Anda di halaman 1dari 9

Gugatan 

adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat
melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua)
pihak atau lebih, yaitu antara pihak Penggugat dan Tergugat, yang mana terjadinya
gugatan umumnya karena pihak Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak
dan kewajiban yang merugikan pihak Penggugat.

Sengketa yang dihadapi oleh para pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai
di luar persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui
persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan.

Jenis-Jenis Gugatan

Dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan, diantaranya (Harahap, 1996):

1. Gugatan Permohonan (Voluntair)


gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan.
Sebagaimana sebutan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999) yang
menyatakan:

“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan perdilan mengandung


pengrtian di dalamnya penyelesaian masalahyang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair”

Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah:

 Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.


 Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
 Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.
 Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.

2. Gugatan (Contentius)
Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang berbentuk gugatan. Dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-
Undang No. 35 Tahun 1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan
voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious.

Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya adalah:

 Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara seseorang
atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
 Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
 Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.
 Para pihak disebut penggugat dan tergugat.
Bentuk Gugatan

Tiap-tiap orang proses perdata, dimulai dengan diajukannya surat gugatan secara tertulis bisa
juga dengan lisan yang kemudian ditulis kembali atas pemintaan Ketua
Pengadilan Agama kepada paniteranya. Gugatan secara lisan ialah bilamana orang yang
hendak menggugat itu tidak pandai menulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama
dalam daerah hukum orang yang hendak digugat itu bertempat tinggal (Sulistini, 1987).
Selanjutnya untuk lebih jelasnya mengenai bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-
undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

 Bentuk Lisan

Pasal 120 HIR/144 R.Bg menyatakan bilamana penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan
dapat diajaukan secara lisan kepada ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan tersebut membuat
catatan atau menyuruh mebuat catatan tentang gugatan itu. Dan dalam R.Bg menyatakan
bahwa gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan (Fauzan,
2005).

Tujuan memberikan kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk membuka


kesempatan kepada para rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan
mempertahankan hak-haknya. Menghadapi kasus yang seperti ini fungsi pengadilan untuk
memberikan bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 HIR atau pasal 143 ayat
1 R.Bg jo. Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam memberi bantuan memformulasikan
gugat lisan yang disampaikan, ketua pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud dan
tujuan yang dikehendaki penggugat (Harahap, 1996).

Untuk menghindari hal di atas, maka hakim atau pegawai pengadilan yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan dalam merumuskan gugatan lisan dalam bentuk surat gugatan dapat
melaksanakan langkahlangkah berikut, yaitu: mencatat segala kejadian dan peristiwa sekitar
tuntutan yang diminta oleh penggugat, kemudian merumuskan dalam surat gugatan yang
mudah dipahami; gugatan yang telah dirumuskan dalam sebuah surat gugatan itu dibacakan
kepada penggugat, apakah segala hal yang menjadi sengketa dan tuntutan telah sesuai
dengan kehendak penggugat; apabila sudah sesuai dengan kehendak penggugat, maka surat
gugatan itu ditandatangani oleh hakim atau pegawai pengadilan yang merumuskan gugatan
tersebut.11

 Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa:

“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus


dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya
menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat
diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.” (Rambe, 2004)

Mengenai gugatan tertulis selain dijelaskan dalam HIR, juga dijelaskan dalam R.Bg pasal 142
ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri
dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-
ketentuan dalam pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani olehnya atau
oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang
menguasai wilayah hukum tempat tinggal tegugat, atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui
di tempat tinggalnya yang sebenarnya.”

Prinsip-Prinsip Gugatan

Dalam praktek di peradilan, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik menyusun gugatan,
hal ini disebabkan karena banyaknya perkara yang berbeda-beda dan selera penggugat atau
kuasa penggugat dalam menyusun surat gugatan. Oleh karena itu, Hukum Acara Perdata
menganut beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan, hal ini dilakukan karena tidak
semua konflik dapat diajukan ke muka pengadilan. Berikut ini beberapa prinsip dasar dalam
menyusun gugatan perdata, yaitu:14

 Harus Ada Dasar Hukum


Menyusun surat gugatan bukan hanya sekedar untuk mencari perkara saja. Membuat gugatan
kepada seseorang harus terlebih dahulu diketahui dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada
dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena dasar
hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Selain itu, dasar hukum dalam
gugatan yang diajukan kepada pengadilan harus dicantumkam karena mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan masalah-masalah dalam persidangan, terutama hal-hal yang
berhubungan dengan jawab menjawab, membantah jawaban lawan, dan pembuktian.
Kemudian dalam mempertahankan dalil gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar
menjawab atau membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar hukum
yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat membantu hakim dalam
upaya menemukan hukum (law making) dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik
pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.
 Adanya Kepentingan Hukum
Syarat Mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan hukum secara
langsung. Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan,
apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu, sebelum
gugatan disusun dan diajukan kepada pengadilan terlebih dahulu dipikirkan dan
dipertimbangkan, apakah penggugat betul orang yang berhak mengajukan gugatan. Kalau
ternyata tidak berhak maka ada kemungkinan gugatannya tidak akan diterima.
 Merupakan Suatu Sengketa
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama adalah mengadili perkara
yang mengandung tuntutan hak perdata yang bersifat sengketa. Pengertian perdata
sebenarnya lebih luas daripada sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah sebagaian dari
perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul
dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada sesuatu
yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya perlu lewat pengadilan
sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang
disengketakan, yang bersangkutan tidak diminta putusan pengadilan melainkan hanya
penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati dan
diakui oleh semua pihak.

Tindakan hakim yang demikian disebut jurisdictio volutaria, seperti permohonan ditetapkan
sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, istbat nikah. Pengadilan dibenarkan
memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (Juridictio Voluntaria) itu hanya kalau
peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara
tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka pengadilan
dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut.

 Dibuat dengan Cermat dan Terang


Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan
terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang
pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala
persoalan yang disengketakan. Surat gugatan tidak boleh obscuur libel, artinya tidak boleh
kabur baik mengenai pihak-pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang
dipergunakannya sebagai dasar gugatan.
 Memahami Hukum Formal dan Material
Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam menyusun gugatan karena menyangkut
langsung hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada
pengadilan mana gugatan diajukan, bagaimana mengajukan gugatan rekopensi, intervensi,
dan sebagainya. Disamping itu, hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan
hukum meteriil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum material juga harus
dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat menentukan
dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. Hukum material ini tidak saja menyangkut hal-
hal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga doktrin-doktrin,
teori-teori hukum, dan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang sudah
dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi.

Cara Mengajukan Gugatan

Tiap-tiap proses perdata, dimana seseorang yang merasa kepentingan haknya telah
dirugikan (penggugat) oleh pihak lain (tergugat), dapat menghadap secara pribadi atau
diwakili oleh orang lain/ kuasanya untuk mengajukan gugatannya kepada ketua
pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tergugat bertempat tinggal, sesuai dengan
Pasal 118 HIR.

Gugatan pada prinsipnya diajukan secara tertulis, tetapi apabila penggugat tidak dapat
menulis maka dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan (Pasal 120 HIR).
Gugatan secara tertulis disebut surat gugatan. Seorang penggugat mengajukan surat
gugatan kepada ketua pengadilan negeri, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
gugatan sebagai syarat materiil gugatan (Pasal 8 ayat (3) Rv) yakni:
Keterangan lengkap dari para pihak yang berperkara yaitu tentang nama, alamat dan
pekerjaan;

Dasar gugatan ( fundamentum petendi ) yang memuat uraian tentang hukum yaitu
adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu dan
memuat uraian tentang kejadian yaitu penjelasan duduk perkaranya;

Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim
( petitum ). Yang dituntut itu dapat diperinci menjadi dua macam, yakni tuntutan
primair yang merupakan tuntutan pokok, dan tuntutan subsidair yang merupakan
tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan itu harus jelas dan mendukung apa yang
dimohonkan oleh penggugat sehingga mudah dimengerti dan dapat diterima oleh
pengadilan. Artinya setiap peristiwa yang mendukung adanya hubungan hukum
digambarkan secara kronologis dan sistematis, pada akhirnya mudah untuk tentukan
isi petitum. Hal tersebut memudahkan hakim untuk menilai, apakah dasar gugatan itu
merupakan sebab yang menjadi alasanya penggugat untuk memintakan agar
dikabulkannya isi gugatan.

Secara umum dan teoritis dalam membuat suatu surat gugatan menurut pandangan
doktrinal dikenal adanya 2 macam pola penyusunan yaitu:

Substantieringstheori , menyatakan bahwa pembuatan surat gugatan harus


menyebutkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, harus juga
menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi
sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Misalnya dalam suatu surat gugatan,
penggugat mendalilkan bahwa ia sebagai pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan
batas-batas tertentu, maka menurut teori ini tidak cukup jika penggugat hanya
menyebutkan dalam gugatannya bahwa ia adalah pemilik, akan tetapi harus diuraikan
terlebih dahulu secara detail dan terperinci dalam gugatannya dengan menyebutkan
data dan hubungan hukum sehingga konklusinya bahwa penggugat memang sebagai
pemilik.

Individualiseringtheorie , yang menyatakan bahwa dalam pembuatan surat gugatan


cukup dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan hukum dalam
gugatan atau kejadian material. Ketentuan kaidah atau pasal yang menjadi dasar
gugatan hanya dirumuskan secara umum kemudian diindividualisasikan pada gugatan
dan terhadap hal lainnya.

Dalam praktik dewasa ini ternyata teori ini banyak diterapkan. Menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi
syarat dan gugatan tidak kabur ( obscuur libel ), sebagaimana Putusan Mahkamah
Agung RI No. 547/K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972.

Selain itu, dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan oleh penggugat bahwa
gugatan diajukan kepada badan peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara.
Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan/kompetensi yaitu:
Kewenangan/kompetensi absolut yang menyangkut pembagian kekuasaan antara
badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).

Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar


badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para
pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan
mengenai kompetensi relatif ini diatur dalam Pasal 118 HIR.

Para Pihak Yang berperkara

A. Penggugat

Yakni, orang yang merasa hak-hak hukumnya dilanggar, dan jika terdiri dari pihak
yang merasa sama-sama dilanggar haknya. Dapat mengajukan gugatan bersama-sama
sehingga juga disebut para penggugat

B. Tergugat

Yakni, orang atau para pihak yang disangkakan telah melanggar hak-hak hukum
penggugat. Jika hanya ada satu tergugat, maka cukup disebut tergugat, namun jika ada
beberapa maka masing-masing ditulis Tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan
seterusnya didasari oleh derajat hubungan masing-masing dalam menuliskan siapa
Tergugat I, siapa tergugat II, dan seterusnya secara bersama-sama keseluruhannya
disebut para tergugat.

Perwakilan Orang

Pada  beracara di muka pengadilan dapat dilakukan secara langsung oleh


pihak-pihak yang merasa dirugikan. Namun demikian dalam HIR/RBG
terdapat ketentuan yang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak
tersebut untuk meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa.
Pasal 123 HIR/147 RGB menentukan: (1) kedua belah pihak jika mereka
menghendaki dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang
kuasa yang untuk maksud itu harus dilakukan dengan surat kuasa khusus,
kecuali badan yang memberi kuasa itu hadir sendiri.
Dalam praktek biasanya jika suatu instansi pemerintahan terlibat dalam
suatu kasus gugatan peradilan, maka pejabat instansi tersebut memberikan
kuasa kepada bawahannya yang ahli hukum untuk mewakilinya dalam
perkara tersebut, ata Jaksa Agung sebagai kuasa dari Pemerintah.

Yang perlu dimuat dalam surat kuasa khusus:

1. Identitas pemberi dan penerima kuasa yaitu nama lengkap, pekerjaan,


alamat atau tempat tinggal.
2. Apa yang menjadi pokok sengketa, misalnya perkara perdata jual beli
sebidang tanah di tempat tertentu melawan pihak tertentu dengan nomor
perkara pengadilan tertentu.
3. Batasan tentang isi kuasa yang diberikan. Penerima kuasa melakukan
tindakan berdasarkan apa yang disebutkan dalam surat kuasa tersebut. Hal
yang tidak disebutkan penerima kuasa tidak berwenang untuk
melakukannya. Pembatasan tersebut juga menyangkut apakah kuasa tersebut
berlaku hanya pada pengadilan tingkat pertama atau termasuk juga banding
dan kasasi.
4. Memuat hak substitusi (hak pengganti), hal ini perlu apabila penerima kuasa
berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa kepada pihak lain untuk menjaga
jangan sampai perkara itu tertunda, karena berhalangannya penerima kuasa.
Syarat Penerima Kuasa
Menurut RV (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa),
seorang penerima kuasa itu harus seorang sarjana hukum (meester in de
rechten). Tetapi dalam HIR/RBG tidak diatur tentang syarat itu. Jadi setiap
orang dapat menjadi penerima kuasa apakah dia Sarjana Hukum atau bukan.
Hal ini bisa dimaklumi karena pada zaman dulu sangat sedikit sarjana hukum.
Istilah-istilah Penerima Kuasa

–        Advokat

–        Prosecureur

–        Pengacara

–        Penasehat hukum

–        Lawyer

–        Pembela

–        Pokrol

–        Legal advisor

–        Public defender

BADAN HUKUM DARI NEGARA


Ciri-Ciri Badan Hukum
Ciri-ciri dari badan hukum atau karakteristik badan hukum yuang bisa
menjadi subyek hukum adalah:

 Mempunyai kekayaan yang menjalankan aktivitas dalam badan


hukum
 Mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari orang yang
melakukan badan hukum
 Terdaftar sebagai badan hukum
 Cakap dalam melakukan perbuatan hukum
 Mempunyai akte notaris pada pendiriannya.

Bentuk-Bentuk Badan Hukum


E. Utrecht/Moh. Soleh Djidang menyatakan dalam pergaulan hukum,
bentuk badan usaha dibagi menjadi beberapa jenis, yakni:

 Perhimpunan (Vereniging) adalah suatu perkumpulan yang terbentuk


dari sukarela dan sengaja dari beberapa orang yang mempunyai
tujuan untuk menguatkan kedudukan atau kemampuan ekonomis
mereka, mengurus persoalan sosial dan memelihara kebudayaan.
Seperti Perusahaan Negara, Perseroan Terbatas (PT) dan Joint
Ventura (JV)
 Persekutuan Orang (Gemmenschap van Mensen) Adalah bentuk badan
hukum yang terbentuk dari faktor kemasyrakatan dan politik dalam
sejarah. Seperti desa, kabupaten, provinsi dan negara.
 Organisasi yang dibuat menurutu undang-undang tetapi selain dua
jenis badan hukum diatas.

Jenis-Jenis Badan Hukum


Jenis-jenis dari badan hukum, antara lain:
Badan Hukum Publik
Badan hukum publik (publiekrecht) merupakan badan hukum yang
dibuat menurut hukum publik atau badan hukum yang mengatur
keterkaitan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara
yang berkaitan kepentingan umum atau publik. Seperti hukum
pidana, hukum tatanegara, hukum tata usaha negara, hukum
internasional dan lain sebagainya. Contoh badan hukum publik
adalah Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia.

Badan Hukum Privat


Badan hukum privat (privaatrecht) merupakan badan hukum yang
dibaut menurut dasar hukum perdata atau hukum sipil atau
sekumpulan orang yang membuat kerja sama atau membentuk
badan usaha dan adalah satu kesatuan yang memenuhi syarat yang
ditentukan hukum. Badan Hukum Privat yang mempunyai tujuan
provit contohnya adalah Perseroan Terbatas (PT) atau Non Material,
seperti Yayasan.

Hamza reynalfi 180510153

Novita 180510073

Fahmi manurung 140

M.rafian iswandri 150

Vicki julian pradana 301

Yudha pratama 132

Iqbal novian d 156

Wulan 180510154

Anda mungkin juga menyukai