A. RINGKASAN
Demokrasi telah dianggap sebagai sebuah instrumen penting dalam
menjalankan sebuah konsepsi negara yang ideal untuk menjawab persoalan tentang
penegakan kekuasaan rakyat. Salah satu wujud dari demokrasi adalah pemilihan
umum. Dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia, pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden saat ini dilakukan secara langsung. Implikasi dari pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung ialah harus didahului oleh pemilu legislatif
(pemilu DPR, DPD, dan DPRD), artinya pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan secara terpisah dengan pemilu legislatif. Berdasarkan hasil pemilu legislatif
inilah kemudian partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang
batas yang telah ditentukan oleh undang-undang, mengajukan calon pasangan
Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu secara terpisah ini
memberikan dampak negatif dan kerugian konstitusional bagi para pihak. Sehingga
koalisi masyarakat sipil yang diwakili oleh Efendy Ghazali mengajukan judicial
review terhadap UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Pasal yang diujikan yaitu pasal 3 ayat (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2),
pasal 14 ayat (2), dan pasal 112 UU No.42 Tahun 2008. Berdasarkan permohonan
tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan melalui Putusan
MK No.14/PUU-XI/2013, dan menyatakan pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan secara serentak dengan pemilu legislatif. Namun, terkait
ambang batas (presidential threshold) MK tidak membatalkannya, dengan kata lain
pemilu presiden dan wakil presiden tetap menggunakan ambang batas pencalonan
(presidential threshold).
Argumentasi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak membatalkan
aturan presidential threshold, dengan alasan hal tersebut merupakan legal policy atau
kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, berdasarkan pasal 6A ayat (5)
UUD 1945. Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak melihat lebih dalam kalau Pasal 6A
ayat (5) UUD1945 tersebut mengatur tata laksana (proses tahapan pelaksanaan) bukan
persyaratan bagi paslon. Yang menjadi kerancuan berfikir adalah, penggunaan istilah
presidential threshold. Yang dimaksud dengan presidential threshold seharusnya
adalah ambang batas keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana tercantum dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945, bukan ambang batas
pencalonan presiden untuk ikut pemilu sebagaimana yang terdapat dalam pasal 9 UU
No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
Ada 2 (dua) alternatif pengaturan presidential threshold:
1. Tanpa dilakukan atau ditetapkan adanya ambang batas minimal dalam
pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam kondisi seperti ini, berarti bahwa semua partai politik yang dinyatakan
lulus verifikasi oleh KPU dan berhak ikut pemilu legislatif berhak mengajukan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu. Hal ini juga membuka
peluang bagi perseorangan dari berbagai kalangan yang mempunyai potensi,
1
kapasistas dan kapabilitas menjadi Presiden dan Wakil Presiden tanpa harus
terhalangi adanya presidential threshold.
Dengan tidak adanya ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan
partai politik maka akan semakin meningkatkan persaingan antar partai politik,
tidak seperti sebelumnya yang hanya dikuasai oleh partai-partai politik besar.
Namun, ada kekhawatiran apabila tidak diberlakukan ambang batas pencalonan
(presidential threshold) akan ada banyak calon pasangan Presiden dan Wakil
Presiden yang akan ikut pemilu. Ada beberapa cara untuk mengurangi atau
membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, diantaranya
pengetatan proses verifikasi partai politik oleh KPU yang harus dilakukan secara
keseluruhan atau merata.
Dari keempat varian ambang batas yang sudah pernah diberlakukan, Refly
Harun mengatakan Pasal 9 Undang-Undang pemilu Presiden dan Wakil Presiden
yang mengatur presidential threshold sudah tidak relevan lagi. Pasal tersebut sudah
tidak berguna lagi ketika pemilu akan digelar serentak dengan pemilu legislatif.
Sehingga, ada 4 permasalahan jika presidential threshold tetap diberlakukan:
1. Adanya perbedaan masa atau periode antara DPR dengan pasangan Presiden
dan Wakil Presiden yang akan dicalonkan. Tidak ada kesinambungan jika
pengusulan pasangan calon presiden justru dilakukan oleh DPR (partai politik
yang memiliki kursi di DPR pada masa sebelumnya. Idealanya dilakukan oleh
DPR dan Presiden pada masa yang sama, karena DPR nantinya yang akan
mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil
Presiden.
2. Adanya kemungkinan bahwa partai politik yang mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden justru tidak lolos atau tidak memperoleh kursi
pada pemilu yang dilakukan serentak tersebut. Sedangkan paslon yang
diusungnya memenangkan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Idealnya
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan
wakil presiden memenangkan pemilu, ia juga memperoleh kursi di parlemen
(DPR).
3. Menutup peluang bagi partai baru untuk mengusulkan psangan calon presiden
dan wakil presiden, walaupun partai tersebut adalah partai yang dinyatakan
lulus seleksi atau verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU.
2
B. ANALISA IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PEMILU SERENTAK TERHADAP PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 TERHADAP SILA
PANCASILA