Anda di halaman 1dari 15

PENYEBAB KETIDAKHARMONISAN HUKUM PARTAI POLITIK DAN HUKUM

PEMILU
Penyebab terjadinya ketidakharmonisan antara sistem kepartaian dan sistem pemilu
adalah karena setelah dikaji secara mendalam dari asas-asas isi normatif, yakni pikiran dasar
yang umum dan abstrak atau latar belakang munculnya pengaturan konkrit dalam kedua sistem
itu, melalui pasal-pasal dalam UU No.2 Tahun 2008 jo UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik dan UU No.10 Tahun 2008 jo UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD pemilu 2009 dan 2014 diperoleh hasil, ternyata saling bertentangan, tidak selaras atau
tidak serasi asasnya. Sehingga tidak mencerminkan suatu kesatuan sistem. Akibatnya tidak
tercapai tujuan atau fungsi sistem kepartaian dan sistem pemilu yang harmoni dengan berbagai
maksud, tujuan dan kepentingan bagi tercapainya relasi antara presiden dan DPR dalam skema
sistem pemerintahan presidensial untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang efektif.
Menurut Bagir Manan setiap produk perundang-undangan yang mengatur bidang yang
sama atau sederajat seharusnya memiliki kesamaan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam hal ini dapat ditelaah melalui asas-asas yang terkandung di dalam produk perundang-
undangan tersebut. Hal ini bertolak dari prinsip hukum adalah sebuah sistem. Untuk menemukan
arti atau pengertian suatu norma atau istilah, dilakukan dengan cara menghubungkan suatu
ketentuan dengan ketentuan-ketentuan lain, terutama dengan peraturan perundang-undangan
yang sama atau kaidah hukum lain.
Misalnya, secara sistematik ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, mempunyai hubungan sistematik dengan undang-undang pemilihan umum dan
undang-undang tentang partai politik. Dalam hal ini UU No.2 Tahun 2008 jo UU No.2 Tahun
2011 tentang Partai Politik dan UU No.10 Tahun 2008 jo UU No.8 Tahun 2012 adalah dua
produk perundang-undangan di bidang politik yang sederajat. Karena UU No.2 Tahun 2008 jo
UU No.2 Tahun 2011 mengatur tentang partai politik yang hendak menjadi peserta dalam pemilu
2009 dan 2014, sedangkan UU No.10 Tahun 2008 jo UU No.8 Tahun 2012 mengatur tentang
seluk-beluk pemilu yang merupakan arena bagi kompetisi antar partai-partai dalam
memperebutkan kursi legislative pada pemilu 2009 dan 2014. Seharusnya memiliki asas-asas
yang sama untuk mencapai tujuan harmoni antara maksud dan tujuan dari kedua produk UU
tersebut.
A. Ketidakharmonisan UU Partai Politik dan UU Pemilu
Berikut ini akan dianalisis secara mendalam tentang asas-asas yang termuat di
dalam pasal-pasal UU No. 2 Tahun 2008 jo UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
yang tidak harmoni dengan asas-asas dalam sistem pemilu sebagaimana dimaksud di
dalam norma-norma pasalpasal UU No.10 Tahun 2008 jo UU No.8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan DPRD tahun 2009 dan 2014.
1. Asas Sistem Multipartai Sederhana
a. Pelaksana UU Partai Pemilu 2009
Sesungguhnya asas sistem multi partai sederhana ini dapat ditelisik dari
UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik untuk pemilu 2009 ini melalui syarat
pendirian parpol diantaranya didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang,
sedangkan dalam UU No.31 Tahun 2002 tentang Parpol hanya 30 orang. UU
No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ini lebih baik, karena telah menaikkan
syarat parpol untuk menjadi badan hukum, harus memiliki ketersebaran
kepengurusan paling sedikit 60 persen dari jumlah Provinsi, 50 persen dari jumlah
Kabupaten/Kota pada Provinsi yang bersangkutan dan 25 persen dari jumlah
kecamatan pada setiap Kabupaten/Kota pada daerah yang bersangkutan.
Semua fraksi di DPR RI dalam Rapat Paripurna Pendapat Akhir Fraksi
dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Partai Politik, pada prinsipnya berpendapat agar
pendirian partai politik dipermudah. Kendati kemudahan itu bukan berarti
pendirin partai politik dilakukan sebebas-bebasnya, melainkan diatur dengan
syarat-syarat tertentu. Tujuan pengaturan ini adalah agar dapat menjamin
kebebasan berserikat dan berpendapat dan penyebaran kepengurusannya dapat
menjangkau ke seluruh Indonesia dimaksudkan untuk menjamin keterlibatan
seluruh warga negara dan integrasi nasional.
Seperti tercermin melalui sikap Fraksi Golkar, poin penting yang diatur
dalam Rancangan Undang-Undang Partai Politik adalah menyangkut penyebaran
kepengurusan. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik
disepakati kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
provinsi dan 50% (lima puluh prseratus) dari jumlah Kabupaten/Kota pada setiap
provinsi yang bersangkutan dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah
kecamatan pada setiap Kabupaten/Kota pada daerah yang bersangkutan. Pasal ini
dimaksudkan agar partai politik dapat menjamin integrasi nasional dan
menunjukkan sifat nasional serta untuk mewujudkan partai politik yang modern :
bersifat inklusif, non sektarian dan menghargai kemajemukan/pluralisme.
Maksudnya adalah keanggotaan Parpol terbuka bagi setiap warga negara tanpa
membedakan faktor kedaerahan, agama, suku, ras dan jenis kelamin (sesuai
amanat Pasal 28 E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dalam UU No.31 Tahun 2002 hanya memiliki kepengurusan sekurang-
kurangnya 50 persen dari jumlah Provinsi, 50 persen dari jumlah Kabupaten/Kota
pada setiap Provinsi dan 25 persen dari jumlah Kecamatan pada setiap
Kabupaten/Kota Yang bersangkutan.217 Syarat ini adalah sebuah kemajuan
karena dalam UU parpol sebelumnya tidak diatur. Bagi Fraksi PDIP DPR RI
Pertimbangan perlunya penyebaran jumlah pengurus partai politik di level
propinsi, kabupaten/ kota dan kecamatan dalam UU No.2 Tahun 2008 ini semula
tidak untuk mempersulit dan membatasi pendirian partai politik. Melainkan
bertujuan agar partai politik dapat merepresentasikan kepentingan nasional.
Berbeda dengan Fraksi Partai Demokrat yang secara tegas menyatakan
bahwa pengaturan syarat pendirian parpol baru dan penyebaran jumlah pengurus
partai politik di level propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan adalah untuk
menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat, namun kebebasan ini bukan
serta merta tanpa aturan-aturan. Karena itu aturan syarat pendirian partai ini
adalah dalam rangka untuk meningkatkan klualitas demokrasi.
Pengaturan syarat pendirian partai politik dalam UU No.2 Tahun 2008 ini,
masih harus dilengkapi dengan syarat memiliki badan hukum, lalu kelengkapan
syarat administrasinya, berupa memiliki akta notaris pendirian parpol, kantor
tetap dan jumlah kepengurusan, memiliki rekening atas nama parpol. Mahkamah
Konstitusian kepengurusan parpol di tingkat pusat paling rendah 30 persen
keterwakilan perempuan. Untuk didaftarkan ke Kemenkum HAM dan dilakukan
penelitian dan atau verifikasi administrasi.
Melihat sejumlah persyaratan administrasi ini, sesungguhnya mengandung
spirit pembatasan jumlah parpol yang memiliki badan hukum, jika parpol telah
memiliki badan hukum, maka parpol berhak untuk mendaftarkan ke KPU, untuk
dilakukan penelitian administrasi oleh KPU, secara berjenjang mulai dari KPU
RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sesuai mekanisme dan model tata
kerja yang telah ditetapkan oleh KPU melalui Peraturan Komisi Pemiliha Umum
(PKPU).
Persyaratan yang harus dipenuhi agar parpol dapat menjadi peserta
pemilu, adalah memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau
1/1000 (satu seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan parpol
dibuktikan melalui kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA).226 Untuk dapat
mengikuti pemilu, setiap parpol harus lulus dalam verifikasi yang dilakukan oleh
KPU. Ini menunjukkan bahwa semakin sulit parpol untuk mengikuti pemilu,
karena harus melalui dua tahapa verifikasi di Kemenkum HAM dan di KPU.
Kelak akan ada empat jenis parpol: (1). Parpol bakal peserta pemilu, (2). Parpol
peserta pemilu tanpa kursi di DPR, (3). Parpol peserta pemilu dengan kursi di
DPR, tapi tidak mencapai electoral treshold, (4). Parpol yang mencapai electoral
threshold.
Dengan beratnya persyaratan dalam pendirian parpol berbadan hukum dan
parpol peserta pemilu ini, secara sistemik dimaksudkan agar kelak melahirkan
sistem multipartai sederhana Artinya setiap orang tidak sebebas-bebasnya tanpa
anturan dalam mendirikan partai politik. Sehingga kelak jumlah pendirian partai
politik dapat dikurangi melalui UU ini.
Sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama
menuju sinergi nasional. Mekanisme ini disamping tidak cenderung menampilkan
monolistisme juga akan lebih membuka suasana demokratis yang memungkinkan
parpol dapat berperan secara optimal. Semangat akan lahirnya sistem multipartai
sederhana dalam UU kepartaian ini dapat di lihat secara empirik dalam realitas
masyarakat yang dapat disimak melalui aneka opini tentang buruknya citra parpol
selepas Orde Baru, berbagai media memberitakan perilaku aktifis parpol yang
kerap bertikai, oligarkhi dan memburuknya citra demokrasi.
Seperti yang dinyatakan Marcus : “Whenever Indonesian media and civil
society group discuss the main source of the country’s problem, political polling
and the national legislure are certain to feature at the top of the list, these
institutions are usually postraged as corrupt greedy ineffective, self absorbed,
isolated from society and dominated by oligarchie elites”
b. Pelaksana UU Partai Pemilu 2014
Undang-Undang (UU) Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik disahkan oleh DPR RI pada Sidang Paripurna
16 Desember 2010. Diundangkan pada 15 Januari 2011 dalam Lembaran Negara
(LN) Tahun 2011 nomor 8. Sebelumnya UU ini diajukan oleh DPR dalam bentuk
Rancangan Undang-Undang (RUU) pada 13 Oktober 2010 dan mulai dibahas
pada 25 November 2010. Pembahasaan RUU itu memakan waktu sekitar 3 (tiga)
tiga minggu. Dalam pembahasan RUU ini nyaris tidak ada perdebatan yang
berarti, karena hanya membahas sebagian dari UU lama. Untuk membahas sebuah
UU yang sangat penting bagi penguatan dan pendalam demokrasi (deepening
democracy), seperti UU partai politik ini waktu 3 (tiga) minggu terlalu singkat,
karena partisipasi publik yang rendah dan kualitas produk UU yang terjamin.
Menurut Sebastian Sallang, patut diduga pendeknya tengat waktu yang
diperlukan dalam pembahasan UU ini, DPR sepertinya telah yakni bahwa
sebaikbaik apapun produk UU DPR pastilah akan melahirkan gugatan publik.
Karena itu DPR cenderung cuci tangan dan kelak menyerahkan pada Mahkamah
Konstitusi untuk meluruskan produk UU. Bila cara berpikir DPR seperti ini tentu
sangat membahayakan politik hukum legislasi di Indonesia. Alasan utama untuk
melakukan perubahan terhadap UU parpol ini diantaranya, untuk penguatan peran
dan fungsi serta akuntabilitas parpol agar lebih eksis dan meraih kembali
kepercayaan rakyat. Undang-undang baru juga mengatur agar kinerja parpol lebih
terorganisir dan lebih mengakar termasuk kemampuan dalam penyelesaian
konflik internal melalui Mahkamah Parpol.
UU parpol baru ini merubah cukup banyak ketentuan dalam UU No. 2
Tahun 2008 (UU parpol lama). Ada 17 pasal yang dirubah dengan penambahan 1
pasal baru. Di tingkatan ayat, ada 27 ayat yang dirubah dengan penambahan 14
ayat baru. Salah satu ketentuan yang memicu kontroversi adalah mengenai syarat
pembentukan dan pendaftaran parpol sebagai badan hukum, yang jauh lebih berat
daripada UU sebelumnya. Di UU parpol baru, syarat untuk mendirikan partai,
harus ada paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah
di setiap provinsi sebagai pendiri. Baru kemudian, para pendiri yang jumlahnya
minimal 30 orang di setiap provinsi itu diwakili oleh 50 di antara mereka untuk
mendaftarkan partai tersebut.
Adapun dalam UU parpol yang lama, untuk membentuk partai, syaratnya
hanya ada paling sedikit 50 Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia
21 tahun sebagai pendiri. Di UU parpol baru, untuk menjadi badan hukum,
sebuah partai harus mempunyai kepengurusan di 100% provinsi, dan minimal
75% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, serta 50%, dari
jumlah kecamatan di kabupaten/ kota yang bersangkutan. Sementara dalam UU
parpol lama, untuk menjadi badan hukum, sebuah partai harus memiliki
kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan di
setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Perubahan syarat lainnya adalah mengenai kantor partai. Pada UU parpol
lama, hanya disebutkan bahwa untuk menjadi badan hukum, partai harus memiliki
kantor tetap. Dalam UU baru aturan itu diperketat dengan merinci bahwa partai
harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota sampai
tahapan terakhir Pemilihan Umum (Pemilu). Ini berarti dibutuhkan dana yang
cukup besar dan kemampuan mengorganisir untuk mendirikan partai baru. Tak
aneh jika kemudian UU ini digugat oleh sejumlah kalangan karena dianggap telah
membatasi kebebasan berserikat warga negara. Dalam konstitusi tidak di atur
tentang pembatasan berserikat. Menurut Irman Putra Sidin, tidak ada aturan dalam
Undang-Undang Dasar negara kita yang membatasi pembentukan partai politik
kecuali jika parpol tersebut memiliki asas, tujuan, dan kegiatan yang bertentangan
dengan konstitusi dan dasar negara. Ia setuju bahwa pendirian parpol tidak perlu
dipersyaratkan terlalu ketat.
Negara memang bisa membuat sejumlah kondisi persyaratan, namun jika
ada warga negara yang merasa dirugikan dengan persyaratan itu, terutama karena
membuat hak berserikatnya terkungkung, maka menurutnya, warga negara itu
sangat berhak untuk menggugat.239 Rachman Tolleng yang menyatakan sangat
masuk akal, apabila jumlah parpol diperketat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, namun bukan melalui Undang-undang, namun kebijakan
parliamentary treshold (PT). Biarkan pemilih memilih, dan terapkan ambang
batas, proses penyederhanaan harus dilakukan di hilir bukan di hulu, bukan sejak
awal berdiri, di sinilah kelemahan UU ini. Dalam ketentuan peralihan di Pasal 51
UU parpol baru, disebutkan bahwa partai politik yang telah disahkan sebagai
badan hukum berdasarkan UU sebelumnya tetap wajib melakukan penyesuain
dengan UU parpol baru ini dan melakukan verifikasi.
Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk partai baru, tetapi juga untuk
partai-partai lama. Sejumlah aktifis demokrasi mengugat UU baru ini Mahkamah
Konstitusi (MK), diantaranya adalah Ramhman Tolleng, Dana Iswara Basri, Fikri
Jufri, M Husni thamrin, Budi Arie Setiadi, Susy Rizky Wiyantini, Goenawan
Susatyo Muhammad, Sonny Sutanto, Damianus Taufan dan juga 14 partai kecil
antara lain,
Partai Persatuan Daerah, Partai Bulan Bintang, Partai Damai Sejahtera,
Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai
Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Pelopor, Partai
Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai
Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Merdeka, dan
Partai Indonesia Sejahtera. Adapun pasal yang mereka gugat adalah, Pasal 2 ayat
1, Pasal 3 ayat 2 huruf c, Pasal 51 ayat (1b). Pasal 2 ayat (1), berbunyi, “yang
mensyaratkan bahwa partai politik harus didirikan oleh minimal 30 orang dari
setiap provinsi”. Pasal 3 ayat 2 huruf c, “yang mensyaratkan partai memiliki
kepengurusan di setiap provinsi minimal 75 persen kepengurusan di setiap
kabupaten atau kota provinsi bersangkutan, dan minimal 50 persen kepengurusan
di setiap kecamatan di kabupaten atau kota bersangkutan. Pasal 51 ayat 1 (b),
“verifikasi persyaratan pendirian partai politik dilakukan 2,5 tahun sebelum hari
H Pemilu 2014”. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian
permohonan pengujian UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parati Politik
(Parpol).241 Dalam persidangan MK mengabulkan sebagian permohonan yakni
pasal 51 ayat 1 (1a) terkait verifikasi partai politik, sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dan Partai Politik yang dibentuk setelah UU ini diundangkan. MK
berpendapat pasal 51 ayat (1a) UU Parpol, bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai, verifikasi partai politik yang dibentuk
setelah UU ini harus dilakukan paling lambat dua setengah tahun sebelum hari
pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum. Selain itu, Pasal 51 ayat
(1a) UU Parpol tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang ‘verifikasi
partai politik yang dibentuk setelah UU ini harus dilakukan paling lambat dua
setengah tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan
umum.
Berdasarkan putusan MK maka syarat verifikasi tidak lagi diberlakukan
pada partai politik lama yang telah diakui status badan hukumnya berdasarkan
ketentuan dalam UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Sesuai dengan UU
baru, Kementerian Hukum dan HAM membuka pendaftaran partai politik baru
untuk diverifikasi keabsahannya sebagai partai politik berbadan hukum.
Verifikasi parpol dilakukan selama 45 hari kerja ditambah waktu mempersiapkan
surat keputusan selama 15 hari kerja. Verifikasi mulai dibuka pada 22 September
2011 dan berakhir pada 16 Desember 2011 dan Pada 22 September 2011,
Kementerian Hukum dan HAM menutup pendaftaran verifikasi partai baru.
Dalam perjalannnya terdapat 14 (empat belas) partai politk yang mendaftarkan
diri di Kementerian hukum dan HAM, yaitu:
1) Partai Nasional Republik (Nasrep)
2) Partai Nasdem
3) Partai Persatuan Nasional (PPN)
4) Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN)
5) Partai Republik Satu
6) Partai Republik Perjuangan
7) Partai Satria Piningit
8) Partai Penganut Thariqot Islam Negara Islam Indonesia
9) Partai Karya Republik (Pakar)
10) Partai Serikat Rakyat Independen (SRI)
11) Partai Indonesia Rakyat Bangkit
12) Partai Independen
13) Partai Kekuatan Rakyat Indonesia (PKRI)
14) Partai Demokrasi Pancasila (Depan)
Verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian hukum dan HAM dianggap
oleh sejumlah kalangan melanggar peraturan karena telah memberikan tenggat
waktu pemenuhan persyaratan pada pada partai tertentu, yakni yakni Partai Karya
Republik, Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dan Partai Kemakmuran
Bangsa Nusantara (PKBN) untuk melengkapi kekurangan. Alasannya,
kekurangan kedua parpol itu tidak substansial. Dari 14 parpol tersebut hanya
partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang dinyatakan lolos berbadan hukum tetap
dan berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu tahun 2014 untuk
diverifikasi oleh KPU melalui UU No.8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.
Sesuai rancangan, pemungutan suara Pemilu 2014 dilaksanakan pada April 2014
sehingga verifikasi badan hukum parpol harus selesai paling lambat Oktober
2011.
Namun, Kementerian Hukum dan HAM baru mengumumkan hasil
verifikasi pada pertengahan November 2011. Artinya dengan ketentuan syarat
pendirian parpol yang cukup ketat telah dapat memangkas keinginan partai politik
untuk mendirikan partai baru. Terbukti hanya ada 14 parpol yang mendaftar di
Kementerian Hukum dan HAM dan yang dinyatakan lolos hanyalah 1 partai
politik. Namun karena untuk menjadi peserta pemilu tahun 2014 mendatang
parpol baru dan parpol lama yang berstatus badan hukum sesuai UU No.2 tahun
2008 harus diverifikasi factual oleh KPU sesuai maksud Pasal 14 dan 15 UU No.8
Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.
Paradigma baru atau semacam terobosan politik (political breakhrough)
untuk melahirkan multipartai sederhana melalui UU ini adalah dengan 2 (dua)
cara yaitu: (1). Perubahan persyaratan pendirian parpol berbadan hukum dan di
verifikasi oleh Kemenkum HAM dan (2). Perubahan persyaratan menjadi peserta
pemilu dan di verifikasi faktual oleh KPU. Jumlah partai politik yang
mendaftarkan di Kemenkumham untuk mendapatkan badan hukum pada tahun
1999 adalah sejumlah 148 partai politik, yang dapat lolos setelah di verifikasi oleh
Kemenkumham hanya 141 partai politik, lalu yang dapat lolos menjadi peserta
Pemilihan Umum setelah di verifikasi. oleh Komisi Pemilihan Umum untuk
Pemilihan Umum 1999 hanyalah 48 partai politik. Jumlah partai politik yang
mendaftar di Kemenkumham untuk mendapatkan status berbadan hukum tahun
2004 adalah sejumlah 237 partai politik, yang dapat lolos setelah di verifikasi oleh
Kemenkumham hanyalah 50 partai politik, lalu yang dapat lolos menjadi peserta
Pemilihan Umum tahun 2004 setelah melalui serangkaian verifikasi oleh Komisi
Pemilihan Umum berjumlah 48 partai politik. Jumlah parpol yang mendaftar di
Kemenkum HAM untuk mendapatkan status badan hukum tahun 2009 adalah
sejumlah 115 parpol, yang dapat lolos setelah di verifikasi oleh Kemenkum HAM
hanyalah 24 parpol, lalu yang dapat lolos menjadi peserta pemilu, setelah di
verifikasi oleh KPU sejumlah 38 parpol ditambah 6 parpol lokal di Aceh total
berjumlah 44 parpol. Sedangkan pemilu 2014 parpol yang diverifikasi oleh KPU
sebanyak 34 Parpol dan lolos menjadi peserta pemilu 2014 adalah hanyalah 15
parpol.
2. Asas Menguatkan Pelembagaan Sistem Kepartaian
a. Pelaksana UU Partai Politik Pemilu 2009
Sesungguhnya kelahiran UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ini
adalah untuk mengakomodasi paradigma baru seiring dengan menguatnya
konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tujuan awal dari hadirnya UU No.2 Tahun
2008 untuk pemilu 2009 adalah penguatan sistem dan kelembagaan partai politik.
Sebagaimana tercermin dalam Rapat Paripurna DPR Pembahasan Tahap
II/Persetujuan RUU tentang Partai Politik ini.248 Demikian pula urgensinya
dialukan perubahan terhadap UU No.2 Tahun 2008 menjadi UU No.2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik untuk pemilu 2014 adalah diarahkan pada dua hal, yaitu:
Pertama, membentuk sikap dan perilaku parpol yang terpola atau sistemik
sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem
demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan prilaku parpol yang memiliki
sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan
sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan
fungsi parpol baik fungsi parpol terhadap negara maupun fungsi parpol terhadap
rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang
efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin memiliki kemampuan di
bidang politik.
Menyadari hal itu, maka Fraksi Partai Demokrasi Sejahtera dalam Rapat
Paripurna DPR untuk menyetujui RUU ini menyatakan bahwa, salah satu
problematik partai-partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum
terlembaganya partai sebagai organisasi modern. Karena itu, Fraksi ini
menyambut baik gagasan utama hadirnya RUU ini adalah Sehingga hadirnya
Yang dimaksud dengan pelembagaan Partai Politik, adalah proses pemantapan
sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk
suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi.
Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai
yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian
yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptable kalau ia
mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul
sebagi akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan
menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk
saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi
politik.
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua
kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga
dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan dari
jalanan kedalam Partai Politik. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi
sejumlah kelompok yang baru di mobilisasi, yang dimaksud untuk mengurangi
kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem
kepartaian yang kuat adalah yang dapat menyiapkan organisasi partai yang
mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan
kelompokkelompok baru ke dalam sistem politik.
Kehadiran UU No.2 Tahun 2008 ini melalui sejumlah pembaruan yang
diadopsi telah mengarahkan pada penguatan sistem dan kelembagaan parpol, yang
menyangkut demokratisasi internal parpol, transparasi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan parpol, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan
parpol dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. Karena itulah, maka partai
politik sangat berperan penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia terutama
dalam rangka rekruitmen kepemimpinan politik lokal maupun nasional.
Partai politik didefinisikan oleh UU No.2 Tahun 2008 jo UU No.2 Tahun
2011, yaitu organisasi yang bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok
warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota dan masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Definisi ini
berbeda dengan definisi parpol dalam UU No.31/2002 tentang Parpol untuk
pemilu tahun 2004, yaitu dengan mengubah fase “kepentingan anggota” menjadi
“kepentingan politik anggota”, “organisasi politik” menjadi “organisasi yang
bersifat nasional” dan menghapuskan fase “melalui pemilu”.
Perubahan yang kental pada pengaturan sistem kepartaian dalam UU ini
juga memuat ketentuan tentang pengambilan keputusan rekruitmen politik,
peraturan dan keputusan parpol, dan pendidikan politik. Perubahan definisi ini
mempertegas pada pembaharuan hukum dibidang pengaturan partai politik,
walaupun definisi terkesan “malu-malu” dalam mempertegas partai politik
sebagaimana dipraktekkan dibanyak negara modern, yaitu:
“organized groups of individual is other groups who attempt to exercise
power in political system by winning control of the government and or influencing
governmental policy”. (“partai politik sebagai sarana untuk mengantarkan para
kadernya memegang kekuasaan pemerintahan, memegang kendali pemerintahan
atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan”)
Karena ketidak tegasan definisi partai politik inilah maka dalam
praktiknya partai politik tidak memiliki peran dan tidak dapat fungsi pada konteks
kenegaraan dan kemasyarakatan secara tepat, namun demikian definisi masih
lebih baik dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya karena membuat
cita-cita penguatan sistem dan pelembagaan partai yang kian menguat.
Diantaranya adalah tujuan khusus partai politik, yaitu meningkatkan partisipasi
politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik
dan pemerintahan, padahal tujuan semula partai politik hanyalah untuk
memperjuangkan cita-cita politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Perubahan yang kental pada pengaturan sistem kepartaian dalam Undang-
Undang ini juga memuat ketentuan tentang pengambilan keputusan rekruitmen
politik, peraturan dan keputusan partai politik, dan pendidikan politik. Dalam hal
pengambilan keputusan parpol pada masing-masing tingkatan dilakukan secara
demokratis sesusai Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
parpol. Ini menunjukkan betapa kuatnya keinginan dari UU No.2/2008 agar dapat
melahirkan mekanisme demokrasi dalam persaingan internal parpol.
Jika terjadi perselisihan parpol diselesaikan melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat. Namun, jika mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan
dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan maupun melalui pengadilan.
Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi,
mediasi atau arbritase yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
b. Pelaksana UU Partai Politik Pemilu 2014
Pada pelaksaan pemilu 2014 dengan menggunakan UU No.2 Tahun 2011
yang merupakan perubahan atas UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
untuk pemilu 2009 telah mengadopsi model baru dalam penyelesaian perselisihan
internal partai politik melalui Mahkamah Partai Politik (MPP). Dalam UU Parpol
yang baru, juga mengatur Hak anggota parpol untuk membela diri apabila
dilakukan recalling atau Pergantian Antar waktu (PAW) dari anggota DPR dan
DPRD. Ke depan tidak bisa ketua partai me-recall seorang anggota DPR tanpa
terlebih dahulu menyampaikan pembelaan diri secara terbuka dan dinilai tim
independen. Ini diatur melalui mekanisme Mahkamah Partai Politik atau sebutan
lain yang dibentuk oleh parpol, seperti yang ada di UU Parpol sekarang. Pasal 32
ayat (1) Dalam UU Parpol juga dijelaskan tentang Mahkamah Parpol, fungsinya
untuk menyelesaikan perselisihan perebutan kepengurusan dan konflik internal
partai.
Dalam menyelesaikan perselisihan, mahkamah diberi waktu paling lama
60 hari. Dan, UU Parpol menegaskan, jika mahkamah gagal menyelesaikan
perselisihan barulah perkara itu dibawa ke pengadilan negeri (PN). Putusan PN
merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi
ke Mahkamah Agung (MA). Penyelesaian di tingkat PN paling lama 60 hari sejak
pendaftaran gugatan. Sedangkan penyelesaian di MA dijatah 30 hari sejak
memori kasasi terdaftar di kepaniteraan MA.
Kehadiran Mahkamah Partai Politik ini adalah dalam rangka memperkuat
pelembagaan partai politik, yakni memperjelas model tata cara pergantian anggota
DPR dan DPRD oleh partai politik tidak dilakukan sewenang-wenang oleh
pengurus partai politik melainkan berdasrkan pada mekanisme aturan partai yang
telah disepakati berupa AD/ART. Mahkamh Partai ini juga dimaksudkan dalam
rangka untuk melakukan proses penyelesaian konflik di tingkat partai politik
secara lebih elegan, berjenjang dan berdasarkan pada alasan fakta-fakta hukum
bukan alasan politik yang cenderung lebih mudah untuk dipermainkan. Dalam hal
rekruitmen politik ditentukan bahwa parpol dapat melakukan rekruitmen terhadap
warga negara Indonesia guna menjadi anggota parpol, mengajukan calon untuk
menjadi keanggotaan DPR dan DPRD.
Mengusulkan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggotanya di DPR dan
DPRD, serta mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon
gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan
wakil walikota. Rekruitmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Dilakukan sesuai dengan AD/ART dan peraturan perundang-undangan. Pengurus
parpol tingkat pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota menetapkan bakal calon
anggota DPR atau DPRD dengan keputusan parpol.
UU ini cukup lengkap dan ideal sebagai UU yang dibentuk untuk
memperkuat sistem kepartaian dalam rangka menopang demokrasi dan
menyokong efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Sistem kepartaian adalah
interaksi antar partai yang satu dengan yang lainnya dan hubungannya dengan
sistem politik secara keseluruhan.
Dengan memuat berbagai hal tersebut, dimaksudkan pula agar menjadi
partai yang kian terdorong menuju partai program, yaitu yang lebih
mengandalkan pada program dalam isu-isu strategis untuk mempengaruhi massa
yang ditawarkan melalui platform partainya, ketimbang kharismatik yang
cenderung mengandalkan kepemimpinan seorang tokoh dan klientalistik yang
lebih mengandalkan loyalitas partai berdasarkan pada keuntungan timbal balik
antara kebutuhan ekonomi bagi pemilih dan kebutuhan suara bagi elit politik.

Anda mungkin juga menyukai