Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SURAT GUGATAN ATAU PERMOHONAN

Dosen Pengampu:
Nasrullah, S.HI., S.H., M.H., CPCLE.

Disusun Oleh :
Ande Nur Hidayatulloh (200201110156)

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan berjudul ‘surat
gugatan atau permohonan’.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Hukum Acara
peradilan agama yang diampu oleh Nasrullah. Penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan materi kepada pembaca tentang Surat permohonan atau gugatan.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Nasrullah, Berkat tugas
yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang
diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta
saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Malang, 22 September

penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat ke
Pengadilan Negeri/ Mahkamah Syari’ah, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan
suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan dapat diajukan dapat berbentuk tertulis
(Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg) dan lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg).

Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam


bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Landasan hukum permohonan atau
gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”).

Surat Gugatan yang dibuat haruslah memenuhi syarat-syarat pokok surat


gugatan karena kurangnya satu unsur saja akan berdampak besar terhadap putusan
pengadilan berupa “Gugatan Tidak Dapat Diterima” hingga “Gugatan Ditolak”. Pasal 8
Nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) menyebutkan suatu surat
gugatan harus memuat setidaknya: Identitas para pihak, alasan-alasan gugatan,
tuntutan.

B. Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian dari surat gugatan atau permohonan?
2) Apa syarat-syarat dan dasar gugatan atau permohonan?
3) Apa perbedaan dan unsur-unsur antara perkara contentious dengan perkara voluntair?
4) Bagaimana bentuk gugatan lisan dan gugatan tertulis?
5) Apa dasar hukum gugatan lisan dan tertulis?

C. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui pengertian dari surat gugatan atau permohonan
2) Untuk mengetahui syara-syarat dan dasar hukum gugatan atau permohonan
3) Untuk mengetahui perbedaan dan unsur-unsur antara perkara contentious dengan
perkara voluntair
4) Untuk mengetahui bagaimana bentuk gugatan lisan dan gugatan tertulis
5) Untuk mengetahui dasar hukum gugatan lisan dan tertulis
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN GUGATAN DAN PERMOHONAN


Menurut Darwin Prints, Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut
hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna
memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan.
Sementara itu Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah
tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting). Perkara
gugatan merupakan perkara yang diajukan ke pengadilan yang didalamnya terdapat
konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan memutus siapa
diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut yang benar. Perkara
gugatan disini termasuk dalam lingkup perkara perdata yang diatur tersendiri oleh
hukum acara perdata.

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrighting” (main hakim sendiri).
Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut
kehendaknya sendiri yang bersifat sewenangwenang, tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan menghakimi
sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan
hak kita1

Permohonan adalah landasan hukum sebagai dasar permohonan cukup memuat


dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver houding) antara diri pemohon dengan
permasalahan hukum yang dipersoalkan. Dalam permohonan menyangkut
fundamentum petendi atau posita pada prinsipnya berdasarkan pada ketentuan pasal
undang-undang yang menjadi alasan pemohon, dengan menghubungkan ketentuan
dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.2

1
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata (di Lingkungan Peradilan Agama), Jakarta, Kencana, 2005,
Hal 1
2
Fauziah Lubis, “Bunga Rampai Hukum Acara Perdata,” 2012, 1–272,
http://repository.uinsu.ac.id/8948/1/Bunga Rampai Hukum Acara Pidana Dr. Fauziah Lubis%2C M.Hum.pdf.
Dan secara yuridisnya, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan
dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan
gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang
ditarik sebagai tergugat.3

Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada


ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”).4
Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal
2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair
yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian
masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa yaitu perkara
sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi
kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.

B. SYARAT-SYARAT DAN DASAR HUKUM GUGATAN ATAU PERMOHONAN


a. Syarat Materiil Membuat Surat Gugatan
Syarat materiil surat gugatan mengacu pada Pasal 8 ayat (3) Rv :

- Identitas para pihak


Ciri-ciri dan keterangan yang lengkap dari para pihak yang berperkara yaitu, nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal. Kalau perlu
agama, umur, status, kewarganegaraan.

Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas
mengenai kapasitas dan kedudukannya apakah sebagai penggugat atau tergugat.

- Dasar Gugatan atau Fundamentum Petendi atau Posita


Dasar gugatan atau posita berisi dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum
yang merupakan dasar-dasar dan alasan-alasan dari gugatan.

3
Ari Ivan, “Perbedaan Prinsip Antara Permohonan Dengan Gugatan - PPPPTK Penjas Dan BK,” 2019,
http://p4tkpenjasbk.kemdikbud.go.id/kepegawaian/2019/05/15/perbedaan-prinsip-antara-permohonan-
dengan-gugatan/.
4
UU 14/1970
Posita terdiri dari dua bagian, yaitu:

Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (feitelijke gronden);


Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechts gronden) sebagai uraian
tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan;

- Petitum atau Tuntutan


Petitum berisi apa yang diminta atau tuntutan supaya diputuskan oleh pengadilan.
Petitum akan dijawab dalam dictum atau amar putusan.

b. Syarat Formil Membuat Surat Gugatan


Adapun syarat formil yang harus terpenuhi dalam surat gugatan adalah:

- Tidak melanggar kompetensi/kewenangan mengadili, baik kompetensi absolut maupun


relatif.
- Gugatan tidak mengandung error in persona.
- Gugatan harus jelas dan tegas. Jika gugatan tidak jelas dan tidak tegas (obscuur libel)
dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak diterima. Misalnya posita bertentangan
dengan petitum.
- Tidak melanggar asas ne bis in idem. Artinya gugatan tidak boleh diajukan kedua
kalinya apabila subjek, objek dan pokok perkaranya sama, di mana perkara pertama
sudah ada putusan inkracht yang bersifat positif yaitu menolak atau mengabulkan
perkara.
- Gugatan tidak prematur atau belum saatnya menggugat sudah menggugat.
- Tidak menggugat hal-hal yang telah dikesampingkan, misalnya gugatan kedaluwarsa.
- Apa yang digugat sekarang masih dalam proses peradilan (aanhanging geding/rei
judicata deductae). Misalnya ketika perkara yang digugat sudah pernah diajukan dan
sedang proses banding atau kasasi.
-
C. PERBEDAAN DAN UNSUR-UNSUR ANTARA PERKARA CONTENTIOUS
DENGAN PERKARA VOLUNTAIR
Perkara voluntair merupakan perkara yang sifatnya permohonan dan
didalamnya tidak ada sengketa sehingga tiada terdapat versus. Pada dasarnya kasus
permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan undang undang menghendaki
demikian.Gugat volunteir paling dikenal pada bidang hukum seperti permohonan
ratifikasi anak ,sedangkan perkara voluntair yang diajukan ke pengadilan agama mirip ;

• Penetapan wali pengampu bagi pakar yang tidak mampu


melakukan tindakan hukum;
• Penetapan pengangkatan wali
• Penetapan pengangkatan anak
• Penetapan pengesahan nikah ( istibat nikah )
• Penetapan wali adhol dan sebagainya

Diantara karakteristik gugatan volunteer ada dua, jika ke dua karakteristik ini
menempel pada suatu gugat dengan sendirinya mengindikasikan gugat yg diajukan
bersifat volunteer.

a. gugatan bersifat sepihak


Pihak yg terlibat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri tidakada orang lain yang
ditarik menjadi pihak penggugat. Itu sebabnyagugat volunteer disebut juga permohonan
sepihak atau permohonan yang tidak bersifat partai. boleh saja permohon memasukkan
ornaglain dalam permohonan. tapi kedudukan orang orang tadi bukansubjek yang
berdiri menjadi pihak tergugat. seperti dalam permohonan penetapan ahli waris.

b. Permintaan serta putusan bersifat “deklarator”Permintaan atau katakanlah


petitumnya bersifat deklarator, hanyameminta supaya dia dan saudaranya B, C, D
“dinyatakan” menjadi pakar waris.
dua. Kekuatan Hukumnya Bersifat Sepihak
Kebenaran yang terkandung dalam putusan volunteer ialah kebenaran sepihak berupa
kebenaran pemohon sendiri, kebenaran yang terkandung didalamnya tidak dapat
mengikat orang lain. Putusan gugat volunteer yang bersifat deklarator hanya mengikat
dan berkekuatan terhadap diri pemohon sendiri.5

5
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media, 2007, hal 199
Gugatan contentiosa dapat diartikan sebagai jenis gugatan yang mengandung 2 (dua)
pihak/ party. Dalam prakteknya, gugatan ini biasanya disebut dengan gugatan biasa.
Adapun ciri-ciri dari gugatan contentiosa ini adalah:
1) Permasalahan yang diajukan bersifat dua pihak
2) Adanya unsur sengketa dalam gugatan ini
3) Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini
4) Para pihak disebut Penggugat dan Tergugat.6

Adapun unsur-unsur di dilamnya ada pada Pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement of de


Rechtsvordering) menyebutkan suatu surat gugatan harus memuat setidaknya yang
pertama Identitas Para Pihak, meliputi nama lengkap, alamat tempat tinggal, tanggal
lahir, pekerjaan, agama, kewarganegaraan (jika perlu) penyebutan pihak-pihak terlibat
juga harus disertai posisinya masing-masing, misalnya apakah bertindak sebagai
Penggugat, Tergugat, Pemohon atau Termohon. Yang kedua alasan-alasan gugatan
(Fundamentum Petendi atau Posita), meliputi uraian fakta hukum (fetelijkegronden)
dan yang terakhir uraian dasar hukum (rechtgronden), tuntutan (Petitum)

D. BENTUK GUGATAN LISAN DAN GUGATAN TERTULIS


1. Gugatan Tertulis Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan
pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1)
HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan
bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan
Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan
adalah; (i) penggugat dan atau (ii) kuasanya. 7
2. Gugatan Lisan Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan
gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili
suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal
144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau
menyuruh mencatatnya”.8 benar-benar realistis, mengakomodasikan kepentingan

6
Izinesia.id, “Jenis Gugatan Hukum Perdata Dalam Praktek Pengadilan - Izinesia.Id,” accessed September 22,
2022, https://izinesia.id/jenis-gugatan-hukum-acara-perdata-dalam-praktek-pengadilan/.

7
HIR
8
HIR
anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan
ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat
dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan mencatat dan
menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri
memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu ketentuan ini melepaskan rakyat
kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bentuan
pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk
membuat gugatan yang diinginkannya.9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta, Sinar Grafika, Hal 48
Dalam perkara Gugatan ada suatu sengketa, suatu Konflik yang harus
diselesaikan dan harus diputus oleh Pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak
ada sengketa atau perselisihan. (seperti penetapan ahli waris atau penetapan anak
dll).Dalam suatu Gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak Penggugat dan
tergugat yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam
permohonan hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon.

Suatu Gugatan dikenal sebagai Pengadilan Contentiosa atau Pengadilan


Sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan
Voluntair atau Pengadilan Pura-pura.Hasil dari suatu Gugatan adalah Putusan
(Vonnis) sedangkan hasil dari suatu permohonan adalah Penetapan (Beschikking).

Untuk mengajukan Gugatan bisa secara lisan, juga bisa secara tertulis
namun dalam praktek sekarang ini, gugatan secara lisan sudah sangat diajukan, akan
tetapi setiap gugatan selalu diajukan secara tertulis.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata (di Lingkungan Peradilan Agama),
Jakarta, Kencana, 2005,

Fauziah Lubis, “Bunga Rampai Hukum Acara Perdata,” 2012, 1–272,


http://repository.uinsu.ac.id/8948/1/Bunga Rampai Hukum Acara Pidana Dr. Fauziah Lubis
%2C M.Hum.pdf.

Ari Ivan, “Perbedaan Prinsip Antara Permohonan Dengan Gugatan - PPPPTK Penjas Dan
BK,” 2019, http://p4tkpenjasbk.kemdikbud.go.id/kepegawaian/2019/05/15/perbedaan-
prinsip-antara-permohonan-dengan-gugatan/.

UU 14/1970

Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal 199

Izinesia.id, “Jenis Gugatan Hukum Perdata Dalam Praktek Pengadilan - Izinesia.Id,” accessed
September 22, 2022, https://izinesia.id/jenis-gugatan-hukum-acara-perdata-dalam-praktek-
pengadilan/.

HIR

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta, Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai