Anda di halaman 1dari 3

“IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PEMILU

SERENTAK TERHADAP PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019”

TUGAS OLEH : FARIDAH HANUM (221021057)


DOSEN : Dr. Ir. H. SUPARTO,.S.H,.SIP,.M.M,.M.Si,.M.H

A. RINGKASAN
Demokrasi telah dianggap sebagai sebuah instrumen penting dalam
menjalankan sebuah konsepsi negara yang ideal untuk menjawab persoalan tentang
penegakan kekuasaan rakyat. Salah satu wujud dari demokrasi adalah pemilihan
umum. Dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia, pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden saat ini dilakukan secara langsung. Implikasi dari pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung ialah harus didahului oleh pemilu legislatif
(pemilu DPR, DPD, dan DPRD), artinya pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan secara terpisah dengan pemilu legislatif. Berdasarkan hasil pemilu legislatif
inilah kemudian partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang
batas yang telah ditentukan oleh undang-undang, mengajukan calon pasangan
Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu secara terpisah ini
memberikan dampak negatif dan kerugian konstitusional bagi para pihak. Sehingga
koalisi masyarakat sipil yang diwakili oleh Efendy Ghazali mengajukan judicial
review terhadap UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Pasal yang diujikan yaitu pasal 3 ayat (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2),
pasal 14 ayat (2), dan pasal 112 UU No.42 Tahun 2008. Berdasarkan permohonan
tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan melalui Putusan
MK No.14/PUU-XI/2013, dan menyatakan pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan secara serentak dengan pemilu legislatif. Namun, terkait
ambang batas (presidential threshold) MK tidak membatalkannya, dengan kata lain
pemilu presiden dan wakil presiden tetap menggunakan ambang batas pencalonan
(presidential threshold).
Argumentasi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak membatalkan
aturan presidential threshold, dengan alasan hal tersebut merupakan legal policy atau
kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, berdasarkan pasal 6A ayat (5)
UUD 1945. Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak melihat lebih dalam kalau Pasal 6A
ayat (5) UUD1945 tersebut mengatur tata laksana (proses tahapan pelaksanaan) bukan
persyaratan bagi paslon. Yang menjadi kerancuan berfikir adalah, penggunaan istilah
presidential threshold. Yang dimaksud dengan presidential threshold seharusnya
adalah ambang batas keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana tercantum dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945, bukan ambang batas
pencalonan presiden untuk ikut pemilu sebagaimana yang terdapat dalam pasal 9 UU
No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
Ada 2 (dua) alternatif pengaturan presidential threshold:
1. Tanpa dilakukan atau ditetapkan adanya ambang batas minimal dalam
pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam kondisi seperti ini, berarti bahwa semua partai politik yang dinyatakan
lulus verifikasi oleh KPU dan berhak ikut pemilu legislatif berhak mengajukan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu. Hal ini juga membuka
peluang bagi perseorangan dari berbagai kalangan yang mempunyai potensi,

1
kapasistas dan kapabilitas menjadi Presiden dan Wakil Presiden tanpa harus
terhalangi adanya presidential threshold.
Dengan tidak adanya ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan
partai politik maka akan semakin meningkatkan persaingan antar partai politik,
tidak seperti sebelumnya yang hanya dikuasai oleh partai-partai politik besar.
Namun, ada kekhawatiran apabila tidak diberlakukan ambang batas pencalonan
(presidential threshold) akan ada banyak calon pasangan Presiden dan Wakil
Presiden yang akan ikut pemilu. Ada beberapa cara untuk mengurangi atau
membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, diantaranya
pengetatan proses verifikasi partai politik oleh KPU yang harus dilakukan secara
keseluruhan atau merata.

2. Menggunakan ambang batas minimal atau presidential threshold


Melihat sejarah pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia,
Ada 4 (empat) varian pengaturan dengan menggunakan ambang batas pencalonan:
a. Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh kursi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) atau 25% (dua
puluh lima persen) suara sah nasional.
b. Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh kursi di DPR sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) atau
20% (dua puluh persen) suara sah nasional.
c. Pasangan calon diajukan oleh parati politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh kursi di DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) atau 5% (lima
persen) suara sah nasional.
d. Pasangan calon diajukan oleh partai politik yang memperoleh kursi di DPR
atau partai politik yang memenuhi syarat ambang batas (parliamentary
threshold) di DPR.

Dari keempat varian ambang batas yang sudah pernah diberlakukan, Refly
Harun mengatakan Pasal 9 Undang-Undang pemilu Presiden dan Wakil Presiden
yang mengatur presidential threshold sudah tidak relevan lagi. Pasal tersebut sudah
tidak berguna lagi ketika pemilu akan digelar serentak dengan pemilu legislatif.
Sehingga, ada 4 permasalahan jika presidential threshold tetap diberlakukan:
1. Adanya perbedaan masa atau periode antara DPR dengan pasangan Presiden
dan Wakil Presiden yang akan dicalonkan. Tidak ada kesinambungan jika
pengusulan pasangan calon presiden justru dilakukan oleh DPR (partai politik
yang memiliki kursi di DPR pada masa sebelumnya. Idealanya dilakukan oleh
DPR dan Presiden pada masa yang sama, karena DPR nantinya yang akan
mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil
Presiden.
2. Adanya kemungkinan bahwa partai politik yang mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden justru tidak lolos atau tidak memperoleh kursi
pada pemilu yang dilakukan serentak tersebut. Sedangkan paslon yang
diusungnya memenangkan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Idealnya
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan
wakil presiden memenangkan pemilu, ia juga memperoleh kursi di parlemen
(DPR).
3. Menutup peluang bagi partai baru untuk mengusulkan psangan calon presiden
dan wakil presiden, walaupun partai tersebut adalah partai yang dinyatakan
lulus seleksi atau verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU.

2
B. ANALISA IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PEMILU SERENTAK TERHADAP PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 TERHADAP SILA
PANCASILA

Berdasarkan uraian diatas, implikasi dengan adanya Putusan Mahkamah


Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 dalih pasal 9 UU No.42 Tahun 2008 yang menjadi
landasan berlakunya ambang batas pencalonan (presidential threshold) dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, berpotensi memperluas makna norma pasal
6A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum”. Ketentuan ini jelas hanya sebatas menentukan perihal pengusulan
pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik yang tercatat
sebagai peserta pemilu, dan secara gramatikal tidak ditentukan adanya syarat
persentase yang harus dipenuhi. Sedangkan pasal 9 UU No.42 Tahun 2008 tersebut,
memperluas syarat pengajuan calon dari apa yang telah ditentukan oleh Undang-
undang. Menjadi pertanyaan, apa maksud dibalik mempertahakan presidential
threshold dengan tetap harus memenuhi syarat persentase partai politik tersebut ?
Jika penulis menarik benang merah, ketentuan presidential threshold dalam
pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak tidak sesuai dengan sila ke-empat
pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan keadian”. Sebagaimana telah diuraikan bahwa dengan
adanya presidential threshold ini berarti lewat partai politik lah yang menentukan
kualitas dan kapabilitas paslon presiden tersebut. Seolah-olah demokrasi lewat pilpres
langsung yang disuguhkan kepada rakyat hanyalah formalitas. Oleh karena itu
sebaiknya presidential threshold ditiadakan, karena ada hak warga negara untuk
menentukan pilihan sesuai hati nuraninya sehingga rakyat pun bisa turut menentukan
sendiri mana calon yang berkualitas atau tidak.
Pada pokok permasalahan, menurut penulis dengan tidak adanya ambang batas
minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calonnya,
maka akan mendorong demokratisasi di internal partai politik itu sendiri. Artinya,
pasangan calon yang diajukan harus berasal dari sebuah proses yang terbuka dan
partisipatif. Partai politik akan mencalonkan kandidat yang memang punya
kompetensi dan peluang bagus untuk memenangkan pemilu, hal inilah yang juga
dianulir bahwa wakil-wakil rakyat melalui partai politik menampung aspirasi rakyat
dengan keterbukaan dan menghasilkan presiden dan wakil presiden yang berkualitas,
dalam artian tidak mengecewakan hati nurani rakyat.
Dalam pengamalan sila pancasila, khususnya sila keempat negara menjamin
bahwa rakyat dalam menjalankan kedaulatannya benar-benar secara demokratis dan
tanpa diskriminasi melalui wakil-wakilnya. Tetapi jika demikian cara pemilihan
presiden dan wakil presiden yang diberi batasan melalui presidential threshold jelas
sudah menciderai nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat yang terdapat pada sila ke-
empat pancasila.

Anda mungkin juga menyukai