Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH POLITIK ANTI KORUPSI

Nurintan Magriandini_071811233104

Pencegahan Praktik Politik Uang dalam Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut
menentukan kehidupan rakyat (Moh, Mahfud MD, 1998 dalam Parlindungan, 2019).
Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam demokrasi yang menganut
sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus” yang
akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan, mereka yang
terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban
untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik
(parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik
modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan,
serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai (Moh, Mahfud
MD, 2013 dalam Parlindungan 2019). Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, telah merubah sistem pemilihan Kepala Daerah dari pemilihan melalui
DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 ayat
(1) yang berbunyi: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil”(Parlindungan, 2019).

Berbagai cara dan strategi dilakukan oleh para kontestan pemilu/pemilukada dalam
menarik partisipasi masyarakat untuk memilih. Momen ini pun digunakan oleh partai politik
untuk mengenalkan figur figur yang akan mengikuti Pemilu. Spanduk-spanduk, baligo-baligo
ukuran besar mulai terpampang di pusat pusat keramaian, dipinggir jalan serta di
rumahrumah penduduk yang dilengkapi dengan janji-janji. Kompetisi tersebut melibatkan
tokoh-tokoh politik dan penyelenggara negara yang dalam pelaksanaannya terkadang
mengabaikan etika dan estetika berpolitik, serta kesantunan politik. Persaingan dalam
memenangkan hati masyarakat dalam pemilihan dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang
demokratis dilakukan dengan menjual visi, misi, program dan kegiatan calon kepala daerah
kepada pemilih. Cara lain adalah menggunakan rekam jejak para kandidat calon yang baik
dan bisa dilihat serta dirasakan masyarakat pemilih sebagai pilihan bijak dalam memilih
dalam pilkada. Namun, ada banyak kandidat yang menggunakan cara kotor dengan
kampanye hitam dan pembelian suara dengan cara memberi uang atau barang kepada calon
pemilih (Cahyadi, 2019).

Penyelenggaraan pemilu dan pilkada tidak terlepas dari asas yang harus dijalankan
dengan baik, yakni asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.(Susilo & H Soehino,
2006; Wardhani, 2018 dalam Asmawi et al, 2021) Penulis berpikir kelima asas tersebut
memiliki kedudukan yang sama dalam menghasilkan pejabat yang berintegritas tinggi,
berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai ada 10 permasalahan
yang kerap terjadi dalam pelaksanaan pilkada, Adapun 10 potensi permasalahan yang
membayangi gelaran pilkada serentak diantaraya adalah: (1) Jual beli pencalonan (candidat
buying) antara kandidat dan partai politik. (2) Munculnya nama bermasalah (mantan
narapidana atau tersangka korupsi) dan calon dengan dinasti. (3) Munculnya calon tunggal.
(4) Kampanye berbiaya tinggi akibat dinaikannya batasan sumbangan dana kampanye dan
diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih. (5)
Pengumpulan model ilegal (jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek) dan politisasi
program pemerintah (dana hibah, bantuan sosial, dana desa dan anggaran rawan lainnya)
untuk kampanye. (6) Politisasi birokrasi dan pejabat negara, mulai dari birokrat, guru hingga
institusi TNI/Polri. (7) Politik uang (jual beli suara pemilih). (8) Manipulasi laporan dana
kampanye. (9) Suap kepada Penyelenggara Pemilu. (10) Korupsi untuk pengumpulan modal,
jual beli perizinan, jual beli jabatan, hingga korupsi anggaran (Asmawi et al, 2021). Dalam
tulisan ini penulis akan menitikberatkan pada permasalahan politik uang yang dari
pelaksanaan pemilu pertama kali tahun 1955 sampai dengan sekarang pelanggaran terhadap
politik uang selalu terjadi dan hal ini akan membunuh rasa demokrasi dan juga
menghilangkan asas pemilihan umum yakni asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil (Asmawi et al, 2021).

Fransiska Adelina (2019) dalam Pahlevi (2020)menjelaskan bahwa salah satu


penyebab atau potensi dari praktik korupsi politik ialah politik uang yang digunakan untuk
praktik jual beli suara pemilih. Cahyadi (2019) megatakan bahwa hampir semua ilmuwan
politik sepakat bahwa politik uang adalah fenomena berbahaya dan buruk bagi demokrasi,
karena bisa mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan. Maraknya politik
uang dalam berbagai pemilihan di Indonesia telah memberikan penilaian yang buruk terhadap
proses demokrasi di negeri ini. Indonesia setelah orde baru pernah dianggap sebagai negara
demokrasi, bahkan negara demokrasi baru (Kelly dan Hill, 2007 dalam Cahyadi, 2019).

Meskipun praktik politik uang di Indonesia cukup besar namun studi tentang perilaku
politik uang di Indonesia belum terlalu banyak. Studi politik uang diantaranya; studi Rifai
(2003:7 dalam Cahyadi, 2019) yang meneliti tuduhan politik uang dalam pemilihan gubernur
di beberapa daerah melalui media massa, namun tidak cukup rinci untuk melakukan
penggalian. Studi Lesmana yang meneliti pemilihan gubernur langsung di Sumatera Barat
dan Kepulauan Riau menyimpulkan bahwa praktik politik uang diyakini ada namun sangat
sulit untuk dibuktikan (Hidayat,2007:224). Studi serupa disampaikan Mietzner dalam kasus
pemilihan di Sulawesi Utara, yang juga menyimpulkan hasil yang sama mengenai pengaruh
politik uang yang kuat dalam pemilihan, dan tidak secara jelas menjelaskan hubungan antara
uang politik dengan perilaku memilih (Marco dan Uffen, 2009:124). Studi Nurdin (2014:15)
juga menjelaskan dengan baik tentang perilaku politik uang dalam pemilihan Gubernur
Banten tahun 2011 di Pandeglang. Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPUD) Kabupaten Bandung Barat (2014) tentang politik uang dalam pemilihan legislatif
tahun 2014. Studi lain juga dilakukan oleh KIP Aceh Bireuen (2015:21) mengenai politik
uang pada Pemilu 2014. Studi Barenscoot & Purba (2014, www.insideindonesia.org)
menggambarkan politik uang terjadi pada pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014, hasil
penelitian telah terjadi kolaborasi antara perusahaanperusahaan yang tergabung dalam Sugar
Group Company (SGC) dengan calon gubernur Lampung yaitu M. Ridho Ficardo, dengan
menggunakan pengaruh dan kekuatan uang, terutama pembagian gula pasir di wilayah
Lampung dalam pemilihan Gubernur Lampung tahun 2014. Pemilihan Gubernur Lampung
2018 yang lalu juga tidak lepas dari praktik politik uang (Cahyadi, 2019).

Parlindungan (2019) menyatakan bahwa pada proses demokrasi level akar rumput
(grass root), praktik money politic tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran,
masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak
merasa bahwa money politic normatif harus di jauhi. Segalanya berjalan dengan wajar.
Kendati jelas terjadi money politic, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak
ada protes. Budaya money politics merupakan hal lumrah dalam mayarakat. Fenomena
money politics dalam masyarakat bisa dilihat secara langsung dalam proses pemilihan kepala
desa atau lurah sebagai komponen terkecil dari pemerintahan Indonesia. Proses percalonan
kepala desa sering kali tidak lepas dari penggunaan uang sebagai upaya menarik simpati
warga. Dalam skala yang lebih luas, praktik money politics telah melibatkan hampir seluruh
elemen sosial seperti pejabat, politisi, akademisi, pendidik, saudagar, bahkan kalangan
agamawan sekalipun. Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena bantuan politis ini di
pahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan
politik. Karena interaksi politik memang meniscayakan sikap seseorang untuk di penuhi oleh
penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengn kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar
bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Perilaku money politics, dalam
konteks politik sekarang, sering kali diatas namakan sebagai bantuan, infaq, shadaqah, dan
lain – lain. Pergeseran istilah, money politics ke dalam istilahan moral ini secara tidak
langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat
yang memang melazimkan tindakan itu terjadi. Takkala masyarakat telah mengganggap
sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal formal hukum akan kesulitan untuk
menjangkaunya. sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik antara
pemberian yang sarat dengan nuanssa suap, dan pemberian dalam arti sesungguhnya sebagai
bantuan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa politik uang harus dianggap sebagai praktik
ilegal dalam kontes politik di Negara Bagian (Ward, 2003 :2 dalam Cahyadi, 2019). Alasan
pertama, pembelian suara paling mendasar dinilai mengurangi penerapan prinsip keadilan
dalam pemilihan. Ketidakadilan terjadi karena pemilih memiliki kemampuan ekonomi yang
berbeda satu sama lain. Alasan kedua; politik uang dianggap mencemari proses pemilihan
sehingga mempengaruhi keseluruhan kualitas demokrasi. Daya tawar uang dapat membuat
pemilih mengabaikan evaluasi indikator objektif (Ward, 2003:5). Alasan ketiga lebih praktis,
penggunaan uang yang tidak legal bisa mendorong korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Di sisi lain, Schaffer (2008: 198) mengatakan setidaknya ada empat jenis motivasi diantara
para pemilih mengapa mereka menerima tawaran politik uang. Pertama, kebutuhan ekonomi
jangka pendek para pemilih melihat keuntungan pribadi sesaat. Kedua, rasa khawatir tentang
kemungkinan pembalasan dari kandidat jika pemilih menolak tawaran politik uang. Ketiga,
terkait rasa kewajiban pribadi mereka kepada broker (tim sukses) yang telah memberikan
uang atau barang, biasanya terdiri dari orang dekat, teman, atau anggota keluarga. Keempat,
keyakinan bahwa politik uang merupakan tanda kebajikan atau bukti kesadaran calon
pemilih. Motif ketiga dan keempat adalah satu penjelasan mengapa politik uang seringkali
sulit dihilangkan (Cahyadi, 2019).
Cahyadi (2021) melakukan survei persepsi publik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada 2013 lalu menghasilkan data sebesar 71,72 persen masyarakat menganggap
politik uang sebagai kelumrahan. Survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden ini
menunjukkan, masyarakat cenderung memilih calon pemimpin terutama berdasarkan faktor
perilaku dan karakter sebesar 22,38 %. Faktor kompentensi berada di urutan kedua sebesar
16,48 % dan kedekatan masyarakat pada posisi ketiga 13,93 %. Penulis beserta kolega R.
Sigit Krisbintoro juga pernah melakukan penelitian tentang politik uang pada 2012 di
beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Lampung. Salah satu hasilnya, sebesar 25 % pemilih
akan mengubah pilihannya dalam pemilu jika diberikan imbalan uang atau barang.

Sebagai Lembaga negara, badan pengawas pemilu dibentuk berdasarkan adanya krisis
kepercayaan masyarakat dalam pelaksanaan pemilu yang pada awal mulanya krisis
kepercayaan inilah yang mulai dikooptasi kekuatan rezim penguasa sejak 1971.(Ridho, 2018
dalam Asmawi, 2021) Mulai muncul protes-protes dari masyarakat karena diduga banyaknya
manipulasi yang dilakukan oleh petugas pemilu saat itu dan kemudian menjadi cikal bakal
urgensi kehadiran Bawaslu. (Abhan, 2018; Surbakti & Fitrianto, 2015 dalam Asmawi, 2021).
Kehadiran Bawaslu dalam desain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum, di antaranya ditugaskan untuk mencegah politik uang dan mendorong pengawasan
partisipatif.(Nabila Amrie, 2020) Tantangan mandat ini yang kemudian mendorong Bawaslu
untuk melakukan terobosan mencegah sekaligus melawan politik uang dengan model
membangun Gerakan sosial berbasiskan desa/kelurahan yang dinamakan Desa Anti Politik
Uang (Desantiku) di setiap Kabupaten/Kota. Gerakan ini mengasumsikan akan melibatkan
makin banyak elemen desa dalam pengawasan partisipatif, seperti halnya gerakan anti politik
uang yang dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten Serang. (Nabila Amrie, 2020 dalam Asmawi
et al, 2021) Tahun 2020 data yang penulis dapatkan melalui keterangan bawaslu bahwa kasus
pilkada yang sedang ditangani sebanyak 104 kasus dugaan politik uang pada pelaksaan
pilkada dan hal ini secara tidak langsung butuh peran dari bawaslu sendiri dalam hal strategi
menghilangkan politik uang agar terciptanya pemilihan yang berdaulat sekaligus
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.(ManikFahriza et al., 2019; Nurlita, 2020 dalam
Asmawi et al, 2021).

Politik Uang (Money Politic) Politik uang merupakan upaya menyuap pemilih dengan
memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada
seoranPerilaku politik uang ini akan menghasilkan sebuah fenomena klientelisme dan
patronase. Klientelisme adalah suatu bentuk pertukaran yang sifatnya personal dengan ciri-
ciri adanya kewajiban dan hubungan kekuasaan yang terjadi dengan tidak seimbang antara
mereka. Selain itu, ditandai dengan aktivitas-aktivitas patron yang menyiapkan akses untuk
klien berupa sarana-sarana tertentu. Sehingga terbentuklah pola hubungan pertukaran timbal
balik yang saling menguntungkan. (Aspinall & Berenschot, 2019; Aspinall & Hicken, 2019)
Menurut Aspinal (2019), patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi
dan mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat
kampanye. Tujuannya ialah mendapatkan dukungan politik dari mereka. Praktik politik uang
dalam pemilu akan menciptakan seorang pejabat publik yang korup. Dasar terjadinya korupsi
di dalam pemerintahan ialah proses pemilihan umum/pemilihan kepala daerah yang
didominasi praktik politik uang. Akibatnya ialah biaya politik yang tinggi.

Maka dari itu, cara mencegah korupsi dapat di awali dari memberikan pendidikan
politik mengenai politik uang (Pahlevi, 2020). Pendidikan politik berbeda dengan sosialisasi
politik. Tujuan pendidikan politik ialah menjadikan sebuah masyarakat berdaya dan mampu.
Tidak hanya sekedar memahami, namun juga mengaplikasikan perilaku politik dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan politik dapat dilakukan dengan model pre-emtif dan
preventif. Pendidikan politik pre-emtif adalah upaya awal yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya masalah yang tidak diinginkan oleh sekelompok masyarakat atau individu yang
berdampak panjang. Maka, upaya pre-emtif ini menanamkan norma kebaikan dalam
kehidupan. (Alam, 2018 dalam Pahlevi, 2020). Kosep tersebut yaitu berupa upaya-upaya
awal dengan melakukan upaya penyadaran untuk masyarakat melalui deklarasi Desa
AntiPolitik Uang (APU) serta membentuk tim Desa APU yang bertugas melakukan literasi
politik atau memberikan informasi sosialisasi politik yang berkaitan dengan pemahaman
demokrasi di masyarakat. Tim Desa APU bekerjasama dengan Bawaslu Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bawaslu Kabupaten/Kota, LSM Pemilu yaitu Komite Independen Sadar Pemilu,
dan organisasi keagamaan di wilayah setempat. Mereka turun melakukan sosialisasi bahaya
politik uang dengan memanfaatkan forum-forum warga setempat. Pendidikan politik ini
bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa politik uang mengakibatkan dampak negatif
jangka panjang bagi rakyat. Selain itu juga politik uang akan menciptakan korupsi politik di
kemudian hari (Pahlevi, 2020).

Politik uang di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis yang perlu dicari formula
yang tepat. Formula hukum sudah dibuat dan masih memerlukan beberapa penyesuaian
karena praktik politik uang semakin terstruktur, sistematis dan masif. Pendekatan yang perlu
dicoba untuk digunakan dalam mereduksi politik uang adalah melalui cara–cara modal sosial
dengan mengangkat kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia (Cahyadi, 2019). Sebagai
contoh, Misalnya budaya Huyula (gotong royong). Huyula dapat pula disebut sebagai
karakter lokal Gorontalo yang terwariskan secara turun temurun (Yunus, 2014 :7). Budaya
Huyula dapat dipakai untuk mereduksi politik uang khususnya dalam budaya masyarakat
Provinsi Gorontalo. Kearifan lokal lain yang dapat digunakan adalah pepatah dan rujukan
masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah merupakan suatu filsafat Minangkabau yang
dalam bahasa Indonesia berarti "adat berdasarkan agama, agama berdasarkan kitab Allah".
Agama dalam hal ini bisa diartikan sebagai agama Islam karena agama sebagian besar orang
Minangkabau adalah Islam. Sementara itu, kitab Allah yang dimaksudkan adalah Alquran.
Jika dikaji lebih dalam lagi, filsafat ini mengandung makna yang sangat dalam. Secara
umum, filsafat ini menjelaskan bahwa Minangkabau merupakan sebuah budaya atau suku
yang berlandaskan kepada Allah SWT. Selain itu, adat dan agama pun tidak bisa dipisahkan.
Keduanya senantiasa berjalan beriringan. Filsafat ini dilanjutkan, maknanya akan lebih dalam
lagi. Kelanjutannya adalah syarak mangato, ‘adat mamakai’ yang berarti apapun yang tercatat
dan merupakan kewajiban dari agama akan dipakai oleh adat Minangkabau (Aditya, 2018
dalam Cahyadi, 2019).

Penulis menyimpulkan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan pada saat pemilu
berasal dari faktor internal seperti sifat rakus atau tamak, walaupun sudah mempunyai
kekuasan tinggi para pelaku tidak puas dengan apa yang sudah didapatkannya. Faktor yang
lainnya adalah berasal dari faktor eksternal seperti sistem politik, karena pada dasarnya
politik berhubungan erat dengan kekuasaan. Faktor selanjutanya adalah faktor kepentingan
karena para konstestan pemilu termasuk para penyelenggara negara biasanya memilki motif
kepentingan tertentu seperti kekuasaan, ekonomi. Model atau cara penanganan tindak pidana
korupsi dalam pemilu adalah dengan melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku koruspsi
pada saat pemilu berlangsung yaitu dengan menerapkan sanksi maksimal, selain itu dengan
memproses hukum Parpol peserta pemilu dan para penyelenggara negara yang melakukan
korupsi. KPU dan Bawaslu harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, KPK dan PPATK. Pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi
pada saat pemilu akan berhasil manakala semua unsur lembaga penegak hukum bekerjasama
saling membantu, bahu membahu dengan KPU dan Bawaslu menciptakan pemilu yang adil,
transfaran, dan jujur serta berintegritas (Budiman, 2020). Di sisi lain, kearifan-kearifan lokal
yang berasal dari budaya luhur bangsa kita, sebagian berpedoman pada ajaran agama-agama
Samawi, dapat menjadi benteng pertahanan yang kokoh dibalik gempuran praktik politik
uang yang kian marak pada pemilu dan pilkada. Momen pemilihan legislatif dan pemilihan
presiden 2019 menjadi ajang pembuktian bangsa Indonesia apakah sudah terbebas dari
penyakit kanker kronis politik uang (Cahyadi, 2019). Praktik politik uang yang menciptakan
korupsi politik ini telah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam setiap perhelatan
pemilu/pilkada/pilkades. Tentu, perlu adanya upaya untuk mencegah peraktik politik uang
dan menyadarkan masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan praktik yang merugikan
masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, praktik politik uang ini menjadi corong utama
penyebab munculnya pemimpin yang korup dan tidak pro terhadap rakyat. Maka
menyadarkan masyarakat untuk melakukan perlawanan politik uang ini sangat penting untuk
memposisikan masyarakat sebagai good citizen. Serta memposisikan masyarakat sebagai
kontrol roda pemerintahan (Pahlevi, 2020).

Referensi:

Asmawi, M., Amiludin, A., & Sofwan, E. (2021). Strategi Badan Pengawas Pemilu Kabupaten
Serang Dalam Pencegahan Praktik Politik Uang. Indonesian Journal of Law and Policy
Studies, 2(1), 28-42.

Budiman, M. (2020). MODEL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA


PEMILU/PEMILUKADA. JURNAL LITIGASI (e-Journal), 21(2), 199-219.

Cahyadi, R., & Hermawan, D. (2019). Strategi Sosial Pencegahan Politik Uang di Indonesia. Jurnal
Antikorupsi Integritas KPK RI, 5(1), 29-41.

Pahlevi, M. E. T., & Amrurobbi, A. A. (2020). Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang
Melalui Gerakan Masyarakat Desa. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi, 6(1), 141-152.

Parlindungan, A. (2019). Analisis Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Politik Uang dalam
Pemilihan Kepala Daerah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Journal of
Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 2(2), 335-351.

Anda mungkin juga menyukai