Anda di halaman 1dari 13

Pertemuan kelima

Prosedur Mengajukan Perkara pada Pengadilan


Agama/Mahkamah Syar’iyah
Kita akan mencoba memberikan gambaran yang
jelas dan tegas tentang prosedur dan bagaimana
layanan tata kerja administrasi peradilan yang harus
dilaksanakan dengan tertib dan disiplin kepada pihak-
pihak yang akan mengajukan perkara ke pengadilan
Agama.
Masyarakat yang mempunyai permasalahan
hukum atau sengketa mengenai sesuatu yang berkaitan
dengan kewenangan Pengadilan Agama dapat
mengajukan gugatan atau permohonan ke Pengadilan
Agama yang mempunayi kewenangan baik secara
relative konpetensi maupun absolute konpetensi
terhadap persoalan yang dijadikan sebagai sengketa
(sebagaimana telah diuraikan sebelumnya).
A. Proses Penyelesaian perkara perdata dalam Praktik
Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata, dalam
proses penyelesaian perkara perdata dalam praktek,
ditempuh dalam 3 (tiga) tahap tindakan yaitu:
1. tahap pendahuluan/proses penerimaan perkara;
2. tahap pemeriksaan dalam persidangan, dan ;
3. tahap pelaksanaan putusan .
Ad. 1. Tahap pendahuluan
Tahap pendahuluan yaitu tindakan-tindakan yang
mendahului pemeriksaan dimuka persidangan. Setiap
orang atau badan hukum yang mengajukan perkara
tidaklah langsung menghadap kemuka persidangan
untuk diperiksa akan tetapi ada beberapa kegiatan atau
proses yang harus dilakukan sebelumnya antara lain:
A. Pengajuan gugatan
Pengajuan gugatan atau tuntutan hak adalah
tindakan yang bertujuan untuk memperoleh
perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk
mencegah "eigen richting" yaitu tindakan menjadi hakim
sendiri atau yang lazim dikatakan orang "main hakim
sendiri".
Orang yang mengajukan gugatan adalah orang
yang memerlukan perlindungan hukum, la mempunyai
kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum,
oleh karena itu ia mengajukan gugatan atau tuntutan
hak, baik secara lisan maupun secara tertulis.
Apabila perorangan atau badan hukum
mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan
secara kekeluargaan dalam batas-batas konpetensi
obsalud Pengadilan Agama sebagaimana secara yuridis
diataur dalam Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, maka
tindakan yang diambil oleh orang atau badan dalam
menyelesaikan kasus yang dihadapinya diajukan ke
pengadilan Agama dengan mengajukan surat gugatan,
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 118 HIR/Pasal
142 RBg.
1. Surat Gugatan
Surat Gugatan adalah suatu surat yang diajukan
oleh Pengugat baik perorangan maupun korporrasi
kepada ketua Pengadilan yang berkompetensi, yang
memuat tuntutan hak dan sekaligus merupkan dasar
landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian
kebenaran suatu hak.
Tempat Pengajuan Surat gugatan
Tempat pengajuan surat gugatan pada dasarnya
diajukan ke pengadilan agama yang
mewilayahi/yurisdiksi tempat tinggal Tergugat/Termohon
kecuali dalam hal gugatan cerai gugatan di ajukan
ditempat tinggal Penggugat dan lebih jelasnya lihat
Pasal 66 , 73, 77 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 142
RBg/ 118 HIR (telah diuraikan pada pertemuan
sebelumnya).
1.1. Syarat surat gugatan
Dalam peyusunan surat gugatan haruslah
memenuhi syarat minimal isi dari suatu surat gugatan
yaitu:
1) Merupakan tuntutan hak;
Tuntutan hak dalam hal ini merupakan suatu
tindakan yang bertujuan untuk memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan Pengadilan
guna mencegah perbuatan main hakim sindiri
("eigen richting").
2) Adanya kepentingan Hukum;
Syarat ini merupakan syarat utama untuk
diterimanya suatu tuntutan hak. Dimana suatu
tuntutan hak haruslah mempunyai kepentingan
hukum yang cukup. Hanya kepentingan yang
cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum
sajalah yang dapat diterima sebagai dasar
tuntutan hak.
3) Merupakan suatu sengketa;
Tuntutan hak yang dimaksud adalah tuntutan
perdata (Burgerlijke vordering) yang
mengandung sengketa. Untuk itu gugatan yang
diajukan tanpa adanya pihak yang digugat
(Tergugat) bukanlah merupakan kewenagan
Pengadilan karena tidak mengandung sengketa
(Poin d interent, poin d action atau geen belang
geen actie) dalam arti tidak ada sengketa tidak
ada perkara.
Walaupun tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa yang disebut "permohonan" dimana
hanya terdapat satu pihak saja (oneigenlijke
rechtspraak). Sehingga pada hakekatnya
perkara permohonan (voluntair) bisa dianggap
sebagai suatu proses peradilan yang bukan
sebenarnya. Namun ada beberpa bentuk
permohonan yang menarik, pihak sebagai
Termohon, misalnya “permohonan ikrar talak
(perkara cerai talak sebagai diatur dalam pasal
66 UU No. 7 Tahun 1989) yang diajukan oleh
suami sebagai Pemohon dan isteri sebagai
Termohon. Hal itu bukan permohonan murni
(voluntair mumi), tetapi sesuai dengan surat
edaran Mahkamah Agung R.I. No. 2 Tahun 1990
tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Nomor 7
Tahun 1989 menjelaskan bahwa pada azasnya
cerai talak adalah merupakan sengketa
perkawinan antara dua belah pihak, sehingga
karenanya permohonan cerai talak adalah
merupakan perkara contentius dan bukan
voluntair, untuk itu produk Hakim yang mengadili
sengketa tersebut dibuat dalam bentuk "putusan"
dengan amar dalam bentuk penetapan.
Sehingga upaya hukum terhadap putusan cerai
talak adalah banding, bukan langsung kasasi
sebagaimana salah satu dari ciri-ciri
permohonan”.
4) Dibuat dengan Cermat dan Terang;
Surat gugatan dapat diajukan secara Tertulis
(Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 RBg
maupun secara lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144
ayat 1 RBg). Surat gugatan haruslah dibuat
secara cermat dan terang jika tidak, maka
gugatan tersebut akan menemui kegagalan.
Dengan demikian surat gugatan harus memiliki
dasar hukum yang benar serta dapat dibuktikan
kebenarannya apabila disangkal, surat gugatan
yang tidak terang dan cermat baik mengenai
pihak-pihak, obyeknya, maupun landasan
hukumnya, dapat saja dinyatakan obscuur libel
oleh hakim.
2. Kedudukan Penggugat Formil:
1. Penyebutan pihak dalam penyusunan surat
gugatan yang menggunakan kuasa/advokat
harus terlebih dahulu menyebutkan Penggugat
materilnya dari pada kuasanya (Penggugat
formil) karena kuasa hukum tidak
berkepentingan langsung secara pribadi dalam
suatu surat gugatan.
2. Jika Kuasa Hukum dalam menyusun surat
gugatan, dalam penulisan kuasa hukum
disebut/ditulis mendahului penggugat materiil,
hakim dapat menegor kuasa hukum tersebut
untuk memperbaiki surat gugatannya;
3. Apabila Kuasa hukum tetap tidak mau merubah,
surat gugatan tetap sah dan tidak dapat
dinyatakan cacat formil dengan alasan obscuur
lible, akan tetapi dalam putusannya hakim harus
menyesuaikan dengan ketentuan pada nomor 1
di atas;
3. Isi surat gugatan:
Dalam membuat surat gugatan pada dasarnya
setiap surat gugatan minimal terdiri dari enam unsur
yaitu:
1) Nama kota tempat Penggugat dan tanggal
pembuatan surat;
2) Kantor Pengadilan sebagai tempat tujuan diajukan
gugatan;
3) Identitas para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah
keterangan diri dari para pihak yang berperkara yang
dibuat secara jelas yaitu nama/alias, umur, pendidikan,
pekerjaan, tempat tinggal/domisili. Dalam Pasal 67 huruf
(a) UU Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa
identitas para pihak (Pemohon/Penggugat dalam
perkara perceraian) hanya mencakup tiga hal; Nama,
Umur dan Tempat tinggal, akan tetapi karena ada
kepentingan tertentu perlu ditambah tiga hal lagi yaitu
pendidikan, pekerjaan dan agama, sehingga
selengkapnya identitas para pihak dalam surat
permohonan/gugatan adalah “Nama, bin/binti, Umur,
Agama, Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat
tinggal/domisili”.
Sebagian surat gugatan ditemukan penyebutan
kata “alamat” sebagai pengganti tempat tinggal. Hal ini
tidak tepat, karena alamat adalah istilah dalam
korespondensi, bukan istilah hukum.
Identitas pekerjaan diperlukan untuk mengetahui
tingkat kemampuan para pihak sehingga dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam menetapkan beban
kewajiban yang harus dipikul para pihak. Oleh karena itu
dalam mencantumkan pekerjaan para pihak harus
disebut pekerjaannya yang riel dan lengkap, tidak hanya
secara umum saja; Seperti “wiraswasta” mesti jelas apa
nama wiraswasta/usaha swastanya serta apa
jabatannya dalam usaha tersebut, “PNS” perlu
dicantumkan apa instansi dan jabatannya, “Petani” perlu
disebutkan apakah buruh tani, penggarap atau petani
yang mempunyai lahan sendirin lain-lain.
Tentang identitas agama juga perlu dicantumkan,
karena personalitas keislaman bagi Pengadilan Agama
sangat diperlukan, sehubungan dengan kewenangan
Pengadilan Agama dengan pihak-pihak yang berperkara
di Pengadilan Agama yang bukan hanya orang-orang
Islam saja, akan tetapi juga orang-orang non muslim,
seperti dalam perkara ekonomi syari’ah.
Dalam masalah perceraian, berdasarkan hasil
Rakernas di Semarang dan Bandung, yang dilihat
adalah pada saat peristiwa hukum nikah itu dilakukan.
Apabila seseorang menikah dengan cara dan dalam
keadaan beragama Islam, kemudian masuk agama lain,
maka Pengadilan Agama berwenang mengadilinya.
Sebaliknya bila dia menikah dengan cara dan dalam
keadaan beragama non islam, kemudian dia masuk
agama Islam, maka apabila yang bersangkutan hendak
melakukan perceraian, Pengadilan Agama tidak
berwenang mengadilinya.
Kemudian apabila alasan perceraiannya karena
murtad maka bukan dijatuhkan dengan talak bain
sebagaimana yang tersebut dalam buku II, akan tetapi
yang benar adalah dengan menjatuhkan fasakh
pernikahan tersebut.
Tentang pendidikan juga perlu dimuat dalam
identitas surat gugatan. Hal ini diperlukan untuk
kepentingan penelitian. Dasarnya adalah surat Dirjen
yang sampai sekarang surat edaran tersebut belum
dicabut.
4) Kedudukan para pihak
Dalam penyusunan surat gugat harus jelas
kedudukan para pihak apakah sebagai pihak
(Penggugat, Tergugat, Pemohon, Termohon,
Pelawan, Terlawan, Turut Tergugat).
5) Posita ((Fundamentum petendi)
Posita adalah merupakan dalil-dalil kongkrit
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan
(Fundamentum petendi)
Posita ini terdiri atas dua bagian yaitu:
(1) Fakta Kejadian
Bagian yang menguraikan tentang kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa. Bagian ini merupakan
penjelasan duduknya perkara.

Dalam membuat surat gugatan ada dua sistem


yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata,
yaitu:
1. Substanstiering theorie, yakni selain harus
menyebut peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian
nyata yang mendahului peristiwa hukum dan
menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut. Dengan demikian penggugat harus
menyebut sejarah kepemilikannya terhadap objek
yang digugatnya.
2. Individualisering theorie, yakni dalam gugatan
cukup menyebut peristiwa-peristiwa atau
kejadian yang menunjukkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus
menyebut peristiwa nyata yang mendahuluinya.
Jadi sejarah terjadinya peristiwa itu tidak perlu
diurai, tapi dapat dikemukakan dalam
persidangan.
Dari dua macam teori tersebut, seharusnya
teori yang pertama yang lebih utama diterapkan,
terutama dalam masalah kewarisan, yakni
dijelaskan darimana perolehan harta itu
didapatkan, apakah dengan jalan membeli,
warisan, hadiah, hibah dan sebagainya. Hal ini
tentu lebih memudahkan dalam proses
pembuktian.
(2) Fakta Hukum
Bagian yang menguraikan tentang hukum.
Bagian ini yang menguraikan tentang adanya hak
atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis dari pada tuntutan.
1. Walaupun ada sementara praktisi hukum yang
berpendapat bahwa fakta hukum tidak perlu
dicantumkan dalam surat gugatan, tetapi yang
lebih baik tetap dicantumkan sebagai dasar dari
tuntutannya.
2. Memang pencantuman peraturan-peraturan
hukum itu tidak perlu disebut secara detail pasal
demi pasal, tetapi cukup secara umum. Sebagai
contoh seorang isteri yang mengajukan
gugatannya ia cukup menyebutkan bahwa
tergugat sudah melanggar UU Perkawinan atau
telah melanggar taklik-talak yang diucapkannya
pada saat menikah dahulu.
3. Fakta ialah peristiwa yang terikat ruang dan
waktu serta berstruktur, jadi tidak bisa dituntut
dengan uang, bila suami tidak bisa mencampuri
isterinya sekian kali dalam sekian bulan. Dengan
demikian tidak boleh mengabulkan gugatan 1
miliar umpamanya karena sudah 3 Tahun tidak
mencampuri isterinya.
6) Petitum atau disebut juga tuntutan
Petitum atau disebut juga tuntutan, yaitu apa yang
oleh Penggugat diminta atau diharapkan agar
diputuskan oleh Hakim. Untuk itu petitum haruslah
dirumuskan dengan jelas dan tegas berdasarkan hukum
dan didukung oleh posita, sebab tuntutan yang tidak
jelas atau tidak sempurna, akan berakibat tidak
diterimanya tuntutan tersebut. Petitum gugatan harus
dipergunakan kata-kata yang jelas, tegas dan benar.
Untuk itu petitum haruslah dirumuskan dengan
jelas dan tegas berdasarkan hukum dan didukung oleh
posita. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak
sempurna, akan berakibat tidak diterimanya tuntutan
tesebut.
Petitum ada dua bentuk:
6.1. Bentuk tunggal, yaitu apabila deskripsi menyebut
satu persatu pokok tuntutan tidak diikuti dengan
susunan deskripsi yang lain yang bersifat
alternatif atau subsidair dan tidak boleh hanya
berbentuk kompositur atau ex aequa et bono;
6.2. Bentuk alternatif, yakni petitum yang terdiri dari
petitum primer dan petitum subsidair yang kedua-
duaya sama-sama dirinci atau petitum primer
dirinci diikuti dengan petitum subsidair berbentuk
kompositur atau ex aequa et bono;
7. Tentang Permohonan
Permohonan (Voluntair) ialah suatu permohonan
yang didalamnya berisi suatu tuntutan hak perdata oleh
suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal
yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan-
badan peradilan dalam mengadili suatu perkara
permohonan (voluntair) bisa diangap sebagai suatu
peroses peradilan yang bukan sebenarnya. Hal ini
tercermin dari hanya satu pihak saja dalam perkara
permohonan tersebut (oneigenlijke rechtspraak).
Ciri-ciri Permohonan;
1. Acara permohonan bersifat voluntair;
2. Hanya Terdapat satu pihak yang berkepentingan;
3. Tidak mengandung sengketa;
4. Dikehendaki oleh Peraturan PerUUan;
5. Putusan Hakim berupa penetapan;
6. Upaya hukumnya adalah Kasasi.
Dalam Lingkungan Peradilan Agama yang
termasuk dalam perkara voluntair antara lain adalah:
1. Dispensasi Nikah (pasal 7 ayat 2 UU No. 1
Tahun 1974;
2. Izin nikah (Pasal 6 ayat 5 UU no. 1 Tahun 1974,
jo. Pasal 15 ayat 2 KHI.
3. Wali adhol (Permenag Nomor 2 Tahun 1987) ;

8. Cara mengajukan gugatan


Kalau dilihat dari cara pengajuan gugatan terjapat
dua jenis yaitu secara tertulis dan secara lisan.
1. Gugatan secara tertulis:
Gugatan diajukan secara tertulis (Pasal 118 HIR /
pasal 142 (1) RBg. yaitu dengan cara membuat surat
gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
(dalam hal ini Pengadilan Agama) yang ditandatangani
oleh:
- Penggugat atau para penggugat sendiri, atau
- Kuasa Penggugat yaitu orang yang diberi kuasa
khusus oleh Penggugat atau para Penggugat
2. Gugatan secara Lisan
Pada dasarnya gugatan itu seharusnya diajukan
secara tertulis, namun sebagai pengecualiannya dalam
pasal 120 HIR / pasal 144 (1) RBg, yaitu jika orang yang
menggugat tidak pandai tulis baca, maka tuntutan boleh
diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan dan
selanjutnya Ketua atau yang ditugaskan (Hakim)
mencatat pengaduannya (gugatannya).Setelah catatan
tersebut dibacakan dihadapan penggugat maka
ditandatangani oleh Ketua atau hakim yang diberi tugas.
Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
- Tuntutan disampaikan oleh penggugat secara
lisan kepada Hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama .
- Hakim tersebut mencatat tuntutan penggugat
tersebut.
- Jika telah selesai dibuat maka dibacakan
dihadapan penggugat apakah telah sesuai
dengan tuntutannya.
- Surat catatan gugat tersebut ditandatangani oleh
Hakim yang bersangkutan
9. Tuntutan tambahan.
- Tuntutan ini merupakan tuntutan pelengkap dari
pada tuntutan pokok.
Biasanya oleh penggugat dimintakan tambahan
berupa:
- Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar
biaya perkara;
- Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
voorraad ), meskipun putusannya dilawan atau
banding. Pelaksanaan lebih dahulu" atau lebih
dikenal dengan istilah " putusan serta merta.
Mengenai hal ini harus memenuhi ketentuan
pasal 180 HIR ( pasal 191 RBg.) dan Edaran
Mahkamah Agung.
- Dalam praktek, disamping diajukan tuntutan
pokok (petitum Primair), adapula tuntutan
pengganti (petitum subsidair) yang berfungsi
untuk mengganti kan tuntutan pokok, manakala
tuntutan pokok ditolak oleh Pengadilan.
10. Tuntutan pengganti (petitum subsidair) biasanya
ditulis “Atau, mohon putusan yang seadil-adilnya
" (ex equo et bono).

Anda mungkin juga menyukai