Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS INDONESIA

IKHTISAR PERKULIAHAN HUKUM ACARA PERDATA


MENGENAI GUGATAN, SITA JAMINAN, JAWABAN, REPLIK,
DUPLIK, & KESIMPULAN

TUGAS INDIVIDU

RAFI SURYAPRATAMA NATAPRADJA


1806219791
HUKUM ACARA PERDATA A
REGULER

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA

DEPOK
MARET 2020
A. Gugatan

Pengertian dan Tinjauan Umum


Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh pelindungan hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting. Pihak yang mengajukan
tuntutan hak memerlukan pelindungan hukum dan apabila ia berkepentingan tentu terang
baginya untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan. Pada dasarnya tidak semua
kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan hak. Hal ini dikarenakan suatu
kepentingan haruslah cukup untuk menimbulkan hak guna menuntut baginya. Suatu
tuntutan hak yang dilandaskan pada kepentingan hukum yang cukup yang selanjutnya
dikenal sebagai ​point d’interest merupakan syarat utama agar tuntutan hak diterima oleh
pengadilan untuk diperiksa. 1Adanya suatu kepentingan hukum yang cukup tidak
serta-merta mengabulkan tuntutan hak tersebut karena tuntutan hak harus dibuktikan
berdasarkan suatu hak. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Juli 191 No.
294 K/Sip/1971 suatu gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan
hukum. Dengan demikian, Tuntutan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 118 HIR
sebagai tuntutan perdata atau burgerlijke vordering adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa. Tuntutan perdata didefinisikan sebagai gugatan yang
pengajuannya dapat dilakukan secara tertulis dan lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal
118 dan 120 HIR.

Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa, dimana selalu terdapat
sekurang-kurangnya dua pihak yang berperkara dan keputusan pengadilan hanya
mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa saja. Dalam
pengertian lain, gugatan merupakan tuntutan perdata atau tuntutan hak yang mengandung
sengketa. 2

Dasar Hukum
Gugatan sebagai tuntutan hak diatur tata cara pengajuannya dalam HIR dan Rgb.
Selanjutnya, terkait perumusan Surat Gugatan dalam Pasal 119 HIR diterangkan bahwa:

“​Ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada


penggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatannya.”

Menurut R. Soesilo, muatan pasal ini bertujuan untuk membantu orang yang mencari
keadilan namun tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum dan tidak tahu akan

1
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, ​cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 54
2
Ibid.,​ hlm. 40
pemeriksaan perkara perdata, serta tidak mampu membayar jasa penasihat hukum.3
Menurut Sudikno Mertokusumo, pemberian nasihat dan bantuan adalah guna mencegah
pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap. Sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian sebelumnya, gugatan dapat diajukan secara tertulis dan lisan
dalam hal penggugat tidak dapat menulis.4 Gugatan yang diajukan secara tertulis disebut
surat gugatan yang dalam pengajuannya kepada ketua pengadilan negeri menurut Pasal 8
ayat (3) Rv harus memenuhi tiga ketentuan pokok yaitu (a) identitas dari para pihak, (b)
dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan
dari tuntutan atau fundamentum petendi, dan (c) tuntutan atau petitum.Identitas memuat
ciri-ciri pengguat dan tergugat, tempat tinggal, usia, serta status perkawinan.

Selanjutnya mengenai rumusan dalil konkrit mengenai hubungan hukum sebagai dasar
dari tuntutan atau fundamentum petendi tersusun atas dua bagian yaitu (a) penguraian
kejadian atau peristiwa dan (b) penguraian mengenai hukum. Uraian terkait kejadian
adalah penjelasan duduknya perkara sementara penguraian tentang hukum merupakan
uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari
tuntutan. Uraian mengenai hukum berdasarkan Pasal 163 HIR bukan sekadar penyebutan
peraturan hukum melainkan pembuktian adanya hak itu atau adanya kejadian itu.5 Apa
yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim atau petitum
dapat diperinci menjadi dua macam yaitu tuntutan primair yang merupakan tuntutan
pokok dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok
ditolak oleh hakim. 6 Dalam penguraian peristiwa yang menjadi dasar tuntutan terdapat
dua teori yaitu teori substantierings theorie atau teori yang merincikan sejarah terjadinya
hak dan hubungan hukum dan teori individualisasi atau individualisering theorie yang
sebatas menyebutkan kejadian yang mempunyai hubungan hukum dengan dasar tuntutan.
7

Muatan pokok selanjutnya dari suatu surat gugatan adalah petitum yang merupakan
permintaan atau harapan penggugat akan putusan hakim. Jawaban petitum termaktub
dalam diktum atau amar putusan. Dalam perumusan surat gugatan haruslah dilakukan
secara jelas, tegas, dan merujuk pada kaidah Pasal 8 Rv. Menurut ketentuan Pasal 8 Rv,
upaya-upaya dan pokok gugatan juga haruslah disertai kesimpulan yang jelas dan
tertentu. Konsekuensi hukum dari ketidakjelasan dan ketidaksempurnaan tuntutan adalah
berdasarkan putusan MA tanggal 16 tahun 1970 adalah tidak dapat diterimanya gugatan.

3
R.Soesilo, ​RIB / HIR dengan Penjelasan, ​(Bogor: Politea, 1995), hlm. 79
4
​R.Soesilo, ​RIB / HIR dengan Penjelasan, ​(Bogor: Politea, 1995), Ps. 120
5
​R.Soesilo, ​RIB / HIR dengan Penjelasan, (​ Bogor: Politea, 1995), Ps. 163
6
​Lilik Mulyadi, ​Hukum Acara Perdata: Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, ​Cet. 3 (Jakarta:
Djambatan, 2005), hlm. 43
7
​ udikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, c​ et. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 57
S
Selanjutnya tidak dapat diterimanya gugatan dapat disebabkan oleh ​obscuur libel atau
tidak terangnya suatu gugatan. Dalam gugatan ​obscuur libel​, gugatan memuat
pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain.Suatu gugatan juga dapat
memuat tuntutan tambahan atau pelengkap yang meliputi: (a) tuntutan agar membayar
biaya perkara, (b) tuntutan agar dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun
putusannya dilawan atau dimintakan banding (c) tuntutan agar tergugat dihukum untuk
membayar bunga atau moratoir, dan (d) tuntutan nafkah dalam hal gugat cerai.

Pembebanan biaya perkara dilakukan terhadap pihak yang dikalahkan dengan


memperhitungkan hubungan antara para pihak, hal ini juga berlaku apabila kedua pihak
dikalahkan dalam beberapa hal dikalahkan. Dalam putusan verstek, biaya perkara
dibebankan kepada yang dikalahkan meskipun ia menang verzet atau banding, Apabila
yang bersangkutan tidak dipanggil secara patut pada pemeriksaan verzret atau banding
maka ia tidak dibebankan biaya perkara.8 Suatu gugatan konvensi, gugatan rekonvensi,
dan gugatan yang dikabulkan sebagian membebani biaya perkara kepada kedua belah
pihak9. Nominal biaya perkara selanjutnya harus dituangkan dalam putusan hakim.10
Suatu putusan yang diajukan perlawanan, banding, atau kasasi dimungkinkan untuk
dilaksanakan terlebih dahulu dalam hal diperintahkan hakim atas permintaan penggugat.
Kendati demikian, pelaksanaan putusan lebih dahulu harus sesuai dengan kaidah Pasal
180 HIR yang mensyaratkan (a) adanya surat yang sah atau ​authentieke titel, ​(b) adanya
tulisan yang mempunyai kekuatan pembuktian, (c) adanya putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, (d) apabila dikabulkan suatu tuntutan provisionil, dan
(e) perselisihan mengenai hak milik.

Selanjutnya mengenai penjatuhan keputusan lebih dulu, hakim tidak hanya mengacu
pada pemenuhan syarat pasal 180 ayat 1 HIR tetapi juga pertimbangan-pertimbangan
yang menjadikan hal tersebut tidak dapat dihindarkan sebagaimana diatur dalam SEMA
No. 3 Tahun 1978 tertanggal 1 April 1978.11 Pertimbangan tersebut meliputi (a)
pemberian putusan dalam hal penyitaan ​conservatoir yang harga barang yang disita tidak
akan mencukupi untuk menutup jumlah yang digugat dan (b) jika dipandang perlu
dengan jaminan oleh pihak pemohon eksekusi yang seimbang dengan catatan: benda
jaminan mudah disimpan dan digunakan untuk pelaksanaan putusan jika hasil banding
atau kasasi tidak membenarkan, tidak menerima penanggung atau penjamin untuk
menghindarkan masuknya pihak ketiga dalam proses, penentuan benda serta jumlahnya
terserah kepada KPN, dan benda jaminan dicatat dalam daftar tersendiri. Pengabulan

8
​R.Soesilo, ​RIB / HIR dengan Penjelasan, ​(Bogor: Politea, 1995), Ps. 181 ayat (1) dan (3)
9
M.A. 1972, ​Yurisprudensi Jawa Barat 1969 - 1972 I, 1​ 972No. 944 K/Sip/1971, hal. 132
10
​R.Soesilo, ​RIB / HIR dengan Penjelasan, ​(Bogor: Politea, 1995), Ps. 183
11
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, c​ et. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 66
permohonan pelaksanaan lebih dahulu tidak diperkenankan apabila telah disahkan sita
jaminan karena penggugat telah terjamin. Mengenai pelaksanaan keputusan lebih dahulu
dimungkinkan untuk berbeda dengan putusan akhir, sehingga sukar untuk memulihkan
keadaan sesudah putusan serta merta. Dengan demikian berdasarkan SEMA No.3 Tahun
2000 penjatuhan putusan serta merta dilarang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur
secara limitatif.

Pelaksanaan putusan lebih dahulu yang bertentangan dengan putusan banding


mengakibatkan sulitnya pemulihan keadaan kembali atau ​restitutio in integrum.
Kemudian penggugat juga dapat mengajukan tuntutan agar membayar bunga atau
moratoir apabila tuntutan yang dimintakan penggugat berupa pembayaran sejumlah
tertentu. Selanjutnya, penggugat dapat menuntut agar tergugat dihukum untuk membayar
uang paksa selama ia tidak memenuhi isi putusan. Uang paksa merupakan dikenakan
terhadap perbuatan yang harus dilakukan tergugat, dimuat dalam putusan, dan dikenakan
setiap hari ia tidak memenuhi isi putusan sejak putusan tersebut berkekuatan hukum
tetap. Terakhir, agar suatu gugatan dikabulkan suatu tuntutan pokok dapat disertai
tuntutan pengganti atau petitum subsider yang berfungsi menggantikan petitum primer
apabila ditolak. Dalam pelaksanaannya, Mahkamah Agung tidak melarang pengajuan
gugatan secara alternatif.12

Kumulasi
Dalam suatu perkara perdata, terdapat pihak-pihak yang berkepentingan yang terdiri dari
penggugat dan tergugat. Namun dalam suatu perkara, tidak jarang penggugat yang terdiri
lebih dari seorang melawan tergugat yang hanya seorang saja, atau seorang penggugat
melawan tergugat yang lebih dari seorang atau kedua pihak masing-masing terdiri lebih
dari seorang. Hal ini disebut ​kumulasi subjektif​, penggabungan dari subjek.13 terhadap
kumulasi subjektif ini tergugat dapat mengajukan keberatan bahwa dirinya enggan
digabungkan dengan tergugat lain. Tetapi dapat terjadi juga seorang tergugat justru
menghendaki keikutsertaan tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat ini, yaitu
bahwa masih ada orang lain yang harus diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak
yang berkepentingan, disebut ​exceptio plurium litis consertium.14 meskipun tidak ada
ketentuannya, namun antara tuntutan yang diajukan terhadap berbagai tergugat haruslah
ada hubungannya.

Tidak jarang pula dalam suatu perkara penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan
dalam satu perkara sekaligus. Kondisi tersebut merupakan penggabungan tuntutan yang

12
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, ​cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 70
13
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, ​cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 81
14
​Ibid.​ 81
disebut ​kumulasi objektif.​ Untuk mengajukan kumulasi objektif pada umumnya tidak
disyaratkan bahwa tuntutan itu harus ada hubungan satu sama lain. Akan tetapi, kumulasi
objektif tidak dapat digunakan dalam 3 kondisi:
a. Tuntutan yang memerlukan persidangan atau acara biasa tidak dapat digabungkan
dengan tuntutan yang memerlukan persidangan atau acara khusus;
b. Hakim tidak berwenang untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan
secara bersamaan tersebut; dan
c. Tuntutan tentang ​bezit ​tidak dapat digabungkan dengan ​eigendom

Perubahan Gugatan
H.I.R. tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugat, sehingga hakim
leluasa untuk menentukan sampai dimana penambahan atau perubahan surat gugat itu
akan diperkenankan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan
atau penambahan gugat diperkenankan, asal kepentingan kedua belah pihak tidak
dirugikan terutama tergugat. Dalam hal perubahan atau penambahan gugat
diperkenankan, kepada pihak tergugat hendaknya diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk membela diri sebaik-baiknya. Apabila perubahan atau penambahan
gugat sama sekali tidak diperkenankan, maka pihak penggugat akan “dipaksa” untuk
membuat gugat yang baru, dengan pengeluaran-pengeluaran biaya baru yang tidak
sedikit.15 Perubahan gugat dilarang apabila berdasar atas keadaan hukum yang sama
dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain, atau apabila penggugat mengemukakan
keadaan baru sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentang suatu hubungan
hukum antara kedua belah pihak yang lain daripada yang semula telah dikemukakan. 16

Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat setelah
tergugat mengajukan jawaban, maka harus mendapatkan persetujuan dari tergugat
terlebih dahulu. Apabila tergugat keberatan, maka permohonan mengenai perubahan atau
penambahan gugat dapat ditolak. Permohonan mengenai perubahan gugat, Mahkamah
Agung dengan putusannya tertanggal 28 Oktober 1970 No. 546/K/Sip/1970 menyatakan
“​Putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi harus dibatalkan,
karena putusan-putusan tersebut mengabulkan perubahan gugatan pokok yang diajukan
pada tingkat pemeriksaan dimana semua dalil-dalil, tangkisan-tangkisan dan pembelaan
telah habis dikemukakan”17

15
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, ​Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, (​ Bandung:
Mandar Maju, 2009) hlm. 47
16
Ibid. 47
17
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, ​Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, (​ Bandung:
Mandar Maju, 2009) hlm. 48
Dalam hal mengenai penambahan gugat, Mahkamah Agung dengan putusannya
tertanggal 20 Oktober 1976 No. 447/K/Sip/1976 menyatakan “​Permohonan untuk
mengadakan penambahan dalam gugatan pada saat pihak berperkara lawan telah
menyampaikan jawabannya, tidak dapat dikabulkan apabila pihak berkerkara lainnya
tidak menyetujuinya”18 mengenai pengurangan gugatan akan diperkenankan oleh hakim.

Subjek Gugatan
Di dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak
penggugat (​eiser, plaintif) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat (​gedaagde,
defendant).​ Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif
bertindak sebagai pihak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai
tergugat.19 kedua pihak ini merupakan pihak materiil dan pihak formil. Pihak materiil
adalah pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam perkara, sedangkan pihak
formil adalah pihak yang beracara di pengadilan. Seseorang dapat pula bertindak sebagai
penggugat maupun tergugat walaupun tidak memiliki kepentingan secara langsung dalam
perkara. Contohnya adalah seorang wali atau pengampu. Wali dan pengampu merupakan
pihak materiil, sedangkan yang diwakilinya adalah pihak materiil. Tidak jarang suatu
pihak materiil memerlukan wakil untuk beracara karena tidak mungkin bila beracara
tanpa diwakili. Hal ini terjadi pada badan hukum. Hal tersebut harus dibedakan dari
seorang pengacara atau pokrol yang walaupun bertindak atas nama dan kepentingan
kliennya, bukanlah merupakan pihak, baik formil maupun materiil.

Objek Gugatan
Suatu gugatan yang diajukan oleh seseorang dapat menyangkuit suatu perbuatan
melawan hukum atau wanprestasi. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perbuatan
melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat. Lebih lanjut
beliau mengatakan, bahwa istilah ​“onrechtmatige daad​” ditafsirkan secara luas, sehingga
meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang
dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat20 Perbuatan melawan hukum
menurut Munir Fuady dapat disarikan menjadi pengertian lain, antara lain:
a. tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban
kontraktual atau kewajiban ​quasi contractual ​yang menerbitkan hak untuk
meminta ganti rugi
b. suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi
orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan

18
​Ibid., h​ lm. 48
19
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, c​ et. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 71
20
R. Wirjono Projodikoro, ​Perbuatan Melanggar Hukum,​ (Bandung: Sumur, 1994) , hlm. 13
atau tidak berbuat tersebut baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun suatu
kecelakaan
c. Tidak terpenuhinya suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum yang ditujukan
terhadap tiap orang secara umum dan dengan tidak terpenuhinya kewajiban
tersebut dapat dimintakan ganti rugi
d. Kesalahan perdata atau ​civil wrong t​ erhadap mana suatu ganti kerugian dapat
dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi
terhadap kewajiban ​trust a​ tau wanprestasi terhadap kewajiban ​equity ​lainnya.
e. Kerugian akibat wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan
suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain akibat hukum atau tidak
terbit dari hubungan kontraktual21

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “​wanprestastie​”, yang berarti tidak dipenuhinya
prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam
suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan
yang timbul karena undang-undang. Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti
kelalaian, kealpaan, cedera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian22.

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan pernyataan lalai
atau somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Pernyataan lalai diajukan sekurang-kurangnya
tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Debitur yang tidak mengindahkan pernyataan lalai,
memberikan hak kreditur untuk membawa persoalan itu ke pengadilan. Selanjutnya
pengadilan akan memutuskan, apakah debitur telah melakukan wanprestasi atau tidak.
Wanprestasi dan Somasi atau ingebrekestelling diatur dalam muatan Pasal 1238 KUHPer
dan Pasal 1243 KUHPer. Pada prinsipnya, wanprestasi baru terjadi jika debitur
dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi
ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di
luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan
prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu
untuk memperingatkan atau menegur debitur terkait pemenuhan kewajibannya23

Sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap, terdapat perbedaan prinsip antara


Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum. Apabila ditinjau dari sumber hukum
wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH timbul dari persetujuan,
sementara perbuatan melawan hukum timbul akibat perbuatan subjek hukum seperti
dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPer. Dalam wanprestasi hak menuntut ganti rugi

21
Munir Fuady,​ Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,​ (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 4.
22
Yahya Harahap, ​Segi-segi Hukum Perjanjia​n, Cet. 2 (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 60.
23
Salim H.S., ​Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),​ (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 98
dilatarbelakangi oleh suatu pernyataan lalai atau ​ingebrekestelling, s​ ementara hak
menuntut ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum tidak selalu dilatarbelakangi oleh
pernyataan lalai. Pihak yang dirugikan dapat secara langsung memperoleh hak untuk
menuntut ganti rugi.Selanjutnya, mengenai tuntutan ganti rugi oleh KUHPer telah diatur
mengenai jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, jenis, dan jumlah
ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi. Namun, terkait perbuatan melawan
hukum tidak diatur oleh KUHPer mengenai bentuk dan rinciannya. Sehingga dapat
digugat ganti rugi nyata dan kerugian immateriil.24

Format Surat Gugatan

24
Hukum Online, ​Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506b9b8dcec10/gugatan-perdata-/​, diakses pada 20 Maret 2020
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 No. 3 Rv mengatur bahwa gugatan harus memuat:25
1. Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah identitas yang berkaitan
dengan nama, umur, pekerjaan, dan tempat tinggal daru Penggugat dan Tergugat.
2. Posita
Posita dalam suatu gugatan dapat dipahami berupa dalil-dalil konkret tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar, serta alasan-alasan daripada
tuntutan atau dikenal juga dengan sebutan ​fundamentum petendi​. ​Fundamentum

25
​Ni Ketut Supasti Dharmawan, et. al., ​Klinik Hukum Perdata: Clinical Legal Education, ​ (Denpasar: Udayana University Press,
2016), hlm. 20
petendi y​ ang juga dikenal dengan sebutan dasar dari tuntutan terdiri dari 2 (dua)
bagian:
1) Bagian menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa
2) Bagian yang menguraikan tentang hukum.
Berkaitan dengan gugatan perdata dalam perkara perceraian, Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar gugatan perceraian antara lain :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
3. Petitum
Petitum atau juga dikenal dengan sebutan tuntutan adalah apa yang diminta oleh
Penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Penggugat harus
merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau
tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut.Petitum atau
tuntutan pokok yang ada dalam gugatan acapkali dibarengi dengan tuntutan
pelengkap atau tuntutan tambahn berupa:
1) Tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara.
2) tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu,
meskipun putusannya dilawan atau dimintakan banding
3) Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga apabila tuntutan
yang dimintakan oleh Penggugat berupa pembayaran sejumlah uang
tertentu.
4) Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa
(dwangsom)
5) Dalam hal gugatan perceraian dapat disertai dengan tuntutan mengenai
nafkah anak-anak.
6) Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair yang pada umumnya
berbunyi ex aequo et bono atau “mohon putusan berdasarkan keadilan.
B. Jawaban, Eksepsi, dan Rekonvensi

Jawaban dan Eksepsi


Jawaban dalam rangkaian acara perdata dapat berupa pengakuan dan bantahan atau
verweer yang bersifat lisan maupun tulisan sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat 2
HIR. Pengakuan merupakan pembenaran sebagian atau seluruh mengenai isi gugatan.
Dalam hal tergugat membantah, maka penggugat harus dapat membuktikannya..Suatu
jawaban haruslah berdasarkan alasan-alasan dan sebab ia menyangkal. Berdasarkan
Putusan R.v.J. tanggal 1 April 1938, konsekuensi dari sangkalan yang tidak beralasan
adalah pengesampingkan sangkalan oleh hakim.26 Bantahan atau ​verweer adalah
penolakan terhadap gugatan penggugat yang terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan
sangkalan.

Menurut Yahya Harahap, eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam
konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal
yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan
tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan
dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara.27 Pengaturan mengenai
eksepsi termaktub dalam Pasal 136 HIR. Berdasarkan interpretasi Wirjono Prodjodikoro,
pasal tersebut memuat anjuran agar tergugat mengumpulkan atau menyatakan keinginan
dalam jawabannya pada waktu ia memberi jawaban pada permulaan pemeriksaan
perkara.Muatan Pasal 136 HIR memiliki keberlakuan berbeda terhadap sangkalan yang
langsung mengenai pokok perkara atau ​verweerzeten principale. Sangkalan mengenai
pokok perkara tidak harus diajukan pada permulaan sidang, namun dapat diajukan selama
proses berjalan. Eksepsi terbagi atas:

1. Eksepsi Prosesuil
Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya
gugatan. Pernyataan tidak diterima berarti mengenai penolakan berdasarkan
alasan di luar pokok perkara. Dalam eksepsi prosesuil, hakim bukan menyatakan
tidak menerima gugatan melainkan menyatakan dirinya tidak berwenang atau
gugatan batal. Eksepsi prosesuil meliputi tangkisan yang bersifat mengelakan atau
eksepsi declinatoir, eksepsi bahwa gugatan batal, eksepsi bahwa perkara telah

26
Wirjono Projodikoro, ​Hukum Acara Pidana di Indonesia, ​hal. 45
27
Yahya Harahap, S.H., ​Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, ​cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 418
diputus, dan eksepsi bahwa penggugat tidak memiliki kedudukan sebagai
penggugat atau eksepsi ​disqualificatoir.28

2. Eksepsi Materiil
Eksepsi materiil merupakan bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan
hukum materiil. Eksepsi materiil meliputi eksepsi yang bersifat menunda atau
eksepsi dilatoir dan eksepsi yang mengenai pokok perkara atau eksepsi
peremptoir.​ Eksepsi dilatoir adalah eksepsi bahwa tuntutan penggugat belum
dapat dikabulkan karena penggugat memberi penundaan pembayaran, sementara
eksepsi peremptoir adalah eksepsi karena lampaunya waktu atau karena tergugat
dibebaskan dari membayar.

Dalam muatan HIR, hanya mengatur mengenai eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim
untuk memeriksa gugatan. Eksepsi mengenai kompetensi relatif diajukan di muka
pemeriksaan, sementara kompetensi absolut dilakukan sepanjang pemeriksaan. Akibat
dari adanya jawaban (eksepsi) adalah penggugat tidak diperkenankan mencabut gugatan
kecuali dengan persetujuan tergugat. Kecuali itu tidak diperkenankan mengajukan
eksepsi serta kesempatan untuk mengajukan rekonvensi tertutup.29

Rekonvensi
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam
sengketa yang sedang berjalan di antara mereka. Dalam gugatan rekonvensi terdapat
penggugat yang disebut penggugat dalam konvensi atau tergugat dalam rekonvensi dan
tergugat yang disebut tergugat dalam konvensi atau penggugat dalam rekonvensi.
Gugatan rekonvensi dilatarbelakangi oleh kemungkinan tergugat untuk menggugat
penggugat mengenai suatu perkara dalam acara yang tidak terpisah dari gugatan
pertama. Ikhtisar dari tuntutan rekonvensi adalah kumulasi dua tuntutan untuk
menghemat biaya, kemudahan prosedur, dan menghindarkan putusan-putusan yang
bertentangan satu dengan lain. Pengaturan mengenai gugat rekonvensi termaktub dalam
ketentuan Pasal 132a HIR. Tuntutan rekonvensi mencapai tujuan apabila gugatan
memiliki hubungan antara satu sama lain, contohnya penggugat menuntut dipenuhinya
perjanjian sementara tergugat menuntut diputuskannya perjanjian. Tuntutan rekonvensi
diperkenankan terhadap segala hal, kecuali (a) penggugat bertindak karena kualitas
tertentu sementara tuntutan rekonvensi akan mengenai diri penggugat pribadi atau
sebaliknya, (b) bila PN yang memeriksa gugat konvensi tidak berwenang memeriksa
gugat rekonvensi, dan (c) dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.

28
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, ​cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 129
29
​Ibid,​, hlm. 129
Dalam gugatan rekonvensi berlaku ketentuan bahwa diperbolehkan untuk diperiksa
dengan acara khusus yang menyimpang dari acara biasa, diajukan bersama-sama dengan
jawaban tergugat sebagaimana diatur dalam Pasal 132b HIR, pengajuan tuntutan
rekonvensi pada tingkat pertama mempengaruhi pada tingkat banding sebagaimana diatur
dalam Pasal 132a HIR, kedua gugatan diselesaikan sekaligus dalam satu putusan, dan
hasil banding kedua perkara konvensi dan rekonvensi diselesaikan bersama dalam satu
putusan.30

Format Surat Jawaban

Secara garis besar, format dari jawaban meliputi identitas, bantahan terhadap pokok
perkara dan/atau pengakuan terhadap pokok perkara baik mengenai sebagian atau seluruh
dalil gugatan. 31 Selanjutnya, format mengenai eksepsi atau bantahan perkara meliputi
penulisan suatu judul yaitu “dalam eksepsi:, uraian bantahan pokok perkara dengan judul
“dalam pokok perkara”, dan kesmpulan mengenai pernyataan singkat mengenai eksepsi
dan bantahan pokok perkara. 32Adapun contoh Jawaban Gugatan, Eksepsi, dan Gugatan
Rekonvensi adalah sebagai berikut:

Denpasar , …….. 2020

Kepada Yth,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri …………….
Pemeriksa Perkara Perdata No. …………….
di Denpasar
Perihal: Jawaban atas gugatan Cerai Penggugat

Dengan hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini:
_________________, Advokat, berkantor pada Kantor Advokat _________________, Jalan
,_________________ Denpasar 80111m berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. ______ tanggal _______,
bertindak untuk dan atas nama: _________________, Laki-laki / Perempuan, umur _________, Agama
________, Pekerjaan _________, bertempat tinggal di _________________. Selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT, dalam Perkara Perdata Pe
rceraian Nomor di Pengadilan Negeri Denpasar._________________.

30
​ I​ bid,​, hlm. 133
31
​M. Yahya Harahap,​, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,​
(Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 464
32
Ibid.,h​ lm. 467
Dengan ini mengajukan jawaban atas gugatan Penggugat sebagai berikut:33

Eksepsi Dalam Konvensi Dalam Rekonvensi

Bahwa karena 1. Bahwa Tergugat menolak seluruh Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat


Penggugat dan dalil-dalil Penggugat , kecuali yang Konvensi dengan ini mengajukan
Tergugat melakukan secara tegas diakui gugatan Rekonvensi terhadap Tergugat
pernikahan dicatatkan 2. Bahwa memang benar, Penggugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
di Kantor Catatan Sipil dan Tergugat adalah suami istri yang sebagai berikut :
Kabupaten Tabanan, sah yang melangsungkan perkawinan 1. Bahwa, hal-hal yang
maka seharusnya secara adat dan agama Hindu yang dikemukakan dalam jawaban
Pengadilan Negeri dilaksanakan pada tanggal pokok perkara adalah merupakan
Denpasar bukanlah ________________ di rumah satu kesatuan dengan hal-hal
yang berwenang Tergugat di yang dikemukakan dalam
mengadili, melainkan ____________________________ Rekonvensi
Pengadilan Negeri dimana Penggugat berkedudukan 2. Bahwa Tergugat
Tabanan. Jadi yang sebagai Predana sedangkan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi
berwenang mengadili sebagai Purusa sesuai dengan sering melalaikan kewajibannya
perkara ini adalah Kutipan Akta Perkawinan dari sebagai seorang istri yang baik.
Pengadilan Negeri Kantor Catatan SipilKota/Kabupaten Sifat-sifat dan kebiasaan buruk
Tabanan, bukan __________ Nomor : penggugat diantaranya dapat
Pengadilan Negeri ______________________________ dikemukakan sebagai berikut
Denpasar. _____________________ 3. Bahwa berdasarkan kepada
_______________ hal-hal yang dikemukakan
(Eksepsi Kompetensi 3. Bahwa benar dalam perkawinan diatas, sudahlah jelas bahwa
Relatif) Penggugat dan Tergugat telah yang menyebabkan tidak
dikaruniai 2 (dua) orang anak harmonisnya rumah tangga
laki-laki yang masing-masing adalah karena sikap dan perilaku
bernama yang tidak baik dari Tergugat
4. Bahwa memang benar Tergugat Rekonvensi/ Penggugat
sering keluar malam dan pulang pagi, Konvensi.
hal ini dilakukan karena Tergugat
mendapatkan tugas oleh atasannya Berdasarkan alasan-alasan tersebut
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan diatas berkenan kiranya Bapak Majelis
5. Bahwa tidak benar dalil-dalil yang Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
dikemukakan Penggugat, bahwa menjatuhkan putusan yang amarnya
Tergugat sering meluapkan emosi berbunyi sebagai berikut
tanpa alasan yang jelas, berkelakuan
kasar terhadap diri Penggugat, dan 1. Mengabulkan gugatan
hal ini bisa dibuktikan dengan Penggugat Rekonvensi
pihak-pihak luar (dalam hal ini (Tergugat Konvensi) untuk

33
​ Ni Ketut Supasti Dharmawan, et. al., ​Klinik Hukum Perdata: Clinical Legal Education, ​ (Denpasar: Udayana University
Press, 2016), hlm. 38
tetangga dan keluarga Tergugat) seluruhnya.
6. Bahwa tidak benar Tergugat 2. Menyatakan putusnya
melakukan penganiayaan terhadap perkawinan Antara Penggugat
diri Penggugat, yang diuraikan oleh dan Tergugat sebagaimana
penggugat dalam butir No. 5 dan dimaksud dalam Akta
butir No. 6 gugatannya, dan juga Perkawinan
tidak benar bahwa tergugat pernah 3. Menyatakan hak asuh anak-anak
ditahan di Kantor Polisi Sektor berada dalam kekuasaan
Denpasar ; ----------------------- Penggugat Rekonvensi
7. Bahwa Penggugat sudah berusaha (Tergugat Konvensi)
memaafkan perbuatan Tergugat 4. Menyatakan seluruh harta
namun sampai saat ini Tergugat tidak bersama dibagi 2 (dua) sama rata
memperbaiki diri dan sering berlaku diantara Penggugat Rekonvensi
kasar sehingga Penggugat merasa (Tergugat Konvensi) dan
rumah tangga Penggugat dan Tergugat Rekonvensi
Tergugat tidak mungkin akan (Penggugat Konvensi);
dipersatukan kembali secara utuh 5. Menghukum Tergugat
adalah suatu alasan yang tidak benar, Rekonpensi/Penggugat Konpensi
seperti apa yang telah membayar segala biaya perkara
Tergugatkemukakan pada jawaban
Tergugat tersebut diatas;

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas


berkenan kiranya Bapak Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi sebagai
berikut
1. Menolak gugatan Penggugat
konvensi (Tergugat Rekonvensi)
untuk seluruhnya
2. Menghukum penggugat konvensi
(Tergugat Rekonvensi) untuk
membayar lunas semua biaya yang
timbul dalam perkara ini

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono).

Hormat kami,
Kuasa Hukum
Tergugat dalam Konvensi Penggugat dalam Rekonvensi

atau

Penggugat dalam Konvensi


Tergugat dalam Rekonvensi

Catatan

C. Sita Jaminan
Pengertian Sita Jaminan
Sita jaminan adalah tindakan menyimpan barang-barang tertentu guna menjamin barang
tersebut tetap ada sampai ada putusan pengadilan. Sita jaminan mengandung arti bahwa
untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, atas barang-barang milik
tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara
berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap
barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau
dipindahtangankan kepada orang lain. Apabila dengan putusan hakim pihak penggugat
dimenangkan dan gugat dikabulkan, maka sita jaminan tersebut secara otomatis
dinyatakan dan berharga, kecuali kalau dilakukan secara salah. Namun dalam hal pihak
penggugat yang dikalahkan, maka sita jaminan yang telah diletakkan akan diperintahkan
untuk diangkat. 34

Macam-macam Sita Jaminan


Dalam Hukum Aacara Perdata, dikenal pembagian mengenai sita jaminan yang terdiri
dari 2 (dua) macam, yaitu:35
a. Sita jaminan terhadap barang milik sendiri
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur yang dikuasai oleh orang lain. Sita
jaminan ini bukan untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk
menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon dan berakhir dengan penyerahan barang
yang disita.
b. Sita jaminan terhadap barang milik debitur
Tindakan penyitaan ini sebagai bentuk persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita, guna
memenuhi tuntutan penggugat Perbedaan dari kedua sita jaminan ini terletak pada
kepemilikan. Dalam sita jaminan barang sendiri, barang tersebut merupakan milik
penggugat yang ada di tangan pihak ketiga. Sedangkan sita jaminan barang milik debitur,

34
​Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, ​Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, (​ Bandung: Mandar
Maju, 2009) hlm. 98
35
​Sudikno Mertokusumo, ​Hukum Acara Perdata Indonesia, c​ et. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 98 s.d. 98
barang tersebut merupakan milik debitur ada di tangannya tapi dimungkinkan pula
barang tersebut ada di tangan pihak ketiga.

Perbedaan Sita Jaminan dan Sita Eksekusi


Sita eksekutorial atau sita eksekusi merupakan sita yang berkaitan dengan pelaksanaan
suatu putusan. Sita eksekusi dilaksanakan untuk memenuhi hak salah satu pihak yaitu
pihak yang memenangkan gugatan, sehingga sita eksekutorial melahirkan hak baru.
Sedangkan sita jaminan dilaksanakan hanya untuk menjaga hak dari salah satu pihak,
sehingga dalma sita jaminan tidak menimbulkan hak baru. Contoh dari sita eksekusi
adalah penyitaan terhadap sebidang tanah dengan luas 350 m2 dan sebuah bangunan
dengan luas 30m2 yang terletak di Blok Sumur Garing, Desar Citiusari Kecamatan
Garawangi, Kabupaten Kuningan. Sita eksekusi ini merupakan pelaksanaan dari putusan
Pengadilan Agama Kuningan Nomor: 1764/Pdt.G/2018/PA.Kng.36

D. Replik, Duplik, dan Kesimpulan

Replik
Replik merupakan jawaban Penggugat mengenai eksepsi atau bantahan pokok perkara
yang dikemukakan oleh tergugat.37 Replik dilatarbelakagi oleh kenyataan bahwa dalam
pemeriksaan perkara perdata yang meliputi proses jawab-menjawab antara pihak
Penggugat dan Tergugat, dimungkinkan bagi Tergugat untuk memberikan jawaban atas
gugatan dari Penggugat secara tertulis maupun lisan. Secara garis besar, replik
merupakan pemberian hak kepada Penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan
oleh Tergugat. Pengaturan mengenai replik termaktub dalam muatan Pasal 142 Rv yang
berbunyi:

“dalam tenggang waktu yang sama para pihak dapat saling menyampaikan
surat-surat jawaban atau replik dan jawaban balik atau duplik yang dengan cara
yang bersama-sama dengan surat-surat yang bersangkutan diserahkan kepada
panitera”38

Menurut M. Yahya Harahap, muatan Pasal 142 Rv diartikan bahwa para pihak dapat
menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik. 39Replik dalam perkara perdata
36
Pengadilan Agama Kuningan, ​Pelaksanaan Sita Eksekusi oleh Pengadilan Agama Kuningan Berjalan Lancar,
http://www.pa-kuningan.go.id/seputar-peradilan/291-pelaksanaan-sita-eksekusi-oleh-pengadilan-agama-kuningan-berjalan-lancar
, diakses pada 21 Maret 2020
37
Sudikno Mertokusumo,​Hukum Acara Perdata Indonesia,​ (Yogyakarta: Liberty 2006), hlm. 53.
38
Reglemen Acara Perdata ​[​Reglement op de Rechtsvordering].​ S. 1847-52 jo. 1849-63, Ps. 142
39
M. Yahya Harahap,​, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan​, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 461
didasarkan pada jawaban Tergugat atas gugatannya, dimana jawaban memuat eksepsi dan
bantahan terhadap pokok perkara. Replik penggugat merupakan dalil-dalil yang
menguatkan atau meneguhkan dalil-dalil gugatan yang dibantah oleh Tergugat dalam
jawabannya. Penyusunan replik tidak diatur secara teoritis, dengan demikian penyusunan
replik menyesuaikan pada perkara berdasarkan sumber-sumber kepustakaan, pendapat
para ahli, doktrin, kebiasaan, dan hal-hal baru untuk menguatkan dalil gugatan yang
diajukan sebelumnya.40 Selanjutnya, dalam menyusun replik perlulah memperhatikan (a)
pengugat menyusun replik selayaknya ahrus menguasai hal-hal yang terkait dengan
eksepsi, (b) penggugat dengan cermat mempertimbangkan isi gugatan balik dari tergugat
serta memuat jawaban dari gugatan balik, (c) penggugat mempertimbangkan dalil-dalil
bantahan atas gugatan balik yang diajukan tergugat dan mempertimbangkan alat bukti
yang dapat memperkuat dalil bantahan terhadap gugatan balik tersebut, dan (d)
penggugat dalam menyusun replik memuat permintaan pada majelis hakim untuk
mengabulkan tuntutan dalam gugatan.41

Duplik
Duplik adalah jawaban Tergugat terhadap replik yang diajukan oleh Penggugat yang
dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Duplik diajukan Tergugat untuk
mempertahankan jawaban gugatan atau eksepsi yang sebelumnya telah diajukan. Secara
umum memuat bantahan terhadap gugatan Penggugat, pembenaran tergugat terhadap
dalil atau tuntutan yang diajukan penggugat dalam replik, dan penyampaian dalil baru
untuk memperkuat bantahan terhadap replik penggugat. Hal-hal yanag perlu diperhatikan
dalam penyusunan duplik adalah keserasian dalil dalam duplik dengan dalil dalam
jawaban gugatan atau eksepsi. Duplik umumnya mengandung bantahan atau pembelaan
atas dalil Penggugat dalam replik beserta uraian bukti yang menguatkan bantahan atau
pembelaan tersebut. Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan replik, dasar hukum
duplik adalah ketentuan Pasal 142 Rv. Mengenai pelaksanaannya, tahapan replik dan
duplik dapat diulangi hingga tercapai kesepahaman antara para pihak, sehingga hakim
yang menentukan keberlangsungan dari proses jawab menjawab. Prinsip yang berlaku
pada tahapan jawab menjawab termaktub dalam muatan Pasal 117 Rv.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 117 Rv, hakim menentukan sewaktu-waktu pengajuan
jawaban, bila perlu setelah mempelajari surat-surat. Dalam hal kedua pihak mempunyai
pendapat yang sama, maka hakim mengabulkan permohonan mereka, kecuali jika hal itu
akan menimbulkan hambatan yang tidak patut dalam pelaksanaan pemeriksaan. Terhadap

40
Abdul Manan, ​Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, ​(Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
225
41
​Boy Yendra Tamin, Prinsip dan Teknik Menyusun Replik dan Duplik,​ http://www.
boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html, diakses tanggal 15 Mei 2015
ketetapan-ketetapan hakim semacam itu tidak ada upaya hukum lain. Berdasarkan
ketentuan demikian, dapat dipahami bahwasannya hakim memberi kesempatan bagi para
pihak untuk menyampaikan replik dan duplik satu kali, namun tidak ada batasan
mengenai berapa banyaknya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, hakim dapat
menghentikan proses jawab-menjawab apabila dinilai tidak efektif dan efisien.42

Kesimpulan
Kesimpulan merupakan agenda persidangan yang mana para pihak atas perintah Majelis
Hakim mengajukan kesimpulan mengenai persidangan yang telah dilakukan.43
Kesimpulan yang diberikan oleh para pihak selanjutnya menjadi pertimbangan dalam
musyawarah hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 178 HIR. Dalam HIR tidak diatur
secara khusus mengenai kesimpulan, akan tetapi kesimpulan dalam praktiknya memuat
ringkasan mengenai dalil dan argumentasi ada gugatan, jawaban, eksepsi, replik, dan
duplik, serta tanggapan atau penguraian mengenai keterangan saksi serta alat bukti.Dalam
kesimpulan juga umumnya memuat pokok-pokok tuntutan pada majelis hakim yang
tersusun atas tuntutan pokok sebagaimana termaktub dalam surat gugatan dan tuntutan
subsidair yang berdasarkan prinsip “​ex aequo et bono”.

42
​M. Yahya Harahap,​, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan​, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 463
43
Ni Ketut Supasti Dharmawan, et. al., ​Klinik Hukum Perdata: Clinical Legal Education, ​ (Denpasar: Udayana
University Press, 2016), hlm. 54
E. Skema Surat Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik, dan Kesimpulan
F. Daftar Pustaka

Buku

Dharmawan, Ni Ketut Supasti et. al.​Klinik Hukum Perdata: Clinical Legal Education.
Denpasar: Udayana University Press, 2016
Mertokusumo, Sudikno. ​Hukum Acara Perdata Indonesia. ​cet. 1. Yogyakarta: Liberty,
2006

H.S., Salim. ​Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)​. Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Harahap, M. Yahya. ​Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan​. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Mulyadi, Lilik. ​Hukum Acara Perdata: Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia.
Cet. 3 Jakarta: Djambatan, 2005

​ andung: Sumur, 1984


Prodjodikoro, Wiryono. ​Hukum Acara Perdatadi Indonesia. B

Soesilo, R., ​RIB / HIR dengan Penjelasan. ​Bogor: Politea, 1995

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. ​Hukum Acara Perdata Dalam


Teori dan Praktik. ​Bandung: Mandar Maju, 2009

Peraturan Perundang-Undangan

Reglemen Acara Perdata [​ ​Reglement op de Rechtsvordering].​ S. 1847-52 jo. 1849-63,

Internet

Hukum Online. “Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan” .
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506b9b8dcec10/gugatan-perdata-/​,
diakses pada 20 Maret 2020

Tamin, Boy Yendra. “Prinsip dan Teknik Menyusun Replik dan Duplik”, ​http://www.
boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html, diakses
tanggal 20 Maret 2020
Pengadilan Agama Kuningan. “Pelaksanaan Sita Eksekusi oleh Pengadilan Agama
Kuningan Berjalan Lancar”.
http://www.pa-kuningan.go.id/seputar-peradilan/291-pelaksanaan-sita-eksekusi-oleh-pen
gadilan-agama-kuningan-berjalan-lancar​, diakses pada 21 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai