Dosen Pengampu:
Ira Permatasari, S.IP
Oleh :
Gracia Ester Febrina 175120601111035
Mega Khoirunissa 175120600111046
Dina Luwita Zafayanti 175120601111032
Shresna Larasati 175120600111048
Rochmat Romadon 175120607111027
Alfred Nobel Zaluku 175120609111002
PENDAHULUAN
Sumber keuangan partai politik telah jelas tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik pasal 34 sampai dengan pasal 36. Dan telah jelas memang sumber
keuangan partai politik berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan
bantuan keuanngan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Permasalahan sumber pendanaan dari iuran anggota partai politik sangat sulit diharapkan
dan boleh jadi hanya sebuah mimpi belaka. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) Tidak
adanya kartu anggota; (2) Partai politik tidak memiliki peraturan operasional iuran anggota; (3)
Partai politik tidak melaksanakan pungutan iuran anggota secara rutin; (4) Partai politik bersifat
massa; dan (5) Lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran dalam internal partai. Intinya partai
politik peserta pemilu di Indonesia tidak ada satupun partai politik membiayai kegiatannya
berdasarkan iuran anggota.
Sumber dana utama untuk membiayai kegiatan partai adalah ketua umum dan kader partai
yang duduk dalam lembaga legislatif dan eksekutif (elit internal partai); para pengusaha (yang
mengharapkan kebijakan khusus seperti alokasi proyek, izin, dan jaminan keamanan dari kader
partai yang memegang jabatan politik), individu, badan usaha swasta, organisasi dan kelompok
(elit eksternal partai) baik yang diperoleh secara sah maupun secara tidak sah (private funding),
dan uang negara (public funding) baik yang diperoleh secara sah maupun secara tidak sah.1
Selanjutnya permasalahan terkait dengan sumbangan yang sah menurut hukum, yaitu:
sumbangan perseorangan anggota partai politik yang pelaksanaannya diatur di dalam AD/ART
masing-masing partai politik dan sumbangan bukan anggota partai politik yang bersifat
perseorangan dengan jumlah maksimum 1 miliar/tahun dan perusahaan maksimal 7 miliar/tahun,
menurut Junaidi justru banyak memberi kelonggaran kepada partai politik dalam tata kerja
keuangan organisasi. Maraknya wabah korupsi politik tidak lepas dari upaya partai untuk
mencari sumber-sumber pendanaan operasional partai. Aksi ini dilakukan melalui anggota-
anggotanya yang duduk di berbagai posisi strategis di lembaga-lembaga negara maupun
pemerintahan. Undang-undang melarang partai politik menerima dana dari APBN/ APBD
ataupun BUMN/BUMD (bans against public funding), tetapi mengizinkan sumbangan dari
kalangan swasta (private funding) namun keduanya dengan regulasi dan penegakan yang longgar.
Partai politik melaksanakan tugas publik berdasarkan UUD 1945 dan UU tetapi pelaksanaan
1
Riana Wulandari Ananto, “Tinjauan Yuridis Penyesuian Partai Politik Berbadan Hukum dan Partai Politik Baru
Menjadi Badan Hukum Berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik”, Seminar
Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 2 Tahun 2018, hlm 307
tugas publik tersebut dibiayai oleh unsur swasta. Sehingga yang terjadi kemudian tidak saja
proses politik ditentukan oleh pemilik uang, tetapi juga partai politik yang memiliki kursi di DPR
dan DPRD secara bersama-sama menggunakan kewenangan mengalokasikan anggaran untuk
kepentingan partai dan pribadi (sistem kartel).2
Subsidi negara yang diatur di dalam UU Partai politik dan Peraturan Pemerintah (PP) No.
83/2012 tentang Bantuan Keuangan kepada partai politik didasarkan pada jumlah perolehan
suara dalam pemilu. Untuk menentukan nilai subsidi per suara, digunakan rumus jumlah subsidi
APBN sebelumnya dibagi dengan jumlah suara partai politik yang mendapatkan kursi di DPR
periode sebelumnya. Setelah nilai subsidi didapatkan, kemudian dikalikan dengan jumlah suara
yang diperoleh pada pemilu terakhir 3. Sejak pemilu tahun 2009 sampai pemilu terakhir 2014 lalu,
Mendagri menetapkan nilai subsidi per suara sebesar Rp 180. Permasalahannya besaran bantuan
negara kepada partai politik sesungguhnya bernilai kecil dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Ketika subsidi negara masih diatur PP No. 51Tahun 2001 Tentang Bantuan Keuangan Kepada
Partai Politik, nilai subsidi untuk satu suara ditetapkan Rp 1.000. PP 29/2005 nilai subsidi
ditetapkan sebesar Rp 21 juta untuk satu kursi di DPR, bukan per suara. Selanjutnya PP No.
5/2009 dan PP 83/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009
Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, justru menjadi lebih rumit dibandingkan
dengan PP sebelumya.
Untuk menjamin transparansi penerimaan dan pengeluaran partai politik, maka dalam
penerimaan sumber dana harus jelas disebutkan hal-hal berikut: (1) Identitas lengkap setiap
sumber penerimaan: nama, tempat dan tanggal lahir, alamat tempat tinggal, nomor telepon
rumah/seluler, pekerjaan, kedudukan dalam pekerjaan, alamat tempat pekerjaan, dan nomor
telepon kantor, apabila badan usaha yang telah go public yang menjadi penyumbang, maka harus
pula disebutkan nama pemilik saham dan komposisi pemilihan saham; dan (2) Jumlah dari setiap
jenis dan bentuk sumbangan (uang, barang, jasa; potongan harga, pinjaman, hadiah).
Perlu adanya satu lembaga yang mengawasi pelaporan dan penggunaan dana politik. Saat
ini KPU mengawasi dana kampanye, Polisi bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang
bersifat pidana, dan BPK memeriksa penggunaan uang partai politik dari APBN dan APBD.
Bawaslu dapat mengambil alih peran KPU dalam pengawasan dana kampanye. Di banyak negara
demokrasi semua tugas pengawasan dana kampanye dijalankan oleh satu lembaga dan dibantu
oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk.
4
Torang Rudol, “Perkembangan Politik Hukum Pertanggungjawaban Partai Politik Dalam Pengelolaan Bantuan
Keuangan Negara Pasca Reformasi” Jurnal Hukum Vol.4 No.1 Januari –April 2015, halaman 124
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PARTAI POLITIK
Pasal 35
Pasal 35 . . .
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang
diterima Partai Politik berasal dari:
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip
kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan
kemandirian Partai Politik.
Pasal 36
Pasal 38
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 39
Pasal 34
(1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah
menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. (3) Bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai
Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang
penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. (3a) Bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota
Partai Politik dan masyarakat. (3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a)
berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara
yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika
dan budaya politik; dan c. pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan
berkelanjutan. (4) Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (3a) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
13. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
14. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai
Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam
AD dan ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan c.
perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar
lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun
anggaran. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip
kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian
Partai Politik.
Pasal 39
(1) Pengelolaan keuangan Partai Politik dilakukan secara transparan dan akuntabel. (2)
Pengelolaan keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh
akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodik. (3) Partai Politik wajib
membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yang meliputi: a. laporan realisasi
anggaran Partai Politik b. laporan neraca c. laporan arus kas.
Pola Alokasi anggaran partai politik berfokus pada dua kegiatan, yakni :
1. Persiapan dan penyelenggaraan pertemuan anggota partai periode lima tahunan sepeti
kongres, muktamar, dan musyawarah nasional.
2. Berbagai kegiatan pencalonan dan kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota, serta pemilu presiden dan wakil presiden.
Sehingga partai politik di Indonesia dilukiskan untuk lebih berorientasi untuk mencari
kedudukan/ kekuasaan baik dalam partai maupun dalam pemerintahan.
Meskipun kurang tepat, namun sebagian pengeluaran partai politik digunakan untuk
membiayai kegiatan administrasi partai dan perkantoran partai seperti pembelian alat
perlengkaan kantor, membayar rekening listrik, air, gaji karyawan, sewa kantor, konsumsi
5
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakbir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2014, hlm 15
6
Didik Sukriono, “ Desain Pengelolaan Keuangan Partai Politik Berbasis Demokrasi Menuju Kemandirian Partai
Politik”, Jurnal UM. Vol 3 No. 1, 2019, Hal 40-41.
selama rapat dan akomodari transportasi. Contoh pengeluaran yang lain seperti biaya untuk
melakukan kaderisasi anggota partai politik, kegiatan merayakan ulang tahun partai,
kunjungan kepada instansi lain untuk melakukan kegiatan sosial.
Salah satu sumber pendanaan terbesar bagi partai politik berasal dari uang
pemerintah. Bentuk bentuk umum alokasi pendanaan partai yang berasal dari pemerintah
adalah :
Kegiatan-kegiatan partai tersebut tentu memerlukan biaya yang cukup besar. Berkaca
pada realitas partai hampir selalu mengadapi persoalan dalam mendanai setiap program kerja
dan kegiatannnya. Oleh karena itu partai harus mencari daan mendapatkan sumber-sumber
pendanaannya. Sumber pendanaan konvensionla belum mampu menutupi biaya kegiatan
partai selama setahun, akibatnya partai mencari jalan lain untuk mendanai kegiatannya.
Dengan adanya bantuan dana dari pemerintah, maka sudah seharusnya seluruh pihak dalam
partai politik dituntut untuk mengoptimalan pengalokasian anggaran dana dalam partai
politik. 8
7
Bariroh Farid, “ Pendanaan Partai Politik di Indonesia : Mencari Pola Pendanaan Ideal Untuk Mencegah
Korpsi” , Komisi Pemberantasan Korupsi, Vol 4 No. 1, 2018, Hal 272-275.
8
Nur Hidayat Sardani, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011,
hlm 22.
2.3 PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN PARTAI POLITIK
Pertanggungjawaban ini dijelaskan oleh Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pemeriksan Laporan
Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai Politik. Pertanggungjawaban
keuangan partai politik perlu dilakukan saat partai politik menduduki kursi di
9
parlemen yang disebut dengan bantuan keuangan. Bantuan keuangan bersumber
dari APBN/APBD yang diberikan kepada partai politik yang menduduki kursi di
DPR ataupun DPRD tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota yang perhitungannya
didasarkan atas jumlah perhitungan suara , dengan prioritas penggunaan untuk
pendidikan politik. Laporan pertanggungjawaban partai politik atas bantuan
keuangan yang selanjutnya disebut Laporan Pertanggungjawaban adalah laporan
atas penerimaan dan pengeluaran yang dibuat partai politik atas bantuan
keuangan. Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud terdiri atas :
laporan pertanggungjawaban DPP , laporan pertanggungjawaban DPD , dan
laporan pertanggungjawaban DPC.Bantuan keuangan itu disalurkan oleh
Kementrian Dalam Negeri / Pemerintahan Daerah kepada partai politik melalui
transfer dana dari Rekening Kas Umum Negara/ Rekening Kas Umum daerah ke
Rekening partai politik. Rekening partai politik ini merupakan rekening khusus
untuk menerima bantuan keuangan. 10
9
Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/21/peraturan-bpk-no-2-tahun-2015 pada tanggal 31
Agustus 2019
10
Rusdi Satria Prima , “PERTANGGUNGJAWABAN PENDANAAN KEUANGAN PARTAI POLITIK YANG BERSUMBER
DARI APBD (Studi Di Provinsi NTB)” Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum, 2018, halaman 55
penyalahgunaan dana yang diberikan pemerintah kepada setiap partai politik
yang mendapatkan hak mendapatkan dana.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sumber keuangan partai politik berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah
menurut hukum, dan bantuan keuanngan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Akan tetapi berbagai permasalahan terkait
dana parpol ini sering terjadi diantaranya kurangnya transparansi terkait sumber-sumber
dana yang diperoleh oleh Partai Politik yang dikhawatirkan berasal dari individu atau
kelompok tertentu baik perusahaan atau kelompok lain yang akan berpengaruh dalam
pembuatan serta pengambilam kebijakan yang diambil. Berbagai permasalahan terkait
pendanaan oartai politik sendiri Seperti yang terdapat dalam UU pemilu dan UU partai
pemilu, didalamnya tidak dirinci atau diatur sumber pendanaan partai politik dan belanja
partai politik. Oleh karena itu negara sendiri membuat UU Undang-Undang Nomor 11
tentang Partai Politik, sehingga pengaturan terkait pengelolaan keuangan Partai Politik
lebih diatur ketat di dalam UU Parpol yang secara tegas diatur di dalam pasal 39 ayat 1
bahwa keuangan Parpol dilakukan secara transparan dan akuntabel.
3.2 SARAN
Pendanaan Partai Politik sendiri telah diatur dalam Undang-Undang, perlu adanya
upaya yang tegas dalam mengimplementasikan Undang-Undang tersebut apabila
sebuah Partai Politik melaukan pelanggaran dan perlu adanya Tata kelola dan
pendanaan yang harus dibenahi dan menuntut transparansi dari Parpol tersebut.
Pengawasan pemerintah juga dibutuhkan agar Partai Politik menjalankan visi misinya
dengan baik sesuai dengan Undang-Undang salah satunya pencegahan yaitu
dibuatnya peraturan yang mewajibkan Partai Politik harus mempunyai rekening yang
berbeda guna mengetahui pengeluaran/pembiayaan keperluan partai politik itu sendiri
dan biaya kampanye itu secara terpisah. Serta opsi kedua adalah dengan cara
meningkatkan bantuan dana dari Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Bariroh Farid, “ Pendanaan Partai Politik di Indonesia : Mencari Pola Pendanaan Ideal
Untuk Mencegah Korpsi” , Komisi Pemberantasan Korupsi, Vol 4 No. 1, 2018, Hal 272-275
Didik Sukriono, “Desain Pengelolaan Keuangan Partai Politik Berbasis Demokrasi Menuju
Kemandirian Partai Politik”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol
3, Nomor 1, Juni 2018, hal. 39-40
Didik Sukriono, “ Desain Pengelolaan Keuangan Partai Politik Berbasis Demokrasi Menuju
Kemandirian Partai Politik”, Jurnal UM. Vol 3 No. 1, 2019, Hal 40-41.
Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/21/peraturan-bpk-no-2-tahun-2015
pada tanggal 31 Agustus 2019
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakbir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2014, hlm 15
Riana Wulandari Ananto, “Tinjauan Yuridis Penyesuian Partai Politik Berbadan Hukum dan
Partai Politik Baru Menjadi Badan Hukum Berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun
2011 Tentang Partai Politik”, Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang
Volume 4 Nomor 2 Tahun 2018, hlm 307