Anda di halaman 1dari 11

IMPLEMENTASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM INDONESIA

Tri Yunita Lisiana


Universitas Negeri Malang
yunita.lisiana@yahoo.com

ABSTRAK: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan


independent dan bebas dari cengkeraman kekuasaan mana pun
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk
menyelenggarakan peradilan demi terwujudnya penegakan hukum
dan keadilan di Indonesia. Pelaksana kekuasaan kehakiman terdiri
atas Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan
sebuah Mahkamah Konstitusi. Implementasi kekuasaan kehakiman
di masa reformasi ini masih lemah karena banyaknya praktik KKN
dan mafia peradilan di lingkungan peradilan Indonesia.
Independensi kehakiman sangat penting dalam rangka penegakan
hukum nasional.

Kata kunci: implementasi kekuasaan kehakiman, Mahkamah


Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial.

UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pelaksana kekuasaan
kehakiman berdasarkan Pasal 24 ayat (2) terdiri atas Mahkamah Agung beserta
badan peradilan di bawahnya, yang meliputi peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta Mahkamah Konstitusi.
Lembaga kekuasaan kehakiman tersebut berpuncak pada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi (Asshiddiqie, 2011:191). Kedua lembaga
negara yang bersangkutan bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dan
keadilan dalam rangka menyelenggarakan peradilan di Indonesia. Mengenai tugas
dan wewenangnya sudah diatur secara pasti dalam UUD NRI Tahun 1945 dan
undang-undang. Namun, dalam pengaplikasiannya sering terjadi beberapa
masalah berkaitan dengan sengketa kewenangan antar lembaga tersebut.
Keberadaan Komisi Yudisial diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman, meskipun lembaga tersebut tidak menjalankannya. Oleh
sebab itu, keberadaan lembaga ini sangat erat hubungannya dengan kekuasaan
kehakiman (Asshiddiqie, 2011:206). Berkaitan dengan wewenang Komisi
Yudisial berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24B ayat (1), yakni untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan mengawasi semua
perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim berdasarkan kode etik atau pedoman perilaku
hakim yang telah ditetapkan. Hal tersebut menegaskan bahwa yang diawasi oleh
Komisi Yudisial adalah semua hakim, termasuk hakim agung, hakim pengadilan
umum, pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara
serta hakim konstitusi (Asshiddiqie, 2011:207). Tetapi, dalam implementasinya

1
2

hakim konstitusi bukanlah hakim yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial


untuk diawasi. Melihat banyaknya permasalahan yang muncul dalam proses
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, penting kiranya mengetahui
siapa saja pelaksana dari kekuasaan kehakiman beserta implementasi atau proses
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut.

Pengertian Kekuasaan Kehakiman


Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Indonesia
adalah negara hukum”. Dalam upaya penegakan hukum tentunya membutuhkan
lembaga-lembaga negara yang profesional dan berkecimpung dalam bidang
hukum. Lembaga-lembaga tersebut masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman
(Zaidan, 2009:19).
Berdasarkan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1) hasil
Perubahan Ketiga menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”. Selanjutnya, diperjelas pada Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Menurut Arief (2007:33), dari definisi yang telah dijelaskan dalam
peraturan perundang-undangan di atas lebih menekankan pengertian kekuasaan
kehakiman dalam arti sempit. Kekuasaan kehakiman disamakan dengan
“kekuasaan peradilan” atau “kekuasaan mengadili”. Lebih tepatnya kekuasaan
untuk menegakkan hukum dan keadilan di seluruh lingkup badan peradilan.
Hampir sama dengan pendapat Arief di atas, Zaidan (2009:17) menyatakan
bahwa dalam arti yang sempit kekuasaan kehakiman itu hanya dikaitkan dengan
fungsi pengadilan dalam memutus dan memberi keadilan bagi setiap perkara yang
sifatnya kontentius atau volunter. Sedangkan kekuasaan kehakiman dalam arti
luas tidak hanya sebatas “kekuasaan untuk mengadili”, tetapi meliputi kekuasaan
untuk menegakkan hukum dalam proses penegakan hukum secara menyeluruh
(Arief, 2007:34).
Kekuasaan kehakiman harus independent dan terbebas dari campur tangan
semua pihak dalam penyelenggaraan peradilan guna terwujudnya negara hukum
(Mertokusumo, 2002:19—20). Di sini kekuasaan kehakiman yang mandiri dan
merdeka berarti kekuasaan tersebut benar-benar independent dan tidak boleh
terpengaruh oleh kekuasaan mana pun, baik itu dari kekuasaan pemerintah atau
kekuasaan lainnya (Wiyono, 2012:58).
Kansil (2008:168) berpendapat bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang
merdeka harus mengandung prinsip bahwa kekuasaan tersebut terbebas dari
segala macam pengaruh dari berbagai pihak. Hal tersebut untuk menghindari
adanya keberpihakan kepada selain hukum dan pengadilan yang dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman dengan lembaga-lembaga lain.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa definisi kekuasaan
kehakiman adalah suatu kekuasaan yang independent, merdeka, dan bebas dari
cengkeraman kekuasaan mana pun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
untuk menyelenggarakan peradilan dengan prospek terwujudnya penegakan
hukum dan keadilan di Indonesia. Penyelenggaraan peradilan dalam rangka
3

menegakkan hukum, diperuntukkan bagi siapa saja yang mencari keadilan, baik
itu bagi penguasa negara (pemerintah) maupun bagi warga negara. Keadilan akan
tercipta jika pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut benar-benar netral atau
tidak berpihak pada kubu mana pun. Hal tersebut yang mendasari betapa
pentingnya kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Di samping itu,
kekuasaan kehakiman hendaknya harus dilaksanakan secara maksimal dengan
berlandaskan pada pengertiannya dalam arti yang luas, yaitu untuk menegakkan
hukum. Jadi, kekuasaan kehakiman itu tidak hanya mengacu atau fokus pada
kekuasaan peradilan atau mengadili (dalam arti sempit), melainkan juga pada
upaya untuk penegakan hukum yang menjadi cita-cita atau landasan negara
Indonesia sebagai negara hukum.

Pelaksana Kekuasaan Kehakiman


Dari berbagai definisi yang telah dijelaskan tentang kekuasaan kehakiman
di atas, perlu untuk diketahui siapa saja pelaksana dari kekuasaan kehakiman
tersebut. Menurut UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) hasil Perubahan Ketiga
menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Peraturan yang membahas lebih lanjut tentang pelaksana atau
penyelenggara kekuasaan kehakiman terperinci dalam Undang-Undang RI Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berikut, penulis akan
memaparkan secara komprehensif pelaksana kekuasaan kehakiman beserta
kewenangannya berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU RI Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
a. Mahkamah Agung Beserta Badan Peradilan di Bawahnya
Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1), “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Budiardjo (2008:361) menyatakan bahwa dalam pengajuan calon hakim
agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang selanjutnya dimintakan persetujuan
kepada DPR. Pemilihan ketua Mahkamah Agung diambil dari dan oleh hakim
agung sendiri.
Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan “organisasi,
administrasi, dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung”. Di bawah MA terdapat badan peradilan yang
diatur secara jelas pada Pasal 25, antara lain.
(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4

(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama
Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, terdapat pengadilan khusus di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung, yakni berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU RI Nomor 48 Tahun
2009 yang menyebutkan “pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah
satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25”.
Asshiddiqie (2006:50) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan khusus, baik yang sifatnya tetap atau ad hoc (sementara) terdiri atas
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Anak, Pengadilan
Hubungan Kerja Industrial, Pengadilan Pajak, Mahkamah Syar’iyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, dan Pengadilan Adat di Papua.
Mahkamah Agung merupakan titik ordinat tertinggi yang membawahi
badan-badan peradilan dalam lingkungan kehakiman Indonesia (Zaidan, 2009:17).
Kemudian, Asshiddiqie (2011:197) menjelaskan bahwa pembinaan kekuasaan
kehakiman dalam satu atap itu penting dalam rangka mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum dengan didukung oleh sistem
kekuasaan kehakiman yang independent dan impartial.
Menurut Arief (2007:36), dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti
yang luas, MA sehendaknya menjadi pengontrol dan pengawas tertinggi (the top
leader) dalam penegakan hukum pidana di ranah kekuasaan kehakiman. Selain
itu, MA mempunyai wewenang untuk memberikan suatu pendapat hukum atas
permintaan Presiden maupun lembaga lainnya. Dengan begitu, fungsi MA sebagai
rumah keadilan bagi siapa pun yang membutuhkan pendapat hukum mengenai
perkara yang harus dihadapinya sangat penting, demi terpenuhinya kebutuhan
akan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (Asshiddiqie, 2011:200).
b. Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah Konstitusi atau MK terbilang masih baru di bidang
kekuasaan kehakiman Indonesia. Lahirnya MK berawal dari Perubahan keempat
UUD 1945 (Huda, 2006:201). Mahkamah Konstitusi merupakan cabang dari
kekuasaan yudikatif yang diberi wewenang oleh UUD 1945. Sebagai lembaga
peradilan, MK bertugas untuk mengadili berbagai perkara atau sengketa tertentu
yang terjadi antar lembaga negara (Eddyono, 2010:7).
Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) dan (2),
menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang antara lain.
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
5

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,


memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik mengenai Mahkamah Konstitusi
dirumuskan dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 4 ayat (1) UU RI
Nomor 8 Tahun 2011 tersebut, menyebutkan “Mahkamah Konstitusi mempunyai
9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden”. Diperjelas pada Pasal 24C ayat (3), (4), dan (5) UUD NRI Tahun 1945
bahwa hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan
Presiden. Ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi. Hakim konstitusi sendiri tidak boleh merangkap jabatan sebagai
pejabat negara dan harus mempunyai integritas dan kepribadian yang baik.
Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, seluruh kewenangan dan
kekuasaannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (Asshiddiqie, 2011:205).
Sesuai dengan penjelasan dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945
Perubahan Keempat yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-
lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memberi
putusan terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh presiden dan/atau wakilnya tersebut, Huda (2006:202) berpendapat bahwa
putusan yang diberikan oleh MK itu tidak bersifat final karena harus dibahas
terlebih dahulu dalam sidang paripurna MPR.
c. Komisi Yudisial
Gagasan dibentuknya Komisi Yudisial disebabkan adanya desakan agar
hakim-hakim di Indonesia disatukan dalam satu atap yang sama (Huda,
2006:209). Segala kewenangan seperti pengelolaan administrasi, organisasi,
maupun keuangan pengadilan dialihkan dari Departemen Kehakiman (sekarang
Kementerian Hukum dan HAM) kepada MA sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman tertinggi. Hal itulah yang dimaksud dengan arti penyatuan atap yang
sama (Faiz, Muslih, dkk., 2013:20). Pembentukan Komisi Yudisial didasarkan
pada pengembangan gagasan yang lebih lanjut mengenai pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Agung (Asshiddiqie, 2011:206).
Aturan mengenai Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 24B UUD NRI
Tahun 1945 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”. Ketentuan lebih lanjut tentang Komisi Yudisial
diatur dalam UU RI Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
6

Selain dijuluki sebagai lembaga yudikatif, peran serta ketiga lembaga


negara di atas dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia juga
sangat besar. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Asshiddiqie (2011:193)
yang menyatakan bahwa keberadaan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam suatu kesatuan fungsi dari kekuasaan mahkamah kehakiman
memperlihatkan bahwa kedua lembaga tersebut merupakan kedaulatan hukum
tertinggi di Indonesia yang berdasarkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
Kedudukan yang sejajar antara Mahkamah Agung (Supreme Court) dan
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) menimbulkan opini tersendiri
mengenai kewenangan masing-masing dalam hal pengujian peraturan (judicial
review). Walaupun dalam UUD NRI Tahun 1945 sudah diatur secara tegas bahwa
yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD adalah Mahkamah
Konstitusi, serta pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan lebih baik jika semua sistem
judicial review diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi (Asshiddiqie,
2011:194—196). Berkaitan dengan hal tersebut, Wiyono (2006:58) berpendapat
bahwa fokus dari Mahkamah Agung adalah menangani berbagai masalah yang
berhubungan dengan keadilan, baik itu bagi pemerintah maupun warga negara.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi difokuskan untuk menjamin aturan hukum
(konstitusionalitas) dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada.
Asshiddiqie (2006:45) mengatakan bahwa independensi peradilan sangat
penting dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, terutama bagi para hakim
yang dituntut untuk bekerja secara independen atau bebas dari campur tangan
kekuasaan eksekutif maupun legislatif serta kekuasaan yang lainnya. Oleh karena
itu, seorang hakim harus mempunyai pegangan atau prinsip-prinsip yang
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Prinsip-
prinsip hakim yang dijadikan pedoman oleh hakim seluruh dunia disebut The
Bangalore Principles of Judicial Conduct antara lain.
a) Independensi (Independence Principle)
Seorang hakim harus independent atau mandiri dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seperti
melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan atas setiap perkara.
b) Ketidakberpihakan (Impartiality Principle)
Hakim harus netral dan tidak boleh berada di pihak salah satu yang sedang
berperkara. Untuk itu, hakim harus menjaga jarak yang sama dengan pihak-pihak
yang berperkara tersebut, agar keputusan hakim atau pengadilan dapat menjadi
solusi hukum yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
c) Integritas (Integrity Principle)
Integritas hakim adalah sikap batin yang menggambarkan kepribadian
hakim yang baik, seperti jujur, setia, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya, serta
tangguh mental dan batinnya untuk menolak semua rayuan atau godaan jabatan,
kekayaan, popularitas, dll.
d) Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle)
Kepantasan tercermin dari penampilan dan sikap pribadi sehari-hari, yakni
dapat beradaptasi atau menempatkan diri dengan tepat. Sedangkan, kesopanan
tercermin dari sikap hormat atau menghargai orang lain (toleransi).
7

e) Kesetaraan (Equality Principle)


Hakim harus memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama
atau adil, sesuai dengan posisi atau kedudukannya masing-masing dalam proses
peradilan.
f) Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence Principle)
Kecakapan tercermin pada kemampuan profesional hakim yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalamannya dalam melaksanakan tugas.
Sikap seksama meliputi kecermatan, ketelitian, kesungguhan dalam melaksanakan
tugasnya (Asshiddiqie, 2006:53—55).
Keenam prinsip hakim di atas sangat penting dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman di semua lingkungan peradilan. Baik itu untuk hakim
Agung, hakim Konstitusi, maupun hakim-hakim pengadilan yang lain. Semua
hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di dunia peradilan harus
berpedoman pada prinsip-prinsip tersebut.

Implementasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Menurut Wiyono (2006:13), kebebasan melaksanakan kekuasaan
kehakiman itu sifatnya tidak absolut. Tercermin dari tugas dan kewenangan para
hakim yang harus didasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Hal
tersebut menunjukkan bahwa lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman harus
berpedoman pada konstitusi yang berlaku. Termasuk Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagai puncak peradilan yang posisinya berada di bawah
UUD 1945, juga harus berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di dalamnya.
Puspitadewi (2006:2) menjelaskan bahwa sejarah perjalanan kekuasaan
kehakiman di Indonesia dibagi menjadi lima periode, antara lain.
a. Periode Undang-Undang Dasar 1945 (1945—1949);
b. Periode Konstitusi RIS 1950 (1949—1950);
c. Periode Undang-Undang Dasar Sementara (1950—1959);
d. Periode Undang-Undang Dasar 1945 setelah Dekrit Presiden
(1959-2002). Dalam periode ini akan dibagi menjadi dua fase,
yaitu masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto;
e. Periode Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (2002—
sekarang).
Pada masing-masing periode di atas, terjadi beberapa kali perubahan
peraturan perundang-undangan termasuk peraturan tentang kekuasaan kehakiman.
Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki dan melengkapi ketentuan-
ketentuan serta sistem peradilan dalam rangka penyelengaraan kekuasaan
kehakiman dan penegakan hukum. Tetapi hingga Perubahan Keempat UUD 1945,
implementasinya jauh dari apa yang diharapkan.
Menurut Zaidan (2009:17), kekuasaan kehakiman pada era Orde Lama
berada di pihak eksekutif. Hal tersebut menjadikannya sebagai mesin kekuasaan
dalam negara. Bahkan saat pergantian ke era Orde Baru perwujudan kekuasaan
kehakiman yang mandiri belum sepenuhnya maksimal.
Gagasan lain dari Wiyono (2006:14—16) mengenai pelaksanaan
kekuasaan kehakiman pada era Orde Baru sangat didominasi oleh kekuasaan
eksekutif (executive heavy). Semua sistem manajemen kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang mandiri seperti
8

yang ditegaskan dalam UUD 1945, dalam praktiknya tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Hal tersebut disebabkan kuatnya peran pemerintah sehingga pada era
tersebut sistem pemerintahan Indonesia cenderung mengarah ke otoritarian.
Reformasi menghendaki perubahan dalam semua aspek ke arah yang lebih baik,
termasuk desakan untuk mengubah konstitusi atau UUD 1945. Salah satu isi dari
Perubahan UUD 1945 tersebut mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang
terdapat dalam Bab IX, lebih tepatnya Pasal 24. Meskipun peraturan perundang-
undangannya sudah disusun secara baik, tetapi dalam implementasinya di masa
sekarang justru malah memprihatinkan. Hal tersebut terjadi karena adanya
tumpang tindih peraturan tentang kewenangan dalam menjalankan tugasnya, serta
maraknya kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang mewabah di seluruh
lapisan lembaga negara. Kurangnya independensi kehakiman dan badan-badan
peradilan menunjukkan bahwa potret negara hukum Indonesia sangat buruk.
Kasus KKN dan mafia peradilan makin menyemarakkan kegagalan para aparat
penegak hukum dalam proses penyelenggaraan peradilan dalam rangka
pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Berbicara mengenai proses penegakan hukum di negara ini tidak akan ada
habisnya. Banyaknya permasalahan atau kasus-kasus yang muncul menyebabkan
semakin bobroknya sistem peradilan di negara ini. Semua aspek dalam bidang
peradilan sudah diwarnai dengan tindakan-tindakan yang tidak beretika. KKN
sebagai warisan dari masa Orde Baru telah mengakar secara kuat, bahkan
sebagian pejabat pemerintah turut melanggengkan kebiasaan yang tidak beradab
tersebut. Untuk mengatasi praktik mafia peradilan yang sedang berlanjut hingga
sekarang, peran Komisi Yudisial sangat besar dalam rangka penegakan kode etik
dan perilaku hakim agar seluruh badan peradilan beserta para hakimnya tidak
bertindak ke arah yang menyimpang.
Sebenarnya pembentukan Komisi Yudisial ini dimaksudkan untuk
mengawasi kinerja para hakim. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial, tidak menjelaskan secara tegas siapa saja hakim yang
termasuk ke dalam pengawasan lembaga ini. Pasal 1 ayat (5) menyatakan “hakim
adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan”.
Secara eksplisit, hakim yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah hakim agung,
hakim tingkat di banding, dan hakim di tingkat pertama dari semua lingkungan
peradilan. Berarti dalam hal ini, hakim konstitusi tidak termasuk ke dalam daftar
hakim yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Padahal hakim konstitusi juga
merupakan hakim yang berada di lingkungan kekuasaan kehakiman. Kalau
Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim
konstitusi, lalu siapa yang berhak melakukan kontrol dan pengawasan di dalam
Mahkamah Konstitusi itu sendiri?
Asshiddiqie (2011:206—207) berpendapat bahwa tujuan pembentukan
Komisi Yudisial di luar lingkup Mahkamah Agung untuk perluasan pengawasan
ke semua hakim. Dalam hal ini tidak hanya hakim agung saja yang diawasi, tetapi
mencangkup hakim konstitusi dan hakim-hakim seluruh Indonesia. Pernyataan
Asshiddiqie tersebut justru menimbulkan opini tersendiri. Menurutnya, hakim
konstitusi itu termasuk dalam daftar hakim yang berada di bawah pengawasan
Komisi Yudisial. Namun, kenyataannya hakim konstitusi itu berada di luar
lingkup badan peradilan dan bukan menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Oleh
9

sebab itu, tidak ada yang tahu bagaimana proses pengawasan yang terjadi dalam
tubuh Mahkamah Konstitusi.
Meninjau dari beberapa kasus yang telah dijelaskan di atas, membuktikan
bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman di negara ini masih lemah. Banyaknya
praktik KKN dan mafia peradilan yang mewarnai penegakan hukum dan keadilan
di Indonesia sudah tidak dapat terelakkan lagi. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan mandiri kemungkinan besar hanya menjadi sebuah harapan atau
teori saja tanpa adanya kesadaran dari seluruh warga negara akan pentingnya
penegakan hukum dan keadilan. Baik pejabat pemerintah, badan-badan peradilan,
hingga seluruh lapisan masyarakat harus berpartisipasi untuk berperang melawan
KKN dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya dalam rangka penegakan hukum
nasional.

Kesimpulan
Sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan suatu kekuasaan yang mandiri dan merdeka, terbebas dari
segala pengaruh atau campur tangan pihak mana pun dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, dalam rangka menyelenggarakan keadilan dengan tujuan
menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman tidak
sebatas kekuasaan untuk mengadili (dalam arti sempit), akan tetapi juga sebagai
kekuasaan untuk menegakkan hukum nasional (dalam arti luas). Untuk itu, proses
pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus dijalankan oleh lembaga-lembaga yang
independent dan terlepas dari kekuasaan pemerintah. Lembaga-lembaga yang
dimaksud antara lain, Mahkamah Agung termasuk jajaran-jajaran badan peradilan
di bawahnya, serta dua lembaga baru dalam lingkungan kehakiman Indonesia
yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Sejarah perjalanan kekuasaan
kehakiman yang terbagi menjadi lima periode, membawa perubahan besar dalam
proses perumusan hukum atau peraturan tentang kekuasaan kehakiman tersebut.
Masa Orde Baru menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan akibat dominasi
dari kekuasaan eksekutif (executive heavy). Bahkan hingga reformasi pun
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dicita-citakan belum juga terlaksana
secara maksimal. Justru semakin lama menjadi semakin memprihatinkan. Kondisi
tersebut diwarnai dengan maraknya praktik KKN dan mafia peradilan di
lingkungan kehakiman. Oleh karena itu, independensi kehakiman dan peradilan
sangat diperlukan untuk menciptakan suatu iklim hukum yang positif dalam
rangka penegakan hukum nasional.

DAFTAR RUJUKAN

Arief, B.N. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Asshiddiqie, J. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
(Online), (http://www.jimly.com/pemikiran/getbuku/17), diakses 27
Oktober 2015.
10

Asshiddiqie, J. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. (Online),
(http://www.jimly.com/pemikiran/getbuku/18), diakses 27 Oktober 2015.
Asshiddiqie, J. 2011. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Budiardjo, M. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Eddyono, L.W. 2010. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, (Online), 7 (3):7,
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/p
df/ejurnal_vol%207%20nmr%203%20Juni%202010.pdf), diakses 27
Oktober 2015.
Faiz, E., Muslih, M., Sahlul, Azhar, I., Mushafi, Z. & Razaq, A. 2013. Risalah
Komisi Yudisial Republik Indonesia: Cikal Bakal, Pelembagaan, dan
Dinamika Wewenang. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial
Republik Indonesia.
Huda, N. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Kansil, C.S.T. 2008. Hukum Tata Negara: Pengertian Hukum Tata Negara dan
Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan
1945 Hingga Kini. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mertokusumo, S. 2002. Hukum Acara Perdata (Edisi Keenam). Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
Puspitadewi, R. 2006. Sekelumit Catatan tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia, 24 (1). (Online),
(http://journal.unpar.ac.id/index.php/projustitia/article/download/1175/114
0.), diakses 27 Oktober 2015.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2014. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Dewan Perwakilan
Rakyat. (Online),
(http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_3.pdf.), diakses 27
Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pusat Data Hukum Online. (Online),
(http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4b012a00a7caf/p
arent/lt4b01297e9d172), diakses 27 Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi. (Online),
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/profil/kedudukan/U
U%20no%208%20tahun%202011%20tentang%20perubahan%20atas%20
undang%20undang%20no%2024%20%20tentang%20MK.pdf), diakses 27
Oktober 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
11

Komisi Yudisial. (Online),


(http://www.komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=UU%2018%20Tahun
%202011.pdf.), diakses 27 Oktober 2015.
Untari, S. 2006. Ilmu Pemerintahan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang.
Wiyono, S. 2006. Supremasi Hukum dalam Berbagai Perspektif. Jakarta: Gaung
Persada Press.
Wiyono, S. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang Press.
Zaidan, M.A. 2009. Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Hukum yang
Demokratis. Jurnal Yuridis, 9 (11). (Online),
(http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/427/1/B20-
Kekuasaan%20Kehakiman%20dalam%20Negara%20Hukum%20yang%2
0Demokratis.pdf.), diakses 27 Oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai