Anda di halaman 1dari 3

Money Politic dan Embrio Korupsi

Oleh : Indra Yusuf

Memasuki masa tenang menjelang hari H pencoblosan seringkali diramaikan adanya isu

praktik money politic atau poltik uang. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar

ternyata menempati peringkat ketiga tertinggi dalam hal politik uang. Tentu hal ini sangat

memperihatinkan bagi kita semua.

Politik uang disebut juga politik perut yakni suatu praktik pemberian dalam bentuk uang,

barang atau janji kepada seorang pemilih atau kelompok masyarakat untuk memberikan hak

suaranya kepada salah seorang calon atau kandidat pada saat pencoblosan nanti. Politik uang

adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye yang sangat sering terjadi namun sulit untuk

diungkap. Akibat politik uang pemimpin atau anggota legislating yang terpilih menjadi tidak

berkualitas. Praktik politik uang juga dapat mengakibatkan lemahnya eksistensi politisi dan

institusi demokrasi.

Politik uang umumnya dilakukan oleh para tim sukses, kader atau bahkan kandidat dan

calonnya sendiri menjelang hari H pemilihan umum. Biasanya praktik politik uang dilakukan

dengan cara pemberian berbentuk uang tunai, sembako antara lain beras, minyak dan gula

kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan

suaranya untuk partai yang bersangkutan. Namun kali ini banyak bentukinovasi dari bentuk

politik uang, Salah satu invasinya adalah dengan cara menanamkan jasa atau janji terhadap

seseorang atau kelompok warga masyarakat tertentu.

Menurut Susno Duadji,Mantan Kabareskrim ada 3 jenis politk yang biasa terjadi dalam

setiap pemilu. Politik uang pertama adalah membeli kursi, dalam bentuk mahar terhadap partai

politik. Kedua, membeli kesempatan dan kekebalan hukum, agar penyelenggara pemilu, saksi
dan penegak hukum tidak menyalahkan kegiatan praktik uang yang dilakukannya. Ketiga,

membeli suara rakyat.

Menurut August Mellaz, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD),

bahwa potensi praktik politik uang pada pemilu 2019 akan meningkat dibandingkan dengan

pemilu 2014. Hal ini dikarena beberapa factor, diantaranya adalah : Pertama, sistem dan

mekanikal pemilu tidak berubah dari pemilu tahun 2014. Dengan demikian sisi personal atau

orientasi kompetisi Pemilu masih berbasis calon legislative dibandingkan partai politik. Kedua,

orientasi kompetisi Pileg 2019 tetap berbasis pada sisi popularitas dan personalitas caleg.

Ketiga, untuk bisa terpilih, maka setiap calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan

popularitasnya, meningkatkan aktivitas kampanye, dan secara personal membiayainya.

Para caleg atau kandidat yang melakukan poltik uang sebenarnya sedang menebar benih

korupsi. Sementara bagi para petahana (incumbent) yang melakukan praktik politik uang tentu

patut dipertanyakan darimana sumber dananya. Karena bagaimanapun politik uang adalah

embrio korupsi dan indikator kuat bahwa petahana telah melakukan korupsi selama menjabat.

Praktik poltik uang juga yang menyebabkan biaya politik yang tinggi bagi mereka yang

akan mencalonkan sebagai anggota legislatif maupun eksekutif. Akibat biaya politik yang tinggi

tentu ketika dia telah menjabat, langkah utama yang dipikirkan adalah bagaimana

mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan selama masa kampanye dulu. Akhirnya mereka

masuk ke dalam pusaran prakti suap dan korupsi.

Dalam menghadapi Pemilu 2019 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK) menemukan praktik baru politik uang yang dilakukan salah satu caleg. Politik uang
yang dimaksud itu tidak menyerahkan uang tunai, melainkan memberikannya dalam bentuk

jaminan asuransi kecelakaan. 

Dalam menghadapi hari pencoblosan pemilu 2019 diharapkan masyarakat tida

terpengaruh oleh politik uang dalam bentuk apapun. Karena para caleg atau kandidat yang

melakukan politik uang sudah dapat dipastikan adalah calon koruptor.

Anda mungkin juga menyukai