Anda di halaman 1dari 26

PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM

PENANGGULANGAN NARKOTIKA DI LEMBAGA


PEMASYARAKATAN

Oleh

NAMA : VUZIO FERNANDA


NIM : P2B116011
KELAS :B
MATA KULIAH : KEJAHATAN NARKOTIKA

PASCA SARJANA UNIVERSITAS JAMBI


PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia serta nikmat sehat, sehingga kami dapat meneyelesaikan

dan menyusun Makalah Kejahatan Narkotika dengan judul “Pembinaan Narapidana Dalam

Penanggulangan Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan”.

Makalah Kejahatan Narkotika ini kami laksanakan dan sampaikan sebagai salah satu

syarat tugas sebagai mahasiswa Prodi Magister Hukum UNJA dalam mata kuliah Kejahatan

Narkotika yang diberikan oleh dosen pengajar, Bapak Dr. Sahuri Lasmadi, S.H., LL,M.

Dalam pelaksanaan Pembuatan makalah ini berhasil kami selesaikan tidak terlepas

dari bimbingan, bantuan, dukungan, dorongan dan peranan dari berbagai pihak baik pikiran,

tenaga mupun moril, untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih

dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segala pihak yang terlibat.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

sempurna. Akhirnya kami berharap Makalah Kejahatan Narkotika ini dapat bermanfaat

terutama bagi mahasiswa fakultas hukum dalam perkuliahan.

Jakarta, November 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR i
2. DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 4
C. Metode Penulisan 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


6
A. Kerangka Konseptual 6
B. Kerangka Teoritis 8

BAB III : PEMBAHASAN


15
A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika 15
B. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika
16
C. Pembinaan Narapidana
19
BAB IV : PENUTUP
21
A. Kesimpulan 21
B. S a r a n 22

DAFTAR PUSTAKA
24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah lama masuk dan dikenal

di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari dikeluarkannnya Instruksi Presiden

Republik Indonesia (INPRES) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan

Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi enam

permasalahan nasional yang menonjol, salah satunya adalah penanggulangan

penyalahgunaan Narkotika.
Lambat laun penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius,

maka dari itu pada zaman Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


Karena permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah

yang luar biasa, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup

penanganan permasalahan Narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak

hukum saja, tapi juga harus didukung peran serta dari seluruh elemen

masyarakat.
Kenyataan itulah yang menjadi latar belakang berdirinya Badan

Narkotika Nasional (BNN). BNN pun gencar melakukan upaya-upaya preventif

dan represif untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari narkoba tahun 2015

yang merupakan target dari seluruh negara ASEAN.


Upaya-upaya itu meliputi penyelamatan para pengguna narkoba dengan

cara rehabilitasi, dan memberantas para bandar, sindikat, dan memutus

peredaran gelap narkotika. Tetapi itu tidak cukup, karena diperlukan pula upaya

preventif berupa pencegahan agar tidak muncul pengguna/pecandu narkotika

yang baru, mengingat kata pepatah yang mengatakan, “lebih baik mencegah

1
daripada mengobati”. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saat ini

tidak hanya ada pada kalangan yang cukup umur saja, bahkan pada kalangan

yang belum cukup umur. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan

penyalahgunaan narkotika sejak dini.


Keseriusan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan

penyalahgunaan narkotika tersebut sangat diperlukan. Terutama penyamaan

kedudukan permasalahan narkotika dengan permasalahan korupsi dan terorisme.

Ketiga permasalahan tersebut sama-sama mempunyai dampak yang sistemik,

mengancam ketahanan nasional, serta merusak kesehatan masyarakat terutama

generasi muda.
Dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah dari segi penanganan

para penyalahguna narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.


Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau

obat yang sangat penting untuk keperluan pengobatan, tetapi justru akan

menimbulkan masalah yang besar apabila di salah gunakan. Pasal 7 UU Nomor.

35 Tahun 2009 menyatakan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.
Di samping itu, Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009,

menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika

secara tanpa hak dan melawan hukum. Orang yang menggunakan narkotika

2
secara tanpa hak dan melawan hukum di sini dapat diklasifikasikan sebagai

pecandu dan pengedar yang menggunakan dan melakukan peredaran gelap

narkotika.
Undang-undang pun sudah memberikan penjelasan yang sangat

jelas. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 itu pada dasarnya mempunyai 2 (dua)

sisi, yaitu sisi humanis kepada para pecandu narkotika, dan sisi yang keras dan

tegas kepada bandar, sindikat, dan pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat

dilihat sebagaimana termaktub pada Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang

menyatakan, Pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan narkotika wajib

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.


Permasalahan yang muncul adalah dari perbedaan persepsi antar

para aparat penegak hukum yang kemudian menimbulkan penanganan

penyalahguna narkotika yang berbeda-beda pula. Sangat sering terjadi penyidik

menggunakan pasal yang tidak seharusnya diberikan kepada pecandu dan

korban penyalahgunaan narkotika. Jaksa Penuntut Umum pun hanya bisa

melanjutkan tuntutan yang sebelumnya sudah disangkakan oleh penyidik, yang

kemudian hal itu berujung vonis pidana penjara oleh Pengadilan (Hakim) kepada

para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.


Seharusnya aparat penegak hukum dapat lebih jeli lagi melihat

amanat Undang-Undang dan regulasi lainnya yang mengatur tentang

penanganan penyalahguna narkotika. Sudah jelas dikatakan dalam pasal 54 yang

mengutamakan bahkan wajib hukumnya pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, hal itu

diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun

2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

3
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memenuhi hak pecandu

Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apa yang dimaksud dalam PP No. 25

Tahun 2011 ini pun semestinya dijalankan pula oleh para aparat penegak hukum

mengingat Peraturan Pemerintah termasuk dalam hierarki perundang-undangan.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis menarik suatu permasalahan

yang ada dalam penelitian ini yang dirumuskan sebagai berikut :


1. Bagaimanakah Pembinaan Narapidana Narkotika Dalam Penanggulangan

Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan?


2. Bagaimanakah bentuk model alternative pembinaan Narapidana Narkotika dan

tujuan penanggulangan Narkotika?


C. Metode Penelitian
Suatu karya ilmiah agar dapat dipertanggung jawabkan dan dapat

berguna bagi ilmu pengetahuan, maka harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan

yang ada. Untuk dapat mencapai hal yang demikian, maka penulis memerlukan

kegiatan penelitian dengan mendasarkan kepada penelitian di lapangan (Field

Research) maupun pada penelitian kepustakaan (library research). Suatu penelitian

juga memerlukaan metode-metode tertentu. Metode yang akan diterapkan ini harus

disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Penelitian harus

berdasarkan penggunaan dari metode-metode penelitian sehingga dalam kegiatan

penelitian dapat mengarah pada tujuan yang telah diitentukan.


Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat peranan dan fungsi metodologi

dalam penelitian menurut Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa metodologi

pada hakekatnya memberikan pedoman

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
Narkotika adalah bahan atau zat yang dapat memengaruhi kondisi

kejiwaan psikologi seseorang (pikiran, perasaan, dan perilaku) serta dapat

menimbulkan ketergantungan secara fisik dan psikologi. Menurut UU RI No.

35/2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

5
Pemakaian narkotika yang berlebihan dari yang dianjurkan oleh seorang

dokter akan membawa pengaruh terhadap si pemakai atau pecandu, sebagai reaksi

dari pemakaian narkotika, yang berupa pengaruh terhadap kesadaran serta

memberikan dorongan yang berpengaruh terhadap perilaku yang dapat berupa

penenang, menimbulkan halusinasi atau khayalan. Akibat dari penyalahgunaan itu

semua, maka akan timbul korban penyalahgunaan narkotika, untuk itu perlu

dilakukan usaha-usaha penanggulangannya, baik secara preventif, represif dan

rehabilitasi. Selain itu juga diperlukan kerjasama antara orang tua, penegak hukum,

pemerintah dan masyarakat.

Menurut Hadiman, bahwa penyalahgunaan narkotika dewasa ini

telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan sehingga menjadi persoalan negara.

Hal ini sangat mempri hati nkan karena korban penyalahgunaan narkotika di

Indonesia akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat dan mencakup tidak hanya

terbatas pada kelompok masyarakat yang mampu tetapi juga merambah ke

kalangan masyarakat yang kurang mampu dan melibatkan anak-anak atau remaja

muda usia, suatu hal yang agak merisaukan mengi ngat mereka sebenarnya adalah

generasi yang menjadi harapan kita untuk meneruskan kelangsungan hidup bangsa

secara terhormat. 1

Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah

dan memberantas Tindak Pidana penyalahgunaan dan peredaran Narkotika, sangat

diperlukan karena kejahatan Narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh

perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama

bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat

1
Jeanne Mandagi, Masalah Narkotika dan Penanggulannganya, Jakarta, Pramuka Saka Bhayangkara,
1995, hal.11

6
rahasia. Di samping itu, kejahatan Narkotika yang bersifat transnasional dilakukan

dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk

pengamanan hasil-hasil kejahatan Narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan

narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat

manusia. 2

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika tampaknya semakin

merajalela, terutama di kota-kota besar yang merupakan tempat terjangkitnya

wabah narkotika yang seolah-olah tidak dapat dibendung lagi. Penyalahgunaan

narkotika ini bukan lagi sebagai mode (gengsi) tetapi motivasinya sudah dijadikan

semacam tempat pelarian. Akhir-akhir ini penyalahgunaan narkotika tidak saja

menjadi kendala di kota-kota besar tetapi mulai meramba ke desa-desa. Selama ini

yang melakukan penyalahgunaan narkotika berasal dari keluarga yang dianggap

mampu. Penyalahgunaan narkotika bukan lagi sebagai lambang kejantanan,

keberanian, modern dan lain-lain tetapi motivasinya telah dikaitkan dengan

pandanganyang lebih jauh dan ketergantungan serta dijadikan pelarian karena

frustasi dan kecewa. 3

Bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat

mengkhawatirkan akibat semakin maraknya penggunaan narkotika, kekhawatiran

ini semakin dipertajam akibat meluasnya peredaran narkotika di kalangan generasi

muda. Selain itu Indonesia yang beberapa waktu lalu menjadi tempat transit dan

pasar bagi peredaran narkotika, saat ini sudah berkembang menjadi produsen

narkotika.

2
Hadiman, Menguak Misteri Maraknya Narkoba, Jakarta, Yayasan Sosial Usaha Bersama, 1999, hal.39

3
Ibid, hal 40

7
Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap ketahahan masyarakat dan

kehidupan bangsa dan negara khususnya generasi muda, karena generasi muda

adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang. Oleh karena itu,

semua potensi bangsa harus serius mencurahkan perhatian untuk berpartisipasi aktif

dalam penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika demi

kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

B. Kerangka Teoritis

Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tentang Tindak Pidana

Narkotika, maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukuman dan

pidana. Dalam sistem hukum, bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah

menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih

dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya, jika tidak ada undang-

undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

Di dalam Bab I Pasal 1 Ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “nullum

delicttum nulla poena sine praevia lege poenale”, yang pada Intinya menyatakan

bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan

undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah

hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan

undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Ada banyak definisi

yang dikemukakan para ahli hukum mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana,

diantaranya:

1. Prof. Sudarto, SH., menyatakan tentang pidana:

8
Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. 4

2. Sedangkan tentang hukum, Simorangkir dalam bukunya Pelajaran Hukum

Indonesia menyebutkan:

Merumuskan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat

oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-

peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang

tertentu. 5

3. Definisi hukum pidana yaitu sebagai berikut:

a. Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri

yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum

lain.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai

perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai (i) perbuatan yang dilarang

yang disertai ancaman berupa pidana bagi pelanggarnya, (ii) dalam keadaan

apa terhadap pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman, dan (iii) bagaimana cara

penerapan pidana terhadap pelakunya.

Dari pendapat atau definisi di atas, bahwa hukum pidana dapat dilihat

melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi, selain itu, bahwa antara

hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar belakang tata nilai

(value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan

4
Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA, 1975, hal 7.
5
Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, cet. XI, 1962 hal 6.

9
seterusnya. Dengan demikian, bahwa norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada

tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang

harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat.

Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma

yang dianggap suatu nilai dapat ditaati. Jadi pidana ini berkaitan erat dengan hukum

pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya

yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang

yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak

kejahatan.

Guna mencari alasan pembenaran terhadap penjatuhan sanksi pidana atau

hukuman kepada pelaku kejahatan, ada 3 (tiga) teori dalam hukum pidana.

1. Teori Absolut/teori pembalasan (Vergeldingstheorie)

2. Teori Relatif/teori Tujuan (Doel Theorie)

3. Teori Gabungan (Gemende Theorie)

1. Teori Absolut

Menurut Teori Absolut, bahwa dasar hukum dari pidana ialah yang dilakukan oleh

orang itu sendiri. Ini berarti bahwa, dengan telah melakukan kejahatan itu sudah

cukup alasan untuk menjatuhkan pidana, dan ini berarti juga bahwa pidana

dipakai untuk melakukan pembalasan. Dengan pidana itu dimaksudkan untuk

mencapai tujuan praktis dan juga untuk menimbulkan nestapa bagi orang tersebut.

Tindakan pembalasan itu mempunyai 2 (dua) arah.

a. Pembalasan subjektif, ialah pembalasan yang langsung ditujukan terhadap

kesalahan orang itu, diukur dari besar kecilnya kesalahan.

10
b. Pembalasan objektif, ialah pembalasan terhadap akibat yang ditimbulkan oleh

perbuatan itu. Jika akibatnya kecil maka pembalasannya kecil juga.

Meskipun ada 2 (dua) macam pembalasan, tetapi itu bukan berarti satu

sama lain berlawanan melainkan saling melengkapi. Contoh: A menembak B, tetapi

tidak mengenai sasaran. Menurut pembalasan subjektif jika B kena atau tidak kena

kesalahannya tetap sama, sebab ia bermaksud membunuh B. Kalau B tidak kena

berarti akibatnya tidak seberat daripada kalau B kena.

Ada banyak pengikut teori ini, diantaranya berikut ini:

1. Immanuel Kant berpendapat; kejahatan ini menimbulkan ketidakadilan, maka ia

harus dibalas dengan ketidakadilan pula.

2. Hegel berpendapat; hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apabila

orang melakukan kejahatan itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau hal itu

dianggap tidak masuk akal. Dengan demkikian, keadaan menyangkal keadilan

itu harus dilenyapkan dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana

karena pidana itu merupakan keadilan.

3. Hebert berpendapat; apabila orang yang melakukan kejahatan berarti ia

menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Dalam hal terjadinya kejahatan,

maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana,

sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. 6

2. Teori Relatif

Menurut teori relatif, dasar hukum dari pada pidana ialah

menegakkan tata tertib masyarakat, di mana tata tertib masyarakat itu adalah

merupakan tujuan, dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya


6
Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As-
syafi‟iyah, 1996, hal 1.

11
pidana. Ini berarti bahwa pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu

mencegah adanya kejahatan, yang berarti tata tertibmasyarakat dapat terjamin.

Menurut teori ini, pidana merupakan alat pencegahan, adapun pencegahan itu

ada (dua) macam.

1. Pencegahan umum (generale preventie)

Sampai pada revolusi Prancis, orang menganggap daya

pencegahan umum dari pidana itu terletak pada cara melaksanakannya, yaitu

cara yang menakutkan masyarakat, dengan melaksanakan pidana tersebut di

muka umum. Misalnya, si terpidana dipukuli sampai berdarah, dengan

melihat kejadian itu masyarakat menjadi takut.

Anselm Von Feuerbach pada tahun 1800, menciptakan teori

“tekanan psikologis” pidana yang diancamkan menimbulkan tekanan di

dalam alam pikirannya, sehingga ia akan takut melakukan suatu kejahatan. 7

2. Pencegahan khusus (speciale preventie)

Menurut Van Hamel dinyatakan bahwa tujuan pidana disamping

mempertahankan ketertiban masyarakat, juga mempunyai tujuan kombinasi

untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu harus

dibinaskan. 8

Tujuan tersebut dicapai dengan menjatuhkan pidana kepada si

terpidana dengan maksud:

a. menakut-nakuti;

b. memperbaiki; dan

7
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hal 29
8
Ibid, hal 28.

12
c. membuat ia tidak berdaya lagi.

3. Teori Gabungan

Teori ini digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan

1. Ada yang bertindak sebagai pangkal pembalasan, pembalasan disini dibatasi

oleh penegakkan tata tertib hukum. Artinya pembalasan hanya dilaksanakan

apabila dilaksanakan apabila diperlukan untuk menegakan tata tertib hukum.

Kalau tidak untuk maksud itu, tidak perlu diadakan pembalasan.

2. Memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai tujuan, di dalam

menggunakan pidana untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat itu

perlu diberikan batasan, bahwa nestapanya harus seimbang dengan

perbuatannya. Baru, apabila pencegahan umum itu tidak berhasil digunakan,

pencegahan khusus yang terletak pad menakut-nakuti, memperbaiki, dan

membuat ia tidak berdaya lagi. Untuk itu, ada batasannya terhadap kejahatan

ringan haruslah diberi pidana yang layak dan kelayakan ini diukur dengan

rasa keadilan masyarakat.

3. Titik pangkal pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat.

Vos berpendapat:

“Bahwa daya menakuti-nakuti itu terletak pada pencegahan umum dan ini

tidak hanya pencegahan saja, juga perlu dilaksanakan”. 9

Pencegahan khusus yang berupa memperbaiki dan membuat tidak berdaya

lagi, mempunyai arti penting. Tetapi menurut Vos lagi:

9
Ibid, hal 28.

13
“Hal ini sesungguhnya sudah tidak layak lagi dalam arti sesungguhnya,

meskipun sebetulnya apabila digabungkan antara memperbaiki dan membuat

tidak berdaya itu, merupakan pidana sesungguhnya. 10

Sebaliknya, dalam hal tertentu pidana dapat mempunyai hal

yang berfaedah, yaitu si terpidana menjadi tahu dan segan terhadap tertib

hukum. Tujuan praktis tersebut belum dapat memberikan alasan untuk

memperoleh adanya pidana, disamping itu, harus ada harapan untuk

melakukan pembalasan, sebab dalam alam fikiran masyarakat orang yang

melakukan kejahatan harus diberikan pidana.

Maka dari itu, baik pembalasan subjektif maupun objektif tidak

boleh diabaikan. Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu

perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal

ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan lain

yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undangan

tersebut.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika

Terhadap perbuatan Tindak Pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk,

yaitu kejahatan dan pelanggaran, sesuai menurut buku “Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana” atau KUHP yaitu yang terdapat pada buku II dan buku III yang

memuat perincian berbagai jenis tindak pidana. Tujuannya adalah guna melindungi

kepentingan hukum yang dilanggar, kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci

dalam 3 (tiga) jenis yaitu:

10
Ibid, hal 28.

14
1. Kepentingan hukum perorangan;
2. Kepentingan hukum masyarakat.
3. Kepentingan hukum negara.
Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan antara

kejahatan (misdrijven) Pasal 104 s.d 488 dengan pelanggaran (overtredingen) Pasal

498 s.d. 569. “Kejahatan Menunjuk pada suatu perbuatan, yang menurut nilai-nilai

kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara

tertulis dalam ketentuan undang-undang. Oleh karenanya disebut dengan

Rechtsdelicten.
Sedangkan pelanggaran Menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat

bukan sebagai perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena


11
ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena disebut dengan Wetsdelicten”.

Memahami rumusan hukum dari setiap tindak kejahatan dan pelanggaran, perlu

diketahui asas-asas hukum pidana, beberapa asas penting adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana mempunyai 2 (dua)
a. Formil
Dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang

adalah perbuatannya. b. Materiil Jenis tindak pidana ini yang diancam dengan

hukuman oleh undang-undang adalah akibatnya.


2. Tindak pidana memiliki 2 (dua) unsur
a. Obyektif Unsur ini terdiri atas suatu perbuatan atau suatu akibat.
b. Subyek Unsur ini adalah suatu kehendak atau tujuan yang ada dalam jiwa

pelaku, yang dirumuskan dengan istilah sengaja, niat, dan maksud.


3. Tindak pidana terdiri atas
a. tindak pidana dolus atau yang dilakukan dengan sengaja; b. tindak pidana

kulpos atau yang dilakukan tanpa sengaja.


4. Tindak pidana mempunyai 3 (tiga) bentuk
a. Pokok, dimana semua unsur dari tindak pidana dirumuskan.
b. Gekwalifikasir, disebutkan nama kejahatan disertai dengan unsur

pemberantasan, misal pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

11
Chaerudin, Op cit, hal 11.

15
c. Geprivilegeerd, hanya dicantumkan nama kejahatannya yang disertai unsur

peringanan.
B. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika
Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat

tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (punishment) adalah merupakan ciri

perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang lain. Sanksi pidana

umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma

yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan

pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment). Di

dalam rancangan KUHP Tahun 1982, yang disusun oleh Tim Pengkajian Bidang

Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pembinaan.


1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.


2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga

menjadikannya orang yang baik dan berguna.


3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.


4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 12
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai

jenis-jenis pidana atau hukuman.


a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Ketentuan mengenai pidana ini berlaku juga terhadap tindak pidana

narkotika, hal ini sesuai menurut ketentuan Pasal 102 Undang-Undang No.

12
Aruan Sakidjo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, penerbit Ghalia
Indonesia. 1988. hal 70.

16
22 Tahun 1997, pada intinya mengemukakan bahwa masih tetap

diberlakukan undang-undang lama sepanjang tidak bertentangan dan/atau

belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini.

Sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebutkan dalam Bab XII

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang terdapat pada Pasal 78 sampai

Pasal 99 adalah tindak kejahatan, kecuali tersebut dalam Pasal 100 adalah

merupakan pelanggaran.
Di dalam pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal

10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan itu diatur pula

secara tegas dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, termasuk

didalamnya mengenai hukuman Pidana Mati. Yang dinyatakan secara tegas

dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, pasa Pasal 80 dan beberapa

pasal kemudian.
Jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa

hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para

penyalah guna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan para

pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat

bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir

kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.


Negara Tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Hongkong

sudah menerapkan hukuman mati tersebut. Seperti lazimnya berat ringan

penjatuhan pidana sangat tergantung kepada proses sidang peradilan dan

keyakinan serta penilaian hakim yang melakukan pemeriksaan atas suatu

perkara pidana.
C. Pembinaan Narapidana
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud

17
dengan Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,

kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah

selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi

warga masyarakat yang baik. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat wajib

menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan

penuh tanggung jawab.


Untuk melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang

berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna, petugas harus memiliki kemampuan

profesional dan integritas moral. Pembinaan terhadap warga binaan

pemasyarakatan disesuakan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila,

Undang-Undang Dasar 1945 dan Standar Minimum Rules (SMR). Pada

dasarnya arah pelayanan pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan oleh

petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan agar

tujuan pembinaan dapat dicapai. Pada dasarnya ruang lingkup pembinaan dapat

dibagi ke dalam dua bidang yakni:


1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :
a. Pembinaan kesadaran beragama

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara


c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d. Pembinaan kesadaran hukum
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
2. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan Kemandirian diberikan melalui program-program sebagai berikut:
a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri;
b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri keci;l
c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing;

18
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan

pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau

teknologi tinggi.
Secara formal, peran masyarakat dalam ikut serta membina

narapidana atau mantan narapidana tidak terdapat dalam Undangundang. Namun

secara moral peran serta dalam membina narapidana atau bekas narapidana

sangat diharapkan. Sistem pemasyarakatan ini menggunakan falsafah Pancasila

sebagai dasar pandangan, tujuannya adalah meningkatkan kesadaran

(consciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia diri sendiri

secara penuh dan mampu melaksanakan perubahan diri ke arah yang lebih baik

dan lebih positif. Kesadaran semacam ini merupakan hal yang patut diketahui

oleh narapidana agar dapat memahami arti dan makna kesadaran secara benar

dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. 13

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

penanganan para penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pecandu

narkotika yang merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana penjara

dan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang mana dalam lapas

tersebut para pecandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan

pengedar gelap narkoba.

Padahal fakta empiris tegas melihat bahwa peredaran narkotika di dalam

lapas juga marak. Itu artinya, vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu

13
Ibid hal. 71.

19
Narkotika di dalam lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek

jera. Yang terjadi, para pecandu tersebut akan semakin kecanduan dan makin

mudah memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar,

sindikat, dan pengedar narkotika.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana

narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang

luar biasa pula. Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional,

adanya strategi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran

Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden No.11 Tahun

2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN. Selain itu

terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pecandu dan

korban penyalahgunaan narkotika, di mana dekriminalisasi itu adalah proses

penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan dimana para pecandu dan

korban penyalagunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib

Lapor yang ditunjuk oleh Pemerintah yang kemudian para pecandu dan korban

penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

B. Saran

Menurut penulis, diperlukan persamaan persepsi antar penegak hukum

dalam hal penanganan para penyalahguna narkotika. Dalam hal persamaan persepsi

antar para penegak hukum, sudah terbit Peraturan Bersama antara Mahkamah

Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian

20
Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan

Narkotika Nasional. Yang ditandangani oleh Ketua MA, Menteri Hukum & HAM,

Jaksa Agung, Menkes, Mensos, dan Kepala BNN pada 11 Maret 2014.

Peraturan Bersama tersebut terkait penanganan Pecandu dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan bertujuan untuk

mendekriminalisasikan para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Peraturan bersama ini merupakan langkah konkret bagi pemerintah dalam menekan

jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.

Perubahan besar terjadi pada orientasi penanganan pengguna Narkoba

pada pasca-ditandatanganinya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung,

Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNN dimana

selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana penjara.

Ke depan diharapkan, para pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika akan bermuara di Lembaga Rehabilitasi. Karena hukuman bagi pengguna

disepakati berupa pidana rehabilitasi. Hakim mempunyai peran yang sangat penting

dalam rangka mendekriminalisasikan pengguna narkotika dengan menjatuhkan

hukuman rehabilitasi. Untuk lebih memfungsikan peran hakim tersebut perlu

dukungan dari aparat penegak hukum berupa peraturan bersama.

Dalam peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang

berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Tim

tersebut terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas: melaksanakan analisis

peran tersangka yang berkaitan dengan peredaran gelap narkotika (terutama

pengguna); melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial;

serta membuat rencana jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asessmen

21
tersebut kemudian menjadi pendukung dalam hal pembuktian bagi pelaku tindak

pidana narkotika untuk dikategorikan sebagai pacandu atau pengedar.

Persamaan persepsi antar penegak hukum menurut saya belum cukup.

Dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan wajib lapor kepada para pecandu dan

penyalahguna narkotika diperlukan upaya yang luar biasa, yakni peran serta dari

seluruh elemen masyarakat untuk ikut menyosialisasikan dan mendorong agar para

pecandu dan korban penyalahguna narkotika secara sukarela melaporkan dirinya ke

Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh Pemerintah

sebagaimana amanat dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan

PP No. 11 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung : Amrico, 1988)


Amiruddin dan H Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT

RajaGrafindo Persada, 2004


Aruan Sakidjo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, penerbit

Ghalia Indonesia. 1988


Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2004
Atmasasmita, Romli Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta 1984
Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As-

syafi‟iyah, 1996
_______________, Victimologi, Beberapa Aspek Korban Kejahatan, Fakultas Hukum

Universitas Islam As-syafi‟iah,1997

22
Darma, Made Weda, SH, MS, Kriminologi PT. Raja Grafindo Persada Diktat Akpol, Sisdil

di Indonesia, Semarang : Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,

2005
EY, Kanter. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-

PTHM, Jakarta: 1982


Hadiman, Menguak Misteri Maraknya Narkoba, Jakarta, Yayasan Sosial Usaha Bersama,

1999

23

Anda mungkin juga menyukai