Anda di halaman 1dari 5

Nama : Elysa Sylviana

Lokal : A-6

MONEY POLITIC DALAM PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN


UMUM DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Pengertian Money Politics, ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu
upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga
diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan
uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian
ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena
memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak
ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan
merupakan kejahatan. Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya
praktek politik uang akan terjerat undang-undang anti suap.
Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol)
sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan
yang terjadi di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol.
Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok
ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur
baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan
dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala
daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak
pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen
pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat
para pemilih menjadi tidak respek terhadap parpol.
Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin
memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam
waktu sekejap, demi kekuasaan semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi
masyarakat meskipun sesaat, karena itu juga masyarakat merasa “berhutang budi” pada calon
walikota yang memberikan uang tersebut.
Dengan cara Money Politics hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat
melakukan kampanye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi
kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi
sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian
elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat
ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan
partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.
Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga
saling mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi.
Demikian pula dari tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota
kepada Panwas tingkat kecamatan.
Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden mendatang
menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara
dengan kondisi yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal
balik pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang
dari berbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan
masyarakat.

B. Dasar Hukum
Peraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu
larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala
daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung.
Peraturan tersebut antara lain:

1. BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-


undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.
2. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU
Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255
Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
3. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat
1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
4. Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah
dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2,
Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai
Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1
sampai Ayat 5.

C. Pembahasan
Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk
kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang
atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b)
pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik
tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas
negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya
penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi
dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi
administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah
para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua
adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang
tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada.
Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik
uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur
keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih.
Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang
telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam masyarakat telah
berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi
uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat
diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik
yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau
pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit,
terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan
demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap
merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang
memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang
diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam
praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan
kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena
ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu
kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest
public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas
bangsa, walaupun secara ekonomis—dalam jangka pendek—dapat sedikit memberikan
bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang
bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya
demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik
dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya
yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan
tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya
tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.

D. Penutup
Dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat
dalam pemilu umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa
partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara
ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi
tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum.

Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics)
yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada
sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun
PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah “DEMOCRAZY”. Dan juga bagi
masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming
dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan
juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat
pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di
negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara
demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah
sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta
juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah
dalam menentukan masa depan bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai