Anda di halaman 1dari 30

TUGAS HUKUM PENITENSIER

OLEH DOSEN: BAPAK AHMAD ARIZAL

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
1. Kevin Aldrin (1810113043)
2. Hafiz Dwi Alhadi (1910111058)
3. Raju Putra (1910111136)
4. Xena Indah Kirana (1910111005)
5. Arya Tirta Kembara (1910112026)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas hukum perjanjian ini dengan
baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu masalah “ hukum penitensier” itu sangat
berarti dan penting untuk di pahami.
Tugas ini kami buat untuk memberikan pembahasan tentang penjelasan dari hukum
penitensier di indonesia. Mudah- mudahan paper yang kami buat ini bisa menolong
menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. kami menyadari kalau masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan paper ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Tertanda, penulis

KELOMPOK 1

I
Daftar pustaka

Kata pengantar.......................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH..................................................1-2

BAB II PERMASALAHAN

A. RUMUSAN MASALAH.................................................................3

B. TUJUAN......................................................................................3

BAB III PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM PENITENSIER....................................4-6

B. TUJUAN HUKUM PENITENSIER............................................6-17

C. RUANG LINGKUP HUKUM PENITENSIER...........................17-27

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN...........................................................................27

B. SARAN......................................................................................27

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Hukum merupakan suatu yang sangat diperlukan dalam urusan mengatur ketertiban

dalam bermasyarakat dan suatu yang harus ada dalam negara indoneisa yang notabene nya

termasuk sebagai negara hukum.

Berbicara mengenai hukuman dalam hukum pidana, khususnya berkenaan dengan

Hukum Penitensier atau Hukum Penghukuman atau Hukum Pemidanaan, atau ada yang

menyebutkannya Hukum Penitensir senantiasa merupakan suatu wacana yang menarik.

Studi mengenai hal ini telah berkembang menjadi suatu mata kuliah terpisah dari Asas-asas

Hukum Pidana (yang dalam kurikulum berbagai Fakultas Hukum kini, lebih dikenal dengan

sebutan Hukum Pidana). Perkembangan tentang bidang pidana dan pemidanaan semakin

mengemuka, mengingat hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh negara

kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam penerapannya akan

bersinggungan dengan hak asasi manusia. Bukan hanya menyangkut kriteria pengancaman,

penjatuhan suatu jenis atau macam pidana dalam rangka pembalasan, dan perlindungan

serta pengayoman masya-rakat, tetapi juga bagaimana upaya untuk memperbaiki pelaku

yang ter-sesat, dan mengembalikan kepercayaan masyarakat serta memberikan

pengampunan terhadap “dosa” yang dilakukan oleh si pelaku. Selain itu, pesatnya kemajuan

dalam berbagai bidang kehidupan aki-bat globalisasi, turut mewarnai corak pidana dan

pemidanaan di suatu negara. Pengaruh interaksi dengan negara-negara lain dan organisasi-

organisasi dunia, seperti PBB, pun merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan

agar suatu negara mendapatkan tempat dalam pergaulan dunia. Apalagi jika dikaitkan

dengan pendapat bahwa hukum pidana suatu bangsa adalah cermin peradaban suatu

bangsa atau indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of civilization of a nation).

1
Hukum penitensier tidak dapat dilihat hanya sebatas penerapan sanksi pidana terhadap

tindak pidana sebagai fenomena yuridikal dengan konsekuensi dikesampingkannya ihwal

akibat-akibat hukum (pemidanaan) dari tindak pidana tersebut. Di sini perannya sangat

penting dalam melengkapi hukum pidana, yang ketika memasuki berbagai kajian penitensier,

akan menampakkan begitu banyaknya dimensi lain ketim-bang sekadar dogmatika hukum

pidana yang diperlukan dan dipergunakan. Masalah pengancaman dan penjatuhan pidana

tidak dapat dilihat hanya sekadar persoalan pembuatan dan penerapan aturan hukum, te-

tapi juga bagaimanakah efektivitas suatu aturan dikemudian hari, baik bagi si pelaku yang

dikenai sanksi pidana (dan tindakan) maupun terhadap masyarakat luas, terlebih dalam era

sekarang, di mana hak asasi manusia begitu sering diperbincangkan.

2
BAB II

PERMASALAHAN

A. Rumusan Masalah

1. Membahas pengertian dari hukum penitensier?

2. Membahas apa tujuan dari hukum penitensier?

3. Membahas bagaimana ruang lingkup dari hukum penitensier?

B. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari hukum penitensier secara umum maupu menurut

pendapat ahli.

2. Mengetahui tujuan dari adanya hukum penitensier.

3. Dan mengetahui ruanglingkup dari hukum penitensier.

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum penitensier

Dalam bahasa Belanda, istilah penitensier dikenal dengan nama Penitentier, yang

menurut sebagian kalangan dipakai sebagai kata lain dari straffen. Penitentier Recht atau

Straffen Recht secara etimologis dapat dipilah atas kata dasar straffen (naamwoord) yang

berarti pidana, namun straffen (werkwoord) dapat juga berarti pemidanaan; dan recht

berarti hukum. Dalam hal ini Penitentier Recht berarti hukum pemidanaan . 1

Hukum penitensier adalah ketentuan-ketentuan yang sangat menyangkut erat dengan

hukum pidana, sehingga secara umum Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana

adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara

bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai

terhukum.2

sedangkan menurut para pakar ahli dalam bidang ini, berpendapat:

 J.M. van Bemmelen, seorang pakar hukum pidana Belanda menya-takan bahwa

Penitentier Recht adalah: “het recht betreffende doel, werking en organisatie der

straf-instituten (hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja dan

organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan).” 3

 Menurut lamintang, Hukum Penitensier adalah keseluruhan dari norma-norma

yang mengatur lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan, lembagalembaga

1
Mompang L. Panggabean, POKOK-POKOK HUKUM PENITENSIER DI INDONESIA, UKI Press, Jakarta,
2005, hal. 7
2
Hukum penitensier, diakses pada 30 agustus 2020, pada https://wonkdermayu.wordpress.com/
3
Mompang L. Panggabean, OP. cit, hal. 9

4
penindakan dan lembaga-lembaga kebijaksanaan yang te-lah diatur oleh

pembentuk undang-undang di dalam hukum pidana material.” 4

 Menurut Petrus Hutapea Hukum Penitensier merupakan segala peraturan yang

berlaku yang dibuat oleh pembuat undang-undang

 mengenai sistem pidana dan pemidanaan yang menentukan jenis sanksi yang

akan dijatukan dari suatu tindak kejahatan terhadap pelaku kejahatan.

 Menurut Jhon Howard Penitentiary merupakan lembaga yang dirancang bagi

suatu penahanan dalam jangka waktu yang lama untuk penjahat kelas berat

yang bersifat serius.

 Menurut HJ.Lincoln surina Penitensier merupakan bagian dari hukum pidana

positif yang menentukan jenis sanksi dari suatu kejahatan.

 Menurut Utrech Penitensier merupakan segala aturan positif mengenai sistim

pidana dan pemidanaan.

 Menurt Prof.Widja Prayanto Penitensier merupakan bagian dari hukum pidana

yang mengatur tentang daya kerja berlakunya sanksi pidana dalam arti luas

yang ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana dan telah diadili

dalam peradilan pidana dan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :

- Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)

- Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,

pengumuman putusan hakim

4
Ibit. Hal. 10

5
Kriminalisasi adalah salah satu proses yang terjadi didalam masyarakat dimana

suatu perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh

kondisi social yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat

maka perbuatan itu akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU

penyalahgunaan narkotika ( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan

narkotika merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam

hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi

perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan

barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum

diancam dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka

pelaksanaan program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh

BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik

daya paksa.

B. Tujuan hukum penitensier

Tujuan dari hukum penintensier adalah agar yang berhubungan dengan hukuman

seseorang dapat dilaksanakan dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan

apabila sudah ada putusan dari hakim.

Di dalam hukum pidana terkandung ada 3 konsep yang dapat dianggap sebagai konsep-

konsep dasar dalam hukum pidana, ketiga konsep itu meliputi :

1. Tindak pidana/perbuatan pidana (criminal oppense)

2. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility)

6
3. Pemidanaan (Punishment)

Ketiga konsep dasar ini adalah oleh “HERBERT” dianggap sebagai Resionde Hukum

Pidana, sebab ketiganya akan tergambar adanya 3 permasalahan pokok dalam hukum

pidana.

Konsep yang pertama (1) yaitu tindak pidana akan menggambarkan permasalahan pokok

mengenai apa ukuran yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.

Konsep yang kedua (2) yaitu menyangkut ukuran apa yang dapat digunakan untuk

menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang yang dinyatakan sebagai pelaku tindak

pidana.

Konsep ketiga (3) yaitu menggambarkan permasalahan pokok menyangkut bentuk sanksi

yang bagaimanakah yang dapat ditimpakan kepada seseorang yang terbukti telah melakukan

suatu tindak pidana.

Selama ini boleh dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan kriminologi lebih

banyak tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada konsep pertama (1) dan

yang kedua (2) saja. Sementara masalah pidana dan pemidanaan itu lebih berkesan dan

seolah-olah hanya dianggap sebagai anak tiri dalam hukum pidana. Anggapan seperti ini

tidak dapat dibenarkan karena pidana dan pemidanaan itu memiliki fungsi dan kedudukan

yang strategis dalam pemidanaan. Sebab tanpa adanya pidana dan pemidanaan itu tidak

akan mungkin dinamakan hukum pidana apabila tidak ada unsur pidana didalamnya.

hukum penitensier tidak akan pernah terlepas dengan istilah pidana dan pemidanaan.

Pidana merupakan nestapa/ derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui

pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar

hukum pidana. Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan proses

7
pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan pelaku kejahatan.

Sedangkan pemidanaan merupakan penjatuhan pidana sebagai upaya yang sah yang

dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui

proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu

tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara

mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri 5. Sehingga perlu juga di ketahui tujuan dari

pemidanaan itu sendiri.

Sehingga tujuan diadakan pemidanaan ialah diperlukan untuk mengetahui sifat dan

dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam

hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung" yang

artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu

pula dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis"

yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat 6.

Berdasarkan pendapat para ahli tampak adanya pertentangan mengenai tujuan

pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan

atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa

pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta

pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori

gabungan/verenigings theorieen). Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological

theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan

pemidanaan (theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai

tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan

bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat


5
Hukum Penitensier, diakses pada 30 agustus 2020, pada https://www.negarahukum.com/
6
Bambang Poernomo, Hukum Pidana Kumpulan karangan Ilmiah, Bina Aksara Jakarta, 1982, hlm. 27

8
dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk

tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan

dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan

ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut

tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana 7.

Hakikatnya konsepsi dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan tersebut tidak jauh

berbeda, Oleh karenanya uraian mengenai teor-teori tentang tujuan pemidanaan yang akan

diuraikan di bawah ini, menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan sebagai

berikut:

1. Teori Absolut/Retributif

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu

kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang

harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa teori menganggap sebagai dasar hukum dari pidana atau

tujuan pemidanaan adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergeldings). Di samping itu

dikatakan pula oleh Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori

absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice)

sedangkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder 8.

Pandangan penganut retributivism, pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil,

karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Menurut Kant

keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan

dan perbuatan baik. Orang yang baik akan bahagia dan orang yang jahat akan menderita

7
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49 23
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 11

9
atas kelakuannya yang buruk. Oleh karena itu, ketidakseimbangan akan terjadi bilamana

seorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas kejahatannya. Keseimbangan

moral yang penuh akan tercapai, bilamana penjahat dipidana dan si korban mendapatkan

kompensasi. Hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dan perbuatan tidak tercapai 9.

Kecendrungan untuk membalas pada diri manusia adalah suatu gejala sosial yang

normal. Tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia

mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan. Menurut Nigel Walker

dalam buku Muladi dan Barda Nawawi, para penganut teori retributif dapat dibagi dalam

beberapa golongan, yaitu10:

a. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa

pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan si pembuat.

b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi

dalam:

1) penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat: -

pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas

yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa;

2) penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan

sebutan teori "distributive" yang berpendapat: - pidana janganlah dikenakan pada orang

yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh

kesalahan.

Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" dihormati, tetapi dimungkinkan adanya

pengecualian misalnya dalam hal strict liability.

9
Ibid. hlm. 11
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 13

10
John Kaplan membedakan teori retributive (retribution) dalam dua teori yaitu teori

pembalasan (the revenge theory), dan teori penebusan dosa (the expiation theory) 11.

Menurut John Kaplan kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda, tergantung dari cara orang

berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita

"menghutangkan sesuatu kepadanya" atau karena "ia berhutang sesuatu kepada kita".

Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat "telah dibayarkan kembali" (the

criminal is paid back) sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar

kembali hutangnya" (the criminal pays back). Dalam teori pembalasan mislanya dikatakan:

"Kamu telah melukai X, maka kami akan melukai kamu". Dalam teori penebusan misalnya

dikatakan: "Kamu telah mengambil sesuatu dari X, maka kamu harus memberikan sesuatu

yang nilainya seimbang".

2. Teori Tujuan/Relatif

Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan

untuk mencapai manfaat, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya

menjadikannya sebagai orang yang lebih baik, maupun yang berkaiatan dengan dunia,

misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial,

akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik 12. Menurut teori ini pemidanaan bukanlah

untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat,

11
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 14
12
Muladi, Op.Cit, hlm. 51

11
sehingga dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan

bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya

orang jangan melakukan kejahatan).

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan teori tujuan

dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut 13:

1. Pada teori pembalasan:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; dan

d. Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak

untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Pada teori tujuan:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan

yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku

saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan; dan

13
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 17

12
e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahataan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara istilah

prevensi umum (general deterrence) dan prevensi khusus (special deterrence). Dengan

prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, artinya

pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku

anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan

dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak

melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah

menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Anselm von Feurbach mengembangkan teori psychologischezwang, apabila setiap orang

tahu dan mengerti bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka

orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan.

Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat, sehingga di dalam jiwa

orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman pidana. Walaupun demikian

ada kemungkinan kejahatan dilakukan karena berbakat jahat, yang tidak akan terpengaruh

atas ancaman pidana itu saja, melainkan harus disertai penjatuhan pidana secara konkret

dan melaksanakan pidananya secara nyata 14.

Johannes Andenaes mengatakan bahwa pengertian general prevention tidak hanya

tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya

pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or

social-pedagogical influence of punishment). Teori yang menekankan pada tujuan untuk


14
Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm. 29 27

13
mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan, dikenal dengan

sebutan teori deterrence. Dengan pengertian pencegahan (deterrence) yang sempit ini,

maka menurut Andenaes pengertian general prevention tidaklah sama dengan general

deterrence15.

Di samping prevensi umum dan prevensi khusus, Van Bemmelen memasukkan juga

dalam golongan teori relatif ini apa yang disebutnya "daya untuk mengamankan" (de

beveiligende werking). Dijelaskannya bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana

pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahtan selama

penjahat tersebut berada di dalam penjara daripada kalau ia tidak berada dalam penjara 16.

3. Teori Gabungan/Verenigings Theorien

Menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan

prinsip-prinsip tujuan dan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu

teori demikian disebut dengan teori gabungan atau ada yang menyebutnya sebagai aliran

integratif. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution dan

yang bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang semuanya dilihat

sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rencana pemidanaan. Pidana dan

pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu

cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali terpidana ke dalam

masyarakat.

15
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 18
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 19

14
Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita melakukan individu tersebut juga

dengan suatu yang juga dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan. Lebih

lanjut diharapkan bahwa perlakuan terhadap pelaku tindak pidana tersebut dapat menunjang

tujuan-tujuan bermanfaat, yang manfaatnya harus ditentukan secara kasuistis. Hal inilah

yang sering menimbulkan anggapan pidana sebagai seni (punishment as an art) 17.

Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi. Teori ini

berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif.

Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang

pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu 18:

a. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan

agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah

meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas

kebenaran;

b. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan

pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki;

c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan

tertib hukum.

Teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut

dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan yaitu disamping penjatuhan

pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan

terhadap masyarakat dan terpidana.

17
Muladi,Op.Cit, hlm. 50
18
Muladi, Op, Cit, hal 19

15
Hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan

pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga

mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan

sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan

untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat 19.

Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses dinamis yang

meliputi penilaian secara terus-menerus dan seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak

dicapai dan konsekuensi-konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap

hal-hal tertentu pada suatu saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumpulan

bahan-bahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara

yang sebaik-baiknya20.

Muladi dalam konteks itulah maka mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang

dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis

dengan dilandasi oleh asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap

keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang

mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat, dengan demikian maka tujuan

pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social

damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah 21:

(1) pencegahan (umum dan khusus);

(2) perlindungan masyarakat;

19
Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit, hlm. 22
20
Muladi,Op.Cit, hlm. 53
21
Ibid, hlm. 61

16
(3) memelihara solidaritas masyarakat;

(4) pengimbalan/pengimbangan.

Dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2013 yang dibuat oleh Tim RUU KUHP

Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Pasal 54 dirumuskan sebagai berikut:

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

manusia.

C. Ruang lingkup Hukum Penitensier

Ruang Lingkup meliputi :

 Stelsel sanksi dan penjatuhan jenis sanksi.

 Pemberian pidana.

 Aturan-aturan tentang jenis-jenis pidana.

 Ukuran pemidanaan.

 Eksekusi sanksi.

17
Adapun ruang lingkup Mata Kuliah Hukum Penitensier adalah pelaksanaan putusan

pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Putusan

pengadilan adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku kejahatan ataupun

pelanggaran yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Kejaksaan Negeri) setelah putusan

pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu apabila terdakwa atau

penasehat hukum dan Jaksa telah menerima putusan pengadilan tersebut.

Pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan dengan pelaksanaan penetapan

pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi ini di dalam Undang-Undang

No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga sebagai Kitab

Undangundang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP) diatur dalam Bab

XIX dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Pelaksanaan putusan pengadilan (vonnis) yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap menurut Pasal 270 KUHAP diserahkan kepada

Jaksa, sedangkan pelaksanaan penetapan hakim (beschikking) menurut Pasal 14 KUHAP

diserahkan kepada Jaksa yang bertugas sebagai Penuntut Umum dalam siding perkara

pidana yang bersangkutan22.

Disamping itu pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan pula dengan

pelaksanaan pidana meskipun keduanya merupakan materi dari Hukum Eksekusi Pidana atau

Hukum Pidana Pelaksanaan Pidana atau Hukum Penitensier atau Penitentiere Recht.

Putusan Pengadilan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Suatu putusan pengadilan dikatakan

telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (telah berkekuatan hukum tetap/telah BHT)

apabila23 :
22
Lihat Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP,
2008), hlm 128.
23
Lihat Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, (Semarang : Badan
Penerbit
Universitas Diponegoro), hlm. 115

18
 Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang bersangkutan di

tingkat pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau di pemeriksaan tingkat banding

di Pengadilan Tinggi atau di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

 Tenggang waktu untuk mengajukan Verzet (terhadap Verstek), Banding atau Kasasi

telah lewat tanpa dipergunakan oleh yang berhak.

 Permohonan Verzet (terhadap Verstek) telah diajukan kemudian pemohon tidak

hadir kembali pada saat hari sidang yang telah ditetapkan.

 Permohonan Banding atau Kasasi telah diajukan kemudian pemohon mencabut

kembali permohonannya.

 Terdapat permohonan Grasi yang diajukan tanpa disertai permohonan penangguhan

eksekusi.

Lembaga yang berwenang melakukan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum yang tetap adalah Jaksa, sebagaimana dinyatakan dalam

ketentuan Pasal 270 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut 24 :

” Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan

oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Adapun mengenai ganti kerugian, diatur selanjutnya dalam Pasal 274 KUHAP yang

menyatakan, bahwa :

“Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan

perdata”.25

24
Anonymus, KUHAP Lengkap, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.113.
25
Ibid., hlm. 114.

19
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah

UndangUndang Hukum Pidana dianggap sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (untuk

selanjutnya disingkat KUHP)26macam-macam pidana adalah sebagai berikut :

Pasal 10 :

Pidana Pokok Pidana Tambahan

1. Pidana Mati. 1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu.

Pidana ini adalah pidana Dalam pasal 35 KUHP ditentukan bahwa

terberat menurut hukum positif kita. Bagi yang boleh dicabut dalam putusan

kebanyakan negara, masalah pidana Hakim dari hak si bersalah ialah :

mati hanya mempunyai arti dari sudut


1.Hak untuk menjabat segala jabatan
kultur historis. Dikatakan demikian
atau jabatan tertentu.
karena, keba-nyakan negara-negara tidak

mencantumkan pidana mati ini lagi di 2.Hak untuk menjadi anggota

dalam Kitab Undang-undangnya. Angkatan Bersenjata Republik

Sungguhpun demikian, hal ini masih Indonesia, baik udara, darat, laut

menjadi masalah dalam lapangan ilmu maupun Kepolisian.

hukum pidana, karena adanya teriakan-


3.Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan
teriakan di tengah-tengah masyarakat
berdasarkan Undangundang dan peraturan
untuk meminta kembali diadakannya
umum. 4.Hak menjadi penasihat,
pidana seperti itu, dan mendesak
penguasa dan menjadi wali, wali
agar dimasukan kembali dalam Kitab
pengawas, curotor atau curator

26
Bambang Dwi Baskoro.Buku Ajar Eksekusi Pidana.hlm.3

20
Undang-undang. Tetapi pada umumnya pengawas atas orang lain daripada

lebih banyak orang yang kontra terhadap anaknya sendiri.

adanya pidana mati ini daripada yang


5.Kekuasaan orang tua, perwalian dan
pro.
pengampunan atas anaknya sendiri. 6.Hak

untuk mengerjakan tertentu.

2. Penjara. 2. Perampasan barang-barang tertentu.

Pidana penjara adalah pidana pencabutan Dalam hal perampasan barang-barang

kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan tertentu yang tercantum dalam Pasal 39

dengan menutup terpidana dalam KUHP adalah: 1.a. Barang-barang milik

sebuah penjara, dengan mewajibkan terhukum yang diperoleh dari kejahatan

orang tersebut untuk menaati pemalsuan uang, uang suapan yang

semua peraturan tata tertib yang berlaku diperoleh dari kejahatan penyuapan dan

dalam penjara. sebagainya yang disebut Corpora

Dilictie.

b. Barang-barang yang dipakai untuk

melakukan kejahatan, misal pistol

untuk melakukan kejahatan penodongan

atau pisau yang digunakan untuk

melakukan pembunuhan dan sebagainya

yang disebut dengan Instrument Dilictie.

2.Bahwa barang-barang yang dirampas

harus milik si terhukum kecuali dalam

Pasal 520 bis KUHP yakni dalam hal

membuat uang palsu. Hukuman

21
perampasan barang ini hanya boleh da-

lam ketentuan-ketentuan hukum pidana

yang bersangkutan, dalam hal kejahatan

dengan unsur culpa atau pelanggaran.

3.Bahwa ketentuan perampasan barang itu

pada umumnya bersifat fakultatif (boleh

dirampas), tetapi kadang-kadang juga

bersifat imperatif (harus dirampas)

misalnya dalam kejahatan yang disebutkan

dalam Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP

(tentang kejahatan pemalsuan).

3. Pidana Kurungan. 3. Pengumuman Putusan Hakim.

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana

penjara. Lebih ringan antara lain, dalam

hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan

dan kebolehan membawa peralatan yang

dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya:

tempat tidur, selimut, dan lain-

lain. Lamanya pidana kurungan ini

ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang

berbunyi :

(1). Lamanya pidana kurungan sekurang-

kurangnya satu hari dan paling lama

22
satu tahun.

(2). Hukuman tersebut dapat dijatuhkan

untuk paling lama satu tahun empat

bulan jika ada pemberatan pidana yang

disebabkan karena gabungan kejahatan

atau pengulangan, atau ketentuan pada

pasal 52dan 52 a.

4. Denda.

Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan

terhadap delik-delik ringan, berupa

pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh

karena itu pula, pidana denda

merupakan satu-satunya pidana yang dapat

dipikul oleh orang lain selain

terpidana. Walaupun denda

dijatuhkan terhadap terpidana pribadi,

tidak ada larangan jika denda itu

secara sukarela dibayar oleh orang atas

nama terpidana.

Pelaksanaan pidana memunculkan bidang hukum tersendiri, yaitu Hukum Pidana

Pelaksanaan Pidana, Hukum Eksekusi Pidana, Hukum Penitensia atau Hukum Penitensier.

23
Penitensier berasal dari kata “penitensia” dari Bahasa Latin yang mempunyai arti :

penyesalan, kembali lagi pada keputusannya, bertobat atau jera 27.

Menurut J.M. van Bemmelen, Penitentiere Recht adalah hukum yang berkenaan dengan

tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan. Menurut P.A.F.

Lamintang, Hukum Penitensier adalah keseluruhan dari norma-norma yang mengatur

lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan, lembaga-lembaga penindakan dan lembaga-

lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam hukum

pidana materiil28.

Menurut S.R. Sianturi, Hukum Penitensia adalah bagian dari hukum positif yang berisikan

ketentuan atau norma mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari (suatu)

lembaga untuk membuat seseorang bertobat, yang dapat berupa29 :

 Pemutusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan

hukum).

 Penindakan.

 Pemberian kebijaksanaan, terhadap suatu perkara pidana.

Macam-macam lembaga penitensier berikut pengaturannya, sebagai berikut :

1. Lembaga Pemidanaan.

1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta

pidana tambahan (Pasal 10 KUHP).

2. Lembaga pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan).

27
S.R. Sianturi dan Mompang L.Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Jakarta :
Alumni AHAEM-
PETEHAEM, 1996), hlm. 1-2.
28
Ibid., hlm. 3-4.
29
Ibid.hlm. 4-5.

24
3. Lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP, Ordonansi

Pidana Bersyarat Stb.1926 No.251 jo 486, Ordonansi Pelaksanaan Pidana

Bersyarat Stb.1926 No.487 jo Stb. 1934 No.337).

4. Lembaga pemberatan dan pengurangan pidana.

5. Lembaga tempat menjalani pidana (Gestichten Reglement Stb.1917 No.708 atau

Reglement Lembaga Pemasyarakatan).

2. Lembaga Penindakan

1. Lembaga pendidikan paksa (Dwang op voedings Reglement Stb.1917 No.741)

2. Lembaga penutupan secara terpisah (Afzonderlijke Opsluiting Stb.1917 No.708

dalam Pasal 35).

3. Lembaga kerja paksa negara (Landswerkinrichting Verordening Stb.1936 No.160).

4. Reglement Orang Gila (Reglement op het krankzinningenwezen in Indonesisch

Stb.1897 No.54).

3. Lembaga Kebijaksanaan

1. Pengembalian kepada orang tua/wali/orang tua asuh.

2. Pembebasan bersyarat (Ordonnantie op de Voorwaardelijke In vrijheidstelling

Stb.1917 No.749).

3. Ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 KUHP).

4. Hak pistole (Pasal 23 KUHP dan Stb.1917 No.708).

5. Grasi (UU No.22 Tahun 2002), Amnesti dan Abolisi (UU No.11/Drt/1954, Perpres

No.13 Tahun 1961, Keppres No.449 Tahun 1961), Remisi (Keppres No.5 Tahun

1987).30

30
Ibid., hlm.10-12.

25
Adapun objek studi mata kuliah Hukum Penitensier ini tentang penjatuhan sanksi pidana

terhadap pelaku kejahatan maupun pelanggaran serta pelaksanaan pidana atas sanksi

pidana yang telah dijatuhkan pengadilan berupa putusan hakim. Kejahatan yang diancam

hukuman berat, yaitu tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahanan, seperti

tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih; atau tindak pidana yang

diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20

tahun. Sedangkan pelanggaran adalah tindak pidana yang pelakunya tidak dapat dikenakan

penahanan, dan diancam pidana denda atau pidana kurungan,yaitu, pertama, pelanggaran

ancaman pidananya pidana denda Rp 250 atau kurungan 1 bulan, seperti pelanggaran lalu

lintas; dan kedua, tipiring yang ancaman pidananya pidana denda dan kurungan seperti

diatur Pasal 489 sampai Pasal 569 Buku Ketiga KUHP tentang Pelanggaran.

Secara umum kejahatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak

pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh golongan

menengah ke bawah. Sedangkan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang dilakukan

oleh golongan menengah ke atas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh pelaku adalah

pelanggaran terhadap UULAJ, seperti melanggar traffic light, membawa motor tanpa

STNK/SIM. Tindak pidana umum yang sering dilakukan pelaku kejahatan ini adalah pencurian

biasa (Pasal 362 KUHP); pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); sedang tindak pidana khusus

yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan ini adalah korupsi, tindak pidana pencucian

uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum penitensier adalah ketentuan-ketentuan yang sangat menyangkut

erat dengan hukum pidana, sehingga secara umum Hukum Penitensier atau hukum

26
pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-

peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim

terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum. Sehingga hukum

penitensier sangatlah dibutuhkan dalam pemidanaan di indonesia, tentu jika kita lihat

dari tujuan dari hukum penitensier itu sendiri yakni “Tujuan dari hukum penintensier

adalah agar yang berhubungan dengan hukuman seseorang dapat dilaksanakan

dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan apabila sudah ada

putusan dari hakim”. Maka sangatlah berhubungsn dengan ketertiban dalam

keterlaksanaan kedamaian di indonesia.

Sehingga hal dasar yang dapat diambil dari penjelasan hukum penitensier

yang mendasar ini ialah, bahwasannya ini perlu diperhatikan dan di teliti, karena

sangat berpengaruh dalam masyarakat.

B. Saran

Penulis memberikan saran untuk pembaca, harapannya setelah membaca paper

sederhana ini bisa untuk menambah kemauan untuk mendalami lagi suatu

permasalahan tentang hukum penitensier dan berusaha berfikir untuk perkembangan

hukum kedepanya.

27

Anda mungkin juga menyukai