DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
1. Kevin Aldrin (1810113043)
2. Hafiz Dwi Alhadi (1910111058)
3. Raju Putra (1910111136)
4. Xena Indah Kirana (1910111005)
5. Arya Tirta Kembara (1910112026)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas hukum perjanjian ini dengan
baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu masalah “ hukum penitensier” itu sangat
berarti dan penting untuk di pahami.
Tugas ini kami buat untuk memberikan pembahasan tentang penjelasan dari hukum
penitensier di indonesia. Mudah- mudahan paper yang kami buat ini bisa menolong
menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. kami menyadari kalau masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan paper ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Tertanda, penulis
KELOMPOK 1
I
Daftar pustaka
Kata pengantar.......................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PERMASALAHAN
A. RUMUSAN MASALAH.................................................................3
B. TUJUAN......................................................................................3
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN...........................................................................27
B. SARAN......................................................................................27
II
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum merupakan suatu yang sangat diperlukan dalam urusan mengatur ketertiban
dalam bermasyarakat dan suatu yang harus ada dalam negara indoneisa yang notabene nya
Hukum Penitensier atau Hukum Penghukuman atau Hukum Pemidanaan, atau ada yang
Studi mengenai hal ini telah berkembang menjadi suatu mata kuliah terpisah dari Asas-asas
Hukum Pidana (yang dalam kurikulum berbagai Fakultas Hukum kini, lebih dikenal dengan
sebutan Hukum Pidana). Perkembangan tentang bidang pidana dan pemidanaan semakin
mengemuka, mengingat hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam penerapannya akan
bersinggungan dengan hak asasi manusia. Bukan hanya menyangkut kriteria pengancaman,
penjatuhan suatu jenis atau macam pidana dalam rangka pembalasan, dan perlindungan
serta pengayoman masya-rakat, tetapi juga bagaimana upaya untuk memperbaiki pelaku
pengampunan terhadap “dosa” yang dilakukan oleh si pelaku. Selain itu, pesatnya kemajuan
dalam berbagai bidang kehidupan aki-bat globalisasi, turut mewarnai corak pidana dan
pemidanaan di suatu negara. Pengaruh interaksi dengan negara-negara lain dan organisasi-
organisasi dunia, seperti PBB, pun merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan
agar suatu negara mendapatkan tempat dalam pergaulan dunia. Apalagi jika dikaitkan
dengan pendapat bahwa hukum pidana suatu bangsa adalah cermin peradaban suatu
bangsa atau indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of civilization of a nation).
1
Hukum penitensier tidak dapat dilihat hanya sebatas penerapan sanksi pidana terhadap
akibat-akibat hukum (pemidanaan) dari tindak pidana tersebut. Di sini perannya sangat
penting dalam melengkapi hukum pidana, yang ketika memasuki berbagai kajian penitensier,
akan menampakkan begitu banyaknya dimensi lain ketim-bang sekadar dogmatika hukum
pidana yang diperlukan dan dipergunakan. Masalah pengancaman dan penjatuhan pidana
tidak dapat dilihat hanya sekadar persoalan pembuatan dan penerapan aturan hukum, te-
tapi juga bagaimanakah efektivitas suatu aturan dikemudian hari, baik bagi si pelaku yang
dikenai sanksi pidana (dan tindakan) maupun terhadap masyarakat luas, terlebih dalam era
2
BAB II
PERMASALAHAN
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
pendapat ahli.
3
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam bahasa Belanda, istilah penitensier dikenal dengan nama Penitentier, yang
menurut sebagian kalangan dipakai sebagai kata lain dari straffen. Penitentier Recht atau
Straffen Recht secara etimologis dapat dipilah atas kata dasar straffen (naamwoord) yang
berarti pidana, namun straffen (werkwoord) dapat juga berarti pemidanaan; dan recht
berarti hukum. Dalam hal ini Penitentier Recht berarti hukum pemidanaan . 1
hukum pidana, sehingga secara umum Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana
bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai
terhukum.2
J.M. van Bemmelen, seorang pakar hukum pidana Belanda menya-takan bahwa
Penitentier Recht adalah: “het recht betreffende doel, werking en organisatie der
1
Mompang L. Panggabean, POKOK-POKOK HUKUM PENITENSIER DI INDONESIA, UKI Press, Jakarta,
2005, hal. 7
2
Hukum penitensier, diakses pada 30 agustus 2020, pada https://wonkdermayu.wordpress.com/
3
Mompang L. Panggabean, OP. cit, hal. 9
4
penindakan dan lembaga-lembaga kebijaksanaan yang te-lah diatur oleh
mengenai sistem pidana dan pemidanaan yang menentukan jenis sanksi yang
suatu penahanan dalam jangka waktu yang lama untuk penjahat kelas berat
yang mengatur tentang daya kerja berlakunya sanksi pidana dalam arti luas
yang ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana dan telah diadili
dalam peradilan pidana dan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti
Pada sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :
4
Ibit. Hal. 10
5
Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana
suatu perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh
kondisi social yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat
maka perbuatan itu akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU
De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam
perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan
barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum
pelaksanaan program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh
BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik
daya paksa.
Tujuan dari hukum penintensier adalah agar yang berhubungan dengan hukuman
seseorang dapat dilaksanakan dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan
Di dalam hukum pidana terkandung ada 3 konsep yang dapat dianggap sebagai konsep-
6
3. Pemidanaan (Punishment)
Ketiga konsep dasar ini adalah oleh “HERBERT” dianggap sebagai Resionde Hukum
Pidana, sebab ketiganya akan tergambar adanya 3 permasalahan pokok dalam hukum
pidana.
Konsep yang pertama (1) yaitu tindak pidana akan menggambarkan permasalahan pokok
mengenai apa ukuran yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
Konsep yang kedua (2) yaitu menyangkut ukuran apa yang dapat digunakan untuk
pidana.
Konsep ketiga (3) yaitu menggambarkan permasalahan pokok menyangkut bentuk sanksi
yang bagaimanakah yang dapat ditimpakan kepada seseorang yang terbukti telah melakukan
Selama ini boleh dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan kriminologi lebih
banyak tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada konsep pertama (1) dan
yang kedua (2) saja. Sementara masalah pidana dan pemidanaan itu lebih berkesan dan
seolah-olah hanya dianggap sebagai anak tiri dalam hukum pidana. Anggapan seperti ini
tidak dapat dibenarkan karena pidana dan pemidanaan itu memiliki fungsi dan kedudukan
yang strategis dalam pemidanaan. Sebab tanpa adanya pidana dan pemidanaan itu tidak
akan mungkin dinamakan hukum pidana apabila tidak ada unsur pidana didalamnya.
hukum penitensier tidak akan pernah terlepas dengan istilah pidana dan pemidanaan.
Pidana merupakan nestapa/ derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui
pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar
hukum pidana. Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan proses
7
pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
Sedangkan pemidanaan merupakan penjatuhan pidana sebagai upaya yang sah yang
dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui
proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu
tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara
mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri 5. Sehingga perlu juga di ketahui tujuan dari
Sehingga tujuan diadakan pemidanaan ialah diperlukan untuk mengetahui sifat dan
dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam
artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu
pula dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis"
pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan
atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa
pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta
theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan
tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan
8
dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk
tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan
dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan
tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana 7.
Hakikatnya konsepsi dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan tersebut tidak jauh
berbeda, Oleh karenanya uraian mengenai teor-teori tentang tujuan pemidanaan yang akan
diuraikan di bawah ini, menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan sebagai
berikut:
1. Teori Absolut/Retributif
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa teori menganggap sebagai dasar hukum dari pidana atau
tujuan pemidanaan adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergeldings). Di samping itu
dikatakan pula oleh Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori
absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice)
Pandangan penganut retributivism, pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil,
karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Menurut Kant
keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan
dan perbuatan baik. Orang yang baik akan bahagia dan orang yang jahat akan menderita
7
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49 23
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 11
9
atas kelakuannya yang buruk. Oleh karena itu, ketidakseimbangan akan terjadi bilamana
moral yang penuh akan tercapai, bilamana penjahat dipidana dan si korban mendapatkan
kompensasi. Hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dan perbuatan tidak tercapai 9.
Kecendrungan untuk membalas pada diri manusia adalah suatu gejala sosial yang
normal. Tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia
mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan. Menurut Nigel Walker
dalam buku Muladi dan Barda Nawawi, para penganut teori retributif dapat dibagi dalam
a. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa
b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi
dalam:
1) penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat: -
pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas
sebutan teori "distributive" yang berpendapat: - pidana janganlah dikenakan pada orang
yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh
kesalahan.
9
Ibid. hlm. 11
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 13
10
John Kaplan membedakan teori retributive (retribution) dalam dua teori yaitu teori
pembalasan (the revenge theory), dan teori penebusan dosa (the expiation theory) 11.
Menurut John Kaplan kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda, tergantung dari cara orang
berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita
"menghutangkan sesuatu kepadanya" atau karena "ia berhutang sesuatu kepada kita".
Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat "telah dibayarkan kembali" (the
criminal is paid back) sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar
kembali hutangnya" (the criminal pays back). Dalam teori pembalasan mislanya dikatakan:
"Kamu telah melukai X, maka kami akan melukai kamu". Dalam teori penebusan misalnya
dikatakan: "Kamu telah mengambil sesuatu dari X, maka kamu harus memberikan sesuatu
2. Teori Tujuan/Relatif
Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan
untuk mencapai manfaat, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya
menjadikannya sebagai orang yang lebih baik, maupun yang berkaiatan dengan dunia,
misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial,
akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik 12. Menurut teori ini pemidanaan bukanlah
untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat,
11
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 14
12
Muladi, Op.Cit, hlm. 51
11
sehingga dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan
bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya
Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan teori tujuan
dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut 13:
d. Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak
b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
kejahatan; dan
13
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 17
12
e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara istilah
prevensi umum (general deterrence) dan prevensi khusus (special deterrence). Dengan
prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, artinya
pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku
anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan
dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan
kejahatan itu ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak
melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah
tahu dan mengerti bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka
orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan.
Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat, sehingga di dalam jiwa
orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman pidana. Walaupun demikian
ada kemungkinan kejahatan dilakukan karena berbakat jahat, yang tidak akan terpengaruh
atas ancaman pidana itu saja, melainkan harus disertai penjatuhan pidana secara konkret
tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya
pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or
13
mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan, dikenal dengan
sebutan teori deterrence. Dengan pengertian pencegahan (deterrence) yang sempit ini,
maka menurut Andenaes pengertian general prevention tidaklah sama dengan general
deterrence15.
Di samping prevensi umum dan prevensi khusus, Van Bemmelen memasukkan juga
dalam golongan teori relatif ini apa yang disebutnya "daya untuk mengamankan" (de
penjahat tersebut berada di dalam penjara daripada kalau ia tidak berada dalam penjara 16.
Menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan
prinsip-prinsip tujuan dan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu
teori demikian disebut dengan teori gabungan atau ada yang menyebutnya sebagai aliran
terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution dan
yang bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang semuanya dilihat
sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rencana pemidanaan. Pidana dan
pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu
masyarakat.
15
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 18
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 19
14
Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita melakukan individu tersebut juga
dengan suatu yang juga dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan. Lebih
lanjut diharapkan bahwa perlakuan terhadap pelaku tindak pidana tersebut dapat menunjang
tujuan-tujuan bermanfaat, yang manfaatnya harus ditentukan secara kasuistis. Hal inilah
yang sering menimbulkan anggapan pidana sebagai seni (punishment as an art) 17.
Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi. Teori ini
berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif.
a. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan
agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah
meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas
kebenaran;
b. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan
pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki;
c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan
tertib hukum.
Teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut
dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan yaitu disamping penjatuhan
pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan
17
Muladi,Op.Cit, hlm. 50
18
Muladi, Op, Cit, hal 19
15
Hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan
pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga
mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses dinamis yang
meliputi penilaian secara terus-menerus dan seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak
dicapai dan konsekuensi-konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap
hal-hal tertentu pada suatu saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumpulan
bahan-bahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara
yang sebaik-baiknya20.
Muladi dalam konteks itulah maka mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang
dengan dilandasi oleh asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap
pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social
19
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 22
20
Muladi,Op.Cit, hlm. 53
21
Ibid, hlm. 61
16
(3) memelihara solidaritas masyarakat;
(4) pengimbalan/pengimbangan.
Dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2013 yang dibuat oleh Tim RUU KUHP
pengayoman masyarakat;
manusia.
Pemberian pidana.
Ukuran pemidanaan.
Eksekusi sanksi.
17
Adapun ruang lingkup Mata Kuliah Hukum Penitensier adalah pelaksanaan putusan
pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Putusan
pengadilan adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku kejahatan ataupun
pelanggaran yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Kejaksaan Negeri) setelah putusan
pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu apabila terdakwa atau
No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga sebagai Kitab
Undangundang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP) diatur dalam Bab
XIX dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Pelaksanaan putusan pengadilan (vonnis) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menurut Pasal 270 KUHAP diserahkan kepada
diserahkan kepada Jaksa yang bertugas sebagai Penuntut Umum dalam siding perkara
pelaksanaan pidana meskipun keduanya merupakan materi dari Hukum Eksekusi Pidana atau
Hukum Pidana Pelaksanaan Pidana atau Hukum Penitensier atau Penitentiere Recht.
kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Suatu putusan pengadilan dikatakan
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (telah berkekuatan hukum tetap/telah BHT)
apabila23 :
22
Lihat Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP,
2008), hlm 128.
23
Lihat Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, (Semarang : Badan
Penerbit
Universitas Diponegoro), hlm. 115
18
Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang bersangkutan di
Tenggang waktu untuk mengajukan Verzet (terhadap Verstek), Banding atau Kasasi
kembali permohonannya.
eksekusi.
telah berkekuatan hukum yang tetap adalah Jaksa, sebagaimana dinyatakan dalam
” Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Adapun mengenai ganti kerugian, diatur selanjutnya dalam Pasal 274 KUHAP yang
menyatakan, bahwa :
dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan
perdata”.25
24
Anonymus, KUHAP Lengkap, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.113.
25
Ibid., hlm. 114.
19
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
UndangUndang Hukum Pidana dianggap sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (untuk
Pasal 10 :
terberat menurut hukum positif kita. Bagi yang boleh dicabut dalam putusan
Sungguhpun demikian, hal ini masih Indonesia, baik udara, darat, laut
26
Bambang Dwi Baskoro.Buku Ajar Eksekusi Pidana.hlm.3
20
Undang-undang. Tetapi pada umumnya pengawas atas orang lain daripada
semua peraturan tata tertib yang berlaku diperoleh dari kejahatan penyuapan dan
Dilictie.
21
perampasan barang ini hanya boleh da-
berbunyi :
22
satu tahun.
pasal 52dan 52 a.
4. Denda.
nama terpidana.
Pelaksanaan Pidana, Hukum Eksekusi Pidana, Hukum Penitensia atau Hukum Penitensier.
23
Penitensier berasal dari kata “penitensia” dari Bahasa Latin yang mempunyai arti :
Menurut J.M. van Bemmelen, Penitentiere Recht adalah hukum yang berkenaan dengan
tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan. Menurut P.A.F.
lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam hukum
pidana materiil28.
Menurut S.R. Sianturi, Hukum Penitensia adalah bagian dari hukum positif yang berisikan
ketentuan atau norma mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari (suatu)
hukum).
Penindakan.
1. Lembaga Pemidanaan.
1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta
2. Lembaga pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan).
27
S.R. Sianturi dan Mompang L.Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Jakarta :
Alumni AHAEM-
PETEHAEM, 1996), hlm. 1-2.
28
Ibid., hlm. 3-4.
29
Ibid.hlm. 4-5.
24
3. Lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP, Ordonansi
2. Lembaga Penindakan
Stb.1897 No.54).
3. Lembaga Kebijaksanaan
Stb.1917 No.749).
3. Ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 KUHP).
5. Grasi (UU No.22 Tahun 2002), Amnesti dan Abolisi (UU No.11/Drt/1954, Perpres
No.13 Tahun 1961, Keppres No.449 Tahun 1961), Remisi (Keppres No.5 Tahun
1987).30
30
Ibid., hlm.10-12.
25
Adapun objek studi mata kuliah Hukum Penitensier ini tentang penjatuhan sanksi pidana
terhadap pelaku kejahatan maupun pelanggaran serta pelaksanaan pidana atas sanksi
pidana yang telah dijatuhkan pengadilan berupa putusan hakim. Kejahatan yang diancam
hukuman berat, yaitu tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahanan, seperti
tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih; atau tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20
tahun. Sedangkan pelanggaran adalah tindak pidana yang pelakunya tidak dapat dikenakan
penahanan, dan diancam pidana denda atau pidana kurungan,yaitu, pertama, pelanggaran
ancaman pidananya pidana denda Rp 250 atau kurungan 1 bulan, seperti pelanggaran lalu
lintas; dan kedua, tipiring yang ancaman pidananya pidana denda dan kurungan seperti
diatur Pasal 489 sampai Pasal 569 Buku Ketiga KUHP tentang Pelanggaran.
Secara umum kejahatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh golongan
menengah ke bawah. Sedangkan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang dilakukan
oleh golongan menengah ke atas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh pelaku adalah
pelanggaran terhadap UULAJ, seperti melanggar traffic light, membawa motor tanpa
STNK/SIM. Tindak pidana umum yang sering dilakukan pelaku kejahatan ini adalah pencurian
biasa (Pasal 362 KUHP); pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); sedang tindak pidana khusus
yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan ini adalah korupsi, tindak pidana pencucian
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
erat dengan hukum pidana, sehingga secara umum Hukum Penitensier atau hukum
26
pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-
penitensier sangatlah dibutuhkan dalam pemidanaan di indonesia, tentu jika kita lihat
dari tujuan dari hukum penitensier itu sendiri yakni “Tujuan dari hukum penintensier
dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan apabila sudah ada
Sehingga hal dasar yang dapat diambil dari penjelasan hukum penitensier
yang mendasar ini ialah, bahwasannya ini perlu diperhatikan dan di teliti, karena
B. Saran
sederhana ini bisa untuk menambah kemauan untuk mendalami lagi suatu
hukum kedepanya.
27