UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pelaksana kekuasaan
kehakiman berdasarkan Pasal 24 ayat (2) terdiri atas Mahkamah Agung beserta
badan peradilan di bawahnya, yang meliputi peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta Mahkamah Konstitusi.
Lembaga kekuasaan kehakiman tersebut berpuncak pada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi (Asshiddiqie, 2011:191). Kedua lembaga
negara yang bersangkutan bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dan
keadilan dalam rangka menyelenggarakan peradilan di Indonesia. Mengenai tugas
dan wewenangnya sudah diatur secara pasti dalam UUD NRI Tahun 1945 dan
undang-undang. Namun, dalam pengaplikasiannya sering terjadi beberapa
masalah berkaitan dengan sengketa kewenangan antar lembaga tersebut.
Keberadaan Komisi Yudisial diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman, meskipun lembaga tersebut tidak menjalankannya. Oleh
sebab itu, keberadaan lembaga ini sangat erat hubungannya dengan kekuasaan
kehakiman (Asshiddiqie, 2011:206). Berkaitan dengan wewenang Komisi
Yudisial berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24B ayat (1), yakni untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan mengawasi semua
perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim berdasarkan kode etik atau pedoman perilaku
hakim yang telah ditetapkan. Hal tersebut menegaskan bahwa yang diawasi oleh
Komisi Yudisial adalah semua hakim, termasuk hakim agung, hakim pengadilan
umum, pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara
serta hakim konstitusi (Asshiddiqie, 2011:207). Tetapi, dalam implementasinya
1
2
menegakkan hukum, diperuntukkan bagi siapa saja yang mencari keadilan, baik
itu bagi penguasa negara (pemerintah) maupun bagi warga negara. Keadilan akan
tercipta jika pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut benar-benar netral atau
tidak berpihak pada kubu mana pun. Hal tersebut yang mendasari betapa
pentingnya kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Di samping itu,
kekuasaan kehakiman hendaknya harus dilaksanakan secara maksimal dengan
berlandaskan pada pengertiannya dalam arti yang luas, yaitu untuk menegakkan
hukum. Jadi, kekuasaan kehakiman itu tidak hanya mengacu atau fokus pada
kekuasaan peradilan atau mengadili (dalam arti sempit), melainkan juga pada
upaya untuk penegakan hukum yang menjadi cita-cita atau landasan negara
Indonesia sebagai negara hukum.
yang ditegaskan dalam UUD 1945, dalam praktiknya tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Hal tersebut disebabkan kuatnya peran pemerintah sehingga pada era
tersebut sistem pemerintahan Indonesia cenderung mengarah ke otoritarian.
Reformasi menghendaki perubahan dalam semua aspek ke arah yang lebih baik,
termasuk desakan untuk mengubah konstitusi atau UUD 1945. Salah satu isi dari
Perubahan UUD 1945 tersebut mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang
terdapat dalam Bab IX, lebih tepatnya Pasal 24. Meskipun peraturan perundang-
undangannya sudah disusun secara baik, tetapi dalam implementasinya di masa
sekarang justru malah memprihatinkan. Hal tersebut terjadi karena adanya
tumpang tindih peraturan tentang kewenangan dalam menjalankan tugasnya, serta
maraknya kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang mewabah di seluruh
lapisan lembaga negara. Kurangnya independensi kehakiman dan badan-badan
peradilan menunjukkan bahwa potret negara hukum Indonesia sangat buruk.
Kasus KKN dan mafia peradilan makin menyemarakkan kegagalan para aparat
penegak hukum dalam proses penyelenggaraan peradilan dalam rangka
pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Berbicara mengenai proses penegakan hukum di negara ini tidak akan ada
habisnya. Banyaknya permasalahan atau kasus-kasus yang muncul menyebabkan
semakin bobroknya sistem peradilan di negara ini. Semua aspek dalam bidang
peradilan sudah diwarnai dengan tindakan-tindakan yang tidak beretika. KKN
sebagai warisan dari masa Orde Baru telah mengakar secara kuat, bahkan
sebagian pejabat pemerintah turut melanggengkan kebiasaan yang tidak beradab
tersebut. Untuk mengatasi praktik mafia peradilan yang sedang berlanjut hingga
sekarang, peran Komisi Yudisial sangat besar dalam rangka penegakan kode etik
dan perilaku hakim agar seluruh badan peradilan beserta para hakimnya tidak
bertindak ke arah yang menyimpang.
Sebenarnya pembentukan Komisi Yudisial ini dimaksudkan untuk
mengawasi kinerja para hakim. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial, tidak menjelaskan secara tegas siapa saja hakim yang
termasuk ke dalam pengawasan lembaga ini. Pasal 1 ayat (5) menyatakan “hakim
adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan”.
Secara eksplisit, hakim yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah hakim agung,
hakim tingkat di banding, dan hakim di tingkat pertama dari semua lingkungan
peradilan. Berarti dalam hal ini, hakim konstitusi tidak termasuk ke dalam daftar
hakim yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Padahal hakim konstitusi juga
merupakan hakim yang berada di lingkungan kekuasaan kehakiman. Kalau
Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim
konstitusi, lalu siapa yang berhak melakukan kontrol dan pengawasan di dalam
Mahkamah Konstitusi itu sendiri?
Asshiddiqie (2011:206—207) berpendapat bahwa tujuan pembentukan
Komisi Yudisial di luar lingkup Mahkamah Agung untuk perluasan pengawasan
ke semua hakim. Dalam hal ini tidak hanya hakim agung saja yang diawasi, tetapi
mencangkup hakim konstitusi dan hakim-hakim seluruh Indonesia. Pernyataan
Asshiddiqie tersebut justru menimbulkan opini tersendiri. Menurutnya, hakim
konstitusi itu termasuk dalam daftar hakim yang berada di bawah pengawasan
Komisi Yudisial. Namun, kenyataannya hakim konstitusi itu berada di luar
lingkup badan peradilan dan bukan menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Oleh
9
sebab itu, tidak ada yang tahu bagaimana proses pengawasan yang terjadi dalam
tubuh Mahkamah Konstitusi.
Meninjau dari beberapa kasus yang telah dijelaskan di atas, membuktikan
bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman di negara ini masih lemah. Banyaknya
praktik KKN dan mafia peradilan yang mewarnai penegakan hukum dan keadilan
di Indonesia sudah tidak dapat terelakkan lagi. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan mandiri kemungkinan besar hanya menjadi sebuah harapan atau
teori saja tanpa adanya kesadaran dari seluruh warga negara akan pentingnya
penegakan hukum dan keadilan. Baik pejabat pemerintah, badan-badan peradilan,
hingga seluruh lapisan masyarakat harus berpartisipasi untuk berperang melawan
KKN dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya dalam rangka penegakan hukum
nasional.
Kesimpulan
Sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan suatu kekuasaan yang mandiri dan merdeka, terbebas dari
segala pengaruh atau campur tangan pihak mana pun dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, dalam rangka menyelenggarakan keadilan dengan tujuan
menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman tidak
sebatas kekuasaan untuk mengadili (dalam arti sempit), akan tetapi juga sebagai
kekuasaan untuk menegakkan hukum nasional (dalam arti luas). Untuk itu, proses
pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus dijalankan oleh lembaga-lembaga yang
independent dan terlepas dari kekuasaan pemerintah. Lembaga-lembaga yang
dimaksud antara lain, Mahkamah Agung termasuk jajaran-jajaran badan peradilan
di bawahnya, serta dua lembaga baru dalam lingkungan kehakiman Indonesia
yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Sejarah perjalanan kekuasaan
kehakiman yang terbagi menjadi lima periode, membawa perubahan besar dalam
proses perumusan hukum atau peraturan tentang kekuasaan kehakiman tersebut.
Masa Orde Baru menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan akibat dominasi
dari kekuasaan eksekutif (executive heavy). Bahkan hingga reformasi pun
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dicita-citakan belum juga terlaksana
secara maksimal. Justru semakin lama menjadi semakin memprihatinkan. Kondisi
tersebut diwarnai dengan maraknya praktik KKN dan mafia peradilan di
lingkungan kehakiman. Oleh karena itu, independensi kehakiman dan peradilan
sangat diperlukan untuk menciptakan suatu iklim hukum yang positif dalam
rangka penegakan hukum nasional.
DAFTAR RUJUKAN
Arief, B.N. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Asshiddiqie, J. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
(Online), (http://www.jimly.com/pemikiran/getbuku/17), diakses 27
Oktober 2015.
10
Asshiddiqie, J. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. (Online),
(http://www.jimly.com/pemikiran/getbuku/18), diakses 27 Oktober 2015.
Asshiddiqie, J. 2011. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Budiardjo, M. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Eddyono, L.W. 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, (Online), 7 (3):7,
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/p
df/ejurnal_vol%207%20nmr%203%20Juni%202010.pdf), diakses 27
Oktober 2015.
Faiz, E., Muslih, M., Sahlul, Azhar, I., Mushafi, Z. & Razaq, A. 2013. Risalah
Komisi Yudisial Republik Indonesia: Cikal Bakal, Pelembagaan, dan
Dinamika Wewenang. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial
Republik Indonesia.
Huda, N. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Kansil, C.S.T. 2008. Hukum Tata Negara: Pengertian Hukum Tata Negara dan
Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan
1945 Hingga Kini. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mertokusumo, S. 2002. Hukum Acara Perdata (Edisi Keenam). Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
Puspitadewi, R. 2006. Sekelumit Catatan tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia, 24 (1). (Online),
(http://journal.unpar.ac.id/index.php/projustitia/article/download/1175/114
0.), diakses 27 Oktober 2015.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2014. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Dewan Perwakilan
Rakyat. (Online),
(http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_3.pdf.), diakses 27
Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pusat Data Hukum Online. (Online),
(http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4b012a00a7caf/p
arent/lt4b01297e9d172), diakses 27 Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi. (Online),
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/profil/kedudukan/U
U%20no%208%20tahun%202011%20tentang%20perubahan%20atas%20
undang%20undang%20no%2024%20%20tentang%20MK.pdf), diakses 27
Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
11