Anda di halaman 1dari 4

Dibalik Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah

Problematika hukum calon tunggal kepala daerah diawali dengan munculnya fenomena
calon tunggal kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Dalam praktiknya, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak mengantisipasi adanya calon tunggal kepala daerah dan
untuk mengantisipasi kondisi tersebut, muncul Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 terkait
penundaan pemilihan kepala daerah jika hanya terdapat satu pasangan calon dalam suatu
daerah1. Meskipun perbaikan demi perbaikan sistem pemilihan pilkada sudah dilakukan
dengan adanya perubahan UU Pilkada demi penyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat, namun ketentuan pasal 52 ayat (2) yang memberikan ketentuan
bahwa “KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan wakil Walikota”.

Ketentuan tersebut menimbulkan polemik karena munculnya calon tunggal yang ada
pada beberapa daerah. Menurut Djayadi Hanan setidaknya ada tiga faktor penyebab timbulnya
fenomenum calon tunggal di beberapa daerah. Pertama, adanya pengetatan persyaratan baik
melalui undang-undang pemilihan kepala daerah yang disahkan DPR dan Pemerintah sebagai
UU No. 8 Tahun 2015. Pengetatan peraturan terlihat dari beratnya persyaratan untuk maju
sebagai calon independent. Pasangan calon perseorangan harus menunjukan dukungan
penduduk sebesar 6,5 hingga 10 persen yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(KTP).2 Kedua, keputusan MK yang mengharuskan anggota DPR/DPRD berhenti dari
jabatannya jika menjadi peserta pilkada. Hal ini makin membuat calon peserta pilkada semakin
sedikit. Keputusan MK ini sebetulnya bisa diperdebatkan, praktik di banyak negara tidak
mengharuskan anggota legislatif mundur jika maju menjadi calon jabatan politik lainnya.
Ketiga, selain kedua faktor tersebut, lemahnya kaderisasi partai, kolusi antarpartai, dan
lemahnya orientasi kebijakan (ideology) partai juga ikut menyumbangkan sebagai faktor
penyebab timbulnya fenomenum calon tunggal3.

1
Maryam Nur Hidayati, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun
2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol. 1 Januari 2016:37-57 hlm 1.
2
Djayadi Hanan, “Calon Tunggal, Kaderisasi dan Kolusi Partai”, Suara Pakar, Majalah Suara KPU, Edisi 4 2015,
hlm 18.
3
Ibid …, hlm 18-19
Calon tunggal hadir semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi 100/PUU-
XII/2015 Tentang Pengujian UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerimtah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 20154. Menurut Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian
Institute, cikal bakal lahirnya rezim calon tunggal dalam pilkada disebabkan oleh tidak
efektifnya partai politik dalam memerankan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Ketidakefektifan partai politik termanifestasi setidaknya terdapat dalam dua hal yaitu pertama,
partai politik tidak melakukan pengkaderan kepemimpinan secara serius. Tidak adanya
kandidat lain yang maju disebabkan oleh tidak adanya stok pemimpin yang dimiliki oleh partai
untuk diajukan sebagai calon kepala daerah. Kedua, munculnya dukungan partai secara
Bersama-sama kepada satu pasangan calon menunjukkan bahwa partai politik telah kehilangan
identitasnya sebagai agen petarung5.

Mestinya, sebagai institusi rekrutmen politik, Parpol menunjukkan eksistensi


terbaiknya dengan mengusung calon-calon handal milik mereka sekaligus untuk menguji daya
tarung mesin Parpol melalui kerja-kerja pemenangan dan pengawalan suara calon yang mereka
usung di Pilkada serentak6. Sulit untuk membantah bahwa calon tunggal terjadi karena
dominasi pragmatisme Parpol, kuatnya kepentingan oportunistik, dan kompromi politik
beraroma transaksional yang dibangun di antara Parpol pengusung. Karenanya, calon tunggal
di Pilkada jadi ujian luar biasa bagi demokrasi Indonesia untuk membangun kesadaran pemilih
bahwa kedaulatan suara yang ada padanya harus diekspresikan dengan maksimal ketika
mencoblos di bilik suara.

Terkait jika kotak kosong yang menang dalam pilkada telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada pasal 54 D berbunyi, KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan 1 (satu) pasangan
calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 C, jika mendapat suara lebih dari 50 persen dari
suara sah. Selain itu, aturan ini juga terdapat dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun tentang
Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil

4
https://www.theindonesianinstitute.com/calon-tunggal-di-pilkada-rugikan-masyarakat/, diakses pada 05
Januari 2020.
5
ibid
6
https://beritagar.id/artikel/telatah/calon-tunggal-dan-krisis-eksistensi-partai, diakses pada 05 Januari 2020
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wakil Wali Kota dengan satu
pasangan7.

Jika fenomena calon tunggal ini terus berlanjut dan tren angkanya terus meningkat,
publik akan semakin dirugikan. Masyarakat tidak memiliki pilihan kandidat lain yang dapat
dipertimbangkan. Selain itu di level penyelenggaraan pemerintahan, kehadiran calon tunggal
dapat berpotensi menghilangkan fungsi checks and balances DPRD terhadap Kepala Daerah.

7
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/28/18205271/kemendagri-sebut-calon-tunggal-tak-bisa-
dilantik-jika-suara-tak-lebihi-50, diakses pada 05 Januari 2020.
Daftar Pustaka

 Nur Hidayati, Maryam. 2015 “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam Pemilihan
Kepala Daerah Serentak Tahun 2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol. 1 Januari 2016:37-
57 hlm 1.
 Djayadi Hanan. 2015 “Calon Tunggal, Kaderisasi dan Kolusi Partai”, Suara Pakar,
Majalah Suara KPU, Edisi 4 2015, hlm 18.
 The Indonesian Institute. 2018. “Calon Tunggal di Pilkada Rugikan Masyarakat”.
https://www.theindonesianinstitute.com/calon-tunggal-di-pilkada-rugikan-
masyarakat/, diakses pada 05 Januari 2020.
 Kompas.Com. 2018. “Kemendagri Sebut Calon Tunggal Tak Bisa Dilantik jika Suara
Tak Lebihi 50 Persen”.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/28/18205271/kemendagri-sebut-calon-
tunggal-tak-bisa-dilantik-jika-suara-tak-lebihi-50, diakses pada 05 Januari 2020.
 Anggraini, Titi. 2018. “Calon Tunggal dan Krisis Eksistensi Partai”.
https://beritagar.id/artikel/telatah/calon-tunggal-dan-krisis-eksistensi-partai. Diakses
pada 05 Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai