Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : Parida

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043042882

Kode/Nama Mata Kuliah : IPEM4437/Kekuatan SOSPOL Indonesia

Kode/Nama UPBJJ : 51/Tarakan

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban Nomor 1

Indonesia menerapkan sistem parliamentary threshold atau ambang batas parlemen


dalam Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif. Dengan sistem ini, setiap partai politik harus
memenuhi syarat minimal perolehan suara untuk bisa menempatkan wakilnya di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sistem parliamentary threshold pertama kali diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2009.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008, ditetapkan bahwa untuk bisa mendapatkan kursi di
parlemen pada Pemilu 2019, partai politik harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5%
dari total perolehan suara sah secara nasional. Di tahun tersebut aturan ambang batas parlemen
hanya diterapkan untuk DPR, sedangkan DPRD belum. Kemudian berdasarkan UU Nomor 8
Tahun 2012, mulai Pemilu 2014 sistem ambang batas parlemen diterapkan untuk
penentuan kursi DPR dan DPRD. Syarat minimalnya pun dinaikkan menjadi 3,5% dari total
suara sah secara nasional. Lalu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017, ambang batas parlemen
pada Pemilu 2019 kembali dinaikkan menjadi minimal 4%, baik untuk kursi DPR maupun
DPRD. Di satu sisi, sistem ambang batas parlemen diterapkan untuk mengurangi jumlah partai
politik di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian. Namun, di sisi lain
ambang batas parlemen ini kerap dinilai sebagai hambatan bagi partai politik kecil untuk masuk
ke parlemen. Sistem parliamentary threshold juga kerap dinilai kontraproduktif bagi praktik
demokrasi, karena dapat mengakibatkan terbuangnya suara warga yang memilih partai politik
dengan total perolehan suara di bawah ambang batas. Adapun tahapan persiapan Pemilu 2024
dijadwalkan telah memasuki tahapan dimana saat ini sejumlah elite partai politik dikabarkan
sudah mulai saling melakukan kunjungan untuk menggalang dukungan.

Jawaban Nomor 2

Tujuan penyederhanaan jumlah parpol tidak hanya terfokus pada pendirian parpol tetapi juga
pada saat parpol akan memasuki parlemen. Hal ini dikarenakan, hanya parpol di parlemen yang
memiliki kekuasaan legislasi untuk memproduksi undang-undang. Sedangkan untuk dapat
menjadi parpol parlemen, parpol harus mampu melewati angka ambang batas yang telah
ditentukan secara politik dalam UU Pemilu. Tidak hanya melewati angka ambang batas
parlemen, parpol-parpol juga harus bersaing di daerah pemilihan (kemudian disingkat dapil)
untuk mendapatkan kursi. Legitimasi seorang calon wakil rakyat akan semakin besar apabila
dapil yang dimenanginya semakin kecil. Hal ini dikarenakan dapil kecil menciptakan ruang
komunikasi untuk menyerap aspirasi dari konstituen secara mudah. Selain mengunakan besaran
dapil untuk memperkecil kemungkinan parpol “gurem” memasuki parlemen lalu digunakan
instrumen lainnya yaitu ambang batas perwakilan. Penentuan angka ambang batas pemilu di
negaranegara sampai saat ini tidak memiliki formula baku. Besar kecilnya angka ambang batas
ditentukan oleh pembuat undang-undang, disesuaikan dengan keadaan sosial-politik masing-
masing negara.

Dapil merupakan instrumen sistem pemilu yang penting dan selalu menjadi persoalan. Menurut
Pipit (2003:18) dapil akan berpengaruh terhadap sistem pemilu, hubungan antara suara dengan
kursi atau berapa jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu dapil, dan peluang satu partai
buat mendapatkan kursi. Pipit dan Sidik (2007:41) menuliskan bahwa dalam sistem proporsional,
jika tidak diatur ambang (threshold) secara resmi yang dituliskan dalam undang-undang, maka
masih ada ambang “informal”. Dimana nilai dari ambang batas “informal” itu terjadi secara
alamiah atau matematikal dan tergantung pada dapil. Rae, Hanby dan Loosemore dalam Pipit
(2007:42) mendeskripsikan dalil ambang (threshold). Rekayasa sistem dan instrumen didalam
sistem pemilu dilakukan untuk menahan jumlah partai politik memasuki parlemen. Mulai dari
penerapan ET sampai pada PT dan mengurangi jumlah alokasi kursi di dapil. Upaya untuk
menyederhanakan sistem kepartaian juga dilakukan dengan mengecilkan alokasi kursi pada
setiap dapil. Dimana pada pemilu 2004 alokasi kursi di dapil sebesar 3-12 kursi. Lalu, pada
pemilu 2009 dan pemilu 2014 alokasi kursi di dapil dikecilkan menjadi 3-10 kursi saja.
Pengecilan alokasi kursi dapat secara signifikan menekan angka Effective Number of
Parliamentary Parties (ENPP), hal ini dikarenakan threshold alamiah yang terjadi didapil.
Mengenai ambang batas dan alokasi kursi masih putusan politis dan belum memiliki targetan
yang jelas mengenai sistem kepartaian. Namun, partai-partai yang memiliki kursi di DPR
memutuskan dan sepakat untuk menyederhanakan sistem kepartaian pada pemilu.

Daerah pemilihan pada dasarnya memiliki threshold alamiah tersendiri. Dimana, daerah pemilian
dengan alokasi besar memiliki threshold alamiah yang rendah. Akan tetapi, pada daerah pemilian
dengan alokasi kursi kecil maka threshold itu juga semakin tinggi karena jumlah partai politik
peserta pemilihan umum sangat mempengaruhi dari penyebaran suara yang akan terbuang.
Sehingga untuk itu angka ambang batas pada dasarnya juga dapat tercipta secara alamiah tanpa
harus ditentukan secara politik, sebagaimana daerah pemilihan memiliki thrshold alamiah
sendiri. Tidak konsistennya pembuat UU dalam menentukan angka ambang batas dan dampak
ambang batas. Dimana pada saat jumlah partai politik peserta pemilihan umum bergitu banyak,
angka ambang batas dibuat begitu tinggi. Dan pada saat jumlah partai politik peserta pemilihan
umum semakin sedikit, angka ambang batas dibuat begitu rendah.
Dengan dalil diatas, maka ambang batas alamiah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu;

1. Ambang batas alamiah minimal,


2. Ambang batas alamiah menengah
3. Ambang batas alamiah maksimal.
Masing-masing ambang batas alamiah memiliki besaran angka tersendiri dan dampak tersendiri
pada sistem kepartaian yang terbentuk pasca pemilihan umum. Alokasi kursi yang semakin kecil
pada setiap daerah pemilihannya juga membentuk sistem kepartaian yang lebih efektif. Dengan
penurunan alokasi kursi, maka threshold alamiah yang terbentuk pada daerah pemilian juga
semakin tinggi. Sehingga hanya partai politik yang memiliki basis dukungan yang besar pada
daerah pemilian yang akan mendapatkan kursi. Semakin sedikit jumlah partai politik peserta
pemilihan umum, maka angka ambang batas alamiah juga semakin tinggi. Dengan ini ambang
batas alamiah minimal, menengah dan maksimal akan berdampak pada pengurangan jumlah
angka partai politik riil di parlemen. Akan tetapi belum tentu dapat mengurangi atau menurunkan
angka Indeks ENPP dan Indeks Fragmentasi secara drastis, karena penurunan angka Indeks
ENPP dan Indeks Fragmentasi juga ditentukan dari hasil pemilu dan kursi yang diperoleh
masing-masing partai politik di parlemen. Secara berurutan, peningkatan angka ambang batas
alamiah juga berdampak pada peningkatan angka Indeks Disproporsional, akan tetapi pada
peningkatan Indeks Disproporsional masih dalam katagori pemilihan umum yang proporsional.
Angka ambang alamiah maksimal mampu mempengaruhi pengurangan jumlah partai politik riil
di parlemen dan dipadukan dengan pengecilan alokasi kursi di daerah pemilian. Dengan
dilakukannya pengecilan alokasi kursi di daerah pemilian maka berdampak pada pengecilan
angka Indeks ENPP.

Jawaban Nomor 3

Presidential Threshold Secara sederhana, ambang batas atau threshold dipahami sebagai batas
minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu.
Dari segi fungsi dan kegunaannya, penerapan threshold adalah untuk mengurangi jumlah peserta
pemilu, jumlah partai politik yang duduk di lembaga perwakilan, dan jumlah partai politik atau
kelompok partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Dampak dari Presidential
Threshold yang mengatur soal syarat minimal pengajuan calon presiden dan wakil presiden,
yakni harus 20 persen suara partai politik atau gabungan partai politik, aturan itu memicu ongkos
politik mahal dan memicu oligarki politik dalam mensponsori figur untuk menjadi presiden.
Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu
harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Makna dari negara demokrasi yang memberikan hak dan
kebebasan bagi warga negara, di antara hak konstitusional antara lain yaitu meliputi hak memilih
(the right to vote), hak untuk mencalonkan diri (the right to be candidate), dan hak mengajukan
calon (the right to propose candidate).

Banyak studi membuktikan bahwa sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan
prosedur Demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robison
& Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa
rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan
reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel,yaitu Politik kartel sebagai situasi
manakala partaipartai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan
programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan
pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi
pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan
berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit
berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis
mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan
oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber
daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi)
tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan
(pasukan ,senjata, teknologi). dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki.tapi ada studi lain
yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa“demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-
angsur berubah menjadi “oligarki demokratis. ”Inilah sejenis oligarki yang ingin
mempertahankan kekayaan-sekaligus merebut kekuasaan–melalui kompetisi electoral (melalui
pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia,
tapi politik oligarki. Elemen penting neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis)
yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah
kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligark sultanistik
dizaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligark pasca Orde Baru menyebar ke dalam
banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa
dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca OrdeBaru membuat para oligark
bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral sehingga oligarki dan demokrasi saling
menunggangi.

“Menurut penyataan Mahfud MD oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligarki,


Politik oligarki merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan
penting dikuasai oleh sekelompok elit penguasa partai politik, karena jabatan pimpinan partai
politik menjadi rebutan banyak pihak. Banyak orang berebut untuk bisa menduduki jabatan
pimpinan partai politik dan tidak sedikit yang menggunakan uang untuk meraihnya.”

Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi
terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai
politik. Di Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain,

Pertama, Ketua Umum sebagai figur utama atau elite partai yang menjadi penentu, "Orang-orang
kuat" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Di Indonesia saat ini, pada
umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena
faktor sejarah terbentuknya partai atau sebuah "moment historis" yang menyebabkan seorang
figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan
peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan
sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya sangat kokoh. Partai-partai yang sejak
awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai
pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi
mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan
model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.

Kedua, aspek historis ataupun ideologis, kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki
juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki
figur. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan
ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya
bagaimana partai dikelola. Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini
karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat
besar. Dulu almarhum Cak Nur pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan
"gizi". Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau
ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking), konstelasi, ataupun kontestasi
internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.

Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya
adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta
dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai. Namun,
yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan
aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan
oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan
partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau
dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan
pemeriksaan. Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada
akhirnya memungkinkan "figur-figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar
kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. Ketidakjelasan
kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga
memuluskan pola hubungan patron-client, tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi
intrnal partai yang sehat.

Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai
kandidasi partai, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai
menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan
main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu mendorong perluasan rekayasa
penciptaan kepatuhan buta yang objektif.

Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang
secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam
dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu
menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif.
Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan
peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara
tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver
elite. selain itu yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis
masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa
terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang
mampu bersikap dan berperilaku demokratis. Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas,
diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan partai
yang reformer, dukungan aturan dukungan civil society. Pembenahan yang bersifat parsial dan
tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya
pereduksian oligarki dalam partai politik. Oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki
dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan
mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka
kekuasaan yang menggurita secara sistemik.

Jika tetap masih memberlakukan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold)
maka harus dibuatkan aturan untuk calon perseorangan atau independen dalam pemilihan umum
presiden dan wakil presiden. Meskipun harus dengan cara melakukan perubahan UUD 1945 atau
amandemen UUD 1945 terlebih dahulu. Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan
permohonan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.

Anda mungkin juga menyukai