Anda di halaman 1dari 4

Presidential Threshold sebagai Pintu Masuk Transaksional Politik?

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu perwujudan dari adanya demokrasi
dalam suatu negara. Bisa kita telisik dari pemikiran Schumpeter yang menyebutnya sebagai
demokrasi prosedural (Schumpeter,2003). Pemilu menjadi arena yang mewadahi kompetisi
antara aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan
pilihan serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara (Sitepu, 2012:177). Maka dari
itu diperlukan aturan untuk menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas sesuai
dengan harapan rakyat, salah satunya melalui mekanisme penerapan ambang batas
pencalonan1.

Di Indonesia terdapat kasus menarik terkait dengan penetapan ambang batas


pencalonan khususnya bagi presiden yang dikenal dengan Presidential Threshold (Pres-T)
sebesar 20%2. Presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari
DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat)
yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai
politik tersebut atau dengan gabungan partai politik. Presidential threshold merupakan
ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu
sebelum pelaksanaan pemilu.”3. Hal ini mengakibatkan pro-kontra terkait efektif atau tidaknya
Pres-T menghadirkan penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Penerapan presidential threshold menurut penilaian Mahkamah Konstitusi


melalui putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 merupakan kebijakan yang lebih demokratis karena
tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Presidential threshold dianggap tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 karena tidak menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, serta tidak bersifat diskriminatif
karena berlaku untuk semua partai politik. Sedangkan menurut putusan Mahkamah Konstitusi

1
Vanni Anggara, “Dinamika Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial di Indonesia”, Jurnal
Transformative, Vol 5 Nomor 2 September 2019 hlm 2
2
ibid
3
Lutfil Ansori, “Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019”, Jurnal Yuridis Vol. 4 No.
1, Juni 2017, hlm 18
Nomor 14/PUU-XI/2013 ketentuan mengenai presidential threshold dianggap merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Istilah
kebijakan hukum terbuka dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk Undang-
Undang untuk mengambil kebijakan hukum4.

Ada beberapa kelebihan dari penerapan presidential threshold dalam pemilu. Pertama,
penerapan presidential threshold dalam pemilu dapat memunculkan figur Presiden dan Wakil
Presiden yang kuat, karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan mendapat basis
dukungan politik yang besar di parlemen, sehingga pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan
efektif dan stabil. Dalam derajat tertentu, kondisi ini dapat memperkuat sistem presidensial
yang dianut oleh Indonesia. Kedua, penghapusan presidential threshold sebagai syarat
pencalonan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat menyebabkan parlemen cenderung
dominan, sehingga memperlemah sistem presidensial. Ketiga, penerapan presidential threshold
yang tetap tinggi memaksa partai politik atau gabungan partai politik menyeleksi calon
Presiden dan Wakil Presiden dengan sungguh-sungguh, sehingga akan memunculkan Presiden
dan Wakil Presiden yang berkualitas. Keempat, penerapan presidential threshold akan
melahirkan koalisi untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan, sehingga akan membangun
pemerintahan yang efektif5.

Namun demikian dibalik beberapa kelebihan penerapan presidential threshold dalam


pemilu serentak juga memiliki banyak kelemahan. Beberapa pakar hukum tata negara
mengusulkan adanya pengahapusan sistem ambang batas pencalonan presiden atau presidential
threshold dihapus. Ambang batas ini dianggap sebagai pintu masuk politik transaksional yang
mengganggu sistem presidensial. Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, menjelaskan
persoalan ambang batas ini kepada sistem pemilu di Indonesia yang mempengaruhi teknis
pelaksanaan sistem presidensial. Dia menilai adanya ambang batas pencalonan ini mendorong
parpol melakukan koalisi untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tanpa memenuhi
ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen, parpol tidak bisa mengusung calon
presiden dan wakil presiden sendiri. Sementara, kata Bvitri, agar bisa memenuhi ambang batas
pencalonan presiden, parpol-parpol harus berkoalisi6.

4
Ibid, hlm 20
5
Ibid, hlm 21
6
Dian Erika Nugraheny, “Pakar Hukum Tata Negara Usul Presidential Threshold Dihapus”,
(https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/19/09/04/pxb23y428-pakar-hukum-tata-negara-usul-
presidential-threshold-dihapus, diakses pada 19 Januari 2020)
Sedangkan Refly Harun berpendapat bahwa syarat ambang batas pengajuan calon
presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008
tidak didasari argumentasi yang tepat. Penerapan presidential threshold untuk mengusung
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dianggapnya sebagai permainan politik partai
partai besar. Penerapan presidential threshold dalam Undang-Undang Pilpres tidak masuk akal,
karena UUD 1945 telah mengatur bahwa Presiden terpilih berdasarkan perolehan suara 50%
plus satu dan tersebar di 20% provinsi7. Menurut Refly Harun, pernyataan yang menyatakan
bahwa penerapan presidential threshold dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial juga
tidak bisa dibuktikan.

Presidential threshold dianggap telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan


perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga
negara di hadapan hukum. Lebih jauh dari itu, ketentuan tentang mekanisme syarat pencalonan
pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan sebagai cara untuk membentuk
pemerintahan yang efektif serta sebagai solusi dalam rangka penyederhanaan atau rasionalisasi
partai politik, telah menghilangkan hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan efisien
“political efficiency”8. Seiring dengan beberapa kelemahan penerapan presidential threshold
diatas, beberapa ahli hukum tata negara menilai bahwa presidential threshold tidak relevan lagi
diterapkan.

7
______, “Pengamat: Presidential Threshold Konspirasi Jahat Partai Besar”,
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/25/1115549/Pengamat.Presidential.Threshold.Konspirasi.Jahat.Pa
rtai.Besar, diakses pada 19 Januari 2020.

8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2008 dalam Perkara Pengujian Undang- Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, tanggal 26 Maret 2013, hlm. 2
Daftar Pustaka

 Anggara, Vanni. “Dinamika Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial


di Indonesia”. Jurnal Transformative, Vol 5 Nomor 2 September 2019 hlm 2.
 Ansori, Lutfi. “Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu
Serentak 2019”. Jurnal Yuridis Vol. 4 No. 1, Juni 2017, hlm 18.
 Dian Erika Nugraheny, “Pakar Hukum Tata Negara Usul Presidential
Threshold Dihapus”,
(https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/19/09/04/pxb23y428-
pakar-hukum-tata-negara-usul-presidential-threshold-dihapus, diakses pada 19
Januari 2020)
 ______, “Pengamat: Presidential Threshold Konspirasi Jahat Partai Besar”,
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/25/1115549/Pengamat.Presidential.
Threshold.Konspirasi.Jahat.Partai.Besar, diakses pada 19 Januari 2020.
 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2008 dalam Perkara
Pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar, tanggal 26 Maret
2013, hlm. 2

Anda mungkin juga menyukai