0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan13 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang prosedur pengajuan perkara di pengadilan agama, meliputi tahapan pendahuluan seperti pengajuan gugatan, syarat surat gugatan, dan identitas para pihak. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa dalam menyusun surat gugatan harus mencantumkan nama penggugat, kantor pengadilan tujuan, identitas lengkap para pihak, serta isi permintaan secara jelas.
Dokumen tersebut membahas tentang prosedur pengajuan perkara di pengadilan agama, meliputi tahapan pendahuluan seperti pengajuan gugatan, syarat surat gugatan, dan identitas para pihak. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa dalam menyusun surat gugatan harus mencantumkan nama penggugat, kantor pengadilan tujuan, identitas lengkap para pihak, serta isi permintaan secara jelas.
Dokumen tersebut membahas tentang prosedur pengajuan perkara di pengadilan agama, meliputi tahapan pendahuluan seperti pengajuan gugatan, syarat surat gugatan, dan identitas para pihak. Dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa dalam menyusun surat gugatan harus mencantumkan nama penggugat, kantor pengadilan tujuan, identitas lengkap para pihak, serta isi permintaan secara jelas.
Agama/Mahkamah Syar’iyah Kita akan mencoba memberikan gambaran yang jelas dan tegas tentang prosedur dan bagaimana layanan tata kerja administrasi peradilan yang harus dilaksanakan dengan tertib dan disiplin kepada pihak- pihak yang akan mengajukan perkara ke pengadilan Agama. Masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum atau sengketa mengenai sesuatu yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama dapat mengajukan gugatan atau permohonan ke Pengadilan Agama yang mempunayi kewenangan baik secara relative konpetensi maupun absolute konpetensi terhadap persoalan yang dijadikan sebagai sengketa (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya). A. Proses Penyelesaian perkara perdata dalam Praktik Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata, dalam proses penyelesaian perkara perdata dalam praktek, ditempuh dalam 3 (tiga) tahap tindakan yaitu: 1. tahap pendahuluan/proses penerimaan perkara; 2. tahap pemeriksaan dalam persidangan, dan ; 3. tahap pelaksanaan putusan . Ad. 1. Tahap pendahuluan Tahap pendahuluan yaitu tindakan-tindakan yang mendahului pemeriksaan dimuka persidangan. Setiap orang atau badan hukum yang mengajukan perkara tidaklah langsung menghadap kemuka persidangan untuk diperiksa akan tetapi ada beberapa kegiatan atau proses yang harus dilakukan sebelumnya antara lain: A. Pengajuan gugatan Pengajuan gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah "eigen richting" yaitu tindakan menjadi hakim sendiri atau yang lazim dikatakan orang "main hakim sendiri". Orang yang mengajukan gugatan adalah orang yang memerlukan perlindungan hukum, la mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, oleh karena itu ia mengajukan gugatan atau tuntutan hak, baik secara lisan maupun secara tertulis. Apabila perorangan atau badan hukum mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan dalam batas-batas konpetensi obsalud Pengadilan Agama sebagaimana secara yuridis diataur dalam Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, maka tindakan yang diambil oleh orang atau badan dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya diajukan ke pengadilan Agama dengan mengajukan surat gugatan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg. 1. Surat Gugatan Surat Gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh Pengugat baik perorangan maupun korporrasi kepada ketua Pengadilan yang berkompetensi, yang memuat tuntutan hak dan sekaligus merupkan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Tempat Pengajuan Surat gugatan Tempat pengajuan surat gugatan pada dasarnya diajukan ke pengadilan agama yang mewilayahi/yurisdiksi tempat tinggal Tergugat/Termohon kecuali dalam hal gugatan cerai gugatan di ajukan ditempat tinggal Penggugat dan lebih jelasnya lihat Pasal 66 , 73, 77 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 142 RBg/ 118 HIR (telah diuraikan pada pertemuan sebelumnya). 1.1. Syarat surat gugatan Dalam peyusunan surat gugatan haruslah memenuhi syarat minimal isi dari suatu surat gugatan yaitu: 1) Merupakan tuntutan hak; Tuntutan hak dalam hal ini merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan Pengadilan guna mencegah perbuatan main hakim sindiri ("eigen richting"). 2) Adanya kepentingan Hukum; Syarat ini merupakan syarat utama untuk diterimanya suatu tuntutan hak. Dimana suatu tuntutan hak haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. 3) Merupakan suatu sengketa; Tuntutan hak yang dimaksud adalah tuntutan perdata (Burgerlijke vordering) yang mengandung sengketa. Untuk itu gugatan yang diajukan tanpa adanya pihak yang digugat (Tergugat) bukanlah merupakan kewenagan Pengadilan karena tidak mengandung sengketa (Poin d interent, poin d action atau geen belang geen actie) dalam arti tidak ada sengketa tidak ada perkara. Walaupun tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut "permohonan" dimana hanya terdapat satu pihak saja (oneigenlijke rechtspraak). Sehingga pada hakekatnya perkara permohonan (voluntair) bisa dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Namun ada beberpa bentuk permohonan yang menarik, pihak sebagai Termohon, misalnya “permohonan ikrar talak (perkara cerai talak sebagai diatur dalam pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989) yang diajukan oleh suami sebagai Pemohon dan isteri sebagai Termohon. Hal itu bukan permohonan murni (voluntair mumi), tetapi sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung R.I. No. 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 1989 menjelaskan bahwa pada azasnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara dua belah pihak, sehingga karenanya permohonan cerai talak adalah merupakan perkara contentius dan bukan voluntair, untuk itu produk Hakim yang mengadili sengketa tersebut dibuat dalam bentuk "putusan" dengan amar dalam bentuk penetapan. Sehingga upaya hukum terhadap putusan cerai talak adalah banding, bukan langsung kasasi sebagaimana salah satu dari ciri-ciri permohonan”. 4) Dibuat dengan Cermat dan Terang; Surat gugatan dapat diajukan secara Tertulis (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 RBg maupun secara lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat 1 RBg). Surat gugatan haruslah dibuat secara cermat dan terang jika tidak, maka gugatan tersebut akan menemui kegagalan. Dengan demikian surat gugatan harus memiliki dasar hukum yang benar serta dapat dibuktikan kebenarannya apabila disangkal, surat gugatan yang tidak terang dan cermat baik mengenai pihak-pihak, obyeknya, maupun landasan hukumnya, dapat saja dinyatakan obscuur libel oleh hakim. 2. Kedudukan Penggugat Formil: 1. Penyebutan pihak dalam penyusunan surat gugatan yang menggunakan kuasa/advokat harus terlebih dahulu menyebutkan Penggugat materilnya dari pada kuasanya (Penggugat formil) karena kuasa hukum tidak berkepentingan langsung secara pribadi dalam suatu surat gugatan. 2. Jika Kuasa Hukum dalam menyusun surat gugatan, dalam penulisan kuasa hukum disebut/ditulis mendahului penggugat materiil, hakim dapat menegor kuasa hukum tersebut untuk memperbaiki surat gugatannya; 3. Apabila Kuasa hukum tetap tidak mau merubah, surat gugatan tetap sah dan tidak dapat dinyatakan cacat formil dengan alasan obscuur lible, akan tetapi dalam putusannya hakim harus menyesuaikan dengan ketentuan pada nomor 1 di atas; 3. Isi surat gugatan: Dalam membuat surat gugatan pada dasarnya setiap surat gugatan minimal terdiri dari enam unsur yaitu: 1) Nama kota tempat Penggugat dan tanggal pembuatan surat; 2) Kantor Pengadilan sebagai tempat tujuan diajukan gugatan; 3) Identitas para Pihak Yang dimaksud dengan identitas adalah keterangan diri dari para pihak yang berperkara yang dibuat secara jelas yaitu nama/alias, umur, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal/domisili. Dalam Pasal 67 huruf (a) UU Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa identitas para pihak (Pemohon/Penggugat dalam perkara perceraian) hanya mencakup tiga hal; Nama, Umur dan Tempat tinggal, akan tetapi karena ada kepentingan tertentu perlu ditambah tiga hal lagi yaitu pendidikan, pekerjaan dan agama, sehingga selengkapnya identitas para pihak dalam surat permohonan/gugatan adalah “Nama, bin/binti, Umur, Agama, Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat tinggal/domisili”. Sebagian surat gugatan ditemukan penyebutan kata “alamat” sebagai pengganti tempat tinggal. Hal ini tidak tepat, karena alamat adalah istilah dalam korespondensi, bukan istilah hukum. Identitas pekerjaan diperlukan untuk mengetahui tingkat kemampuan para pihak sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan beban kewajiban yang harus dipikul para pihak. Oleh karena itu dalam mencantumkan pekerjaan para pihak harus disebut pekerjaannya yang riel dan lengkap, tidak hanya secara umum saja; Seperti “wiraswasta” mesti jelas apa nama wiraswasta/usaha swastanya serta apa jabatannya dalam usaha tersebut, “PNS” perlu dicantumkan apa instansi dan jabatannya, “Petani” perlu disebutkan apakah buruh tani, penggarap atau petani yang mempunyai lahan sendirin lain-lain. Tentang identitas agama juga perlu dicantumkan, karena personalitas keislaman bagi Pengadilan Agama sangat diperlukan, sehubungan dengan kewenangan Pengadilan Agama dengan pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Agama yang bukan hanya orang-orang Islam saja, akan tetapi juga orang-orang non muslim, seperti dalam perkara ekonomi syari’ah. Dalam masalah perceraian, berdasarkan hasil Rakernas di Semarang dan Bandung, yang dilihat adalah pada saat peristiwa hukum nikah itu dilakukan. Apabila seseorang menikah dengan cara dan dalam keadaan beragama Islam, kemudian masuk agama lain, maka Pengadilan Agama berwenang mengadilinya. Sebaliknya bila dia menikah dengan cara dan dalam keadaan beragama non islam, kemudian dia masuk agama Islam, maka apabila yang bersangkutan hendak melakukan perceraian, Pengadilan Agama tidak berwenang mengadilinya. Kemudian apabila alasan perceraiannya karena murtad maka bukan dijatuhkan dengan talak bain sebagaimana yang tersebut dalam buku II, akan tetapi yang benar adalah dengan menjatuhkan fasakh pernikahan tersebut. Tentang pendidikan juga perlu dimuat dalam identitas surat gugatan. Hal ini diperlukan untuk kepentingan penelitian. Dasarnya adalah surat Dirjen yang sampai sekarang surat edaran tersebut belum dicabut. 4) Kedudukan para pihak Dalam penyusunan surat gugat harus jelas kedudukan para pihak apakah sebagai pihak (Penggugat, Tergugat, Pemohon, Termohon, Pelawan, Terlawan, Turut Tergugat). 5) Posita ((Fundamentum petendi) Posita adalah merupakan dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (Fundamentum petendi) Posita ini terdiri atas dua bagian yaitu: (1) Fakta Kejadian Bagian yang menguraikan tentang kejadian- kejadian atau peristiwa-peristiwa. Bagian ini merupakan penjelasan duduknya perkara.
Dalam membuat surat gugatan ada dua sistem
yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, yaitu: 1. Substanstiering theorie, yakni selain harus menyebut peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Dengan demikian penggugat harus menyebut sejarah kepemilikannya terhadap objek yang digugatnya. 2. Individualisering theorie, yakni dalam gugatan cukup menyebut peristiwa-peristiwa atau kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebut peristiwa nyata yang mendahuluinya. Jadi sejarah terjadinya peristiwa itu tidak perlu diurai, tapi dapat dikemukakan dalam persidangan. Dari dua macam teori tersebut, seharusnya teori yang pertama yang lebih utama diterapkan, terutama dalam masalah kewarisan, yakni dijelaskan darimana perolehan harta itu didapatkan, apakah dengan jalan membeli, warisan, hadiah, hibah dan sebagainya. Hal ini tentu lebih memudahkan dalam proses pembuktian. (2) Fakta Hukum Bagian yang menguraikan tentang hukum. Bagian ini yang menguraikan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. 1. Walaupun ada sementara praktisi hukum yang berpendapat bahwa fakta hukum tidak perlu dicantumkan dalam surat gugatan, tetapi yang lebih baik tetap dicantumkan sebagai dasar dari tuntutannya. 2. Memang pencantuman peraturan-peraturan hukum itu tidak perlu disebut secara detail pasal demi pasal, tetapi cukup secara umum. Sebagai contoh seorang isteri yang mengajukan gugatannya ia cukup menyebutkan bahwa tergugat sudah melanggar UU Perkawinan atau telah melanggar taklik-talak yang diucapkannya pada saat menikah dahulu. 3. Fakta ialah peristiwa yang terikat ruang dan waktu serta berstruktur, jadi tidak bisa dituntut dengan uang, bila suami tidak bisa mencampuri isterinya sekian kali dalam sekian bulan. Dengan demikian tidak boleh mengabulkan gugatan 1 miliar umpamanya karena sudah 3 Tahun tidak mencampuri isterinya. 6) Petitum atau disebut juga tuntutan Petitum atau disebut juga tuntutan, yaitu apa yang oleh Penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh Hakim. Untuk itu petitum haruslah dirumuskan dengan jelas dan tegas berdasarkan hukum dan didukung oleh posita, sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna, akan berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Petitum gugatan harus dipergunakan kata-kata yang jelas, tegas dan benar. Untuk itu petitum haruslah dirumuskan dengan jelas dan tegas berdasarkan hukum dan didukung oleh posita. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna, akan berakibat tidak diterimanya tuntutan tesebut. Petitum ada dua bentuk: 6.1. Bentuk tunggal, yaitu apabila deskripsi menyebut satu persatu pokok tuntutan tidak diikuti dengan susunan deskripsi yang lain yang bersifat alternatif atau subsidair dan tidak boleh hanya berbentuk kompositur atau ex aequa et bono; 6.2. Bentuk alternatif, yakni petitum yang terdiri dari petitum primer dan petitum subsidair yang kedua- duaya sama-sama dirinci atau petitum primer dirinci diikuti dengan petitum subsidair berbentuk kompositur atau ex aequa et bono; 7. Tentang Permohonan Permohonan (Voluntair) ialah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan- badan peradilan dalam mengadili suatu perkara permohonan (voluntair) bisa diangap sebagai suatu peroses peradilan yang bukan sebenarnya. Hal ini tercermin dari hanya satu pihak saja dalam perkara permohonan tersebut (oneigenlijke rechtspraak). Ciri-ciri Permohonan; 1. Acara permohonan bersifat voluntair; 2. Hanya Terdapat satu pihak yang berkepentingan; 3. Tidak mengandung sengketa; 4. Dikehendaki oleh Peraturan PerUUan; 5. Putusan Hakim berupa penetapan; 6. Upaya hukumnya adalah Kasasi. Dalam Lingkungan Peradilan Agama yang termasuk dalam perkara voluntair antara lain adalah: 1. Dispensasi Nikah (pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974; 2. Izin nikah (Pasal 6 ayat 5 UU no. 1 Tahun 1974, jo. Pasal 15 ayat 2 KHI. 3. Wali adhol (Permenag Nomor 2 Tahun 1987) ;
8. Cara mengajukan gugatan
Kalau dilihat dari cara pengajuan gugatan terjapat dua jenis yaitu secara tertulis dan secara lisan. 1. Gugatan secara tertulis: Gugatan diajukan secara tertulis (Pasal 118 HIR / pasal 142 (1) RBg. yaitu dengan cara membuat surat gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Agama) yang ditandatangani oleh: - Penggugat atau para penggugat sendiri, atau - Kuasa Penggugat yaitu orang yang diberi kuasa khusus oleh Penggugat atau para Penggugat 2. Gugatan secara Lisan Pada dasarnya gugatan itu seharusnya diajukan secara tertulis, namun sebagai pengecualiannya dalam pasal 120 HIR / pasal 144 (1) RBg, yaitu jika orang yang menggugat tidak pandai tulis baca, maka tuntutan boleh diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua atau yang ditugaskan (Hakim) mencatat pengaduannya (gugatannya).Setelah catatan tersebut dibacakan dihadapan penggugat maka ditandatangani oleh Ketua atau hakim yang diberi tugas. Maka prosesnya adalah sebagai berikut: - Tuntutan disampaikan oleh penggugat secara lisan kepada Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama . - Hakim tersebut mencatat tuntutan penggugat tersebut. - Jika telah selesai dibuat maka dibacakan dihadapan penggugat apakah telah sesuai dengan tuntutannya. - Surat catatan gugat tersebut ditandatangani oleh Hakim yang bersangkutan 9. Tuntutan tambahan. - Tuntutan ini merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan pokok. Biasanya oleh penggugat dimintakan tambahan berupa: - Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar biaya perkara; - Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad ), meskipun putusannya dilawan atau banding. Pelaksanaan lebih dahulu" atau lebih dikenal dengan istilah " putusan serta merta. Mengenai hal ini harus memenuhi ketentuan pasal 180 HIR ( pasal 191 RBg.) dan Edaran Mahkamah Agung. - Dalam praktek, disamping diajukan tuntutan pokok (petitum Primair), adapula tuntutan pengganti (petitum subsidair) yang berfungsi untuk mengganti kan tuntutan pokok, manakala tuntutan pokok ditolak oleh Pengadilan. 10. Tuntutan pengganti (petitum subsidair) biasanya ditulis “Atau, mohon putusan yang seadil-adilnya " (ex equo et bono).