Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti
gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:
A. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut
dalam gugatannya dengan Para Penggugat.
B. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah
melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang
digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III
dan seterusnya.
C. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang
yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan
sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.
Sedangkan kontentiosa adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang
berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan,
dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri ciri
dari contentieus ini diantaranya:
A. Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat
B. Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para
pihak.
Perbedaan Antara Volunter dan Kontentiosa
A. Kontentiosa, Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat
1) Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan
untuk diputuskan.
2) Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan
undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
3) Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat
kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau
didengarkan keterangannya.
B. Volunter
1) Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
2) Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimohonkan oleh pihak yang bermohon
karena hanya bersifat administratif.
3) Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu
hal.
4) Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.
A. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika
hal-hal sebagai berikut:
1) Pihak yang berpekara, yaitu Setiap orang yang mempunyai kepentingan
dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
2) Kuasa, Yaitu Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan
menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang
lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan
3) Kewenangan Pengadilan, yaitu Kewenangan relative dan kewenangan
absolut harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang
di ajukan ke pengadilan.
1) Identitas pemohon
2) Urain kejadian
3) Permohonan
adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada
tuntutan. Uraian yuridis ini bukanlah merupakan penyebutan peraturanperaturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.
3) Petitum
Petitum atau tuntutan ialah apa yang diminta oleh penggugat atau diharapkan
agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum ini akan mendapatkan jawabannya
di dalam dictum atau amar putusan. Maka penggugat harus merumuskan
petitum dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak
sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan ini (niet ontvankelijk
verklaard). Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang
bertentangan satu sama lain, akan dieksepsi obscuur libel berakibat tidak
diterimanya gugat tersebut.
Di samping petitum/tuntutan pokok kita jumpai pula tuntutan tambahan atau
pelengkap tuntutan pokok, biasanya sebagai tuntutan tambahan yaitu:
a. Tuntutan agar supaya menyatakan sah dan berharga sita jaminan (C.B.)
atas benda milik tergugat.
b. Tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara.
c. Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu
(uitvoerbaar
bijvoorrad),
meskipun
putusannya
dilawan
atau
dimintakan banding.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir),
apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa pembayaran
permohonan
atau
gugatan
dibuat
kemudian
didaftarkan
di
Penetapan Majelis Hukum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua
majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Apabila
belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera
sidang sendiri.
3. Pemberian Kuasa
A. Pengertian
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUHPerdata). Dengan kata lain,
pemberian
kuasa
adalah
suatu
persetujuan
mengenai
pemberian
kekuasaan/wewenang (lastgeving) dari satu orang atau lebih kepada orang lain
yang menerimanya (penerima kuasa) guna menyelenggarakan/melaksanakan
sesuatu
pekerjaan/urusan
(perbuatan
hukum)
untuk
dan
atas
nama
Pemberian kuasa otentik (akta otentik) adalah pemberian kuasa yang dibuat oleh
dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang (Notaris). Pemberian kuasa seperti
ini memiliki kekuatan pembuktian formil yang sempurna, terutama mengenai
penandatanganannya. Penyangkalan terhadap kebenaran materiilnya, harus dibuktikan
oleh pihak yang menyangkal.
Pemberian kuasa yang terikat dengan syarat-syarat formil atau harus dibuat secara
otentik, antara lain :
1) Pemberian kuasa untuk melangsungkan perkawinan karena ada alasan
kuat/penting (Pasal 79 KUHPerdata).
2) Pemberian kuasa menghibahkan (Pasal 1683 KUHPerdata). Dengan
berlakunya UUPA, telah dicabut sepanjang mengenai tanah.
3) Pemberian kuasa untuk memasang Hipotek (Pasal 1171 KUHPerdata).
4) Pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan/SKMHT (Penjelasan
Umum Butir 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan/UUHT).
Pemberian kuasa dibawah tangan (akta dibawah tangan) adalah pemberian kuasa
yang dibuat tanpa campur tangan pejabat umum yang berwenang (Notaris). Pemberian
kuasa seperti ini hanya akan mempunyai kekuatan pembuktian formil yang sempurna
sebagaimana pemberian kuasa otentik jika tidak ada penyangkalan terhadap kebenaran
materiilnya (Pasal 1875 KUHPerdata). Kekuatan pembuktian materiilnya pun menjadi
sama dengan akta otentik dan keterangan didalamnya dianggap sebagai kebenaran serta
mengikat para pihak yang membuatnya, termasuk mereka yang mendapatkan
hak/keuntungan daripadanya.
Jika terjadi penyangkalan, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran
dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di pengadilan (Pasal 1877 KUHPerdata).
Dengan kata lain, masing-masing pihak mengajukan bukti dan harus membuktikan
kebenarannya di pengadilan (melalui bukti saksi-saksi dan/atau bukti tertulis).
Pemberian kuasa secara diam-diam adalah pemberian kuasa yang tidak disebutkan
secara tegas untuk melakukan suatu pekerjaan/urusan tapi untuk kepentingan pemberi
kuasa maka penerima kuasa dapat pula melakukannya. Pemberian kuasa ini mengikat sah
pada detik kesepakatan (konsensual).
Jenis-jenis Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan
pemberian kuasa secara khusus (Pasal 1795 KUHPerdata).
A. Pemberian Kuasa Secara Umum (Surat Kuasa Umum)
Pemberian kuasa secara umum dalah pemberian kuasa yang meliputi pelaksanaan
segala kepentingan dari pemberi kuasa, kecuali perbuatan hukum yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUHPerdata). Kuasa diberikan seluasluasnya sehingga nyaris tanpa ada pengecualian, termasuk terhadap hal-hal yang tidak
disebutkan
dalam
surat
kuasa.
Contohnya,
kuasa
pengurusan
dan
dapat
bersangkutan
melaporkan
kepada
Ketua
Pengadilan
Negeridan
Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para
pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan
131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam
sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasalpasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi
teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung
(MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas
mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa
PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan
baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila
proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur
mediasi sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. [Pasal 7
Perma No. 1 Tahun 2008]
atau
Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian
tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. [Pasal 7 Perma No. 1
Tahun 2008]
Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak
pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator
bukan hakim. Jika setelah jangka waktu maksimal yaitu 2 (dua) hari, para pihak tidak dapat
bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan
kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima
pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang
sama untuk menjalankan fungsi mediator. [Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak
wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan
mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.
[Pasal 12 Perma No. 1 Tahun 2008]
Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang
terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua
dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut
pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam
proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang
bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan bukti.
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator
dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para
pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari.
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara
jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008]
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak
atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai
jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak
menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses
mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi
melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan
pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang
berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat
menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan
tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. [Pasal 13 Perma No. 1
Tahun 2008]
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 14
Perma No. 1 Tahun 2008] Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili
oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan
yang dicapai.
Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula
pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. [Pasal 17
Perma No. 1 Tahun 2008]
Tugas-Tugas Mediator:
A. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak
untuk dibahas dan disepakati.
B. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15
Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi
telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima
pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang
untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa
perkara yang bersangkutan. [Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008]
dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan
kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum
para pihak dengan objek sengketa.
Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam
bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
A.
B.
C.
D.
E.
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun
kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki
kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan
eksekusi kepada pengadilan.
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian
tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang
merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA
Nomor 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak
kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran
maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang
permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut. Latar Belakang mengapa Mahkamah
Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh
hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses
perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alas an sebagai berikut :
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika
para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah
perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat
diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hokum kasasi
karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka
tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka
putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan
hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan
para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya
hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung
yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan
murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang
membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan
proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada
alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya
hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang
bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan
tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika
perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat
menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak
bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang
sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang
termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.
Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi,
tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya
mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan
para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan
penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu
oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka
telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa
ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak
menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum
acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu
mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan,
bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang
memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil
akhir.
Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masamasa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan
diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi
dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi
diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan
perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi
juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya
perdamaian. Inspirasi Prosedur Mediasi Dalam rangka menindaklanjuti keputusan MARI
merevisi PERMA Nomor 2 Tahun 2003, telah dibentuk sebuah Kelompok Kerja untuk
mengkaji berbagai kelemahan pada PERMA dan mempersiapkan draf PERMA hasil revisi,
yang hasilnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. Kelompok Kerja ini diketuai oleh Dr.
Harifin
A.
Tumpa,
SH.MH.
yang
dilanjutkan
oleh
Atja
Sondjaja,
SH.
Mediasi dalam rangka Perma No. 1 Tahun 2008 bersifat wajib ditempuh dalam perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan pada tingkat pertama atau di pengadilan Negeri,
demikian pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 menegaskan. Oleh karena itu, sifat dari
mediasi di pengadilan ini adalah bersifat mandatory, para pihak tidak bisa menolak ataupun
untuk meminta langsung dilakukannya pemeriksaan perkara secara litigasi kepada Majelis
Hakim yang memeriksa perkara itu. Dan lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (3) Perma No. 1
Tahun 2008 ditentukan bahwa apabila ada perkara yang di periksa dan diputus tidak
menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang dihadiri penggugat dan tergugat atau kuasa
hukumnya, hakim mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 7
ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau
paling lama 2 hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator baik yang ada di
dalam daftar yang dimiliki oleh pengadilan ataupun di luar daftar pengadilan, termasuk biaya
yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim (Pasal 11 ayat (1)
Perma No. 1 Tahun 2008). Mediator yang dipilih bisa dari kalangan hakim, asalkan bukan
hakim yang memeriksa perkara tersebut, ataupun mediator dari kalangan non-hakim dengan
syarat telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang telah diakreditasi oleh MA (Pasal 9
Perma No. 1 Tahun 2008).
Pelaksanaan mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan dan untuk
penggunaan ruangan ini tidak dikenakan biaya, sedangkan apabila pelaksanaan mediasi
dilakukan di tempat lain, maka biaya yang timbul dari penggunaan tempat tersebut di
bebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. Demikian pula penggunaan mediator
hakim tidak dikenakan biaya sedangkan untuk mediator bukan hakim biayanya di tanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2008).
Tahap mediasi dimulai lima hari kerjasetelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak
wajib menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator (Pasal 13
ayat (1) Perma No.1 Tahun 2008). Proses mediasi berlangsung selama empat puluh hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis Hakim (Pasal 13 ayat
(3) Perma No. 1 Tahun 2008) dan atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi
dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari sebagaimana di
maksud dalam ayat 3 (pasal 13 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2008). Dalam pelaksanaan
mediasi para pihak ataupun kuasa hukumnya dan mediator dapat mengundangsaksi ahli
dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan ataupun pertimbangan terkait dengan
penyelesaian sengketa, di mana segala biaya pemanggilan saksi ahli ini dibebankan kepad
para pihak (Pasal 16 Perma No. 1 Tahun 2008).baik di capai kesepakatan atau pun tidak, hasil
dari mediasi tetap dibawa ke pengadilan dan para pihak menghadap kembali kepada majelis
hakim. Apabila dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut harus dirumuskan secara
tertulis serta ditandatangani para pihak dan mediator memeriksa kembali kesepakatan
tersebut untuk menghindari adanya kesepakatan yang saling bertentangan. Atas kesepakatan
yang telah dicapai berdasarkan permintaan para pihak, hakim dapat mengukuhkan
kesepakatan itu sebagai akta perdamaian (akta van dading) yang memiliki kekuatan hukum
tetap, dan sebaliknya apabila para pihak tidak menghendaki dikukuhkannya kesepakatan itu
dalam akata perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis itu harus terdapat klausula yang
memuat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17 Perma No. Tahun 2008)
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam mediasi hingga batas waktu yang di tentukan,
mediator wajib menyatakan bahwa proses mediasi gagal dan memebritahukannya kepad
Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Segera setelah pemberitahuan itu hakim
melanjutkan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku (pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008). Apabila mediasi gagal mencapai
kesepakatan dan proses pemeriksaan perkara di persidangan di lanjutkan kembali, maka
segala pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan
dalam proses persidangan yang bersangkutan atau perkara lainnya. Demikian pula fotokopi
dokumen, notulen, dan catatan mediator wajib dimusnahkan dan mediator tidak dapat diminta
untuk menjadi saksi dalam persidangan perkara yang bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1
Tahun 2008).
Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian
majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2.
3.
4.
Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari
ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
netral
2.
3.
1.
2.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.
3.
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah
selama proses mediasi berlangsung.
4.
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Daftar Mediator
Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak untuk
memilih mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.
1.
2.
3.
Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan bukan hakim
yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang bersangkutan dapat ditempatkan dalam
daftar mediator.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan para pihak.
Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim
wajib mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang
berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam
sidang sidang berikutnya meskipun taraf pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154
RBg).
2.
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan
terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan yang
menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut. 3. Akta atau putusan
perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan
yang bersangkutan.
3.
Akta/ putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan
peninjauan kembali.
4.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara
persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan
dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah
(Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg).
5.
Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak
yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut.
6.
Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut,
apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang
tertutup untuk umum.
7.
8.