara UU Perlindungan Anak dengan
UU Narkotika mengenai status anak yang melakukan tindak pidana narkotika
baik ia sebagai penyalahguna maupun sebagai pengedar, maka hendaknya
pemerintah khususnya DPR dapat mengkaji kembali UU Narkotika. Karena
jika kita berbicara mengenai anak, kita tidak dapat lepas dari UU
Perlindungan Anak. Maka seharusnya tiap Undang-Undang yang mengatur
mengenai anak haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak sehingga
timbul keselarasan dalam aturannya. Dalam hal ini, maka menjadi jelas
bahwa status anak yang melakukan tindak pidana narkotika adalah sebagai
korban, dan terhadap korban ada tindakan-tindakan tertentu yang diberikan
padanya yang berbeda dengan pelaku. Dengan kata lain, tindakan tersebut
salah satunya adalah rehabilitasi.

2. Berkaitan dengan saran nomor 1, walau sudut pandang UU Perlindungan


Anak dengan UU Narkotika berbeda namun hendaknya para penegak hukum
memiliki satu pemahaman mengenai anak yang melakukan tindak pidana
narkotika. Hal ini akan berpengaruh pada tindakan yang akan diberikan pada
anak yang melakukan tindak pidana narkotika baik ia sebagai penyalahguna
maupun sebagai pengedar. Maka yang diharapkan adalah anak tetap dianggap
sebagai korban, dan korban tidak dapat diberi sanksi pidana. Dengan kata
lain, ia akan diberi pemulihan atau rehabilitasi. Selain itu, diharapkan pula
anak akan terhindar dari proses pemeriksaan yang kejam lantaran para
penegak hukum sudah satu pemahaman bahwa anak dianggap korban.

3. Selain harus memiliki pemahaman terhadap anak sebagai korban, para


penegak hukum juga harus paham betul akan pentingnya rehabilitasi bagi

165
para penyalahguna narkotika, baik ia belum sampai tingkat ketergantungan
bahkan sudah sampai tingkat ketergantungan (pecandu). Dalam hal tindak
pidana ini dilakukan oleh anak, maka rehabilitasi juga penting dilakukan oleh
pengedar narkotika anak.

4. Mengingat adanya pernyataan bahwa panti rehabilitasi belum 100% terjamin


keamanannya, maka seharusnya pemerintah bisa membuat panti rehabilitasi
yang terjamin keamanannya, khususnya buat anak-anak. Hasilnya adalah
anak akan terhindar dari penahanan dalam penjara, bahkan terhindar dari
sanksi pidana penjara. Program rehabilitasipun akan menjadi efektif dan
efisien. Penjara juga akan menjadi berkurang oleh narapidana-narapidana
yang membutuhkan rehabilitasi, khususnya untuk anak.

5. LPKA di Indonesia (khususnya di Bandung) harus mencoba untuk membuat


program-program mengenai rehabilitasi bagi para narapidana tindak pidana
narkotika di dalam LPKA sendiri (jika memang rehabilitasi diluar penjara
tidak dimungkinkan lagi). Karena berdasarkan data, LPKA Bandung tidak
memiliki program rehabilitasi bagi narapidana narkotika. Rehabilitasi yang
dimaksud adalah rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Mungkin
rehabilitasi sosial masih dapat diakomodir oleh kegiatan-kegiatan positif yang
dilakukan dalam LPKA seperti pramuka, keterampilan, keagamaan, dan lain-
lain. Namun hal tersebut harus benar-benar menjadi fokus agar narapidana
narkotika anak tidak lagi mengulang perbuatannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

166
1. Undang-Undang R.I., Nomor 1 Tahun 1946, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958,
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dan
mengubah KUHP, L.N.R.I Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan L.N.R.I
Nomor 1660.
2. Undang-Undang R.I., Nomor 23 tahun 2002, Perlindungan Anak, L.N.R.I
Tahun 2002 Nomor 109.
3. Undang-Undang R.I., Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika, L.N.R.I Tahun
2009 Nomor 143.
4. Undang-Undang R.I., Nomor 11 Tahun 2012, Sistem Peradilan Pidana
Anak, L.N.R.I Tahun 2012 Nomor 153.
5. Undang-Undang R.I., Nomor 35 Tahun 2014, Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, L.N.R.I
Tahun 2014 Nomor 297.

B. BUKU
1. Adi, Kusno. 2009. Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika Oleh Anak. Malang: UMM Press.
2. Adi, Koesno. 2014. Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak. Malang:
Setara Press.
3. Ali, H. Zainuddin. 2014. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
4. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
5. Gultom, Maidin. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan
Perempuan. Bandung: PT Refika Aditama.
6. Gosita, Arief. 2009. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti.
7. Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-dasar hukum pidana Indonesia. Bandung:
PT CITRA ADITYA BAKTI.
8. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia: Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT Refika Aditama.
9. Moeljatno. 2009. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

167
10. Nashriana. 2014. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
11. Samosir, C. Djisman. 2014. Sekelumit tentang Penologi &
Pemasyarakatan. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia.
12. Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum
Pidana untuk mahasiswa dan praktisi serta penyuluh masalah narkoba.
Bandung: CV Mandar Maju.
13. Sutatiek, Sri. 2013. Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana
Anak Di Indonesia (Urgensi Penerbitan Panduan Pemidanaan Untuk
Hakim Anak). Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo.
14. Soekanto, Soerjono. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press)
15. Soetedjo, Wagiati dan Melani. 2013. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT
Refika Aditama.

C. PERATURAN YANG RELEVAN


1. Surat Edaran Mahkamah Agung R.I., Nomor 04 Tahun 2010, Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, Tahun 2010.
2. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia., Nomor
01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014,
Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor
PERBER/01/III/2014/BNN, Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, Tahun 2014.

D. ARTIKEL YANG RELEVAN


1. Anjars blog. Konsep Diversi dan Restorative Justice.
https://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-
justice/. Terakhir diakses tanggal 2 Januari 2016.

168
2. Budi Setioko. Faktor Penyebab Pengedaran Narkoba di Indonesia di
Lihat dari Aspek Sosiologi Hukum.
http://zainuddion.blogspot.co.id/2009/09/faktor-penyebab-pengedaran-
narkoba-di.html. Tanggal Artikel 18 September 2009. Terakhir diakses
tanggal 2 Februari 2016.
3. David Setiawan. Implementasi Restorative Justice Dalam Penanganan
Anak Bermasalah Dengan Hukum.
http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-
penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/. Tanggal artikel 7 April
2014. Terakhir diakses 26 Desember 2015.
4. Elvi / Risman. Harian terbit.
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/28/26655/25/25/Miris-
Angka-Anak-Korban-Narkoba-Naik-400-Persen. Tanggal artikel 28 April
2015. Terakhir diakses 27 September 2015.
5. Hallolampung. Ya Ampun, Bocah Ini Diperkosa Oleh anak-anak di Bawah
Umur. http://hallolampung.com/ya-ampun-bocah-ini-diperkosaoleh-anak-
anak-di-bawah-umur. Tanggal artikel 5 Agustus 2015. Terakhir diakses
tanggal 31 Januari 2015.

6. HukumOnline.com. Ancaman Pidana Bagi Penangkut Narkotika.


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52688677e81e4/ancaman-
pidana-bagi-pengangkut-narkotika. Tanggal Artikel 8 November 2013.
Terakhir diakses tanggal 14 Januari 2014.
7. IndoDrugs (Information-Education Drugs). Golongan Narkotika Menurut
UU 35 Tahun 2009. http://indodrugs.blogspot.com/2013/06/golongan-
golongan-narkotika.html. Terakhir diakses tanggal 10 Januari 2016.
8. Kantor Berita Politik, RMOL. 3,2 Juta Rakyat Indonesia Menjadi
Pengguna Narkoba, Hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional 2011.
http://www.rmol.co/read/2012/01/25/52908/3,2-Juta-Rakyat-Indonesia-
Menjadi-Pengguna-Narkoba-. Tanggal Artikel 25 Januari 2012. Terakhir
diakses tanggal 10 Januari 2016.

169
9. Nugroho Prasetyo Hendro, S.H. (Hakim dan Humas pada Pengadilan
Negeri Sengkang). Kualifikasi Penyalahguna, Pecandu, Korban
Penyalahguna dan Pengedar dalam Kejahatan Narkotika. http://pn-
sengkang.go.id/artikel-nugroho-p-h.pdf. Terakhir diakses tanggal 12
Januari 2016.
10. Pikiran Rakyat. Jumlah Pengedar Narkoba Anak Meningkat Hingga 300
Persen. 2015. http://www.pikiran-
rakyat.com/nasional/2015/04/28/325186/jumlah-pengedar-narkoba-anak-
meningkat-hingga-300-persen. Tanggal artikel 28 April 2015. Terakhir
diakses 6 September 2015.
11. Pedro Gondem. 7 Keuntungan Rehabilitasi.
http://pedrogondem.blogspot.co.id/2014/04/7-keuntungan-
rehabilitasi.html. Terakhir diakses 3 November 2015.
12. Penelitian Kualitatif: Metode Pengumpulan Data.
https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/penelitian-
kualitatif-metode-pengumpulan-data/. Tanggal artikel 30 Desember 2015.
Terakhir di akses tanggal 6 Maret 2016.
13. Risman dalam Harian Terbit. Jumlah Anak di Bawah Umur yang Jadi
Pengedar Narkoba Meningkat.
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/27/26608/25/25/Jumlah-
Anak-di-Bawah-Umur-yang-Jadi-Pengedar-Narkoba-Meningkat. Tanggal
Artikel 27 April 2015. Terakhir diakses tanggal 2 Februari 2016.
14. Selamatkan Anak Kita Dari Narkoba.
https://m.facebook.com/notes/selamatkan-anak-kita-dari-narkoba/kasus-
narkoba-dari-anak-sd-hingga-jaksa/169362358183/. Tanggal artikel 27
Oktober 2009. Terakhir diakses 23 Agustus 2015.
15. Tya / Ern. Detik News. Asusila, Narkoba, dan Pembunuhan Tiga Besar
Kasus Anak di LPKA Bandung.
http://news.detik.com/berita/2984291/asusila-narkoba-dan-pembunuhan-
tiga-besar-kasus-anak-di-lpka-bandung. Tanggal artikel 5 Agustus 2015.
Terakhir diakses 6 September 2015.

170
16. Wawan Kurniawan. Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk
Menanggulangi Kejahatan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan.
https://aweygaul.wordpress.com/2012/06/10/efektifitas-pidana-penjara-
bagi-pelaku-tindak-pidana-anak/. Tanggal artikel 10 Juni 2012. Terakhir
diakses tanggal 4 April 2016.

Lampiran Kasus

Di Jombang (Jawa Timur), seorang siswa Sekolah Dasar berinisial BS


tertangkap membawa puluhan butir pil koplo ke sekolah, pada hari Kamis
tanggal 19 Maret 2009. Saat menjalani pemeriksaan di ruang Satreskrim
(Saturan Resersi dan Kriminal) Polsek Ngoro, Jombang (Jawa Timur), BS
mengaku memiliki barang haram tersebut dari sebuah salon yang letaknya
tidak jauh dari tempat tinggalnya. BS tertangkap saat dia bergurau dengan
temannya. Saat itu, BS melempar temannya dengan tas miliknya. Dari tas

171
yang dilempar itu, secara tidak sengaja bungkusan rokok yang berada di
dalam tas milik BS terjatuh. Seorang guru yang mengetahui kejadian itu
merasa curiga dan mengambil bungkus rokok itu. Namun saat dibuka di
dalam bungkus itu terdapat sekitar 70 butir pil koplo jenis double L, yang
dikemas dalam tujuh kantong plastik. Oleh sang guru, temuan itu kemudian
dilaporkan ke Polsek Ngoro.84

Di tahun 2007, sedikitnya 40-50 siswa sekolah dasar (SD) dari total 40.000
siswa di Kota Bekasi, terindikasi mengonsumsi narkoba, khususnya ganja.
Penyalahgunaan narkoba pada murid SD umumnya melalui makanan ringan,
seperti permen dan gula manisan. Data tersebut diperoleh Badan Narkotika
Kota (BNK) Bekasi dari kepolisian.85

Di Jakarta, dari hasil operasi yang digelar Direktorat Narkoba Polda Metro
Jaya dan jajarannya selama kurun waktu satu bulan (Maret 2009), aparat
kepolisian berhasil mengamankan 667 tersangka kasus narkoba. Sekitar 18-19
persen dari 667 tersangka tadi, yaitu sekitar 113 tersangka adalah generasi
muda amat belia yaitu mereka yang berada ada kisaran usia anak SD (Sekolah
Dasar). Dari tangan mereka polisi berhasil menyita sejumlah barang bukti
berupa pil ekstasi, shabu-shabu, heroin dan ganja. Demikian sebagaimana
disampaikan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya
Ajun Komisaris Besar Polisi Chysnanda ada hari Senin 13 April 2009. Meski
tidak diperoleh data spesifik, namun dari 113 tersangka anak SD tadi, ada
yang tergolong pengedar dan sebagian lainnya tergolong pemakai.86

Selain dari kasus diatas, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006
melakukan penelitian. Dari hasil penelitian, BNN mengungkap sebanyak
8.500 siswa Sekolah Dasar di Indonesia mulai menggunakan mengkonsumsi

84 Selamatkan Anak Kita Dari Narkoba. 2009. https://m.facebook.com/notes/selamatkan-anak-


kita-dari-narkoba/kasus-narkoba-dari-anak-sd-hingga-jaksa/169362358183/
85 Id
86 Id

172
bahkan kecanduan narkotika dalam satu tahun terakhir. Dibanding tahun
2004, angka ini mengalami kenaikan lebih dari 100%.87

Tidak berakhir pada tahun 2006, Komisi Perlindungan Anak Indonesia


(KPAI) memperoleh data yang dihimpun dari tahun 2011 hingga 2014 yang
menunjukkan penyalahgunaan narkoba pada anak-anak mengalami
peningkatan sekitar 400%. Anak-anak tersebut rata-rata berusia dibawah 17
tahun. Ia juga memaparkan sebuah fakta yang cukup mengejutkan, bahwa per
tanggal 5 April 2015, dari total 184 tahanan anak yang mendekam di dalam
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak di Tangerang, sekitar 84 anak
diantaranya ditahan akibat terlibat dalam kasus narkotika.88 Kemudian, ketua
KPAI yaitu Asrorun Niam mengatakan setidaknya dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir, jumlah pengedar narkoba anak meningkat hingga 300 persen.
Mulai dari 2012 ada 17 anak, 2013 ada 31 anak, dan pada 2014 mencapai 42
anak yang menjadi pengedar.89

Beralih ke wilayah Jawa Barat, ada sebanyak 196 anak yang berkonflik
dengan hukum yang saat ini ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Bandung. Terdapat 190 anak yang dipidana, dan 6 anak yang
ditahan. Dari jumlah tersebut, 65 anak di antaranya terlibat kasus kesusilaan,
35 anak kasus narkoba, 33 anak kasus pembunuhan dan sisanya kasus
pencurian, perkelahian dan lainnya. Hal itu disampaikan Kepala Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kota Bandung Catur Budi Fatayatin di
LPKA, Jalan Arcamanik, Rabu (5/8/2015).90

Pada hari Sabtu tanggal 26 September 2015 penulis mengunjungi LPKA

87 Id
88 Harian terbit. 2015. http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/28/26655/25/25/Miris-
Angka-Anak-Korban-Narkoba-Naik-400-Persen
89 Pikiran Rakyat. Jumlah Pengedar Narkoba Anak Meningkat Hingga 300 Persen. 2015.
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/04/28/325186/jumlah-pengedar-narkoba-anak-
meningkat-hingga-300-persen
90 Detik News. Asusila, Narkoba, dan Pembunuhan Tiga Besar Kasus Anak di LPKA Bandung.
2015. http://news.detik.com/berita/2984291/asusila-narkoba-dan-pembunuhan-tiga-besar-kasus-
anak-di-lpka-bandung

173
Bandung dan ibu Gina (petugas informasi) menyatakan sebuah fakta bahwa
jumlah anak yang dibina di LPKA Bandung sejumlah 173 anak (164 anak
narapidana dan 9 anak tahanan). Namun yang menarik adalah terdapat
kenaikan angka untuk anak terlibat kasus narkotika, yaitu sebanyak 49 anak.
Anak-anak tersebut merupakan anak yang dijadikan pengedar sekaligus
pemakai narkotika.

174

Anda mungkin juga menyukai