Anda di halaman 1dari 31

1.

Para Pihak Yang berperkara

Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang berarti
gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:
A. Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut
dalam gugatannya dengan Para Penggugat.

B. Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah
melanggar hak Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang
digugat, maka pihak-pihak tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III
dan seterusnya.

C. Turut Tergugat
Pihak yang dinyatakan sebagai Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang
yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan
sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.

2. Perkara Gugatan dan Permohonan


Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan
agama yang berwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu
sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian
kebenaran suatu hak.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan
yang bukan sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan
hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan
adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak
yang yang didalamnya berisi suatu perkara. gugatan inilah yang disebut dengan
pengadilan yang sesungguhnya dan produk hukum yang dihasilkan adalah putusan hukum.
Perbedaan Perkara Volunter dan Kontentiosa, Volunter disebut juga dengan
permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan.
Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung
sengketa dengan pihak lain. Ciri dari volunter ini diantaranya:
A. Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
B. Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa
C. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan

Sedangkan kontentiosa adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang
berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan,
dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri ciri
dari contentieus ini diantaranya:
A. Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat
B. Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para
pihak.
Perbedaan Antara Volunter dan Kontentiosa
A. Kontentiosa, Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat
1) Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan
untuk diputuskan.
2) Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan
undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
3) Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat
kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau
didengarkan keterangannya.
B. Volunter
1) Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
2) Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimohonkan oleh pihak yang bermohon
karena hanya bersifat administratif.
3) Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu
hal.
4) Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

Tatacara bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan, Tahapan tahapan tersebut


yaitu:

A. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika
hal-hal sebagai berikut:
1) Pihak yang berpekara, yaitu Setiap orang yang mempunyai kepentingan
dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
2) Kuasa, Yaitu Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan
menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang
lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan
3) Kewenangan Pengadilan, yaitu Kewenangan relative dan kewenangan
absolut harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau gugatan yang
di ajukan ke pengadilan.

B. Tahap pembuatan permohonan atau gugatan


Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR)
namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat
dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan
dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani
olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya :

1) Identitas pemohon
2) Urain kejadian
3) Permohonan

Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut :


Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun
dalam HIR atau Rbg idak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 ayat
3 Rv, yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
1) Identitas para pihak
Bagian ini mengenai identitas yang terang dari pihak-pihak yang berperkara
meliputi nama, umur, pekerjaan, dan tempat tinggal dari penggugat dan
tergugat.
2) Posita
Merupakan dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar, serta alasan-alasan daripada tuntutan (middellen van den
eis) atau dikenal juga dengan sebutan Fundamentum petendi.
Fundamentum petendi atau dasar dari tuntutan terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian
yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan
penjelasan duduk perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang

adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada
tuntutan. Uraian yuridis ini bukanlah merupakan penyebutan peraturanperaturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.
3) Petitum
Petitum atau tuntutan ialah apa yang diminta oleh penggugat atau diharapkan
agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum ini akan mendapatkan jawabannya
di dalam dictum atau amar putusan. Maka penggugat harus merumuskan
petitum dengan jelas dan tegas. Sebab tuntutan yang tidak jelas atau tidak
sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan ini (niet ontvankelijk
verklaard). Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang
bertentangan satu sama lain, akan dieksepsi obscuur libel berakibat tidak
diterimanya gugat tersebut.
Di samping petitum/tuntutan pokok kita jumpai pula tuntutan tambahan atau
pelengkap tuntutan pokok, biasanya sebagai tuntutan tambahan yaitu:
a. Tuntutan agar supaya menyatakan sah dan berharga sita jaminan (C.B.)
atas benda milik tergugat.
b. Tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara.
c. Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu
(uitvoerbaar

bijvoorrad),

meskipun

putusannya

dilawan

atau

dimintakan banding.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir),
apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa pembayaran

sejumlah uang tertentu. Bunga ini dibebankan sebagai ganti kerugian


karena terlambat memenuhi isi perjanjian dan diperhitungkan sejak
diajukan gugatan di pengadilan. Berdasarkan S. 1848 No. 22 besarnya
bunga berjumlah 6% setahun.
e. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa
(dwangsom)
f. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan akan nafkah
bagi anak-anak.
Agar lebih besar kemungkinan suatu gugatan dikabulkan oleh pengadilan, maka sering
tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti (petitum
subsidair). Isi dari tuntutan itu biasanya berbunyi: ex aequo et bono atau mohon
putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan. Tujuannya tidak lain agar kalau tuntutan
primair ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas
kebebasan dari hakim serta keadilan.
C. Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan
Setelah

permohonan

atau

gugatan

dibuat

kemudian

didaftarkan

di

kepaniteraan pengadilan agam yang berwenang memeriksa dengan membayar


biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau
pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan sidang.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan
kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang
memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut

Penetapan Majelis Hukum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua
majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Apabila
belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera
sidang sendiri.

D. Tahap pemeriksaan permohonan atau gugatan


Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atau kedua belah pihak
tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya
kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan
yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan
pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila :
1) Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur
2) Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek
atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
a. Apabila terdapat beberapa tergugat yang hadir, ada yang tidak hadir,
pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap
tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
b. Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai
dengan hukum yang berlaku.

3. Pemberian Kuasa

A. Pengertian
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUHPerdata). Dengan kata lain,
pemberian

kuasa

adalah

suatu

persetujuan

mengenai

pemberian

kekuasaan/wewenang (lastgeving) dari satu orang atau lebih kepada orang lain
yang menerimanya (penerima kuasa) guna menyelenggarakan/melaksanakan
sesuatu

pekerjaan/urusan

(perbuatan

hukum)

untuk

dan

atas

nama

(mewakili/mengatasnamakan) orang yang memberikan kuasa (pemberi kuasa).


Pada pokoknya, pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan perwakilan
melaksanakan perbuatan hukum tertentu.
Dari definisi tersebut dapatlah ditarik unsur unsur dari pemberian kuasa yaitu :
1) Perjanjian
2) Pemberi Kuasa
3) Penerima Kuasa
4) Urusan yang dikuasakan
Dalam praktek, pemberian kekuasaan tidak terbatas hanya dapat dilakukan dari
seseorang kepada seseorang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1792
KUHPerdata tersebut di atas. Tapi, dapat dilakukan dari satu orang atau lebih pemberi
kuasa kepada satu orang atau lebih penerima kuasa.
Tidak semua perbuatan hukum dapat dikuasakan atau diwakilkan kepada orang
lain. Misalnya, mengangkat anak/adopsi, membuat wasiat/testament (Pasal 932
KUHPerdata), melangsungkan perkawinan kecuali ada alasan kuat/penting (Pasal 79
KUHPerdata).
Pasal 1793 KUHPerdata menyebutkan beberapa bentuk pemberian kuasa, yakni :
pemberian kuasa otentik (akta otentik), pemberian kuasa dibawah tangan (akta
dibawah tangan), pemberian kuasa dengan sepucuk surat biasa, pemberian kuasa lisan
dan pemberian kuasa diam-diam.

Pemberian kuasa otentik (akta otentik) adalah pemberian kuasa yang dibuat oleh
dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang (Notaris). Pemberian kuasa seperti
ini memiliki kekuatan pembuktian formil yang sempurna, terutama mengenai
penandatanganannya. Penyangkalan terhadap kebenaran materiilnya, harus dibuktikan
oleh pihak yang menyangkal.
Pemberian kuasa yang terikat dengan syarat-syarat formil atau harus dibuat secara
otentik, antara lain :
1) Pemberian kuasa untuk melangsungkan perkawinan karena ada alasan
kuat/penting (Pasal 79 KUHPerdata).
2) Pemberian kuasa menghibahkan (Pasal 1683 KUHPerdata). Dengan
berlakunya UUPA, telah dicabut sepanjang mengenai tanah.
3) Pemberian kuasa untuk memasang Hipotek (Pasal 1171 KUHPerdata).
4) Pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan/SKMHT (Penjelasan
Umum Butir 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan/UUHT).

Pemberian kuasa dibawah tangan (akta dibawah tangan) adalah pemberian kuasa
yang dibuat tanpa campur tangan pejabat umum yang berwenang (Notaris). Pemberian
kuasa seperti ini hanya akan mempunyai kekuatan pembuktian formil yang sempurna
sebagaimana pemberian kuasa otentik jika tidak ada penyangkalan terhadap kebenaran
materiilnya (Pasal 1875 KUHPerdata). Kekuatan pembuktian materiilnya pun menjadi
sama dengan akta otentik dan keterangan didalamnya dianggap sebagai kebenaran serta
mengikat para pihak yang membuatnya, termasuk mereka yang mendapatkan
hak/keuntungan daripadanya.
Jika terjadi penyangkalan, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran
dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di pengadilan (Pasal 1877 KUHPerdata).

Dengan kata lain, masing-masing pihak mengajukan bukti dan harus membuktikan
kebenarannya di pengadilan (melalui bukti saksi-saksi dan/atau bukti tertulis).
Pemberian kuasa secara diam-diam adalah pemberian kuasa yang tidak disebutkan
secara tegas untuk melakukan suatu pekerjaan/urusan tapi untuk kepentingan pemberi
kuasa maka penerima kuasa dapat pula melakukannya. Pemberian kuasa ini mengikat sah
pada detik kesepakatan (konsensual).
Jenis-jenis Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan
pemberian kuasa secara khusus (Pasal 1795 KUHPerdata).
A. Pemberian Kuasa Secara Umum (Surat Kuasa Umum)
Pemberian kuasa secara umum dalah pemberian kuasa yang meliputi pelaksanaan
segala kepentingan dari pemberi kuasa, kecuali perbuatan hukum yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUHPerdata). Kuasa diberikan seluasluasnya sehingga nyaris tanpa ada pengecualian, termasuk terhadap hal-hal yang tidak
disebutkan

dalam

surat

kuasa.

Contohnya,

kuasa

pengurusan

dan

pemeliharaan/perawatan penghunian rumah.

B. Pemberian Kuasa Secara Khusus (Surat Kuasa Khusus)


Pemberian kuasa secara khusus adalah pemberian kuasa yang hanya meliputi
pelaksanaan satu/lebih kepentingan tertentu dari pemberi kuasa (Pasal 1795
KUHPerdata). Perbuatan hukum/kepentingan dimaksud harus disebutkan/dirumuskan
secara tegas dan detail/terperinci. Contohnya, kuasa memasang hipotek atau
membebankan hak tanggungan, kuasa untuk melakukan perdamaian, kuasa bagi
Advokat untuk mewakili perkara kliennya di pengadilan.
Seorang penerima kuasa berkewajiban:

A. Melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang dikuasakan kepadanya dengan


baik.
B. Memberikan laporan secara berkala kepada pemberi kuasa mengenai pelaksanaan
urusan yang dikuasakan kepadanya.
C. Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang ia lakukan diluar pemberian
kuasa atau yang timbul atas kelalaiannya.
D. Bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan yang dilakukan oleh orang yang ia
tunjuk sebagai penerima kuasa pengganti sedangkan ia tidak dikuasakan untuk
itu.

Adapun seorang pemberi kuasa berkewajiban untuk:


A. Memenuhi Perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa sepanjang dalam
rangka pelaksanaan kuasa
B. Memberikan penggantian segala biaya ataupun kerugian yang dikeluarkan oleh
penerima kuasa dalam rangka pelaksanaan kuasa
C. Membayar upah penerima kuasa apabila memang diperjanjikan suatu upah.

4. Perdamaian dan Mediasi


Proses Perdamaian Dalam Peradilan Perdata
Dalam suatu proses persidangan perkara perdata, hal pertama yang dilakukan oleh
majelis hakim adalah mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Upaya tersebut
dilakukan oleh hakim sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
No : 1 Tahun 2002 sebagai berikut :

A. Agar semua hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh


mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/RBg,
tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian.
B. Hakim yang ditunjuk dapat sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik
dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data serta argumentasi para pihak
dalam rangka ke arah perdamaian.
C. Pada tahap selanjutnya apabila di kehendaki para pihak yang berperkara, hakim
atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan
mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai
pokok persoalan yang disengketakan, danberdasarkan informasi yang diperoleh
serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba
menyusun proposal perdamaian yang kemudian di konsultasikan dengan para
pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
D. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihaktidak
dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan,untuk menjaga
obyektifitas.
E. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepadahakim
yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 ( tiga ) bulan,dan dapat
diberikan perpanjangan apabila ada alasan untuk itu denganpersetujuan Ketua
Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidaktermasuk waktu penyelesaian
perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun1992.
F. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda
tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian atau dading, agardengan akta
perdamaian itu para pihak menepati apa yang telahdisepakati tersebut.
G. Keberhasilan
penyelesaian
perkara
melalui
perdamaian,

dapat

dijadikanpenilaian bagi hakim yang menjadi fasilitator.


H. Apabila usahausaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil,hakim
yang

bersangkutan

melaporkan

kepada

Ketua

Pengadilan

Negeridan

pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengantidak menutup

peluang bagi para pihak, untuk berdamai selama prosespemeriksaan


berlangsung.
I. Hakim yang menjadi fasilitator atau mediator wajib membuat laporankepada
Ketua Pengadilan secara teratur.
J. Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat
dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.

Dalam proses persidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan


pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang
berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang
yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua
mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam
sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang
dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa.

Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para
pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan
131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam
sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasalpasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi
teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung
(MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas
mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa
PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan

baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila
proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan.

Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan


yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu
dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral.
Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian
sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu
dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun
asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator.

Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur
mediasi sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. [Pasal 7
Perma No. 1 Tahun 2008]

Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:


A. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
B. Advokat atau akademisi hukum;
C. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai

atau

berpengalaman dalam pokok sengketa;


D. Hakim majelis pemeriksa perkara;
E. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan
butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian
tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. [Pasal 7 Perma No. 1
Tahun 2008]

Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak
pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna
memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator
bukan hakim. Jika setelah jangka waktu maksimal yaitu 2 (dua) hari, para pihak tidak dapat
bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan
kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima
pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera
menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang
sama untuk menjalankan fungsi mediator. [Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak
wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan
mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.
[Pasal 12 Perma No. 1 Tahun 2008]

Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang
terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua
dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut
pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam
proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang
bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan bukti.

Tahap-Tahap Proses Mediasi


Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator
yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama
lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada
hakim mediator yang ditunjuk.

Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator
dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para
pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari.
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara
jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008]
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak
atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai
jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak
menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses
mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi
melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan
pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang
berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat
menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan
tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. [Pasal 13 Perma No. 1
Tahun 2008]

Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 14
Perma No. 1 Tahun 2008] Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili
oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan
yang dicapai.

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi


kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan
hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak
wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk
memberitahukan kesepakatan perdamaian.

Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula
pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. [Pasal 17
Perma No. 1 Tahun 2008]

Tugas-Tugas Mediator:
A. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak
untuk dibahas dan disepakati.
B. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.

C. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.


D. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
[Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008]

Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15
Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi
telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima
pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang
untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa
perkara yang bersangkutan. [Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008]

Tempat Penyelenggaraan Mediasi


Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau
ditempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan
mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat
Pertama tidak dikenakan biaya. [Pasal 20 Perma No. 1 Tahun 2008]

Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan


sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan
perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian

dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan
kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum
para pihak dengan objek sengketa.

Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam
bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
A.
B.
C.
D.
E.

Sesuai kehendak para pihak;


Tidak bertentangan dengan hukum;
Tidak merugikan pihak ketiga;
Dapat dieksekusi.
Dengan iktikad baik. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]

Perdamaian Di Tingkat Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali


Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian
terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau
terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali
sepanjang perkara itu belum diputus. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]

Kekuatan Hukum Akta Perdamaian


Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap

Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun
kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial

Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki
kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan
eksekusi kepada pengadilan.

Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding

Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian
tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN


Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat
perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk
menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi
berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang
merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA
Nomor 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak
kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran
maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang
permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut. Latar Belakang mengapa Mahkamah
Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh
hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses
perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alas an sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika
para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah
perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat
diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hokum kasasi
karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka
tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka
putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan
hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan
para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya
hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung
yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan
murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang
membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan
proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada
alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya
hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang
bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan
tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika
perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat
menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak
bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang
sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang
termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi,
tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya
mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan
para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan
penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu
oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka
telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa
ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak
menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum
acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu
mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan,
bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang
memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil
akhir.

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masamasa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan
diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi
dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi
diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan
perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi
juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya
perdamaian. Inspirasi Prosedur Mediasi Dalam rangka menindaklanjuti keputusan MARI

merevisi PERMA Nomor 2 Tahun 2003, telah dibentuk sebuah Kelompok Kerja untuk
mengkaji berbagai kelemahan pada PERMA dan mempersiapkan draf PERMA hasil revisi,
yang hasilnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. Kelompok Kerja ini diketuai oleh Dr.
Harifin

A.

Tumpa,

SH.MH.

yang

dilanjutkan

oleh

Atja

Sondjaja,

SH.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk


menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut. Hasil kerja Kelompok Kerja
kemudian diserahkan kepada Kelompok Pengarah (Steering Committee), yaitu terdiri atas
Wakil Ketua MARI bidang Yustisial, dan seluruh Ketua-Ketua Muda MARI dan konsultan
ahli. Kelompok Pengarah menentukan kata akhir atas tiap rumusan pasal-pasal dalam
PERMA hasil revisi.
Dalam PERMA No 1 tahun 2008, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator
lebih dari satu orang yang terdiri atas hakim dan profesi lainnya yang dianggap memahami
masalah pokok sengketa. Konsep ini menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum
Jepang. Jika dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak
dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA Nomor 1
Tahun 2008, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang
diperiksanya jika dikehendaki oleh para pihak atau atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).
Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya
menyerupai dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang. Selanjutnya, dalam sistem
hukum Jepang dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar pengadilan dapat
dimintakan pengesahannya kepada pengadilan. Konsep Sokketsu Wakai memberikan
inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam PERMA seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 24, (1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati
pedoman perilaku mediator. (2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.

Mediasi dalam rangka Perma No. 1 Tahun 2008 bersifat wajib ditempuh dalam perkara
perdata yang diajukan ke pengadilan pada tingkat pertama atau di pengadilan Negeri,
demikian pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 menegaskan. Oleh karena itu, sifat dari
mediasi di pengadilan ini adalah bersifat mandatory, para pihak tidak bisa menolak ataupun
untuk meminta langsung dilakukannya pemeriksaan perkara secara litigasi kepada Majelis
Hakim yang memeriksa perkara itu. Dan lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (3) Perma No. 1
Tahun 2008 ditentukan bahwa apabila ada perkara yang di periksa dan diputus tidak
menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang dihadiri penggugat dan tergugat atau kuasa
hukumnya, hakim mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 7
ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau
paling lama 2 hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator baik yang ada di
dalam daftar yang dimiliki oleh pengadilan ataupun di luar daftar pengadilan, termasuk biaya
yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim (Pasal 11 ayat (1)
Perma No. 1 Tahun 2008). Mediator yang dipilih bisa dari kalangan hakim, asalkan bukan
hakim yang memeriksa perkara tersebut, ataupun mediator dari kalangan non-hakim dengan
syarat telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang telah diakreditasi oleh MA (Pasal 9
Perma No. 1 Tahun 2008).
Pelaksanaan mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan dan untuk
penggunaan ruangan ini tidak dikenakan biaya, sedangkan apabila pelaksanaan mediasi
dilakukan di tempat lain, maka biaya yang timbul dari penggunaan tempat tersebut di
bebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. Demikian pula penggunaan mediator

hakim tidak dikenakan biaya sedangkan untuk mediator bukan hakim biayanya di tanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2008).
Tahap mediasi dimulai lima hari kerjasetelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak
wajib menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator (Pasal 13
ayat (1) Perma No.1 Tahun 2008). Proses mediasi berlangsung selama empat puluh hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis Hakim (Pasal 13 ayat
(3) Perma No. 1 Tahun 2008) dan atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi
dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari sebagaimana di
maksud dalam ayat 3 (pasal 13 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2008). Dalam pelaksanaan
mediasi para pihak ataupun kuasa hukumnya dan mediator dapat mengundangsaksi ahli
dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan ataupun pertimbangan terkait dengan
penyelesaian sengketa, di mana segala biaya pemanggilan saksi ahli ini dibebankan kepad
para pihak (Pasal 16 Perma No. 1 Tahun 2008).baik di capai kesepakatan atau pun tidak, hasil
dari mediasi tetap dibawa ke pengadilan dan para pihak menghadap kembali kepada majelis
hakim. Apabila dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut harus dirumuskan secara
tertulis serta ditandatangani para pihak dan mediator memeriksa kembali kesepakatan
tersebut untuk menghindari adanya kesepakatan yang saling bertentangan. Atas kesepakatan
yang telah dicapai berdasarkan permintaan para pihak, hakim dapat mengukuhkan
kesepakatan itu sebagai akta perdamaian (akta van dading) yang memiliki kekuatan hukum
tetap, dan sebaliknya apabila para pihak tidak menghendaki dikukuhkannya kesepakatan itu
dalam akata perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis itu harus terdapat klausula yang
memuat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17 Perma No. Tahun 2008)
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam mediasi hingga batas waktu yang di tentukan,
mediator wajib menyatakan bahwa proses mediasi gagal dan memebritahukannya kepad

Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Segera setelah pemberitahuan itu hakim
melanjutkan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku (pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008). Apabila mediasi gagal mencapai
kesepakatan dan proses pemeriksaan perkara di persidangan di lanjutkan kembali, maka
segala pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan
dalam proses persidangan yang bersangkutan atau perkara lainnya. Demikian pula fotokopi
dokumen, notulen, dan catatan mediator wajib dimusnahkan dan mediator tidak dapat diminta
untuk menjadi saksi dalam persidangan perkara yang bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1
Tahun 2008).

Prosedur Untuk Mediasi


1.

Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian
majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.

2.

Setelah pihakpihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator


berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.

3.

Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya


perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masingmasing pihak yang berperkara.

4.

Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari
ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna

mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus


atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1.

netral

2.

membantu para pihak

3.

tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.


Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau
memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi
berlangsung kepada para pihak.
Tugas-tugas Mediator

1.

Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para


pihakuntuk dibahas dan disepakati.

2.

Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.

3.

Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah
selama proses mediasi berlangsung.

4.

Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Daftar Mediator

Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak untuk
memilih mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.
1.

Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan


daftar mediator yang sekurang-kurangnya memuat 5(lima) nama dan disertai dengan latar
belakang pendidikan atau pengalaman dari para mediator.

2.

Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat


dalam daftar mediator.

3.

Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan bukan hakim
yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang bersangkutan dapat ditempatkan dalam
daftar mediator.

4.

Kalangan bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada


ketua pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang
bersangkutan

5.

Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan


menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.

6.

Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator.

7.

Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator


berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain karena mutasi tugas, berhalangan tetap,
ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.
Honorarium Mediator

1.

Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.

2.

Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan para pihak.

Beberapa Poin Mediasi/Perdamaian:


1.

Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim
wajib mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang
berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam
sidang sidang berikutnya meskipun taraf pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154
RBg).

2.

Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan
terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan yang
menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut. 3. Akta atau putusan
perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan
yang bersangkutan.

3.

Akta/ putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan
peninjauan kembali.

4.

Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara
persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan
dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah
(Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg).

5.

Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak
yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut.

6.

Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut,
apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang
tertutup untuk umum.

7.

Dalam mengupayakan perdamaian digunakan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang


Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator (Pasal 2 ayat (3) PERMA).

8.

PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai