Anda di halaman 1dari 2

Teknik pembuatan Pledoi

Setelah Penuntut Umum (PU) membacakan Requisitoir maka Ketua Sidang atau Ketua
Majelis Hakim memberi kesempatan kepada terdakwadan/atau Penasihat Hukum (PH) untuk
mengajukan Pembelaan atau pledoi. Pedoi tersebut dapat diajukan masing-masing oleeh terdakwa
dan PH atau hanya PH saja.
Kata Pledoi dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia diartikan pidato pembelaan terhadap terdakwa
yang dibacakan oleh Advocaat atau pembela atau oleh terdakwa sendiri.
Maksud pembuatan Pledoi adalah untuk melemahkan isi dari tuntutan (requisitoir) PU
dengan kata lain jika isi requisitoir berusaha membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti
yang diajukan di sidang pengadilan dengan melihat isi pledoi/pembelaan bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana karena bukti-bukti yang diajukan ke sidang pengadilan tidak cukup.
Pada KUHAP pengajuan pledoi diatur dalam pasal  182 ayat(1) huruf b yang bunyinya :
“Selanjutnya terdakwa dan/atau PH mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh
PU...”
Penjelasan pasal tersebut : cukup jelas, sehingga KUHAP tidak menjelaskan cara pengajuan pledoi.
Pledoi itu sendiri berupa berupa bantahan atas dakwaan PU. Kalau PU misalnya,
mengatakan bahwa terdakwa A telah melakukan perbuatan penipuan. Tetapi terdakwa A atau PH
mengajukan bantahan dengan mengatakan, bahwa A tidak benar melakukan perbuatan pidana
penipuan. Sekadar analogi, kalau PU mengatakan bahwa telapak tangan si A itu kotor,tetapi
pembela mengatakan bahwa telapak tangan si A itu bersih, tidak kotor. Dan, alasan tidak kotor itu
harus dibuktikan dan harus ditunjukkan argumentasinya. Dalam membuat bantahan atau
pembelaan, terdakwa atau pembela, tentulah bukan sekadar membantah atau sekadar “debat
kusir” belaka. Namun, bantahan atau pembelaan itu haruslah berdasarkan bukti-bukti, baik berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, maupun bukti tertulis lainnya. Selain berdasarkan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan, pembelaan juga harus berisi pandangan atau tinjauan hukum dari
seorang pembela terhadap perkara atau kasusnya tersebut.
Denga kata lain, PH setelah mengutarakan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan,
seklanjutnya akan menyoroti unsur subjektif yaitu unsur dolus.
Kecermatan, ketelitian, dan kejelian memahami dakwaan, unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan dan hukum pembuktian merupakan inti pokok pada penyusunan/perumusan
pembelaan (pleidoi).
Selain hal-hal tersebut diatas, perlu juga diamati tentang unsur melawan hukum karena
semua delik baik dirumuskan pada pasal undang-undang maupun tidak dirumuskan mengandung
unsur melawan hukum.
Dalam praktek, membuat pledoi itu bentuknya sangat variatif. Maksudnya, antara perkara
yang satu dengan perkara yang lain, yang mungkin kelihatannya sama kasus posisinya, namun
sebetulnya ada perbedaan soal substansinya dan ditambah pula selera para pembelanya. Sehingga
oleh karena itulah, maka pembuatan pledoi itu tidak ada contoh yang baku, dan juga sistimatika
yang baku pula, kesemuanya sangat tergantung pada kasus posisinya,dan selera pembelanya.
Bahwa didalam sebuah pleldoi juga tidak jarang ditemukan adanya pledoi yang disusun
secara penuh dengan mengedepankan teori-teori atau ajaran hukum dan minim porsi fakta hukum
dari perkara yang sebenarnya dihadapi, namun ada juga pledoi yang diisi penuh dengan fakta-fakta
tetapi minim didukung oleh teori-teori atau ajaran hukum. Kecenderungan-kecenderungan tersebut
tentunya tidak baik bagi sebuah penyusunan pledoi dan menunjukan bahwa pembuatan pledoi
tersebut tampak tidak maksimal. Idealnya pembuatan pledoi adalah kombinasi antara fakta
perbuatan dalam persidangan dengan dukungan atau diperkuat teori/ajaran hukum.
Dalam hal membuat pledoi sistematikanya boleh berbeda-beda sesuai keinginan sang
pembela, namun substansinya haruslah tetap sama. Karena, substansi dari sebuah pledoi yang baik
itu adalah menyangkut sistematikanya atau alur berpikirnya harus jelas, logikanya baik, Bahasa
Indonesianya baik dan benar, dasar hukumnya ada, dan  obyektifitasnya jelas. Naskah sebuah pledoi
dapat berupa sebuah karya tulis yang dibuat berdasakan fakta-fakta persidangan dengan dukungan
teori-teori hukum yang pada intinya untuk mematahkan requisitoir Penuntut Umum dengan maksud
untuk membela kepentingan hukum terdakwa. Namun secara umum kerangka pleidoi bisa disusun
seperti ini:
I. Pendahuluan
II. Tentang Surat Dakwaan dan Analisis Surat Dakwaan
III. Tentang Surat Tuntutan dan Analisis Surat Tuntutan
IV. Fakta Persidangan
V. Analisa Hukum
VI. Analisa Unsur Pasal
VII. Kesimpulan dan Penutup
VIII. Permohonan

Banyak aspek teknis lainya dalam pembuatan pledoi, tetapi hal ini tidak akan menjadi
penting jika pledoi dibuat hanya sbagai syarat saja atau hanya sekedar memenuhi tuntutan
formalitas belaka dari kewajiban seorang pengacara dalam mendampingi klienya dalam persidangan.
Perlu juga diketahui bahwa tidak selamanya terdakwa ataupun PU mempergunakan haknya
untuk membuat/mengajukan Pledoi, bisa saja karena terdakwa sudah sepenuhnya mengakui
kesalahanya dan perbuatanya tersebut adalah benar – benar telah terdakwa lakukan. Apabila hal ini
terjadi, selanjutnya ketua Majelis Hakim  melanjutkan pada tahap putusan pidana. Namun apabila
terdakwa/PH mempergunakan haknya untuk mengajukan pledoi maka selanjutnya persidangan
memasuki pada tahap pembuatan/pengajuan Replik dan duplik.

Anda mungkin juga menyukai